BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1.2 Diskriptif Data
4.1.2.2 Analisa Non Performing Financing (NPF)
Menurut Kamus Bank Indonesia, Non Performing loan (NPL) atau
Non Performing Financing (NPF) adalah kredit bermasalah yang terdiri
dari kredit yang berklasifikasi kurang lancar, diragukan dan macet. Termin NPL diperuntukkan bagi bank umum, sedangkan NPF untuk bank syariah.
Luh Gede Meydianawathi (2007 : 138) menyatakan bahwa, Non
Performing Loans (NPL) menunjukkan kemampuan kolektibilitas sebuah
bank dalam mengumpulkan kembali kredit yang dikeluarkan oleh bank sampai lunas. NPLs merupakan persentase jumlah kredit bermasalah (dengan kriteria kurang lancar, diragukan, dan macet) terhadap total kredit yang dikeluarkan bank. NPLs mempunyai hubungan negatif dengan penawaran kredit.
Sedangkan Non Performing Financing atau NPF, seperti halnya
Non Performing Loan /NPL bank konvensional, timbul karena masalah
yang terjadi dalam proses persetujuan pembiayaan di internal bank, atau setelah pembiayaan diberikan. Namun, NPF dan NPL terjadi pada sistim yang berbeda. Sistim perbankan syariah memiliki faktor fundamental yang dapat menahan timbulya NPF agar tidak meluas; tetapi, sistim perbankan konvensional memberikan peluang yang lebih besar untuk terjadinya NPL.Faktor fundamental yang melandasi transaksinya adalah sebagai berikut. Dari sisi aktiva neraca, bank syariah hanya mengenal kata “pembiayaan” sebagai kegiatan utamanya, dan tidak memberi pinjaman
uang seperti pada bank konvensional. Pemberian pinjaman uang pada bank syariah bersifat sosial, dan tidak berbunga. Transaksi komersialnya dilaksanakan melalui jual-beli dengan akad murabaha, sewa-menyewa dengan akadijarah, dan kerja sama menjalankan suatu bentuk usaha/bisnis dengan mudharabah atau musyarakah.
Tabel 4.2
Data Non Performing Financing (NPF) pada bank Syariah mandiri periode 2010-2017
Tahun Triwuan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
2010 0,66 0,88 1,45 1,29 2011 1,12 1,14 1,26 0,95 2012 0,86 1,41 1,55 1,44 2013 1,55 1,10 1,59 2,29 2014 2,65 3,90 4,23 4,29 2015 4,41 4,70 4,34 4,05 2016 4,32 3,74 3,63 3,13 2017 3.16 3,23 3,12 2,71
Berikut dalam bentuk grafik :
Gambar 4.3
Grafik perkembangan NPF pada bank syariah mandiri
Sumber : Laporan keuangan Bank Syariah Mandiri
Melihat dari grafik diatas nilai dari NPF yang tertinggi terjadi ada tahun 2015. menurut Semakin tinggi rasio Non Performing Financing maka tingkat likuiditas bank terhadap dana pihak ketiga (DPK) akan semakin rendah. Hal ini dikarenakan karena sebagian besar dana yang disalurkan bank dalam bentuk kredit merupakan simpanan dana pihak ketiga (DPK). Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya Non Performing Loan yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu faktor intern bank, faktor debitur dan faktor ekstern bank dan debitur.
Faktor intern bank adalah faktor yang berasal dari pihak bank itu sendiri. Kegiatan ekspansi penyaluran kredit yang besar – besaran tanpa adanya
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Perkembangan Non performing financing (NPF)
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
standarisasi analisis calon debitur dan pengawasan yang tidak maksimal oleh bank, penetapan tingkat suku bunga kredit yang tinggi, jumlah penyaluran kredit yang melampaui batas kemampuan bank dalam likuidasi dan lemahnya kemampuan bank mendeteksi kemungkinan timbulnya kredit bermasalah merupakan beberapa faktor penyebab utama terjadinya kenaikan rasio Non
Performing Financing. Dari sisi faktor intern debitur terdapat beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya Non Performing Loan perbankan yaitu karakter baik atau buruk debitur (Jaharuddin, 2008), kemunduran usaha debitur, mismanajemen (Rita Rosmilia, 2009) dan faktor usia ( Mohd Zeini Abd Karim dkk, 2010).
Sedangkan Non Performing Financing yang disebabkan oleh faktor ekstern non bank dan debitur, yaitu adanya pengaruh inflasi dan kurs (Hermawan, 2005), pengaruh GDP per kapita riil (Irum Saba, 2012), adanya bencana alam dan pengaruh tingkat PDB (Sri Padmantyo, 2011), penurunan kondisi moneter negara dan adanya peraturan pemerintah dan peraturan lainnya yang bersifat membatasi yang berdampak besar pada situasi keuangan dan operasional bank (Sutojo, 2000). Sedangkan menurut Bramantyo dan Ronny (2007) faktor eksternal pada dasarnya dapat dimasukkan kedalam kondisi. Termasuk kedalam faktor eksternal ini adalah persaingan usaha, kondisi usaha dan faktor alam.
4.1.2.3 Analisa Return On Asset (ROA)
Menurut Kasmir (2008, hal 201) Return On Assets (ROA) merupakan rasio yang menunjukkan hasil (return) atas jumlah aktiva yang digunakan dalam perusahaan.
Tabel 4.3
Tabel data perkembangan ROA pada bank syariah mandiri periode 2010-2017 Tahun Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
2010 2,04 2,22 2,30 2,21 2011 2,22 2,12 2,03 1,95 2012 2,17 2,25 2,22 2,25 2013 2,56 1,79 1,51 1,53 2014 1,77 0,66 0,80 0,17 2015 0,81 0,55 0,42 0,56 2016 0,56 0,62 0,60 0,59 2017 0,60 0,59 0,56 0,59
Sumber : Laporan keuangan Bank Syariah Mandiri
Melihat dari tabel diatas terdapat nilai return on asset (ROA) tertinggi pada tahun 2013 triwulan pertama dengan nilai ROA sebesar 2,56. Sedangkan nilai terendah dari ROA terjadi pada tahun 2014 triwulan keempat dengan nilai 0,17%.
Gambar 4.4
Grafik perkembangan ROA pada bank syariah mandiri periode 2010-2017
Sumber : Laporan keuangan Bank Syariah Mandiri
Diliahat dari grafik tersebut nilai dari return on asset pada bank syariah madiri dari tahun e tahun mengalami naik turun,bahkan menunjukan penurunan drastis ketahun selanutnya.
Menurut Munawir (2007, hal 91) kegunaan dari analisa Return On Asset (ROA) dikemukakan Sebagai salah satu kegunaannya yang prinsipil ialah sifatnya yang menyeluruh. Apabila perusahaan sudah menjalankan praktek akuntansi yang baik maka manajemen dengan menggunakan teknik analisa Return On Asset (ROA) dapat mengukur efisiensi penggunaan modal yang bekerja, efisiensi produksi dan efisiensi bagian penjualan.
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Perkembangan Return On Asset (ROA)
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
Apabila perusahaan dapat mempunyai data industri sehingga dapat diperoleh rasio industri, maka dengan analisa return on asset (ROA) ini dapat dibandingkan efisiensi penggunaan modal pada perusahaannya dengan perusahaan lain yang sejenis, sehingga dapat diketahui apakah perusahaannya berada di bawah, sama, atau di atas rata-ratanya. Dengan demikian akan dapat diketahui dimana kelemahannya dan apa yang sudah kuat pada perusahaan tersebut dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis.
Analisa Return On Asset (ROA) pun dapat digunakan untuk mengukur efisiensi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh divisi/bagian., yaitu dengan mengalokasikan semua biaya dan modal ke dalam bagian yang bersangkutan. Arti pentingnya mengukur rate of return pada tingkat bagian adalah untuk dapat membandingkan efisiensi suatu bagian dengan bagian yang lain di dalam perusahaan yang bersangkutan.
Analisa return on asset (ROA) juga dapat digunakan untuk mengukur profitabilitas dari masing-masing produk yang dihasilkan perusahaan dengan menggunakan product cost system yang baik, modal dan biaya dapat dialokasikan kepada berbagai produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang bersangkutan, sehingga dengan demikian akan dapat dihitung profitabilitas dari masing-masing produk. Dengan demikian manajemen akan dapat mengetahui produk mana yang mempunyai profit potential di dalam longrun.
Return on asset (ROA) selain berguna untuk keperluan kontrol, juga berguna untuk keperluan perencanaan. Misalnya return on asset (ROA) dapat digunakan
sebagian dasar untuk pengembalian keputusan kalau perusahaan akan mengadakan ekspansi.
Disisi lain, Menurut Munawir (2007, hal 89) besarnya Return On Asset (ROA) dipengaruhi oleh dua faktor yaitu :
1. Turnover dari operating assets (tingkat perputaran aktiva yang digunakan untuk operasi).
2. Profit margin, yaitu besarnya keuntungan operasi yang dinyatakan dalam persentase dan jumlah penjualan bersih. Profit margin ini mengukur tingkat keuntungan yang dapat dicapai oleh perusahaan dihubungkan dengan penjualannya.
4.1.3 Metode Analisis Data