• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINDAK PIDANA ANAK DI BAWAH UMUR DALAM

C. Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

1. Anak Dalam Hukum Islam

Kedudukan seorang anak dalam Islam merupakan “amanah” yang harus dijaga oleh kedua orang tuanya. Kewajiban mereka pula untuk mendidiknya hingga berperilaku sebagaimana yang dituntut agama. Jika terjadi penyimpangan dari perilaku anak, Islam dalam kadar tertentu masih memberikan kelonggaran. Seperti yang disyariatkan oleh hadits yang menyatakan “ketidak berdosaan” (raf’ul kalam) seorang anak hingga mencapai

aqil baligh yang ditandai dengan timbulnya “mimpi” pada laki-laki dan haid

21 Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Persfektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.), h.59

20

pada perempuan.23

Meski dalam kitab-kitab fiqh ditegaskan bahwa tidak benarkan menyeret anak ke meja hijau, tetap saja mereka harus dihukum jika bersalah, Cuma hukumannya berbeda dengan orang dewasa. Dalam bahasa fiqh disebutnya ta’dib (pembinaan), bukan ta’zir atau had (hukuman) seperti yang berlaku bagi orang dewasa (baligh). Bentuk pelaksanan ta’dib ini beragam, tergantung kepada kemampuan fisik dan jiwa anak.

Hukum Islam dipandang sebagai hukum pertama yang membedakan secara sempurna antara anak kecil dan orang dewasa dari segi tanggung jawab pidana. Hukum Islam, juga yang pertama yang melakukan tanggung jawab anak-anak yang tidak berubah dan berevolusi sejak dikeluarkannya. Ironisnya, empat belas abad yang lalu, hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang baru dalam hal pertanggung jawaban anak kecil (belum dewasa) pada masa sekarang ini.24

Menurut hukum pidana Islam ancaman hukuman pidana anak-anak yang melakukan kejahatan dibedakan menurut perbedaan umurnya. Berdasarkan tahapan umur inilah hukum pidana Islam memberikan hukuman

(sanksi) terhadap tindak kejahatan (jarimah) anak dengan:25

23 Abdurrahman al-Jazari, Kitab Al-Fiqh Ala Mazdahib Al-arb’ah (Beirut: Dar al-Fikr ,Tth). Cet. Ke-1, h. 11

24 Ibid, h.11

a) Fase Tidak Adanya Kemampuan Berpikir (Idrak)

Sesuai dengan kesepakatan fuqaha, fase ini dimulai sejak manusia dilahirkan dan berakhir sampai usia tujuh tahun. Pada fase ini, seorang anak dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir. Karenanya, apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun sebelum berusia tujuh tahun, dia tidak dihukum, baik pidana maupun hukuman ta’dibi (hukuman untuk mendidik). Anak kecil tidak dijatuhi hukuman hudud, qishas, dan ta’zir, apabila dia melakukan tindak pidana hudud dan qishas (misalnya membunuh atau melukai).

Walaupun demikian, adanya pengampunan tanggung jawab pidana terhadap anak kecil bukan berarti membebaskan dari tanggung jawab perdata atas semua tindak pidana anak yang dilakukanya. Ia bertanggung jawab untuk mengganti semua kerusakan harta dan jiwa orang lain. Tanggung jawab perdata tidak dapat hilang, tidak seperti tanggung jawab pidana yang dapat hilang, sebab menurut kaidah asal hukum Islam, darah dan harta benda itu maksum (tidak dihalalkan/mendapat jaminan keamanan) dan juga uzur-uzur syar’i tidak menafikan kemaksuman. Ini berarti uzur-uzur syar’i tidak dapat menghapuskan

dan menggugurkan ganti rugi meski hukumannya digugurkan.26

b) Fase Kemampuan Berpikir Lemah

Fase ini dimulai si anak menginjak usia tujuh tahun sampai dia mencapai usia baligh. Dalam fase ini, anak kecil telah mumayiz tidak

22

bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang ia lakukan. Dia tidak dijatuhi hukuman hudud bila ia mencuri atau berzina. Dia juga tidak dihukum

qishas bila membunuh atau melukai, tetapi dikenai tanggung jawab ta’dibi

yaitu hukuman yang bertsifat mendidik atas pidana yang dia lakukannya. Meskipun pada dasarnya hukuman ta’dibi (untuk mendidik) bukan hukuman pidana. Akibat menganggap hukuman itu untuk mendidik (ta’dib) si anak tidak dapat dianggap sebagai residivis (pengulang kejahatan) meski hukuman untuk mendidik telah dijatuhkan kepadanya. Si anak juga tidak boleh dijatuh hukuman ta’zir kecuali hukuman yang dianggap mendidik, seperti pencelaan

dan pemukulan27

c) Fase Kekuatan Berpikir Penuh (sempurna)

fase ini dimulai sejak menginjak kecerdasan (dewasa) yaitu kala menginjak usia lima belas tahun, menurut pendapat mayoritas fuqaha, atau berusia delapan tahun menurut Iamam Abu Hanifah dan pendapat yang popular dalam madzhab maliki. Pada fase ini seseorang dikenai tanggung jawab pidana yang dilakukannya apapun jenisnya. Dia dijatuhi hukuman hudud apa bila dia berzina atau mencuri diqishas apabila dia membunuh atau melukai, demikian pula dijatuhi hukuman ta’zir apabila melakukan tindak pidana ta’zir.

Hukuman bagi anak kecil yang belum mumayiz adalah hukuman untuk mendidik murni (ta’dibiyah khalishah), bukan hukuman pidana. Ini karena, anak kecil bukan orang yang pantas menerima hukuman. Hukuman Islam tidak

menentukan jenis hukuman untuk mendidik yang dapat dijatuhkan kepada anak kecil. Hukum Islam memberikan hak kepada wali al-amr (penguasa) untuk menentukan hukuman yang sesuai menurut pandanganya. Para fuqaha

menerima hukuman pemukulan dan pencelaan sebagai hukuman mendidik.28

Pembagian hak kepada penguasa untuk menentukan hukuman agar ia dapat memelih hukuman yang sesuai dengan anak kecil disetiap waktu dan tempat. Dalam kaitan ini, penguasa berhak menjatuhkan hukuman :

1) Memukul Si anak

2) Menegur dan mencelanya.

3) Menyerahkan kepada wali al-amr atau orang lain.

4) Menaruhnya pada tempat rehabilitasi anak atau sekolah anak-anak nakal.

5) Menempatkanya disuatu tempat dengan pengawasan khusus, dan lai-lain29

Jika hukuman bagi si anak dipandang sebagai hukuman untuk mendidik (ta’dibiyah) bukan hukuman pidana, ia tidak dianggap sebagai residivis ketika ia kembali melakukan tindak pidana yang pernah dilakukan sebelum baligh pada waktu ia telah baligh. Ketentuan inilah yang membantunya untuk

menjalani jalan yang lurus dan memudahkannya untuk melupakan masa lalu.30

Seorang anak tidak dikenakan hukuman had, karena kejahatan yang dilakukannya. Karena tidak ada tanguang jawab atas seorang anak yang berusia berapapun sampai dia mencapai puber. Qhadi (hakim) hanya akan tetap berhak

28 Ibid h.258

29 Ibid h. 258

24

untuk menegur kesalahannya/menetapkan beberapa pembatasan baginya yang akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari berbuat kesalahan lagi di masa yang akan datang. Menurut Abu Zaid Al-qarawani, seorang ulama mazhab maliki, tetap tidak akan ada hukuman had bagi anak-anak kecil, bahkan juga dalam hal tuduhan zina ( qadzaf ) atau justru si anak sendiri yang

melakukannya.31

Bahwa anak yang belum baligh bila melakukan tindakan yang melanggar hukum, maka tidak wajib dikenakan sanksi had, atau pun ta’zir. Sebab ia belum termasuk mukallaf ( dewasa ) dan belum belum mengetahui hak dan kewajiban. Dalam Islam para puqaha telah sepakat bahwa seorang anak yang belum mencapai usia baligh tidak wajib dikenakan hukuman, bila anak tersebut melakukan perbuatan dosa.

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:

ا ر : ا ن ا و ! ا و " # $ % ) 'ا 'ا و ( )ر* او ح , 'او # او ي., او دواد 'او ير 0' 1اور 2 3 (

Artinnya : “Diangkat pembebanan hukum dari tiga jenis manusia, orang yag tidur sampai ia bangun, anak yang kecil sampai ia baligh dan orang gila sampai ia sembuh‘’ (H. R. Bukhari. Abu Daud, Al- Tirmidzi, An-nasai,ibnu majah dan Al daruquthni dari Aisyah dan Ali Bin Abi Thalib).32

31 Abdur Rahman, Tindak Pidana Dalam Syri’at Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997) Cet ke-1 h. 16

2. Anak Dalam Perspektif Hukum Positif

a. Ketentuan umur anak di bawah umur

Salah satu tolok ukur pertanggungjawaban pidana bagi anak adalah umur. Dalam hal itu masalah yang urgen bagi terdakwa untuk dapat diajukan dalam sidang anak. Umur dapat berupa umur minimum maupun umur maksimum. Masalah umur tentunya harus dikaitkan dengan saat melakukan tindak pidana. Sehubungan masalah umur, pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menetapkan sebagai berikut.

1) Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum pernah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi diajukan ke sidang anak.

2) Jelaslah rumusan diatas, bahwa batas umur anak nakal minumum adalah 8 (delapan) tahun dan maksimum adalah 18 (delapan belas tahun atau belum pernah kawin. Sedangkan maksimum untuk dapat diajukan ke sidang anak umur 21 tahun, asalkan saat melakukan tindak pidana belum mencapai

26

umur 18 (delapan belas) tahun, dan belum pernah kawin.33

Bagaimana apabila tersangka tersebut belum berumur 8 (delapan) tahun?, dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah dan demi kepentingan/perlindungan anak, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Pasal 5 menentukan sebagai berikut.

1) Jika anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik.

2) Apabila penyidik berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.

3) Jika penyidik berpendapat bahwa anak tersdebut tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyarankan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar

pertimbangan dan pembimbing kemasyarakatan. 34

b. Penjatuhan Pidana Kepada Anak Dibawah Umur 1) Pengadilan anak dan perlindungan anak

Penjatuhan pidana sebagai upaya pembinaan anak merupakan faktor penting. Salah satu upaya pemerintah bersama DPR adalah terbitnya

33 Ibid. h. 49

Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan Anak. Undang-Undang itu diundangkan tanggal 3 Januari 1997 (lembaran Negara 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668), dan mulai diberlakukan satu tahun kemudian yaitu tanggal 3 januari 1998.

Adanya kekhususan dan hal-hal yang relatif baru sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut, melahirkan perbedan dalam proses pidana dan pemidanaan. Perbedaan itu melingkupi hal yang berkaitan dengan jenis-jenis pidana dan tindakan maupun prosedur

peradilannya yang bagi anak nakal menjadi wewenang Pengadilan Anak.35

Sejak adanya sangkaan atau diadakan penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut, anak harus didampingi oleh petugas sosial yang membuat Case Study tentang anak dalam sidang.

Pembuat laporan sosial yang dilakukan oleh sosial worker ini merupakan yang terpenting dalam sidang anak. Yang sudah berjalan ialah pembuatan Case Study oleh petugas BISPA (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengatahuan Anak).

Adapun yang tercantum dalam Case Study ialah gambaran keadaan anak yang berupa:

a) Masalah sosialnya; b) Kepribadiannya;

35 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008). h. 3-5

28

c) Latar belakang kehidupannya, misalnya: riwayat sejak kecil, pergaulan

di dalam dan diluar rumah, hubungan antara bapak, ibu dan si anak, hubungan si anak dengan keluarganya, dan lain-lain, dan latar belakang

saat dilakukannya tindak pidana tersebut.36

Undang-Undang nomor 3 Tahun 1997 berlaku tanggal 3 januari 1998 atau satu tahun terhitung sejak tanggal diundangkan undang-undang tersebut. Pengadilan anak dibentuk memang sebagai upaya pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembanagan fisik, mental, dan sosial anak secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Oleh karenanya, ketentuan mengenai penyelengaraan pengadilan bagi anak dilakukan secara khusus. Meskipun demikian, hukum acara yang berlaku (KUHAP) diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan

lain dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 (Vide Pasal 40).37

Ketentuan pidana yang dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana antara lain sebagai berikut.

a) Pidana yang dapat dijatuhkan palaing lama ½ (satu perdua) dari

maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (vide pasal 26 ayat (1)).

b) Apabila melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati

atau seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling

36 Wagiarti Soetojo, Hukum Pidana Anak. (Bandung: Refika Aditama. 2006). Cet ke-1. h.45

lama 10 (sepuluh) tahun (vide pasal 26 ayat (2)).

c) Apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak

pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan berupa menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja (vide Pasal 26 ayat (3) jo. Pasal 24 ayat (1) huruf b).

d) Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan paling lama ½ (satu perdua) dari

maksimum ancaman piadana bagi orang dewasa (vide Pasal 27).

e) Pidana denda yang dapat dfijatuhkan paling banyak ½ (satu perdu) dari

maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa (vide Pasal 28 ayat

(1)).38

2 ) Kedudukan dan

Kewenangan pengadilan

anak

Pengadilan anak adalah pelaksana kehakiman yang berda di lingkungan peradilan umum (pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997). Meskipun sebagai pengadilan khusus, pengadilan anak bukan seperti berdiri sendiri. Keberadaan peradilan anak tetap dalam lingkungan peradilan umum. Hal itu sesuai dengan yang tersebut dalam pasal 14 Tahun 1970, yang menegaskan hanya ada empat lingkungan dalam peradilan, yaitu

38Undang-Undang Narkotika No. 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Psikrotofika No. 5 Tahun 1997 (Jakarta: Asa Mandiri 2008)

30

peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara. Mengenai tugas dan kewenangan pengadilan anak (sidang anak) pasal 3 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyatakan bahwa sidang anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana

ditentukan dalam undang-undang.39

Pada prinsipnya kewenangan pengadilan anak sama dengan pengadilan perkara pidana lainnya. Meski prinsipnya sama, namun yang tetap harus diperhatikan adalah perlindungan anak merupakan tujuan

utama.40

39 Bambang Waluyo h.102

31

Dokumen terkait