• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ambisi Membangun Kapabilitas Pertahanan

BAHAYA LATENT KOMUNIS

E. Ambisi Membangun Kapabilitas Pertahanan

Buku Putih Pertahanan 2008 menggambarkan analisis geostrategik, baik internasional, regional maupun nasional, termasuk mengenai berbagai persepsi ancaman terhadap keamanan dan kedaulatan nasional. Buku Putih Pertahanan 2008 menjadi progresif sekaligus agresif. Proyeksi pembangunan kapabilitas pertahanan dalam rentan waktu 25 tahun ke depan seperti yang termaktub dalam buku putih ini secara langsung mensyaratkan pembangunan kapabilitas pertahanan dengan pengembangan dan modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) milik TNI sebagai prioritas.

Dalam mengembangkan kapabilitas pertahanan, ukuran kuat tidaknya suatu kapabilitas pertahanan tidak hanya dilihat melalui canggih tidaknya suatu sistem persenjataan suatu negara, itu hanya salah satu faktor penentu. “Weapons are an important factor in war, but not the decisive one; it is man and not materials that counts.44” kata Mao Tse Tung 1938.

“Revolutions’ in Military Affairs –Military revolutions are major discontinuities in military affairs. They are brought about by changes in

43Departemen Pertahanan RI, “Buku Putih Pertahanan 2008”, Februari 2008. h.83 44 http://www.famous-quote.net/quotes-war.shtml

military relevant technologies, concepts of operation, methods of organization, and/or resources available, and are often associated with broader political, social, economic, and scientific revolutions.”45 (CSBA Definition).

Alutsista hanya salah satu komponen fisik untuk mengukur sebuah kapabilitas pertahanan. Kapabilitas pertahanan diukur berdasarkan tiga komponen atau indikator utama; pertama, komponen moral yang terwujud dalam bentuk motivasi, kepemimpinan dan manajemen organisasi. Kedua, komponen fisik berupa personel, peralatan, logistik, pendidikan dan latihan, dan kesiapan (readiness). Ketiga, komponen konseptual berupa pemenuhan prinsip-prinsip pertahanan, doktrin dan pembangunan. Komponen fisik berupa alutsista yang modern dan canggih pasti dibutuhkan dalam suatu sistem pertahanan negara. Jawabannya tentu adalah anggaran yang tinggi, namun satu hal yang penting untuk diingat adalah hampir di semua negara, anggaran pertahanan menjadi satu hal yang dilematis; tidak terkecuali di Indonesia. Di satu sisi pembiayaannya dianggap sebagai beban bagi perekonomian; di sisi yang lain keberadaannya sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas negara yang menjadi prasyarat bagi pembangunan ekonomi. Pernyataan pengamat pertahanan Andi Widjajanto saat acara peluncuran lembaga baru Institute of Defense and Security Studies (IODAS) pada 24 September 2008 lalu menarik. ”TNI seharusnya langsung diberi 'mainan' baru. Salah satunya dengan memenuhi kebutuhan persenjataan mereka. Namun hal itu sulit terwujud jika kemampuan anggaran pertahanan negara masih seperti sekarang.” Lebih lanjut lagi dikatakan, “Dengan begitu praktis TNI hanya tinggal menunggu kapan dan apa pemicunya. Entah mereka melakukannya dengan cara sesuai konstitusi maupun cara lain macam kudeta di Thailand. Pastinya mereka tengah menunggu sipil benar-benar terbukti tidak kompeten. Apalagi belakangan anggapan tidak kompeten itu semakin diperkuat dengan maraknya kasus korupsi hampir di seluruh lembaga sipil yang ada.46

Pernyataan tersebut sejalan dengan ambisi pemenuhan minimum essential force TNI yang tertuang dalam Buku Putih Pertahanan 2008. Namun, belajar dari pengalaman pengadaan panser VAB (Vehicule de l’Avant Blinde) produksi Renault Trucks, Perancis, perdebatan ini lebih terfokus pada proses dan mekanisme pengadaan daripada melihat permasalahan pengadaan ini secara utuh. Persoalan komersialitas tampaknya lebih mengemuka, karena masih berfokus pada masalah seputar harga daripada memperhitungkan value for money dari suatu investasi. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, benar atau tidaknya keputusan politik yang diambil dalam pengadaan panser VAB, pada akhirnya kasus ini menambah beban anggaran negara.

Pengadaan sistem senjata bagi pertahanan nasional adalah hal yang kompleks, karena ini bukan sekedar bagaimana membeli senjata, tapi memperhitungkan faktor jangka panjang. Sehingga pengadaan sistem senjata biasanya akan terlihat sebagai hal yang soliter dan tidak terintegrasi dalam kerangka akuisisi sistem pertahanan secara utuh. Bagi

45 http://www.csbaonline.org/2006-1/1.StrategicStudies/Revolution.shtml

negara dengan anggaran pertahanan yang besar, akuisisi sistem pertahanan mungkin bukan masalah utama. Tetapi bagi Indonesia, dengan anggaran pertahanan yang terbatas, akuisisi sistem pertahanan harus diperhitungkan secara matang dan bijaksana. Karena hal ini mempengaruhi nilai investasi yang dikeluarkan sekaligus mempengaruhi kemampuan sistem pertahanan yang akan dimiliki.

Wacana pengadaan alutsista justru lebih mengemuka, sehingga tampak nilai pengadaan baranglah yang akan selalu menjadi pertimbangan, bukan nilai investasi. Indonesia perlu sebuah refromasi birokrasi dan sistem akuisisi pertahanan yang memperhatikan berbagai faktor, di antaranya prioritas anggaran nasional, ekonomi, politik dan kapasitas nasional.

Tabel 8

Pengadaan Alutsista Bermasalah

No Kasus Jenis Senjata & Jumlah

Yang Terlibat Waktu/ Tempat

Proses Hukum

1 Pembelian Tank Scorpion

50 Tank Scorpion Siti Hardianti Rukmana (Tutut), Rini Soewondo, Nicholas Martin Prest (mantan CEO Alvis Plc), Lioneel Steele, Alan Bruce Boden.

1994 Endriartono m

engatakan

bahwa juka ada bukti kesalahnan ia akan diproses secara hukum 2 Pembelian Helikopter MI- 17 yang berasal dari Rusia 4 Helicopter MI-17 Pejabat di Lingkungan TNI AD

PT Transwisata 2005 Panglima TNI menunjuk 7 anggota TNI untuk membentuk tom koneksitas

kasus korupsi dalam pengadaan Helikopter MI-17- IV

3 Pengadaan Pesawat Fokker 50

Pesawat Foker 50 TNI AD dan PT Abadi sentosa Perkasa

2005

4 4 Pembelian Panser VAB

32 Panser VAB Dephan dan Mabes TNI 2006

Sumber : Litbang KontraS

Di negara seperti Inggris, akuisisi sistem pertahanan masih juga menjadi suatu masalah. Kompleksitasnya amat berpengaruh dan dapat berdampak negatif jika tidak dihubungkan dan diintegrasikan dengan pembangunan kemampuan sistem pertahanan. Ketika Inggris mengakuisisi helikopter tempur AH-1 Apache dari Amerika Serikat, ternyata helikopter-helikopter itu selama beberapa bulan hanya tersimpan dalam hanggar-hanggar skuadron helikopter tempur setelah kedatangannya. Ini disebabkan tak ada satupun pilot helikopter Inggris yang mampu menerbangkannya.47 Tidak hanya karena ketidaksiapan sarana dan prasarana, seperti peralatan berupa simulator baru tiba setelah sistem senjata tersebut

47Taylor, Trevor. Defence Acquisition and Politics. Defence Acquisition and Project Management, Defence Acquisition elective module, ITB Master Program in Security and Defence Management Study. August, 2005. Hal 6.

terkirim, namun juga karena sistem pelatihan termasuk sumber daya yang ada tidak terintegrasi dengan program akuisisi sistem senjata tersebut.48

Alokasi anggaran pertahanan dan beban pada anggaran nasional memang selalu menjadi dilema ‘abadi’ setiap negara. Belum ada patokan baku untuk menyebut sebuah anggaran pertahanan dianggap layak. Ini karena dinamika kondisional dan ancaman yang dihadapi. Setiap negara miskin maupun kaya memiliki masalah alokasi anggaran pertahanan yang dianggap terlalu kecil. Seperti kata Donald Rumsfeld, "You go to war with the army you have…not the army you might want” (Donald Rumsfeld, 2003).

Alternatifnya adalah tidak terpaku pada berapa besar alokasi dana untuk pertahanan. Tapi bagaimana agar pembiayaan pertahanan terintegrasi dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan memberikan akses lebih bagi dana yang dapat dialokasikan, sehingga meskipun prosentase alokasi dananya tetap atau bahkan turun, jumlah dana yang dialokasikan akan lebih besar. Hal utama yang harus diusahakan terlebih dahulu adalah persoalan tranparansi dan akuntabilitas. Pengelolaan dana publik yang transparan akan mengurangi resiko terjadinya korupsi. Penyusunan sebuah sistem yang demokratis dan mencerminkan kepentingan nasional dalam proses pengadaan barang publik mutlak diperlukan untuk meningkatkan value for money dari dana publik.

Dokumen terkait