• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. HASIL PENELITIAN

5.1.2. Analisa Hubungan antar Variabel

Tabel 5.2. Perbandingan Rata-Rata Kadar Cystatin C pada Disfungsi Sistolik dan Diastolik

Parameter Disfungsi Sistolik mean ± SD n = 13 Disfungsi Diastolik mean ± SD n = 22 p Cyatatin C (mg/L) 1,22 ± 0,39 1,17 ± 0,43 0,76

Rata-rata kadar cystatin C serum dijumpai meningkat pada kelompok disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik, berturut-turut 1,22 ± 0,39 dan 1,17 ± 0,43 dan lebih tinggi pada kelompok disfungsi sistolik yang fraksi ejeksinya lebih rendah tetapi tidak berbeda bermakna secara statistik dengan p = 0,76. (Tabel 5.2)

Tabel 5.3.Perbandingan Proporsi Kadar Cystatin C Berdasarkan Kategori Normal dan Meningkat pada Disfungsi Sistolik dan Diastolik

Parameter Disfungsi sistolik n (%) Disfungsi diastolik n (%) P Cystatin C (mg/L) Kategori I = 0,61-0,91 II = ≥ 0,92 a) b) 2 (15,4) 11 (84,2) 9 (40,9) 13 (59,1) 0,92 0,73 Jumlah 13 (100) 22 (100) Keterangan: a) = kategori kadar cystatin C yang normal, b)

meningkat

= kategori kadar cystatin C yang

Pada kategori I dari kadar cystatin (0,61-0,91 mg/L) C sebagai kategori dengan kadar cystatin C masih normal dijumpai proporsi terbesar pada kelompok

disfungsi diastolik (40,9%) dibanding kelompok disfungsi sistolik (15,4%) tetapi tidak berbeda bermakna secara statistik dengan p = 0,92. Sedangkan pada kategori II dari kadar cystatin C ( ≥ 0.92 mg/L) yaitu kategori yang kadarnya meningkat dijumpai proporsi terbesar pada kelompok disfungsi sistolik (84,2%) dibanding kelompok diastolik (59,1%) tetapi tidak berbeda bermakna secara statistik dengan p = 0,73. (Tabel 5.3)

Gambar 5.1. Perbandingan Rata-Rata Kadar Cystatin C pada Disfungsi Sistolik dan Diastolik

Dari tabel 5.4 dapat dilihat adanya korelasi positif antara kadar cystatin C serum dengan usia, indeks massa tubuh dan kreatinin namun tidak bermakna signifikan secara statistik dengan (p : r) berturut-turut (0,39 : 0,14), (0,89 : 0,02) dan (0,10 : 0,27)

Tabel 5.4. Korelasi Cystatin C dengan C Variabel - Variabel yang Diperiksa Parameter Cystatin C (p : r) Signifikan Usia IMT (kg/m a) 2 )

Disfungsi ventrikel kiri

a) Disfungsi Sistolik Disfungsi Diastolik a) Creatinin (mg/dl) a) GFR (Crockcoft-Gault) b) a) (0,39 : 0,14) (0,89 : 0,02) (0,75 : - 0,09) (0,54 : - 0,13) (0,10 : 0,27) (0,25 : - 0,19) NS NS NS NS NS NS

Keterangan: NS,non signifikan, a) = uji korelasi Pearson, b) = uji korelasi Spearman

Didapati juga korelasi negatif antara kadar cystatin C serum dengan disfungsi sistolik, disfungsi diastolik dan GFR (Crockcroft-Gault) namun tidak bermakna signifikan secara statistik dengan (p : r) berturut-turut (0,75: - 0,09), (0,54 : - 0,13) dan (0,25: - 0,19). (Tabel 5.4)

5.2. PEMBAHASAN

The Dallas Heart Study (DHS) merupakan studi pertama yang menelusuri adanya hubungan antara fungsi dan struktur otot jantung dengan gangguan fungsi ginjal tahap dini dengan cystatin C sebagai biomarkernya pada populasi umum. Patel dkk. (2009) dengan metode potong lintang pada 2548 partisipan menunjukkan apabila cystatin C dihubungkan dengan fraksi ejeksi pada disfungsi ventrikel kiri tidak dijumpai adanya perbedaan bermakna secara statistik namun apabila kadar cystatin C serum dihubungkan dengan abnormalitas struktur otot jantung ( massa, ketebalan dinding dan pola konsentrik otot ventrikel kiri) melalui pemeriksaan MRI dijumpai hubungan yang bermakna secara statistik. Penelitian Patel dkk. ini menunjukkan hubungan pada populasi sampel dengan hipertensi dan ras kulit hitam namun tidak berhubungan dengan left end diastolic volume, left end sistolic volume atau dengan fraksi ejeksi.

Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya perbedaan rata-rata kadar cystatin C yang bermakna antara kelompok disfungsi sistolik dibandingkan dengan diastolik (1,22 ± 0,39 vs 1,17 ± 0,43 mg/L dengan P = 0,76) sehingga rata kadar cystatin C tidak dipengaruhi oleh besarnya fraksi ejeksi meskipun rata-rata kadar cystatin C serum dijumpai meningkat pada kedua kelompok disfungsi ventrikel kiri (1,22 ± 0,39 pada disfungsi sistolik dibanding 1,17 ± 0,43 pada disfungsi diastolik) dan cendrung lebih tinggi pada kelompok disfungsi sistolik. Namun penelitian ini tidak dirancang untuk mencari hubungan antara perubahan struktur otot jantung dengan cystatin C sebagai biomarker fungsi ginjal sebagaimana yang dilakukan oleh Patel dkk. MRI merupakan pemeriksaan gold standard untuk menentukan struktur dan besarnya massa otot ventrikel kiri meskipun secara ekokardiografi dapat dilakukan dengan menilai left ventricular mass index.

4,16

Penelitian lain yang juga dengan metode potong lintang dari Heart and Soul Study oleh Joachim dkk.(2006) pada 818 partisipan menunjukkan bahwa disfungsi diastolik dan hipertopi ventrikel kiri berhubungan dengan kadar cystatin C serum ≥ 1,28 mg/L sedangkan dengan disfungsi sistolik tidak berhubungan,

namun sampel penelitian ini hanya pada pasien dengan penyakit jantung koroner tanpa adanya gejala gagal jantung. Sedangkan pada seluruh pasien dengan

disfungsi ventrikel kiri disertai juga dengan pengukuran massa otot ventrikel kiri dengan ekokardiografi..

Beberapa hipotesa menyatakan bahwa cystatin C berhubungan secara tidak langsung dengan penebalan otot ventrikel kiri karena sifatnya sebagai inhibitor protease cystein, dimana protease cystein ini berperan dalam degradasi matriks ekstrasellular pada proses remodeling otot ventrikel. Penebalan otot ini yang kemudian menyebabkan semakin kakunya dinding ventrikel kiri yang berlanjut pada munculnya disfungsi diastolik dan sistolik. Sebaliknya keadaan disfungsi ventrikel kiri menyebabkan tekanan pengisian atrium meningkat dan aliran darah ginjal menurun yang akhirnya menimbulkan kompensasi ginjal sehingga fungsi ginjal terganggu.

8,16,28

Namun penelitian ini tidak dirancang untuk mengukur massa otot ventrikel kiri dan sampel diambil dari populasi umum. Gangguan pada disfungsi diastolik dinilai dengan melihat pola doppler pada aliran masuk katup mitral dengan mengukur besarnya gelombang E (pengisian cepat ventrikel kiri), gelombang A (pengisian ventrikel kiri saat atrium berkontraksi) dan waktu deselerasi ventrikel kiri karena kekakuan dinding ventrikel kiri dan gangguan pengisian sudah terjadi meskipun fraksi ejeksi pada disfungsi diastolik masih normal sedangkan pada disfungsi sistolik fraksi ejeksi sudah menurun. Tidak dijumpai korelasi yang bermakna secara statistik antara besarnya fraksi ejeksi pada disfungsi sistolik dengan kadar cystatin C serum ( r = - 0,09 dengan p = 0,75), begitu juga antara besarnya fraksi ejeksi pada disfungsi diastolik dengan kadar cystatin C serum tidak dijumpai adanya korelasi yang bermakna secara statistik ( r = - 0,13 dengan p = 0,54) sehingga dengan korelasi bivariat tidak didapat adanya hubungan antara kadar cystatin C serum dengan disfungsi sistolik ataupun disfungsi diastolik.

4,11

Terjadinya Sindroma Kardiorenal seperti pada penelitian ini belum dapat diterangkan dengan jelas. Beberapa literatur membahas mengenai terjadinya penurunan curah jantung akibat penurunan fraksi ejeksi yang menyebabkan penurunan perfusi ginjal. Faktor-faktor lain seperrti hipovolemia, hipotensi, hipertensi juga dapat mempengaruhi perfusi ginjal. Shlipak dkk. (2004) menunjukkan bahwa 37-55% penderita yang mengalami perburukan fungsi ginjal

mempunyai fraksi ejeksi ≥ 40% namun penurunan curah jantung juga tidak dapat

dijadikan penyebab utama penurunan fungsi ginjal sebab sebagian besar tekanan darahnya normal bahkan meningkat.17,20

Pada penelitian ini dijumpai 59,1% pada kelompok dengan fraksi ejeksi ≥

50% (kelompok disfungsi diastolik) telah mengalami penurunan fungsi ginjal yang dinilai dengan cystatin C sedangkan pada kelompok dengan fraksi ejeksi < 50% dijumpai 15,4% yang fungsi ginjalnya masih normal apabila dinilai dengan cystatin C.

Pada tahun 2009 Moran dkk. juga menunjukkan bahwa ternyata usia juga dapat mempengaruhi kadar cystatin C serum dengan atau tanpa faktor resiko kardiovaskular pada usia > 80 tahun. Sedangkan pada penelitian ini usia dibatasi hanya sampai 60 tahun dan tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar cystatin C serum dengan usia sehingga faktor usia diharapkan tidak menjadi faktor pembias.

Menurut Weiner dkk. (2008), salah satu interaksi antara organ jantung dan ginjal adalah melalui proses inflamasi yang melibatkan sistem proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α. American Heart Association menyebutkan bahwa faktor resiko gangguan vaskular jantung dan ginjal memiliki persamaan sehingga proses ini dapat terjadi pada kedua organ sejak dini dan tidak dapat diketahui secara dini pula yang mana organ yang terganggu lebih awal dari kedua organ tersebut. Apabila proses ini berlangsung semakin lama dan semakin berat maka akan terjadi gangguan keseimbangan neurohormonal yaitu teraktivasinya system RAAS secara terus-menerus dan terinduksinya mediator-mediator inflamasi sehinggan akan semakin memperburuk fungsi jantung dan ginjal.

43-44

Pada penelitian oleh Moran dkk. (2008) dari Cardiovascular Heart study

yang merekrut 4453 partisipan dengan metode kohort didapat bahwa cystatin C berhubungan dengan insiden gagal jantung sistolik ( hazard ratio tertinggi 3,17 serta P = < 0,001) dan hanya kadar cystatin C pada grup tertinggi ( ≥ 1,23 mg/L)

dengan hazard ratio 1,83 dan P = < 0,001 yang memprediksi gagal jantung diastolik.

28,42

Studi oleh Madero dkk.( 2009) yang bersifat kohort menunjukkan bahwa kekakuan arteri besar sebagai faktor resiko kardiovaskular kemungkinan besar

menjadi penghubung antara cystatin C dengan resiko kardiovaskular namun hanya pada gangguan fungsi ginjal > 60 ml/min per 1,73 m2 sedangkan pada grup < 60 ml/min per 1,73 m 2 tidak dijumpai adanya hubungan antara kekakuan arteri besar dengan cystatin C oleh karena pada keadaan ini sudah semakin banyak faktor yang memperberat fungsi ginjal. Sedangkan pada penelitian-penelitian potong lintang yang hanya melihat sebagian prosesnya tidak dapat mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya hubungan antara disfungsi jantung dan ginjal.9

BAB VI

Dokumen terkait