• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Terhadap Penetapan Keuntungan Pembiayaan Di BMT Nurrohman Janti Slahung

ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBIAYAAN DI BMT NURROHMAN JANTI SLAHUNG

C. Analisa Terhadap Penetapan Keuntungan Pembiayaan Di BMT Nurrohman Janti Slahung

Mencari keuntungan dalam bisnis pada prinsipnya merupakan suatu

perkara yang jaiz (boleh) dan dibenarkan Syara‟, bahkan secara khusus yang diperintahkan Allah SWT kepada orang-orang yang mendapatkan amanah

133

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian, 98.

134

harta milik orang-orang yang tidak bisa bisnis dengan baik.135 Misalnya, anak-anak yatim, disebutkan dalam surat al-Nisa‟ ayat 29:

َلََو ْمُكْنِم ٍضاَرَ ت ْنَع ًةَراَِتِ َنوُكَت ْنَأ َّلَِإ ِلِطاَبْلاِب ْمُكَنْ يَ ب ْمُكَلاَوْمَأ اوُلُكْأَت َلَ اوُنَمَآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي

اًميِحَر ْمُكِب َناَك َهَّللا َّنِإ ْمُكَسُفْ نَأ اوُلُ تْقَ ت

( ٢۹ )

Wahai orang-orang yang beriman!janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu

membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S. al

-Nisa‟:29)136

Margin keuntungan adalah rasio profitabilitas yang mengukur efektifitas

manajemen secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh besar kecilnya keuntungan yang diperoleh dalam hubungannya dengan penjualan dan investasi.137

Pembiayaan yang diterapkan di BMT Nurrohman berdasarkan konsep pinjam uang dengan pembayaran jasa yang ditetapkan oleh BMT sebesar 2% flat dan 3% menurun.138 Jadi, pembiayaan di BMT Nurrohman hampir sama dengan pinjaman di bank konvensional. Praktik bank yaitu pinjaman dari bank kepada seseorang ataupun perusahaan dengan limit tertentu yang harus dikembalikan dengan tambahan biaya bunga yang dibebankan kepada peminjam dalam jangka waktu yang disetujui kedua belah pihak.139

135

http://fatan10.blogspot.co.id/2015/04/pengambilan-keuntungan-dari-pinjaman-21.html?m=1, di akses 08 Mei 2016.

136

Ahmad Hatta, Tafsir Qur‟an, 83.

137

Muhamad, Teknik Perhitungan,176.

138

Arief, wawancara, 02 Maret 2016.

139

Padahal kredit (pinjaman bank) berbeda dengan margin keuntungan. Jika kredit adalah transaksi untuk menghasilkan keuntungan (margin), contohnya seperti jual beli secara kredit yang dari penjualan tersebut menghasilkan keuntungan. Sedangkan margin keuntungan adalah hasil dari transaksi tersebut, yaitu hasil keuntungan dari jual beli tersebut. Jika di bank konvensional imbalan keuntungannya berupa bunga, sedangkan dalam bank syariah berupa

margin keuntungan.140

Ibnu Abdil Barr menyatakan, “Setiap tambahan atau bunga dalam pinjaman atau fasilitas yang diambil oleh pihak yang meminjamkan, maka itu adalah riba, meskipun hanya sekepal makanan ternak. Hukumnya tetap haram, kalau menjadi syarat perjanjian.

Sementara Ibnul Mundzir menyatakan, “ Para Ulama telah bersepakat bahwa orang yang menghutangi bila memberi syarat kepada yang berhutang untuk memberi bunga atau hadiah, maka bunga yang diambilnya adalah riba”.141

Terkait dengan penetapan keuntungan, tidak ada dalil dalam syari‟ah

yang berkaitan dengan penentuan keuntungan usaha, sehingga bila melebihi jumlah tersebut dianggap haram. Hal demikian, telah menjadi kaidah umum untuk seluruh jenis barang dagangan di setiap zaman dan tempat.

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya dari Urwah bahwa ia menceritakan:

140

Ibid.

141

“Nabi pernah ditawarkan kambing dagang. Lalu beliau memberikan satu dinar kepadaku. Beliau bersabda, „Hai Urwah, datangi pedagang hewan itu, belikan untukku satu ekor kambing‟. Aku mendatangi pedagang tersebut dan menawar kambingnya. Akhirnya aku berhasil membawa dua ekor kambing.

Aku kembali dengan membawa kedua ekor kambing tersebut – dalam riwayat

lain – menggiring kedua kambing itu. Di tengah jalan, aku bertemu seorang

lelaki dan menawar kambingku. Kujual satu ekor kambing dengan harga satu dinar. Aku kembali kepada Nabi dengan membawa satu dinar berikut satu ekor kambing. Aku berkata, „Wahai Rasulullah! Ini kambing Anda dan ini satu dinar juga milik Anda! Beliau bertanya, “Apa yang engkau lakukan?” Aku menceritakan semuanya. Beliau bersabda, „Ya Allah, berkatilah keuntungan perniagannya.‟ Kualami semua itu bahwa aku pernah berdiridi Kinash di kota Kuffah, aku berhasil membawa keuntungan empat puluh ribu dinar sebelum aku sampai ke rumah menemui keluargaku.”

Dari hadith di atas diketahui bahwa bolehnya menetapkan keuntungan perdagangan mencapai dua kali lipat pada kondisi tertentu, atau bahkan lebih. Semua kejadian itu tidak mengandung unsur penipuan, manipulasi, monopoli, memanfaatkan keluguan pembeli, ketidaktahuannya, kondisinya yang terpepet atau sedang membutuhkan, lalu harga ditinggikan.

Di sisi lain, semua kejadian ini tidaklah menggambarkan kaidah umum dalam mengukur keuntungan. Justru sikap memberi kemudahan, sikap santun

dan puas dengan keuntungan yang sedikit itu lebih sesuai dengan petunjuk para

ulama dan ruh kehidupan syari‟ah.142

Batas pengambilan keuntungan dalam Islam tidak ada dalil yang mematok. Faktor yang dipertimbangkan dalam mengambil keuntungan, Perputaran barang (turn over), Pola pembayaran, Komoditas yang diperjualbelikan.143

Dalam prakteknya, pengambilan keuntungan di BMT Nurrohman tidak berdasarkan Perputaran barang (turn over) dan Komoditas yang diperjualbelikan. Tetapi hanya berdasarkan pola pembayaran, yaitu pembayaran pembiayaan secara angsuran flat atau menurun. Jika angsuran secara flat, maka jasa (keuntungan) yang ditetapkan BMT sebesar 2%. Sedangkan angsuran secara menurun, maka keuntungan yang ditetapkan BMT sebesar 3%.

Jadi, besar keuntungan yang ditetapkan di BMT Nurrohman dibolehkan, karena dalam Islam tidak ada dalil yang mematok tentang batas pengambilan keuntungan. Sedangkan penetapan keuntungan yang diterapkan di BMT

Nurrohman belum sesuai syari‟ah, karena keuntungan tersebut diambil dari

tambahan pembayaran pinjaman uang dari nasabah, yang biasa disebut dengan jasa/mark up. Sedangkan, setiap pinjaman yang mengandung syarat harus dibayar dengan tambahan adalah riba.

142

Muhamad, Teknik Perhitungan, 184-185.

143

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan

Setelah peneliti melakukan penelitian dan dibahas dalam skripsi ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pembiayaan di BMT Nurrohman menggunakan konsep pinjaman, yaitu pinjam uang dengan menggunakan jasa/mark up setiap bulan. Jadi, konsep pembiayaan yang diterapkan di BMT Nurrohman belum sesuai dengan

syari‟ah. Karena, belum menerapkan pembiayaan berdasarkan akad transaksi syari‟ah.

2. Akad pembiayaan yang diterapkan di BMT Nurrohman sudah sesuai dengan

syari‟ah, karena sudah terpenuhinya rukun dan syarat akad. Akan tetapi, penggunaan fungsi uang sebagai objek transaksi berlawanan dengan pandangan Islam yang tidak menerima fungsi uang sebagai suatu komoditas. Dalam Islam fungsi uang hanya sebagai alat pertukaran (medium

of exchange) dan satuan nilai (unit of account).

3. Besar keuntungan yang ditetapkan di BMT Nurrohman sesuai dengan

syari‟ah. Jadi, besar keuntungan yang ditetapkan di BMT Nurrohman

dibolehkan. Dalam Islam tidak ada dalil yang mematok tentang batas pengambilan keuntungan. Sedangkan penetapan keuntungan yang

diterapkan di BMT Nurrohman belum sesuai syari‟ah, karena keuntungan

biasa disebut dengan jasa/mark up. Sedangkan, setiap pinjaman yang mengandung syarat harus dibayar dengan tambahan adalah riba.

B.Saran-Saran

1. Diharapkan kepada pihak BMT Nurrohman untuk melaksanakan kegiatan

operasionalnya berdasarkan prinsip syari‟ah. Seperti penggunaan akad-akad

syari‟ah dalam penghimpunan dana dan penyaluran dana kepada nasabah. Dalam prakteknya, pembiayaan di BMT Nurrohman masih menggunakan konsep pinjaman dengan menetapkan jasa/mark up dari pinjaman tersebut. 2. Diharapkan kepada pihak BMT Nurrohman untuk mempertegas dalam

menggunakan konsep pada BMT, apakah memilih konsep berdasarkan

syari‟ah atau konvensional. Bahwa BMT berbeda dengan lembaga keuangan konvensional. BMT merupakan lembaga keuangan Islam yang berdasarkan prinsip-prinsip syaria‟ah. Karena, selama ini nasabah masih menganggap bahwa BMT sama dengan koperasi pada umumnya.

3. Diharapkan kepada masyarakat untuk melaksanakan transaksi mu‟amalah berdasarkan prinsip syari‟ah, seperti menggunakan lembaga keuangan yang