• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISA DATA

4.2 Analisa Data Secara Teori

Untuk proses perhitungan menggunakan metode NTU- ɛ akan ditampilkan dibawah ini untuk kondisi dua data yaitu data AA1 untuk data dengan aliran fluida laminar dan data AD1 dengan aliran fluida pada cangkang adalah transisi. Berikut adalah untuk data AA1 dimana fluida panas dalam tabung mengalir oli dengan debit 60 l/jam dengan temperatur fluida masuk APK 60oC (Th,i) dan untuk fluida dingin dalam cangkang mengalir air dengan debit 180 l/jam dengan temperatur fluida masuk APK 27oC (Tc,i), untuk spesifikasi APK sama seperti yang dijabarkan pada sub bab 3.2 dan untuk spesifikasi sifat fluida oli dan air diambil dari Tabel A.5 untuk oli dan A.6 untuk air pada lampiran B. Berikut adalah analisa data untuk nilai efektifitas teoritis pertama (data AA1) dengan hasil sebagai berikut :

Diketahui :

Temperatur oli masuk (Th,i) = 60 oC Temperatur air masuk (Tc,i) = 27 oC

Debit oli pada tabung (Qh) = 1,67 x 10-5 m3/s Debit air pada cangkang (Qc) = 5 x 10-5 m3/s

k

pipa

(Pipa Tembaga)

= 156 W/m.K (dari tabel A.1 Lampiran B) Ditanya : Efektifitas ( ɛ ) = ...?

Penyelesaian

Gambar 4.6 Skematik distribusi suhu

Dengan menggunakan persamaan pada BAB 2 diperoleh hasil perhitungan untuk beberapa parameter, dimana dilakukan iterasi sebanyak 3 kali untuk mendapat hasil yang akurat. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.4 dibawah init :

Tabel 4.4 Hasil perhitungan teoritis dengan tiga kali iterasi

Persa-

maan Parameter

Iterasi 1 Iterasi 2 Iterasi 3

Fluida Oli Fluida Air Fluida Oli Fluida Oli Fluida Oli Fluida Oli

- Temperatur

rata-rata (K) Th = 323 Tc = 305 Th = 325,8 Tc = 301 Th = 325,8 Tc = 301 m = ρ Q Laju aliran massa

(kg/s) ṁh = 0,0145 ṁc = 0,0497 ṁh = 0,0145 ṁc = 0,0498 ṁh = 0,0145 ṁc = 0,0498 2.21 Bilangan Reynold Re = 14,9 Re = 1213 Re = 17,1 Re = 1115,3 Re = 17,1 Re = 1115,3 2.22 Bilangan Nusselt Nu = 8,61 Nu = 12,9 Nu = 8,54 Nu = 13,0 Nu = 8,9 Nu = 12,9 2.6 Pindahan panas konveksi (W/m2K) hi = 121,3 ho = 114,9 hi = 121,0 ho = 114,2 hi = 127,5 ho = 113,9 2.5 Luas bidang konveksi (m2) Ai = 0,08478 Ao = 0,101736 Ai = 0,08478 Ao = 0,101736 Ai = 0,08478 Ao = 0,101736 2.3 Tahanan Panas total (K/W) R = 0,194 R = 0,195 R = 0,194 2.4 Pindahan panas menyeluruh (W/m2K) U = 60,95 U = 60,5 U = 61,9 2.16 Kapasitas fluida (W/K) Ch = 29,08 Cc = 207,86 Ch = 29,2 Cc = 208,2 Ch = 29,2 Cc = 208,2 2.18 Perbandingan kapasitas C = 0,14 C = 0,14 C = 0,14

2.19 NTU NTU = 0,6 NTU = 0,6 NTU = 0,61

2.17 Efektifitas ε = 45,63 % ε = 43,3 % ε = 44,03 % 2.15a dan 2.14 Temperatur oli keluar (oC) Th,o =

45,63 Tc,o = 29,0 Th,o = 45,7 Tc,o = 29,0 Th,o = 45,7 Tc,o = 29,0

Hasil analisa

Temperatur

rata-rata (K) Th = 325,8 Tc = 301 Th = 325,8 Tc = 301 Th = 325,8 Tc = 301 Kesimpulan

Temperatur hasil dengan pemisalan jauh berbeda.

Dilanjutkan dengan iterasi 2

Karena hasil dengan pemisalan sama dilanjut

iterasi ke 3 dengan melibatkan nilai µ

Setelah diperoleh nilai efektifitas untuk satu data yaitu AA1 selanjutnya untuk semua variasi dihitung menggunakan Microsoft Excel 2007. Berikut pada Tabel 4.5 adalah hasil perhitungan yang telah dilakukan menggunakan Microsoft Excel 2007 untuk semua data :

Tabel 4.5 Analisa data secara teoritis Nama

Data

Fluida Panas (Oli) Fluida Dingin (Air)

Efektifitas ε (%) Debit (lpj) Temperatur Masuk Th,i (oC) Temperatur Keluar Th,o (oC) Debit (lpj) Temperatur Masuk Tc,i (oC) Temperatur Keluar Tc,o (oC) AA1 60 60 45,47 180 27 29,04 44,03 AA2 65 48,34 27 29,35 43,83 AA3 70 51,20 27 29,67 43,72 AA4 75 54,09 27 29,98 43,56 AB1 60 44,47 300 27 28,31 47,06 AB2 65 47,19 27 28,51 46,87 AB3 70 49,90 27 28,71 46,75 AB4 75 52,63 27 28,91 46,61 AC1 60 39,49 420 27 28,23 62,14 AC2 65 41,48 27 28,41 61,9 AC3 70 43,46 27 28,60 61,71 AC4 75 45,49 27 28,79 61,47 AD1 60 39,24 540 27 27,97 62,91 AD2 65 41,18 27 28,11 62,67 AD3 70 43,13 27 28,26 62,48 AD4 75 45,12 27 28,41 62,24 BA1 120 60 47,60 180 27 29,03 45,67 BA2 65 50,49 27 29,35 45,47 BA3 70 53,34 27 29,67 45,36 BA4 75 56,23 27 29,98 45,2 BB1 60 46,34 300 27 28,31 48,17 BB2 65 49,06 27 28,51 47,98 BB3 70 51,77 27 28,71 47,86 BB4 75 54,05 27 28,91 46,33 BC1 60 40,92 420 27 28,23 59,86 BC2 65 42,90 27 28,41 59,62 BC3 70 45,89 27 28,60 59,43 BC4 75 47,92 27 28,79 58,48

BD1 60 41,97 540 27 27,97 59,92 BD2 65 43,92 27 28,11 59,68 BD3 70 45,87 27 28,26 59,49 BD4 75 47,86 27 28,41 59,25 CA1 180 60 49,61 180 27 29,04 39,67 CA2 65 52,49 27 29,35 39,47 CA3 70 55,34 27 29,67 39,36 CA4 75 58,23 27 29,98 39,2 CB1 60 48,61 300 27 29,04 43,17 CB2 65 51,33 27 29,35 42,98 CB3 70 54,04 27 29,67 42,86 CB4 75 56,77 27 54,09 42,72 CC1 60 43,63 420 27 28,23 56,86 CC2 65 45,62 27 28,41 56,62 CC3 70 47,60 27 28,60 56,43 CC4 75 49,63 27 28,79 56,19 CD1 60 43,38 540 27 27,97 57,63 CD2 65 45,33 27 28,11 57,39 CD3 70 47,28 27 28,26 57,2 CD4 75 49,27 27 28,41 56,96

Dari data perhitungan tersebut dapat dilihat nilai efektifitas alat penukar kalor dipengaruhi oleh debit fluida masuk APK baik itu oli maupun air.

Perbandingan tersebut disajikan dalam bentuk grafik yaitu pada Gambar 4.7 berikut

Gambar 4.7 Grafik efektifitas teori dengan Th,i 60oC

0 10 20 30 40 50 60 70 180 300 420 540 E fek ti fi ta s ( % ) Debit air ( lpj )

Efektifitas teori (Thi 60

o

C)

ε-Teori (Oli 60 lpj) ε-Teori (Oli 120 lpj) ε-Teori (Oli 180 lpj)

Dari Gambar 4.7 diatas dapat dilihat nilai efektifitas APK berbanding lurus dengan peningkatan debit air yang masuk, karena dengan adanya peningkatan debit air menyebabkan bilangan Reynold dan Nusselt semakin besar. Hal tersebut akan mempengaruhi perpindahan panas konveksi yang diterima oleh air yaitu semakin cepat, namun efektifitasnya berbanding terbalik dengan peningkatan debit oli masuk APK. Peningkatan debit oli akan mempercepat aliran fluida yang mempersingkat waktu bagi oli untuk membuang panasnya secara konveksi terhadap dinding pipa. Sehingga efektifitas maksimum diperoleh pada debit air maksimum yaitu 540 l/jam dan debit oli minimun yaitu 60 l/jam. Dan untuk kasus yang sama namun berbeda temperatur oli masuk yaitu 65oC diperoleh grafik efektifitas pada Gambar 4.8 berikut :

Gambar 4.8 Grafik efektifitas teori dengan Th,i 65oC

Dari Gambar 4.8 dapat dilihat adanya peningkatan debit air berbanding lurus dengan peningkatan efektifitas namun sebaliknya peningkatan debit oli berbanding terbalik dengan peningkatan efektifitas. Sehingga nilai efektifitas tertinggi berada pada debit air paling besar yaitu 540 l/jam dan debit oli paling rendah yaitu 60 l/jam. Dan untuk suhu oli masuk APK (Th,i

)

70 oC dan 75 oC memiliki kasus yang sama untuk peningkatan efektifitasnya seperti pada Gambar 4.7 dan Gambar 4.8 diatas.

Setelah diperoleh nilai efektifitas dari pengolahan data secara teori maupun praktek, maka keduanya dapat dibandingkan nilai dari efektifitas Alat Penukar kalor shell and tube, yang disajikan dalam bentuk grafik. Semua data

0 10 20 30 40 50 60 70 180 300 420 540 E fek ti fi ta s ( % ) Debit air ( lpj )

Efektifitas teori (Thi 65

o

C)

ε-Teori (Oli 60 lpj) ε-Teori (Oli 120 lpj) ε-Teori (Oli 180 lpj)

diadakan variasi, dan berikut grafik untuk debit fluida panas (oli) konstan yaitu 60 l/jam dan dengan variasi debit fluida dingin yaitu 180, 300, 420, 540 l/jam untuk efektifitas teori dan praktek. Gambar 4.9 berikut menunjukkan perbandingan efektifitas yang diperoleh pada eksperimental dan data teori

Gambar 4.9 Perbandingan efektifitas teori dan eksperimental dengan debit oli 60 l/jam

Dari Gambar 4.9 diatas dapat dilihat nilai efektifitas secara teori dan praktek semakin meningkat berbanding lurus dengan peningkatan debit fluida dingin, dimana efektifitas teori lebih tinggi dibandingkan efektifitas eksperimental.

Gambar 4.10 Perbandingan efektifitas teori dan eksperimental dengan debit oli 120 l/jam

Dari Gambar 4.10 diatas dapat dilihat nilai efektifitas secara teori dan eksperimental semakin meningkat berbanding lurus dengan peningkatan debit fluida dingin. Dari semua grafik diatas dapat diperoleh bahwa variasi debit fluida

0 10 20 30 40 50 60 70 180 300 420 540 E fek ti fi ta s ( % )

Debit air (l/jam)

ε-Teori ε-Pengujian 0 10 20 30 40 50 60 70 180 300 420 540 E fek ti fi ta s ( % )

Debit air (l/jam)

ε-Pengujian ε-Teori

dingin sangat mempengaruhi nilai efektifitas APK dimana efektifitas berbanding lurus dengan debit fluida dingin. Dalam penelitian ini, selain variasi debit fluida pendingin variasi fluida panas (oli) juga dilakukan dan berikut adalah grafik untuk variasi tersebut yaitu 60, 120, 180 L/jam dimana suhu fluida panas masuk APK juga divariasikan yaitu 60oC, 65oC, 70oC, 75oC.

Gambar 4.11 Grafik efektifitas eksperimental dan teori untuk seluruh variasi.

Dari Gambar 4.11 diatas dapat dilihat nilai efektifitas maksimum eksperimental berada pada debit oli 60 l/jam dan debit air 540 l/jam dengan temperatur oli masuk APK 60oC. Dan untuk nilai efektifitas maksimum teori berada pada debit oli 60 l/jam dan debit air 540 l/jam dengan temperatur oli masuk APK 60 oC. Untuk data perbandingan temperatur fluida keluar dan efektifitas alat penukar kalor yang

0 10 20 30 40 50 60 70 180 300 420 540 180 300 420 540 180 300 420 540 180 300 420 540 60°C 65°C 70°C 75°C E fek ti fi ta s ( % ) Debit (L/jam) ε-Teori (Oli 60 lpj) ε-Pengujian (Oli 60 lpj) ε-Teori (Oli 120 lpj) ε-Pengujian (Oli 120 lpj) ε-Teori (Oli 180 lpj) ε-Pengujian (Oli 180 lpj)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Temperatur oli keluar dari APK pada eksperimental cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan temperatur oli keluar dari APK pada perhitungan teoritis. Sementara itu temperatur air keluar dari APK pada eksperimental cenderung lebih rendah dibandingkan dengan temperatur air keluar dari APK pada perhitungan teoritis.

2. Keefektifan maksimum APK dalam mendinginkan oli secara eksperimental diperoleh sebesar 60,2% pada kapasitas aliran oli 60 l/jam, temperatur oli masuk 60,1°C dan kapasitas aliran air 540 l/jam, temperatur air masuk 27°C. Sedangkan efektifitas secara teoritis sebesar 62,91% pada kapasitas aliran oli 60 l/jam, temperatur oli masuk 60°C dan kapasitas aliran air 540 l/jam, temperatur air masuk 27°C.

3. Diperoleh nilai efektifitas APK shell and tube dalam mendinginkan oli secara eksperimental selalu lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil perhitungan efektifitas secara teoritis menggunakan metode NTU-

ε

.

4. Semakin cepat laju aliran massa air dalam mendinginkan oli maka semakin tinggi efektifitas yang dihasilkan, begitu juga sebaliknya. Selain itu semakin cepat laju aliran massa oli maka efektifitas yang dihasilkan akan semakin rendah, begitu juga sebaliknya.

5. Temperatur oli keluar APK yang diperoleh secara eksperimental memenuhi standart operasi minyak pelumas, dengan temperatur oli keluar APK terendah berada pada efektifitas maksimum yaitu 40,67 oC.

5.2 Saran

1. Dalam melakukan pengumpulan data eksperimental, kondisi cangkang harus diperhatikan dengan baik supaya tidak terdapat udara terperangkap yang mempengaruhi proses perpindahan panas pada tabung.

2. Kapasitas aliran kedua fluida sebaiknya dijaga konstan agar dapat memperoleh hasil perhitungan efekftifitas yang lebih akurat.

3. Alat ukur yang digunakan sebaiknya alat ukur digital yang dapat langsung bersentuhan dengan fluida sehingga hasil pengukuran lebih akurat.

4. Dalam memasang alat ukur, sebaiknya jangan menyentuh dinding pipa melainkan hanya menyentuh fluida yang ada dalam pipa sehingga pengukuran tidak dipengaruhi temperatur dinding pipa.

5. Diperlukan pengembangan alat penukar kalor shell and tube yang lebih mendalam dengan menambahkan buffels dan jumlah tabung untuk memperoleh efektifitas yang lebih tinggi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prinsip-prinsip Perpindahan Panas

Panas adalah salah satu bentuk energi yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan sama sekali. Dalam suatu proses, panas dapat mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu suatu zat dan atau perubahan tekanan, reaksi kimia dan kelistrikan. Perpindahan kalor/panas (heat transfer) ialah ilmu untuk meramalkan perpindahan energi yang terjadi karena adanya perbedaan suhu di antara benda atau material[6].Dimana perpindahan panas ini merupakan satu dari disiplin i mempelajari cara menghasilkan panas, menggunakan panas, mengubah panas, dan menukarkan panas di antara sistem fisik. Proses terjadinya perpindahan panas dapat dilakukan secara langsung, yaitu fluida yang panas akan bercampur secara langsung dengan fluida dingin tanpa adanya pemisah. Selain itu dapat juga dilakukan secara tidak langsung, yaitu bila diantara fluida panas dan fluida dingin tidak berhubungan langsung tetapi dipisahkan oleh sekat-sekat pemisah. Frank Kreith dan Mark S. Bohn[11] dalam bukunya mengklasifikasikan perpindahan panas dalam tiga bahagian yaitu : konduksi, konveksi, radiasi. Dimana ketiga hal tersebut dapat di ilustrasi dari proses sederhana berikut.

Gambar 2.1 Prinsip proses perpindahan panas

Sumber : http://budisma.net/2015/01/perpindahan-kalor-konduksi-konveksi-dan-radiasi.html Gambar 2.1 menggambarkan adanya proses perpindahan panas konduksi pada batang, konveksi dari wadah menuju air atau api menuju batang serta perpindahan panas radiasi dari api menuju sekitarnya (tangan manusia).

Konveksi Konduksi

2.1.1 Perpindahan Panas Konduksi

Pada gambar dibawah ini terdapat sebuah ilustrasi dimana sebuah batang silinder dengan material tertentu dimana tidak ada isolasi pada sisi terluarnya dan salah satu ujungnya dipanaskan dengan api sehingga kedua ujung permukaannya memiliki suhu yang berbeda yakni T1>T2. Seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 2.2 Skematik perpindahan panas pada batang

Sumber :

Akibat dari proses pemanasan seperti pada Gambar 2.2 maka perpindahan panas akan dialami oleh batang yaitu dari ujung batang T1 menuju ujung batang T2 yang terjadi secara konduksi. Kita dapat mengukur laju perpindahan panas qx,

dan dapat menentukan qx bergantung pada variabel-variabel berikut :

ΔT yakni perbedaan temperatur

Δx yakni panjang batang

A yakni luas penampang tegak lurus bidang

K yakni konduktifitas panas dari material

Sehingga dapat dituliskan untuk nilai perpindahan panas konduksi dengan rumus sebagai berikut.[6]

qx = k A Δ�

Δx

...

(2.1) pada Tabel 2.1 berikut merupakan nilai konduktivitas panas untuk beberapa material :

Tabel 2.1 Tabel nilai konduktivitas termal untuk beberapa materil[11] Material Thermal conductivity at 300 K

(W/m K) Copper 399.0 Aluminium 237.0 Carbon steel, 1% C 43.0 Glass 0.81 T1 T2

qx

Plastics 0.2-0.3 Water 0.6 Ethylene glykol 0.26 Engine oil 0.15 Freon (liquid) 0.07 Hydrogen 0.18 Air 0.026

2.1.2 Perpindahan Panas Konveksi

Konduksi dan konveksi adalah membutuhkan media perantara dalam proses perpindahan panasnya. Namun pada konveksi membutuhkan gerakan fluida untuk dapat memindahkan panas. Penelitian menunjukkan bahwa perpindahan panas konveksi sangat bergantung pada sifat-sifat fluida seperti viskositas dinamis μ, konduktivitas termal k, massa jenis ρ, dan spesifik panas Cp, dan dipengaruhi oleh kecepatan fluida Ѵ. Konveksi juga bergantung pada bentuk dan kekasaran permukaan, dan bahkan juga dipengaruhi oleh tipe aliran seperti laminar atau turbulen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perpindahan panas secara konveksi adalah kompleks karena bergantung pada banyak variabel. Oleh karena itu, konveksi adalah mekanisme perpindahan panas yang paling kompleks. Meskipun konveksi adalah kompleks, setelah diamati bahwa laju perpindahan panas secara konveksi berbanding lurus dengan perbedaan temperatur dan dapat ditulis dengan Hukum Newton tentang pendinginan. Berikut adalah skematik perpindahan panas secara konveksi :

Gambar 2.3 Perpindahan panas secara konveksi Sumber : literatur 3 Yunus A Cengel

Pada Gambar 2.3 terlihat bahwa perpindahan panas konveksi terjadi dari permukaan benda panas menuju aliran udara pada sekitanya.

Untuk nilai perpindahan panas secara konveksi dapat di tentukan dengan rumus : qkonveksi = h As (Ts - T) ... (2.2) dengan h :koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2K)

As :luas permukaan perpindahan panas (m2) Ts : temperatur permukaan benda (K)

T: merupakan temperatur lingkungan sekitar benda (K)

2.1.4 Perpindahan Panas Menyeluruh

Dalam alat penukar kalor terdapat dua jenis fluida yang mengalir dan dipisahkan oleh dinding material berupa pipa, dimana perpindahan panas terjadi terhadap kedua fluida dengan perantaraan dinding solid tersebut. Perpindahan panas tersebut terjadi dengan beberapa tahap. Pertama, panas dari fluida panas akan berpindah panasnya menuju permukaan dinding yang terjadi secara konveksi. Kedua, panas akan berpindah melewati dingding solid menuju permukaan dinding fluida dingin yang terjadi secara konduksi, kemudian panas akan berpindah ke fluida dingin yang terjadi secara konveksi sehingga temperatur fluida dingin menjadi meningkat. Perpindahan panas untuk semuanya dapat dilihat pada Gambar 2.4 untuk tahanan panas (R) pada sebuah pipa :

Gambar 2.4 Jaringan tahanan panas pada alat penukar kalor Sumber : Literatur 3 Cangel halaman 671

dimana subskrip i dan o pada gambarmenunjukkan diameter dalam dan diameter luar tabung yang berada didalam dan permukaan luar tabung.

Dalam sebuah alat penukat kalor nilai perpindahan panas radiasi tidak diperhitungkan karena permukaannya diisolasi, sehingga hanya terjadi perpindahan panas konveksi dan konduksi seperti yang tampak pada tahanan panas diatas (Gambar 2.4). Untuk menentukan total tahanan panas [9] yang terjadi pada pipa tersebut adalah :

R = Rtotal = Ri + Rdinding + Ro = 1 hi Ai + ln(Do/Di) 2kL + 1 ho Ao

... (2.3) Sehingga untuk perpindahan panas menyeluruhnya[9] adalah

1 UAs

=

1 Ui Ai = 1 Uo Ao = R ... (2.4)

A merupakan luas bidang aliran kalor yang terjadi untuk alat penukar kalor yang dapat ditentukan dengan persamaan :

Ai = Di L dan Ao = Do L ... (2.5) Dan untuk menentukan perpindahan panas konveksi (h) yang terjadi dalam pipa di rumuskan dengan :

h = k Nu

D ... (2.6)

Dimana, R : tahanan panas (k/W)

k : konduktifitas panas dari material pipa (W/m.K) L : panjang alat penukar kalor (m)

D : diameter pipa (m)

h : perpindahan panas konveksi (W/m2K)

U : perpindahan panas menyeluruh (W/m2K) Nu: bilangan Nusselt

2.2 Alat Penukar Kalor

Alat penukar kalor (heat exchanger) adalah sebuah alat yang berfungsi untuk mentransfer energi panas (entalpi) antara dua atau lebih fluida, antara permukaan padat dengan fluida, atau antara partikel padat dengan fluida, pada temperatur yang berbeda serta terjadi kontak termal[6]. Lebih lanjut, heat exchanger dapat juga berfungsi sebagai alat pembuang panas, alat sterilisasi, pasteurisasi, pemisahan campuran, distilisasi (pemurnian, ekstraksi), pembentukan konsentrat, kristalisasi, atau juga untuk mengontrol sebuah proses fluida. Alat ini sering digunakan dalam industri kimia, industri permesinan, pembangkit tenaga dan sebagainya.

Satu bagian terpenting dari penukar kalor adalah permukaan kontak panas, karena pada permukaan inilah terjadi perpindahan panas dari satu zat ke zat yang lain. Semakin luas bidang kontak total yang dimiliki oleh penukar kalor tersebut, maka akan semakin tinggi nilai efisiensi perpindahan panasnya. Pada kondisi tertentu, ada satu komponen tambahan yang dapat digunakan untuk meningkatkan luas total bidang kontak perpindahan panas ini, komponen tersebut adalah sirip.

Sitompul Tunggul[16] dalam bukunya menyebutkan proses perpindahan panas yang terjadi dalam sebuah APK bisa terjadi dengan dua cara, yaitu :

1. APK langsung, dimana fluida yang panas akan bercampur secara langsung dengan fluida dingin ( tanpa adanya pemisah ) dalam suatu bejana atau ruangan tertentu, diantaranya : jet condensor, pesawat desuperheater dan lain-lain.

2. APK tidak langsung, dimana fluida panas tidak berhubungan langsung (indirect contact) dengan fluida dingin. Jadi proses pemindahan panasnya melalui media perantara, seperti pipa, pelat atau peralatan lainnya. Contoh alatnya antara lain : pemanas air pendahuluan pada ketel (ekonomiser), condensor pada turbin uap dan lain-lain.

Perpindahan panas pada alat penukar kalor biasanya terdiri dari konveksi di setiap fluida dan konduksi pada dinding yang memisahkan kedua fluida. Pada saat menganalisa alat penukar kalor, sangat diperlukan untuk menggunakan koefisien perpindahan panas menyeluruh U yang memungkinkan untuk menghitung seluruh efek dari perpindahan panas. Laju perpindahan panas diantara kedua fluida

terletak pada alat penukar kalor yang bergantung pada perbedaan temperatur pada suatu titik, yang bervariasi sepanjang alat penukar kalor. Pada saat menganalisis alat penukar kalor, biasanya bekerja dengan menggunakan logarithmic mean temperature difference LMTD, yang sebanding dengan perbedaan temperatur rata-rata diantara kedua fluida sepanjang alat penukar kalor. Ketika dua temperatur tidak diketahui maka dapat dianalisis dengan metode keefektifan-NTU.

Alat penukar kalor juga sangat banyak digunakan dalam sebuah mesin pembangkit tenaga, salah satunya PLTA. Dalam mengoperasikan sebuah turbin dalam sebuah PLTA pasti membutuhkan pelumasan untuk memperlancar proses kerja mesin, diantaranya pelumasan pada turbine gate bearing dan thrust bearing

yang memiliki temperatur operasi 40-60oC sehingga dibutuhkan alat penukar kalor yang dapat membuat suhu pada sistem pelumasan tersebut terjaga.

2.2.1 Klasifikasi Alat Penukar Kalor

Terdapat banyak jenis alat penukar kalor yang sudah dipergunakan hingga saat ini yang dapat diklasifikasikan dalam berbagi tipe. Secara umum, alat penukar kalor dapat dibagi berdasarkan fungsinya, seperti yang diterangkan oleh Sitompul Tunggul[16] dalam bukunya tentang jenis alat penukar kalor berdasarkan fungsinya :

a. Chiller

Alat penukar kalor ini digunakan untuk mendinginkan fluida sampai pada temperature yang rendah. Temperature fluida hasil pendinginan didalam chiller yang lebih rendah bila dibandingkan dengan fluida pendinginan yang dilakukan dengan pendingin air. Untuk chiller ini media pendingin biasanya digunakan amoniak atau Freon. Pada Gambar 2.5 diperlihatkan gambar untuk chiller dengan jenis sentrifugal :

Gambar 2.5 Chiller sentrifugal

b. Kondensor

Alat penukar kalor ini digunakan untuk mendinginkan uap atau campuran uap, sehingga berubah fasa menjadi cairan. Media pendingin yang dipakai biasanya air atau udara. Uap atau campuran uap akan melepaskan panas latent kepada pendingin, misalnya pada pembangkit listrik tenaga uap yang mempergunakan condensing turbin, maka uap bekas dari turbin akan dimasukkan kedalam kondensor, lalu diembunkan menjadi kondensat. Untuk kondensor yang sering digunakan pada pembangkit listrik dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut :

Gambar 2.6 Kondensor

Sumber : https://ecanblue.wordpress.com/2014/01/09/peralatan-pada- pembangkit-listrik-tenaga-panas-bumi/

c. Cooler

Alat penukar kalor ini digunakan untuk mendinginkan cairan atau gas dengan mempergunakan air sebagai media pendingin. Disini tidak terjadi perubahan fasa, dengan perkembangan teknologi dewasa ini maka pendingin coler mempergunakan media pendingin berupa udara dengan bantuan fan (kipas), dimana pada Gambar 2.7 berikut adalah salah satu jenis cooler :

Gambar 2. 7 Coller

d. Evaporator

Alat penukar kalor ini digunakan untuk penguapan cairan menjadi uap. Dimana pada alat ini menjadi proses evaporasi (penguapan) suatu zat dari fasa cair menjadi uap. Yang dimanfaatkan alat ini adalah panas latent dan zat yang digunakan adalah air atau refrigerant cair. Pada Gambar 2.8 berikut ditunjukkan merupakan rangkaian sederhana dari sebuah evaporator AC :

Gambar 2.8 Evaporator AC

Sumber : https://www.google.com/search?q=evaporator&tbm

e. Reboiler

Alat penukar kalor ini berfungsi mendidihkan kembali (reboil) serta menguapkan sebagian cairan yang diproses. Adapun media pemanas yang sering digunakan adalah uap atau zat panas yang sedang diproses itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada penyulingan minyak pada Gambar 2.2, diperlihatkan sebuah reboiler dengan mempergunakan minyak (665 °F) sebagai media penguap, minyak tersebut akan keluar dari boiler dan mengalir didalam tube. Gambar 2.9 berikut adalah penampang dalam dan luar dari sebuang reboiler yang sering digunakan :

Gambar 2.9 Reboiler

f. Heat Exchanger

Alat penukar kalor ini bertujuan untuk memanfaatkan panas suatu aliran fluida yang lain. Maka akan terjadi dua fungsi sekaligus, yaitu:

• Memanaskan fluida dingin

• Mendinginkan fluida yang panas

Suhu yang masuk dan keluar kedua jenis fluida diatur sesuai dengan kebutuhannya. Pada Gambar 2.10 berikut diperlihatkan sebuah heat exchanger tipe shell and tube, dimana fluida panas masuk melalui cangkang (shell) dan fluida dingin masuk melalui tabung (tube)

Gambar 2.10 Konstruksi Heat Exchanger Sumber : https://grabcad.com/library

Dari beberapa jenis alat penukar kalor tersebut, Situmpul Tunggul[16] dalam bukunya mengklasifikasikan APK dalam berbagai tipe, diantaranya :

1. Klasifikasi berdasarkan proses perpindahan panas a. Tipe kontak tidak langsung

• Tipe dari satu fase

• Tipe dari banyak fase

• Tipe yang ditimbun (storage type)

• Tipe fluidized bed

b. Tipe kontak langsung

Immiscible fluidsGas liquidLiquid vapor

Pipa cangkang

Fluida panas masuk

Pipa tabung Fluida dingin masuk

Fluida dingin keluar

2. Klasifikasi berdasarkan jumlah fluida yang mengalir a. Dua jenis fluida

b. Tiga jenis fluida

c. N – Jenis fluida (N lebih dari tiga)

3. Klasifikasi berdasarkan kompaknya permukaan

a. Tipe penukar kalor yang kompak, Density luas permukaan > 700 m b. Tipe penukar kalor yang tidak kompak, Density luas permukaan < 700 m 4. Klasifikasi berdasarkan mekanisme perpindahan panas

a. Dengan cara konveksi, satu fase pada kedua sisi alirannya

b. Dengan cara konveksi pada satu sisi aliran dan pada sisi yang lainnya terdapat cara konveksi 2 aliran

c. Dengan cara konveksi pada kedua sisi alirannya serta terdapat 2

passaliran masingmasing

d. Kombinasi cara konveksi dan radiasi 5. Klasifikasi berdasarkan konstruksi

a. Konstruksi tubular (shell and tube)

• Tube ganda (double tube)

• Konstruksi shell and tube

Sekat plat (plate baffle), Sekat batang (rod baffle)

• Konstruksi tube spiral b. Konstruksi tipe pelat

• Tipe pelat

• Tipe lamella

• Tipe spiral

• Tipe pelat koil

c. Konstruksi dengan luas permukaan diperluas (extended surface)

Dokumen terkait