• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

3. Analisa Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.82 Berdasarkan pendapat Maria S.W. Sumardjono, bahwa analisis kualitatif dan analisis kuantitatif tidak harus dipisahkan sama sekali apabila digunakan dengan tepat, sepanjang hal itu mungkin keduanya dapat saling menunjang.83 Dengan analisis kualitatif itu juga dilakukan metode interprestasi84 Berdasarkan metode interprestasi ini, diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini. Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier, kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yakni pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis secara induktif dan atau deduktif untuk dapat memberikan gambaran secara jelas jawaban atas permasalahan yang ada, pada akhirnya dinyatakan dalam bentuk deskriptif.

82 Lexy J. Moleong,

Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal.103

83 Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah Di Bidang Hukum (Panduan Dasar Menuntaskan Skripsi, Tesis dan Disertasi), (Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah

Indonesia, 2003), hal. 47

84 Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, mengatakan interprestasi merupakan metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya, interprestasi itu, baik dilakukan dengan metode garmatikal, teleologis atau sosilogis, sistematis atau logis, historis, komparatif, futuristis atau antisipatif, argumentum per analogiam (analogi), penyempitan hukum, argumentum a contrario, Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993), hal, 14-26. Lihat juga Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999), hal. 155-167

BAB II

PENENTUAN KRIMINALISASI TERHADAP LEMBAGA PENYIARAN DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG

PENYIARAN A. Karakteristik dan Prinsip Penyiaran di Indonesia

Guna mencapai keberhasilan penyelenggaraan penyiaran yang sesuai dengan haluan dasar penyiaran, UU Penyiaran telah menetapkan 4 (empat) karakteristik dalam penyiaran yang diberlakukan di Indonesia, yakni:85 Pertama, penyiaran

diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional. Kedua, dalam sistem

penyiaran nasional tersebut, negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketiga, dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola

jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Adil dan terpadu yang dimaksud di sini dengan demikian adalah pencerminan adanya keseimbangan informasi antardaerah serta antara daerah

85 Asas penyiaran adalah, Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Tujuan penyiaran adalah, Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Sedangkan fungsi penyiaran yakni: Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Dalam menjalankan fungsi tersebut, penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.

dan pusat. Keempat, untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi

penyiaran.86

Prinsip dasar penyelenggaraan penyiaran berkaitan dengan prinsip-prinsip penjaminan dari negara agar aktivitas penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berdampak positif bagi publik. Dalam hal ini, publik harus memiliki akses yang memadai untuk dapat terlibat, memanfaatkan, mendapatkan perlindungan, serta mendapatkan keuntungan dari kegiatan penyiaran. Guna mencapai keberhasilan dari prinsip ini, juga dibutuhkan prinsip lain, yang secara melekat (embedded)

menyokongnya, yakni prinsip diversity of ownership (keberagaman kepemilikan) dan diversity of content (keberagaman isi) dari lembaga penyiaran. Dengan kedua prinsip diversity ini diharapkan, negara dapat melakukan penjaminan terhadap publik melalui

penciptaan iklim kompetitif antar lembaga penyiaran agar bersaing secara sehat dalam menyediakan pelayanan informasi yang terbaik kepada publik. Adapun prinsip-prinsip dimaksud sebagai berikut:

4. Prinsip keterbukaan akses, partisipasi, serta perlindungan dan kontrol publik

Prinsip ini membuka peluang akses bagi setiap warga negara untuk menggunakan dan mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional. Undang- undang memberi hak, kewajiban dan tanggungjawab serta partisipasi masyarakat untuk mengembangkan penyiaran, seperti mengembangkan pribadi dan lingkungan

86 Lihat Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Lembaga Penyiaran.

sosialnya, mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi di lembaga penyiaran serta mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan untuk mengawasi dan melindungi publik dari isi siaran yang merugikan mereka. Berikut ini adalah ketentuan yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2002 terkait dengan prinsip keterbukaan akses, partisipasi, serta perlindungan dan kontrol publik yakni Pasal 1 ayat (8), yang berbunyi: Spektrum frekuensi adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas. Sedangkan Ayat (11) berbunyi tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang adalah kondisi informasi yang tertib, teratur, dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antarwilayah di Indonesia, serta antara Indonesia dan dunia internasional.

Selanjutnya dalam rangka perlindungan dan kontrol publik penyiaran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran khususnya terhadap lembaga penyiaran diatur pada Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi bahwa lembaga Penyiaran Komunitas merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya. Di samping itu lembaga penyiaran berlangganan memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus

kepada pelanggan melalui radio, televisi, multimedia, atau media informasi lainnya. Lembaga Penyiaran Berlangganan terdiri atas:87

b. Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui satelit;88

c. Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui kabel; dan lembaga Penyiaran Berlangganan melalui terestrial.89

2. Prinsip Diversity of ownership (keberagaman kepemilikan)

Gelombang merupakan sumber daya alam dan bagian dari ranah publik, yang penggunaannya ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, utamanya berupa kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Prinsip diversity of ownership ditujukan agar tidak terjadi konsentrasi kepemilikan modal (capital)

dalam lembaga penyiaran, serta saat bersamaan diarahkan untuk mendorong adanya pelibatan modal dari masyarakat luas di Indonesia. Oleh karena itu prinsip diversity of ownership menjadi prinsip dasar yang harus dipegang teguh untuk menciptakan

sistem persaingan yang sehat, mencegah terjadinya monopoli dan oligopoli, serta memiliki manfaat ekonomi bagi masyarakat luas. Berikut ini adalah ketentuan yang

87 Lihat, Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran 88 Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui satelit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

memiliki jangkauan siaran yang dapat diterima di wilayah Negara Republik Indonesia; memiliki stasiun pengendali siaran yang berlokasi di Indonesia;

memiliki stasiun pemancar ke satelit yang berlokasi di Indonesia; menggunakan satelit yang mempunyai landing right di Indonesia; dan menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.

89 Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui kabel dan melalui terestrial, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b dan huruf c, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

memiliki jangkauan siaran yang meliputi satu daerah layanan sesuai dengan izin yang diberikan; dan

tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 terkait dengan prinsip

Diversity of ownership sebagai berikut:90

1. Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.

2. Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.

3. Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pembatasan kepemilikan silang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

3. Prinsip Diversity of content (keberagaman isi)

Prinsip ini masih terkait erat dengan prinsip diversity of ownership. Salah satu

esensi dari demokrasi adalah adanya jaminan kebebasan bagi munculnya berbagai

ragam opini. Melalui prinsip diversity of content berarti menjamin keberagaman isi

siaran, yang selaras dengan semangat dan eksistensi kultur bangsa Indonesia yang heterogen dan pluralis. Artinya, berbagai kelompok budaya, etnik, agama, ras dan golongan mempunyai posisi dan peluang yang sama dalam penyiaran. Berikut ini adalah ketentuan yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2002 terkait dengan prinsip

Diversity of content sebagai berikut:91

1. Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

2. Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang- kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.

3. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

4. Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

B. Pengaruh Siaran Yang Disiarkan Oleh Lembaga Penyiaran Berlangganan 1. Pengaruh terhadap ekonomi nasional

Sesuai dengan fungsi ekonominya, maka secara ekonomis kehadiran lembaga penyiaran dapat menggerakkan usaha dalam berbagai sektor seperti produksi, distribusi dan konsumsi jasa media massa.92 Hal yang demikian menyebabkan kemunculan siaran komersial ditangkap sebagai penggerak perputaran ekonomi yang cukup berarti. Dari segi permodalan, trilyunan rupiah telah dikucurkan dalam industri ini. Krisis ekonomi memang belum sepenuhnya pulih, akan tetapi jika melihat siaran iklan di layar kaca, siapa yang mengira bahwa negeri ini masih terlilit krisis ekonomi. Perputaran uang di dunia penyiaran sejak tahun 1995 hingga kini persentasenya tetap jauh di atas medium lainnya93. Dari catatan belanja iklan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), tahun 1996 televisi meraup 49,1 persen dari belanja iklan sebesar sekitar Rp 3,335 trilyun, yaitu sekitar Rp 1,638 trilyun. Jumlah itu terus meningkat pada tahun berikutnya, menjadi 53,2 persen dari belanja iklan (tahun 1996), 58,9 persen (tahun 1998), 62,5 persen (tahun 2000), dan tahun 2002 ini tercatat sebesar 60,3 persen atau senilai dengan Rp 8,083 trilyun.94 Angka pertumbuhan ini merupakan angka tertinggi di kawasan Asia Pasifik, diikuti Cina, Singapura, dan Thailand. Tapi meski secara persentase pertumbuhan iklan Indonesia paling tinggi, di

92 Steven H Chaffee, “The Interpersonal Context of Mass Communication” in Current Perspective in Mass Communication Reseach, ed by F Gerald Kline and Phillips J Tickenor, Sage Publication, 1972, hal. 14

93 Televisi, Tempat Favorit untuk Belanja Iklan,Kompas Cyber Media, 15 Desember 2002, diakses tanggal 23 Desember 2009

kawasan Asia Pasifik nilainya masih di bawah Cina (US$ 3,9 miliar), Korea Selatan (US$ 1,29 miliar), Australia (US$ 899 juta), dan Filipina (US$ 403 juta).95 Jumlah belanja iklan di Indonesia tahun 2005 diperkirakan sekitar Rp 25 triliun. Jumlah ini meningkat kira-kira 20 persen atau Rp 4 triliun dibandingkan dengan belanja iklan tahun 2004 yang berjumlah Rp 21 triliun.96 Begitu fantastisnya jumlah belanja iklan televisi di Indonesia disebabkan oleh jumlah televisi saat ini tersedia dilebih dari 30 juta rumah tangga, yang mewakili lebih dari dari 131 juta penduduk dan penetrasi televisi kurang lebih 61%, 97 sehingga Indonesia tetap merupakan pangsa terbesar ketiga dalam dalam hal rumah tangga bertelevisi khususnya layanan siaran berlangganan sesudah Cina dan India.98. Begitu besarnya potensi bisnis penyiaran di Indonesia telah mengundang minat investor asing untuk melakukan investasi pada perusahaan penyiaran berlangganan baik yang hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan maupun yang bertujuan untuk memperluas imperium bisnis penyiarannya.

2. Pengaruh terhadap pembentukan opini

Siaran merupakan salah satu bentuk media massa diantara lima jenis media masa yang dikenal sebagai "The big five of mass media" yaitu televisi, film, radio,

majalah dan koran dengan fungsi komunikasi yang saling melengkapi yaitu Social

95 Ucok Ritonga, Belanja Iklan Indonesia Tumbuh 34 Persen, Tempo Interaktif.com, 27 November 2002, diakses tanggal 23 Desember 2009

96

Jumlah Belanja Iklan Sekitar Rp 25 Triliun,Kompas Cyber Media,17 Januari 2005, diakses tanggal 22 Desember 2009

97 PT. Surya Citra Media, Prospektus Penawaran Umum, 2002, hlm. 67 98Ibid

Function dan Individual Function.99 Kekuatan siaran dalam mempengaruhi publik

cukup besar karena selain dapat menyampaikan pesan yang sama kepada banyak orang dalam waktu yang bersamaan,100 kekuatan penyiaran tersebut berasal dari lima fungsi media yang menurut Thomas R Dye adalah: newsmaking, agenda setting, interpreting, socializing, and persuading. Uraian mengenai lima fungsi

media siaran tersebut adalah sebagai berikut: 101

1) Newsmaking. Dalam membuat berita, siaran menentukan apa yang akan

diberitakan, hal ini menyangkut kepentingan lembaga penyiaran terhadap suatu kejadian atau mengenai orang tertentu. Seorang jurnalis investigasi dapat merupakan ancaman bagi para politisi serta birokrat, terutama dalam investigasi untuk mengungkap adanya skandal atau terjadinya suatu ketidakefektifan dalam pelaksanaan kebijakan publik tertentu. Siaran juga menyediakan kesempatan kepada aktor-aktor politik “to gain the limelight through staging media events and providing sound bytes”.

2) Agenda Setting. Hal ini merupakan kekuatan yang sebenarnya dari siaran.

Dalam melaporkan suatu berita atau informasi, siaran tidak hanya bersikap pasif. Siaran dapat memilih obyek yang akan diliput, sehingga dapat merancang suatu agenda politik tertentu. Dengan kata lain, ketidakpedulian lembaga penyiaran terhadap suatu pelaksanaan kebijakan pemerintah yang

99Herry Kuswita, Dampak Isi Pesan Media Massa

, Jurnal Teknodik, Edisi

No.7/IV/Teknodik/Oktober/1999, diakses tanggal 23 Desember 2009

100 Lee Edwards, Media Politics: How the Mass Have Transformed Politics, (Washington: Catholic University of America Press, Wanshington, 2001), hal. 34

tidak efektif dapat membuat pemerintah meneruskan kebijaksanaan yang tidak efektif tersebut atau bahkan dapat terjadi hal-hal yang jauh lebih buruk. Dengan kekuatannya tersebut penyiaran dapat membuat isu-isu laten menjadi suatu hal yang krisis yang dapat membuat pemerintah terpaksa harus melakukan kompromi.

3) Interpreting. Siaran menterjemahkan berita eringkali dalam bentuk cerita-

cerita. Cerita-cerita tersebut seringkali mengenai sesuatu yang baik melawan kejahatan, atau pihak yang lemah melawan pihak yang kuat, hal-hal yang kontradiktif seperti perbedaan antara yang tampak dengan realita yang sebenarnya, serta kadang-kadang memperlihatkan suatu “hypocrisy

pemerintah.

4) Socializing. Yaitu pembelajaran mengenai nilai-nilai politis, hal ini

dikomunikasikan tidak hanya dalam bentuk berita, namun bisa juga dalam bentuk hiburan, olah raga dan program-program iklan. Program-program tersebut meliputi pembelajaran mengenai bagaimana demoktrasi dapat berjalan, serta bagaimana kemenangan yang sah dapat dicapai dalam suatu proses pemungutan suara.

5) Persuading. Penyiaran kadangkala mencoba untuk mempengaruhi opini

dan bentuk lainnya (sebagai contoh, kadang-kadang dalam bentuk laporan dari hasil investigasi).102

Disisi lain Steven H. Chaffee, menyatakan bahwa siaran juga mempunyai pengaruh terhadap kegiatan fisik yaitu:103

1) Pengaruh ekonomis : Kehadiran lembaga penyiaran menggerakkan usaha dalam berbagai sektor seperti produksi, distribusi dan konsumsi jasa siaran. 2) Pengaruh sosial: Status pemilik lembaga penyiaran berlangganan secara tidak

langsung meningkat dengan kepemilikan lembaga penyiaran.

3) Pengaruh pada penjadwalan kegiatan: Kegiatan sehari-hari khalayak dapat berubah dengan hadirnya lembaga penyiaran, misalnya jadwal tidur seseorang menjadi larut, karena ia selalu menonton tayangan televisi berlangganan. 4) Sebagai penyaluran perasaan tertentu: Tanpa mempersoalkan pesan yang

disampaikan media massa, kita menonton televisi atau memutar gelombang radio, hanya untuk menghilangkan rasa kecewa, sedih, bosan atau perasaan lain.

Menurut Skomis, dibandingkan dengan lembaga yang memanfaatkan frekuwensi tertentu, televisi sebagai sarana lembaga penyiaran berlangganan tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar hidup (gerak/live) yang bisa bersifat politis, bisa, informatif,

102Ibid, hal. 156

hiburan, pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut.104 Sebagai media informasi, televisi memiliki kekuatan yang ampuh (powerful) untuk

menyampaikan pesan. Karena media ini dapat menghadirkan pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri dengan jangkauan yang luas (broadcast) dalam waktu

yang bersamaan.105 Penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Televisi dapat pula berfungsi sebagai media pendidikan. Pesan-pesan edukatif baik dalam aspek kognetif, apektif, ataupun psiko-motor bisa dikemas dalam bentuk program televisi. Secara lebih khusus televisi dapat dirancang/dimanfaat-kan sebagai media pembelajaran. Memang kekuatan televisi menurut Kathleen Hall Jamieson sebagai dramatisasi dan sensasionalisasi isi pesan. Begitu pula menurut pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat (1991), gambaran dunia dalam televisi sebetulnya gambaran dunia yang sudah diolah. Besarnya potensi media televisi terhadap perubahan masyarakat menimbulkan pro dan kotra. Pandangan pro melihat televisi merupakan wahana pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai positif masyatrakat. Sebaliknya pandangan kontra melihat televisi sebagai ancaman yang dapat merusak moral dan perilaku desktruktif lainnya. Secara umum kontraversial tersebut dapat digolongkan dalam tiga katagori, yaitu pertama, tayangan televisi dapat mengancam tatanan nilai masyarakat yang telah ada, kedua televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang

104 Oos M. Aswas, Antara Televisi, Anak, dan Keluarga (Sebuah Analisis), Pustekom,

www.pustekkom.go.id, diakses tanggal 24 Desember 2009

telah ada, dan ketiga televisi dapat membentuk tatanan nilai baru masyarakat termasuk lingkungan anak.106

Siaran televisi adalah media komunikasi, sedangkan komunikasi adalah suatu bisnis yang besar. Sebagai layaknya setiap bisnis motivasi dan kebutuhannya adalah untuk mendapatkan keuntungan, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.107 Sehingga dalam kaitan dengan kepemilikan media massa termasuk televisi, menurut Andrew Ó Baoill perbedaan struktur kepemilikan suatu media massa dapat menimbulkan perbedaan tujuan, maksud dan hal lainnya sehingga dapat menyebabkan perbedaan dalam konstruksi dan isi dari media karena pemilik media massa dapat saja mempengaruhi batasan- batasan informasi yang akan disampaikan oleh media miliknya tersebut.

C. Penentuan Tindak Pidana Penyiaran di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

Usaha untuk mengendalikan dan menanggulangi tindak pidana di bidang penyiaran khususnya terhadap lembaga penyiaran adalah menentukan suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana (kriminalisasi) secara sederhana dengan melihat apakah ada kerugian bagi korban (masyarakat/Negara) atau tidak. Hal ini sesuai dengan tujuan penyiaran di Indonesia adalah untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan berctakwa,

106Ibid

107 Cross, Donna Woolfolk, Media-speak, How Television Makes Up Your Mind, (New York: New Amercian Library, 1983), hal. 144

mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Secara langsung kegiatan penyiaran tidak merugikan orang tertentu atau perusahaan tertentu. Tidak seperti perampokan, pencurian atau pembunuhan yang ada korbannya. Guna terciptanya proses penyiaran yang sesuai dengan tujuan penyiaran berdaya guna tentunya memerlukan serangkainan upaya melalui pendekatan sistem hukum, salah satu upaya adalah menerapkan beberapa kebijakan kriminal yang mengkriminalisasi perbuatan- perbuatan yang menyangkut lembaga penyiaran dan isi siaran sebagai tindak pidana dengan membuat peraturan pidana yang berisikan sanksi bagi pelaku kejahatan . 108

Penentuan terhadap tindak pidana penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran diarahkan pada beberapa jenis lembaga penyiaran antara lain:109

1. Lembaga Penyiaran Publik adalah berbentuk badan hukum, didirikan oleh negara terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia yang stasiun pusat penyiarannya berada di ibu kota negara RI dan didaerah provinsi, kabupaten, atau kota dengan mendirikan lembaga penyiaran publik lokal. Adapun sumber pembiayaannya berasal dari iuran penyiaran, APBN, sumbangan masyarakat, siaran iklan dan usaha lainnya.

108 Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal.26 bahwa Menurut Barda Nawawi Arief, usaha untuk membuat peraturan pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain jika dilihat dari sudut pandang politik kriminal, akan terlihat bahwa politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.”

2. Lembaga Penyiaran Swasta adalah berbentuk badan hukum Indonesia, bersifat komersial, kepengurusan tidak boleh dilaksanakan oleh warga asing kecuali untuk bidang keuangan dan teknik. Dalam rangka penambahan dan pengembangan modal usaha, lembaga penyiaran swasta hanya diperbolehkan menerima sebanyak 20% bagi masuknya modal asing. Undang-undang membatasi pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta

Dokumen terkait