• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa bivariat pada penelitian ini menggunakan uji chi-square, uji fisher dan uji kolerasi spearman. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penulran TB paru, yaitu karakteristik responden (jenis kelamin dan tipe TB paru) dan pengetahuan pada pasien TB paru di Puskesmas wilayah Tangerang Selatan tahun 2013. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat di bawah ini:

1. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Perilaku Pencegahan Penularan TB

Uji statistik pada variabel jenis kelamin menggunakan uji chi-square. Uji tersebut memperoleh hasil 8 pasien laki-laki (44,4%) dan 10 pasien perempuan (71,4%) berperilaku baik, sedangkan 10 pasien laki-laki (55,6%) dan 4 pasien perempuan (28,6%) berperilaku kurang baik. Dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.5

Korelasi jenis kelamin pasien TB paru dengan perilaku pencegahan di Puskesmas Tangerang Selatan tahun 2013 (n=32)

Perilaku

P Value Baik Kurang baik

N % n %

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 8 10 44,4 71,4 10 4 55,6 28,6 0,24 Total 18 56,2 14 43,8

Dari tabel 5,5 diatas dapat terlihat bahwa p value = 0,24 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin pasien TB paru dengan pencegahan penularan infeksi TB tersebut. Dapat disimpulkan bahwa H0 diterima atau Ha ditolak.

2. Hubungan Antara Tipe Pasien dengan Perilaku Pencegahan Penularan TB Uji statistik pada variabel ini menggunakan uji Fisher, dari 30 pasien TB paru tipe I di dapatkan hasil bahwa 16 pasien berperilaku baik (53,3%) dan 14 pasien (46,7%) yang berperilaku kurang baik. Sedangkan 2 pasien tipe II (100%) berperilaku baik. Dapat dilihat pada tabel 5,6 dibawah ini:

Tabel 5.6

Korelasi tipe pasien TB paru dengan perilaku pencegahan di Puskesmas Tangerang Selatan tahun 2013 (n=32)

Perilaku

P Value Baik % Kurang

baik

% Tipe responden Tipe 1

Tipe 2 16 2 53,3 100 14 0 46, 7 0 0,49 Total 18 56,2 14 43,8

Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa p value 0,49, jadi hasil uji tersebut tidak ada hubungan yang signifikan antara tipe pasien TB paru dengan pencegahan penularan infeksi TB atau H0 diterima.

3. Hubungan Antara Pengetahuan dengan Perilaku Pencegahan Penularan TB

Uji statistik ini menggunakan uji spearman rho, hasil uji tersebut dapat dilihat pada tabel 5.7 di bawah ini:

Tabel 5.7

Kolerasi pengetahuan pasien TB paru dengan perilaku pencegahan di Puskesmas Tangerang Selatan tahun 2013

Perilaku Pengetahuan responden r p n -0.061 0,74 32

Dari tabel 5.7 diatas dapat terlihat bahwa nilai p value = 0,741, hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan pasien TB paru dengan perilaku pencegahan penularan infeksi TB tersebut. Nilai korelasi spearman sebesar -0,061 yang menunjukkan bahwa arah kolerasi negatif dengan kekuatan kolerasi yang sangat kuat.

BAB VI PEMBAHASAN A. Analisis Univariat

1. Gambaran jenis kelamin

Jenis kelamin adalah istilah yang mengacu pada status biologis seseorang. Terdiri dari tampilan fisik yang membedakan antara wanita dengan pria (Henderson, 2006). Hiswani (2009) mengatakan bahwa keterpaparan infeksi TB pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin dan faktor sosial lainnya. Jenis kelamin pasien TB paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 32 responden sebagian besar terdiri dari 56,2% responden laki-laki dan sisanya 43,8% responden perempuan. Hasil tersebut menggambarkan bahwa pasien TB paru lebih didominasi oleh jenis kelamin laki-laki dari pada perempuan. Menurut WHO 2013 insiden kejadian TB paru lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki mungkin dikarenakan oleh beberapa hal, diantaranya: perbedaan epidemiologi atau paparan, resiko infeksi, dan perkembangan dari penyakit infeksi, hal ini dikaitkan dengan mengkonsumsi rokok dan alkohol yang dapat menurunkan kekebalan tubuh sehingga sangat rentan dengan kejadian TB (www.who.com).

Penelitian yang dilakukan oleh Habibah (2013) dan Wadjah (2012) terhadap gambaran karakteristik pasien TB paru, menunjukkan bahwa sebagian

besar responden berjenis kelamin perempuan. Gambaran jenis kelamin pada penelitian tersebut tidak sejalan dengan gambaran jenis kelamin pada penelitian ini. Maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin laki-laki dan perempuan sama banyaknya terpajan infeksi TB paru.

2. Gambaran tipe pasien TB paru

WHO (1991) membagi pasien TB Paru ke dalam 4 tipe menurut pengobatannya, yaitu: tipe I adalah pasien dengan kasus baru dengan sputum positif dan kasus baru dengan bentuk TB berat, tipe II yaitu kasus kambuh dan kasus gagal dengan sputum BTA positif, tipe III adalah kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas dan kasus TB ektra paru selain dari yang disebut dalam tipe I. Sedangkan tipe IV ditujukan terhadap TB kronis (Sudoyo, 2007).

Pada penelitian ini hanya terdapat dua Tipe pasien TB paru, yaitu sebesar 93,8% tipe I dan 6,2 % tipe II. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien tipe I lebih dominan dari pada pasien dengan tipe lainnya. Menurut petugas kesehatan yang bertanggung jawab di Puskesmas, Hal tersebut disebabkan pengawasan pengobatan yang ketat dari petugas, keluarga dan kesadaran pasien sendirei maka pasien TB paru tersebut sembuh dengan pengobatan yang rutin hingga sembuh total, sehingga tidak terdapat pasien tipe III, atau IV.

Wahyuni (2013) menyimpulkan penelitiannya terhadap kejadian tuberkulosis kambuh terjadi diusia antara 19-55 tahun, sebagian besar laki-laki

dengan tingkat pendidikan rendah, bekerja di sektor informal dengan tingkat sosial ekonomi rendah, kebiasaan merokok, dengan DM (diabetes mellitus), dan sebagian besar responden tidak memiliki riwayat kontak dengan pasien TB lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Munir (2010) terhadap 101 responden TB paru. maka didapatkan 22,8% kasus baru (tipe I), 17,8% kasus putus obat dan 36,6% kasus kambuh (tipe II), 16,9% kasus gagal (tipe III), dan 5,9% kasus kronik.

3. Gambaran pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari mengetahui, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra, yakni indra penglihayan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan tersebut diperoleh dari mata dan telinga (Notoadmodjo, 2007). Pengetahuan responden yang dikaji dalam penelitian ini terkait dengan pengertian TB paru, etiologi, manifestasi klinis, penegakan diagnosis, pencegahan penularan, pengobatan dan komplikasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 9,4% responden dengan pengetahuan kurang, 25% responden dengan pengetahuan cukup, dan 65,6% responden dengan pengetahuan baik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpengetahuan baik. Pasien TB paru dengan pengetahuan yang baik diharapkan dapat berperilaku baik terhadap pencegahan penularan TB. Kesadaran terhadap pentingnya pencegahan penularan akan tumbuh jika pengetahuan pasien TB paru baik. Pengetahuan tersebut terkait dengan penyakit TB paru yaitu diantaranya termasuk pencegahan penularan.

4. Gambaran perilaku

Skinner dalam Notoadmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku adalah merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku dalam penelitian ini adalah tindakan atau kebiasaan yang biasa dilakukan oleh responden terhadap pencegahan penularan infeksi TB tersebut. Cara untuk mendapatkan informasi mengenai perilaku yang dilakukan oleh responden dalam melakukan pencegahan penularan TB tersebut adalah dengan cara memberikan beberapa pertanyaan terkait dengan perilaku pencegahan TB yang tercantum pada instrumen (kuesioner) sebanyak 18 item.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 40,6% responden dengan perilaku kurang baik, dan 59,4% responden dengan perilaku baik. Dari hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden berperilaku baik terhadap pencegahan penularan TB. Hal tersebut diimbangi dengan pengetahuan responden yang baik juga. Menurut Lewin dalam Notoatmodjo (2007) perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadan seimbang.

Perilaku adalah faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang memengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Bloom dalam Maulana 2009). Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berhubungan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Perilaku sakit merupakan respon seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsi

terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit, dan usaha-usaha untuk mencegah penyakit dan penularan (Maulana, 2009).

B. Analisis Bivariat

1. Hubungan jenis kelamin dengan perilaku pencegahan penularan TB Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus, namun respon tersebut juga sangat dipengaruhi oleh karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang tersebut. Faktor tersebut yaitu internal dan eksternal. Internal adalah faktor dari orang itu sendiri, seperti jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki. Faktor eksternal disini meliputi lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Perilaku seseorang individu baik laki-laki atau perempuan merupakan penghayatan atau aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal (Maulana, 2009).

Perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin antara lain cara berpakaian, melakukan pekerjaan sehari-hari, dan pembagian tugas pekerjaan. Perbedaan ini bisa dimungkinkan karena faktor hormonal, struktur fisik maupun norma pembagian tugas. Wanita seringkali berperilaku berdasarkan perasaan, sedangkan laki-laki cenderung berperilaku atau bertindak atas pertimbangan rasional. Walaupun stimulus yang diberikan sama terhadap kedua jenis kelamin tersebut, namun responnya bisa berbeda (Notoatmodjo, 2007). Menurut Bastable (2002) perempuan lebih mudah mengerjakan sesuatu yang disarankan oleh orang lain dan lebih dipengaruhi oleh sugesti ketimbang laki-laki. Jadi,

perempuan lebih mudah berperilaku baik terhadap pencegahan penularan TB paru.

Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan perilaku pencegahan penularan TB (p value = 0,24). Pernyataan diatas didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Prihanto (2009) dan Umsiah (2009) yang mendapatkan hasil bahwa jenis kelamin pasien TB paru tidak berhubungan dengan pencegahan penularan TB. Hasil tersebut dapat dipengaruhi oleh pengalaman atau tingkat pendidikan dari responden tersebut yang berbeda-beda, sehingga menyebabkan jenis kelamin tidak berhubungan dengan perilaku pencegahan penularan TB. (Pickett & Hanlon (2009)).

Meskipun tidak ada hubungan antara jenis kelamin pasien TB paru dengan pencegahan penularan TB, akan tetapi jenis kelamin berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Perempuan cenderung lebih banyak mencari pengobatan atau perawatan kesehatan dari pada laki-laki. Laki-laki cenderung tidak bergantung pada perawatan kesehatan dibandingkan perempuan adalah karena harapan masyarakat tentang peran yang dipikul laki-laki, yaitu bahwa laki-laki harus lebih kuat. Alasan ini membentuk laki-laki tidak mencari perawatan kesehatan kecuali jika sakit parah (Bastable, 2002). Namun responden pada penelitian ini lebih banyak laki-laki dari pada perempuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki dan perempuan sama-sama mencari pelayanan kesehatan. Perilaku tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor lain, seperti dukungan keluarga.

2. Hubungan tipe pasien dengan perilaku pencegahan penularan TB

Pasien TB paru yang telah melakukan pengobatan belum tentu sembuh total dari infeksi kuman TB tersebut. Kemungkinan bisa saja BTA tetap positif atau kambuh kembali ketika daya tahan tubuh menurun, sehingga akan tetap dapat menularkan infeksi kepada orang lain (Smeltzer, 2002 dan Sudoyo, 2007).

Hasil uji statistik pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tipe pasien TB paru dengan perilaku pencegahan penularan TB (p value = 0,49). Jadi, tipe TB paru baik tipe I atau II tidak mempengaruhi perilaku pasien TB paru, walaupun sebagian besar pasien berperilaku baik. Hal tersebut dapat dikarenakan pengalaman atau tingkat pendidikan responden yang berbeda-beda (Pickett & Hanlon (2009). Namun belum ditemukan penelitian yang serupa yang mendukung atau tidak dengan penelitian ini.

Pickett dan Hanlon (2009) menyatakan bahwa pasien TB paru sebagian besar bersikap kooperatif terhadap pelayanan kesehatan. Responden pada penelitian ini melakukan pengobatan dan pemeriksaan secara rutin di Puskesmas. Petugas kesehatan yang bertangung jawab terhadap program TB juga selalu memantau dan memberikan pengarahan terkait dengan TB Paru, termasuk perilaku pencegahan penularan TB, sehingga sebagian besar perilaku responden baik terhadap pencegahan penularan TB. Pengobatan yang dilakukan juga tidak terdapat kendala, dikarenakan pemerintah telah membebaskan biaya untuk obat-obat TB paru, sehingga tidak memberatkan pasien TB paru yang sebagian besar dari kalangan sosial ekonomi rendah.

3. Hubungan pengetahuan dengan perilaku pencegahan penularan

Green dalam Notoatmodjo (2007) mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu perilaku dan faktor diluar perilaku. Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga faktor, yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong. Pengetahuan seseorag termasuk kedalam faktor predisposisi. Seseorang yang tidak melakukan perilaku yang baik terhadap pencegahan penularan TB bisa dikarnakan kurang mengetahui cara pencegahan penularan (faktor predisposisi). Atau karena tempat pengobatan yang jauh dari rumahnya, sehingga jarang mengikuti penguluhan terkait tentang TB paru (faktor pendukung). Hal lain bisa disebabkan oleh petugas kesehatannya yang kurang memperkenalkan penyakit TB paru dan pencegahan penularannya (faktor pendorong).

Menurut Green dalam Maulana (2009) pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan faktor-faktor perilaku (predisposisi, pendukung, dan pendorong) sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa, perilaku, pendidikan kesehatan, dan status kesehatan saling berhubungan satu sama lain. Pelayanan kesehatan sendiri memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien TB paru ketika pertama kali mereka terdiagnosis TB paru. Pendidikan kesehatan tersebut meliputi pengertian tentang penyakit, pengobatan, tanda dan gejala, akibat dari penyakit TB jika tidak ditangani, cara penularan dan pencegahan penularan. Pendidikan kesehatan berikutnya tergantung dari kebutuhan pasien. Tidak ada jadwal khusus atau rutin terhadap penyuluhan bagi pasien TB paru

dan keluarganya. Sehingga diharapkan, dari pendidikan kesehatan yang diberikan, pasien TB paru dapat mengubah perilakunya.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan penularan TB (p value = 0,74 , r = -0,061 ). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2010) menyimpulkan bahwa meskipun 50% pengetahuan responden baik dalam pencegahan penularan TB, tetapi apabila tidak ditunjang dengan faktor-faktor lain, misalnya sarana dan prasarana yang kurang mendukung terjadinya perilaku, sehingga perilaku pencegahan penularan TB paru tidak dapat dijalankan dengan baik (p= 0,25). Hal ini juga didukung dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Djannah (2009) yang menyimpulakan bahwa pengetahuan seseorang tidak berhubungan dengan perilaku pencegahan penularan TB (p= 0,21, r= 0,00).

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori Green (1980) yang mengatakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi yang mendasari perubahan perilaku seseorang. Pengetahuan responden yang baik dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembentukan perilaku dalam pencegahan penularan pengetahuan merupakan domain terendah dalam pembentukan perilaku (Notoatmodjo, 2007). Teori Green tersebut didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa pengetahuan pasien TB paru berhubungan dengan perilaku pencegahan penularan TB dengan p= 0,0001 (Habibah, 2013).

Seseorang yang sedang sakit mempunyai hak dan kewajiban, seperti tidak menularkan penyakitnya pada orang lain (Maulana, 2009). Pengetahuan

penderita TB paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit, dan akhirnya berakibat menjadi sumber penular bagi orang lain (Suryo, 2010). Menurut Notoatmodjo (2007) sebelum seseorang mengubah perilakunya ia harus mengetahui terlebih dahulu arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Begitu halnya dengan pengetahuan tentang sakit dan penyakit dalam cara penularan dan pencegahan penularan TB. Sehingga terbentuklah perilaku yang baik terhadap suatupenyakit dikaitan dengan pengetahuan seseorang.

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memilki beberapa keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitai, diantaranya sebagai berikut:

1. Sampel yang digunakan pada penelitian ini terlalu sedikit untuk dijadikan penelitian yaitu sebesar 32 responden, hal tersebut dikarenakan ada beberapa sampel yang tidak memenuhi kriteria inklusi.

2. Instrument dalam penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan literatur yang didapatkan mengenai penyakit TB paru dan pencegahan penularan TB, dikarenakan belum ada instrument pengumpulan data yang baku dalam penelitian ini.

3. Selama proses pengumpulan data memiliki beberapa kekurangan, diantaranya adalah tempat yang jauh, waktu pengobatan pasien yang bersamaan di

puskesmas sehingga saya tidak dapat mendampingi responden sepenuhnya saat penelitian berlangsung.

4. Houthrone effect ; subjek yang diteliti mengetahui bahwa dirinya sedang diteliti sehingga dapat mempengaruhi jawaban responden.

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan dari penelitian ini yaitu:

1. Gambaran karakteristik yaitu jenis kelamin dan tipe TB Paru pada penelitian ini ialah: persentasi jenis kelamin laki-laki 56,2% dan sisanya perempuan. Persentasi tipe TB paru pada setiap tipe adalah, tipe I sebesar 93,8%, dan sisanya tipe II, tidak terdapat tipe III dan tipe IV.

2. Sebagian besar responden pada penelitian ini memiliki pengetahuan yang baik, yaitu sebesar 65,6%. Perilaku responden sebagian besar baik sebesar 59,4%. 3. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang diteliti oaleh peneliti

tidak ada hubungan dengan perilaku perilaku pencegahan penularan TB. Adapun faktor-faktornya yaitu: Jenis kelamin (p= 0,24), tipe TB (p= 0,49), dan pengetahuan (p=0,74).

B. Saran

1. Bagi Puskesmas

Saran peneliti untuk Puskesmas yang dijadikan tempat penelitian. Pihak Puskesmas perlu melakukan kegiatan-kegiatan seperti penyuluhan yang rutin sebulan sekali guna untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pasien TB paru terhadap perilaku pencegahan penularan TB. Sehingga

diharapkan pasien dengan TB paru dapat berperilaku baik terhadap pencegahan penularan TB dan akan terjadi penurunan kejadian TB paru di masyarakat stiap tahunnya.

2. Bagi Profesi Keperawatan

Profesi keperawatan diharapkan lebih memberi peran kepada masyarakat atau pasien TB paru terhadap edukasi atau praktik pencegahan penularan TB. Terlebih kepada perawat ahli medikal bedah atau perawat komunitas yang kontak langsung dengan pasien TB.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih dalam terait dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penularan TB misalnya dukungan keluarga, usia dan lain-lain dan juga menambahkan responden yang lebih banyak. Peneliti selanjutnya juga dapat melakukan penelitian dengan observasi secara langsung. Sehingga diharapkan mendapat hasil yang lebih baik dari penelitian ini.

Press, 2012.

Arias, Kathleen Meehan. Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta : EGC, 2010.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta, 2006.

Asih, Niluh G.Y dan Effendy C. Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:EGC, 2004.

Bastable, Susan B. Perawat Sebagai Pendidik: Prinsip-prinsip Pengajaran dan Pembelajaran. Jakarta: EGC, 2002.

Budiarto, Eko dan Angraeni, Dewi. Pengantar Epidemiologi. Edisi 2. Jakarta: EGC, 2003.

Budiarto, Eko. Metodologi Penelitian Kedokteran : Sebuah Pengantar. Jakarta: EGC, 2004.

Cahyono, J.B Suharjo B. dkk. Vaksinasi: Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta: KASINIUS, 2010.

Dahlan, M. Sopiyudin. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel: Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika, 2011.

Depkes. Laporan Nasional Riskesdas tahun 2007. Jakarta: pusat penelitian pengembangan kesahatan, 2008.

Depkes. diakses 26 November 2012. http://www.bppsdmk.depkes/ tuberkulosis 2012. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 2007.

Depkes RI. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: KemenKes RI, 2012.

Djannah, Siti Nur. dkk. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap dengan Perilaku Pencegahan Penularan TBC pada Mahasiswa Di Asrama Manokwari Sleman Yogyakarta. Vol 3. No 3 (2009). Jurnal Kesehatan Masyarakat.

Dinas kesehatan DKI Jakarta. Tuberculosa Paru (TB Paru) Pencegahan dan Pengobatan. Jakarta, 2002.

Dinkes Tangsel, Profil kesehatan 2011. Tangerang Selatan, 2012.

Gaster. Determinan Perilaku Masyarakat dalam Pencegahan Penularan Penyakit TBC di Wilayah Kerja Puskesmas Bendosari. Vol 4. No 1. Februari. 2008.

Habibah dkk. Hubungan Tingkat Pengetahuan Keluarga Tentang TB Paru Terhadap Perilaku Pencegahan Penularan Penyakit TB Paru.

Henderson, Christine. Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC, 2005.

Hidayat, A. Aziz Alimul. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika, 2007.

Hidayat, A. Aziz Alimul. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika, 2008.

Hiswani. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. http:library.usu.ac.id/download/fkm-hiswani6.pdf2009 Kristanti, Handriani. Waspada!!! 11 Penyakit Berbahaya. Yogyakarta: Citra Pustaka,

2009.

Manalu, Helper Sahat P. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 9 No 4 (Desember 2010) h. 1340-1346.

Maulana, Heri D.J. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC. 2009.

Munir, Sri Melati dkk. Pengamatan Pasien Tuberkulosis Paru dengan Multidrug resistant (TB-MDR) di Poliklinik Paru RSUP Persahabatan. Vol. 30. No 2 (April 2010)

Murwani, Arita. Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Yogyakarta: Gosyen Publishing, 2011.

Naga, Soleh S. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta: DIVA Press, 2012.

Notoatmodjo, Soekidjo. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta, 2007

Nugroho, Ferry Adreas. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan sikap dengan perilaku pencegahan penularan Tuberkulosis Paru pada Keluarga. Vol 3. No 1 (2010). Jurnal Penelitian Stikes RS Babti Kediri.

Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika, 2008

PPTI. diakses 26 November 2012 http://www.ppti.info/2012/09/tbc-di-indonesia-peringkat-ke-5.html

Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Vol 2. Jakarta: EGC, 2006.

Prihanto, Jais. Hubungan Karakteristik Pasien TB Paru dengan Perilaku Pencegahan Penularan Pada Anggota Keluarga di Kecamatan Ngadirejo Kabubaten Temanggung. 2009. Jurnal stikes.

Rahmawati dkk. Peran PMO dalam Pencegahan Penularan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Remaja Samarinda. 2012

Riwidikdo, Handoko. Statistik Kesehatan. Jogjakarta: Mitra Cendikia Press, 2008. Robbin, Stanley L dkk. Buku Ajar Patologi. Vol 2. Jakarta: EGC, 2007.

Sastroasmoro, Sudigdo dan Ismael, Sofyan. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.---: Sagung Seto, 2010.

Setiadi. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. Keperawatan Medikal Bedah.vol 1. Jakarta:

EGC, 2002.

Somantri, Irman. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem

Dokumen terkait