• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA

5.3 Analisis Data

Anak sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan peradaban manusia, sudah seharusnya mendapatkan perlakuan sebaik-baiknya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberlangsungan hidup manusia, bangsa dan negara kedepannya tergantung pada kondisi dan kualitas anak-anak pada masa kini. Kasih sayang, perhatian, pendidikan dan perlindungan merupakan syarat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi agar setiap anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Keluarga atau orang tualah yang menjadi salah satu pilar penanggungjawab dalam mengasuh, mendidik dan melindungi anak.

Berbagai kasus kekerasan anak yang terjadi kini, justru dilakukan oleh orang-orang terdekat anak yaitu berasal dari keluarga (orang tuanya sendiri).Terdapat dua faktor yang mempengaruhi tindakan kekerasan terhadap anak yang umumnya di sebabkan oleh faktor internal yang berasal dari kondisi sang anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal di luar diri anak seperti kondisi keluarga.

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan maka diperoleh beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan kekerasan pada anak dalam keluarga di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Provinsi Sumatera Utara. Adapun faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan pada anak dalam keluarga di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara adalah:

5.3.1 Fakor internal

Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam individu. Kekerasan terhadap anak-anak sesungguhnya dapat bersumber dari kondisi sang anak sendiri.

125

Menurut Wong (2009), anak secara tidak sengaja juga ikut andil dalam menyebabkan terjadinya situasi kekerasan dan penganiayaan. Kekerasan terhadap anak dipengaruhi karakteristik tertentu pada anak yang dapat memicu terjadinya kekerasan. Anak yang tingkah lakunya sangat aktif, anak yang sulit diatur sikapnya (Ismail dalam Suyanto, 2010: 37), dan anak dengan perilaku menyimpang cenderung mengalami kekerasan serta menjadi penyebab atau risiko terjadinya kekerasan terhadap anak (Huraerah: 2007:52).

Secara umum, terdapat sejumlah stigma yang berkembang di masyarakat tentang karakter anak tertentu yang dibilang nakal atau susah diatur. Apabila si anak dianggap lalai, tidak patuh, dan menentang kehendak orang tua, maka anak akan memperoleh sanksi atau hukuman. Karakter anak yang demikian sering menjadi pemicu kemarahan orangtua, sehingga anak menerima hukuman dan jika di sertai emosi maka orangtua tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan pada anak. Sebagian besar dari orangtua juga masih percaya kalau kenakalan anak dapat diselesaikan dengan tindak kekerasan, seperti memarahi, membentak, memukul, mencubit, dan tindakan lainnya yang merugikan anak sebagai hal yang wajar untuk mendispilinkan anak.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata dikarenakan sikap dan tingkah laku anak yang melanggar peraturan, tidak menurut dan sering tidak melaksanakan tanggungjawabnya dengan baik mengakibatkan informan anak juga sering mengalami kekerasan emosional atau kekerasan verbal. Kekerasan emosional atau kekerasan verbal, biasanya dilakukan dalam bentuk memarahi, mengomel dan membentak anak dengan cara berlebihan termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak patut di dengar oleh anak (Huraerah: 2007:66).

126

Hal ini dialami oleh informan I, II, III, IV dan V yang menyatakan pernah dimarahi oleh orangtuanya dikarenakan telah melakukan kesalahan/lalai dan tidak bertanggungjawab dalam menyelesaikan pekerjaan rumah yang menjadi kewajiban mereka.

Seperti penuturan informan I yakni HSS :

“Mamak biasanya akan marah kalau aku tidak menyapu lantai dan mencuci piring kak”

Hasil kutipan wawancara dengan IR (informan II) :

“Mama akan marah kalau aku tidak merapikan tempat tidur dan juga kalau melihat kamarku berantakan. Mamaku sangat cerewet. Aku juga pernah dimarahi habis-habisan sama mama karena aku pernah menyembunyikan mainan action figure kesayangan adikku. Adikku sampai menangis, kami pun bertengkar. Mama kemudian langsung mencubit dan memarahiku.”

Hal yang senada juga dikatakan oleh AL (informan III) :

“Mamak akan marah-marah ke aku kalau aku tidak mau kerja gitu kayak tidak mau mencuci piring, malas menyapu rumah dan mengepel lantai di rumah. Mamak akan marah dan selalu bilang “kamu udah dewasa, jangan kayak gitu, masa kerja mesti disuruh-suruh.”

Hasil kutipan wawancara dengan RHP (informan IV) :

“Aku dimarahi mamak kalau tidak menyapu rumah, tidak membersihkan pekarangan rumah. Mamak juga akan marahi aku kalau aku tidak menjaga adek baik-baik saat mamak pergi jualan”

127

Aku pernah pulang kemalaman dan sampai di rumah itu sekitar jam setengah sebelas malam karena asyik main game online di warnet. Aku memang lupa ngasih kabar ke rumah. Bapak yang kebetulan lagi di rumah waktu itu, langsung marah dan memukulku pakai gagang sapu.

Kondisi kekerasan yang dialami oleh para informan anak, sesuai dengan hasil temuan Heddy (dalam Suyanto, 2010 : 71-72), yang menyatakan sebab terjadinya tindak kekerasan terhadap anak umumnya sangat situasional dan bersifat pribadi. Terjadinya kekerasan pada anak karena anak berada dalam kondisi dan situasi tertentu berinteraksi dengan individu lain (orang dewasa) yang tengah berada dalam kondisi tertentu pula.

Pada informan I, III, IV dan V, adanya kekerasan terhadap anak berawal dari keengganan anak untuk melakukan hal yang diperintahkan oleh ibu atau ayahnya. Oleh karena orang tua telah capek bekerja seharian, dan si anak tidak bersedia disuruh membantu dan melaksanakan tugasnya, maka si ibu atau ayah pun marah dan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak-anaknya.

Sedangkan pada IR (informan II), karena si anak menyembunyikan mainan saudaranya yaitu adiknya, dan suasana ribut yang mereka timbulkan membangkitkan kemarahan orangtua (ibu) mereka, maka akhirnya tindakan kekerasan pun menimpa IR.

Menurut Sitompul (2012), yang melakukan penelitian di Kota Medan, tepatnya di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Kecamatan Medan Deli, faktor perlakuan atau sikap anak yang ditampilkan oleh anak di rumah menjadi salah satu faktor yang memberikan pengaruh bagi terjadi kekerasan pada anak dalam rumah tangga. Seperti halnya perasaan kekecewaan yang dialami orang tua dengan

128

tingkah laku anak yang tidak sesuai dengan harapan orang tua di dalam rumah tangga dapat mengakibatkan timbulnya kemarahan orang tua.

5.3.2 Faktor eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri anak yang mempengaruhi terjadinya kekerasan pada anak, dalam hal ini faktor dari keluarga (orangtua) yang meliputi:

a. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan suatu rumah tangga. Sebagian besar kekerasan pada anak yang terjadi dalam rumah tangga (keluarga) dapat dipicu oleh kondisi ekonomi. Kemiskinan serta tekanan hidup atau tekanan ekonomi yang semakin meningkat memberi sumbangan besar terhadap terjadinya tindak kekerasan pada anak. Problematika finansial keluarga yang memprihatinkan atau kondisi keterbatasan ekonomi dapat menciptakan masalah dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang dapat mempengaruhi jiwa dan tekanan orangtua yang sering kali dilampiaskan terhadap anak-anak (Fatimah, dalam Suyanto, 2010: 33).

Richard J Gelles (dalam Huraerah, 2007: 53-54) juga menyatakan adanya stres yang berasal dari situasi tertentu misalnya orang tua terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), pengangguran serta pindah lingkungan semakin memperparah kondisi itu. Adanya tekanan ekonomi, bagi orang tua yang tidak kuat untuk menghadapi kondisi itu akan menjadikan orang tua semakin sensitif sehingga menjadi mudah marah, anak sebagai pihak yang terlemah dalam keluarga menjadi sasaran dan pelampiasan kemarahan.

129

Saat ini suami saya pengangguran, dia tidak memiliki pekerjaan tetap, kadang kerja serabutan juga. Untuk kebutuhan sehari-hari saja, upah yang saya terima masih kurang nak, apalagi untuk sekolah anak jugakan perlu biaya yang besar.Kondisi itu membuat suami saya melakukan apa saja agar dia bisa memperoleh uang supaya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, salah satunya dengan harta warisan yang telah dijanjikan ibu mertua saya kepadanya. Tetapi syarat yang harus dipenuhinya yaitu dia harus bisa mengajak ibu dan anak-anak untuk memeluk agama yang sama dengan dia. Dia pun jadi terusmemaksa, bahkan mengancam ibu dan anak-anak dengan kata-kata yang kasar agar mengikuti kehendaknya.

Jadi hasil wawancara dengan Ibu R diatas dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh Ibu R adalah masalah keuangan. Karena suaminya hanya tamatan SMP, sehingga keahlian yang dimiliki juga terbatas, yang kemudian berdampak pada pekerjaan dan penghasilan yang diterima. Ketiadaan pekerjaan dan penghasilan yang dimiliki oleh suaminya dikarenakan tidak adanya pekerjaan serta himpitan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup yang kian mendesak, memaksa suaminya untuk segera memperoleh uang dengan cara yang praktis yaitu melalui harta warisan yang telah dijanjikan kepadanya. Sehingga, ia pun akan melakukan apa saja untuk dapat memiliki harta tersebut termasuk dengan memaksa dan mengancam anak dan isterinya dengan perkataan-perkataan kasar agar mengikuti kehendaknya.Perbuatan suaminya yang mengintimidasi dan suka mengancam anak-anak agar menurut sesuai kehendaknya menyebabkan anak-anak mengalami kekerasan secara psikis. Kondisi itu mengakibatkan anak-anaknya menjadi takut, cemas dan tidak betah lagi berada dirumah.

130

Hampir sama dengan Informan I, keterbatasan ekonomi juga mengakibatkan anak dari informan III, AL menjadi korban kekerasan seksual.

Seperti yang diungkapkan Ibu W (ibu kandung Informan III, AL) :

Suami saya yang sekarang sedang menganggur tidak ada kerjanya, dia pernah mencoba beberapa pekerjaan, tetapi tidak ada yang dijalaninya dengan serius. Karena itu juga, saat dia bisa menjemput AL dari sekolahnya, saya tidak pernah curiga. Saya mengira itu karena dia perhatian dan sayang sama anak. Tetapi bukannya dibawa pulang ke rumah, dia malah membawa AL ke hotel. Kurang ajar dia itu, masa saya sudah dikawininya, anakku pun digarapnya juga.

Jadi hasil wawancara dengan Ibu W diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi suaminya yang tidak memiliki pekerjaan atau pengangguran mengakibatkan suaminya memiliki lebih banyak waktu dan sering berada di rumah. Sedangkan ibu W harus kerja untuk mencari nafkah agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, hingga menyebabkannya jarang berada di rumah. Sehingga, saat suaminya dapat menjemput anaknya dari setelah pulang sekolah, ibu W tidak pernah curiga bahwa suaminya akan merusak masa depan anaknya dengan membawa anaknya pergi ke Hotel. Perbuatan suaminya menyebabkan anak Ibu W mengalami kekerasan secara seksual (incest).

Menurut Richard J Gelles (dalam Huraerah, 2007: 54-55), adanya stres yang ditimbulkan dari situasi sosial tertentu misalnya kondisi pengangguran yang dialami oleh orangtua serta keluarga yang sering bertengkar dapat meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga.

Begitu juga yang dialami oleh Informan V, keterbatasan ekonomi juga mengakibatkan anak dari Informan V, yaitu GHN menjadi korban kekerasan fisik.

131

Seperti yang diungkapkan Ibu SM (ibu kandung Informan V, GHN) :

Saya pernah bertengkar dengan suami karena uang belanja sehari-hari. Saya pernah minta ditambahin uang belanja sama bapak, sekarangkkan taulah harga barang-barang juga mahal. Dia cuma memberi enam ratus ribu rupiah untuk membayar biaya makan, listrik, air serta biaya sekolah anak. Tapi saya tidak pernah direspon sama dia, kami terlibat pertengkaran hebat karena itu. Saya malah di dibentak dan hampir dipukul. Anak saya GHN melerai kami waktu itu, memang si GHN juga mencoba melawannya tapi suami saya mengambil ikat pinggangnya dan memukul GHN.

Jadi hasil wawancara dengan Ibu SM diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi ekonomi yang pas-pasan yang dialami keluarga mereka menjadi penghambat terutama dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin melambung tinggi dan juga dalam menyekolahkan anaknya. Pada sebuah keluarga yang setiap hari pusing memikirkan desakan kebutuhan hidup, tentunya keadaan ini akan menyulut tumbuhnya sikap temperamental seperti halnya yang dialami oleh suami ibu SM. Tempramen merupakan gaya perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi tanggapan atau respons (Santrock, 2009). Sikap termpramen yang tidak terkontrol mengakibatkan anak sering menjadi pelampiasan emosi orang tuanya.

b. Faktor pola asuh orangtua

Kekerasan pada anak juga berkorelasi dengan pola pengasuhan orang tua(cara orang tua dalam mendidik dan berinteraksi dengan anak). Setiap keluarga mempunyai spesifikasi dalam mendidik. Ada keluarga yang cara mendidik anak secara diktator militer (otoriter) di mana anak mutlak harus mentaati segala aturan

132

dan batasan dan apabila anak tidak memenuhi tuntutan orang tua, anak akan diancam dan dihukum. Ada yang demokratis di mana keinginan dan pendapat anak juga dihargai dan diterima oleh orang tua. Tetapi ada juga keluarga yang acuh tak acuh dengan pendapat setiap anggota keluarga (Gunarsa, 2003: 132).

Setiap pola asuh yang diterapkan oleh orang tua di ruang lingkup keluarga terutama dalam menegakkan disiplin atau memberi hukuman pada saat anak melakukan kesalahan seringkali tidak tepat, bahkan hanya akan berdampak pada munculnya kekerasan pada anak.

Anak sangat mudah dan sering menjadi korban dari terjadinya tindak kekerasan sesungguhnya juga dikarenakan ekspresi dari hubungan antara anak dan orang tua yang bersifat asimetris dan tidak egaliter, yang pada akhirnya melahirkan sikap orang dewasa yang otoriter (Suyanto, 2010 : 74). Menurut Hurlock (2004), ciri-ciri pola asuh orangtua yang otoriter meliputi; anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua, pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat, hampir tidak pernah memberi pujian, sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tua, serta pengendalian tingkah laku melalui kontrol eksternal.

Menurut Davis (dalam Verawati, 2013), tindakan kekerasan muncul jika seorang dewasa menyalahgunakan kekuasaannya atau otoritasnya terhadap anak atau memanfaatkan kepercayaan dan rasa hormat anak untuk melibatkannya dalam aktivitas kekerasan tersebut.

Terlihat dari Informan I dan V, orangtua (pengasuh) memiliki sifat yang tegas dalam mengasuh anaknya. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kekuasaan dan otoritas ayah, mengakibatkan 2 dari 5 informan anak mendapatkan kekerasan dan mengalami trauma. Kondisi trauma (traumatics) biasanya berawal dari

133

keadaan stres yang mendalam dan berlanjut yang tidak dapat diatasi sendiri oleh individu yang mengalaminya.Trauma sebagai pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan dan meninggalkan bekas yang mendalam pada jiwa seseorang yang mengalaminya. Trauma adalah setiap luka, kesakitan atau shock yang terjadi pada fisik dan mental individu yang berakibat timbulnya gangguan serius (Sarwono, 2006).

Seperti yang diungkapkan HSS (Informan I):

Bapak tidak membolehkan aku pulang ke rumah lewat jam 9 malam, kalau sudah seperti itu ya harus dilakukan. Setiap keinginan bapak juga harus diikuti sama semuanya. Bapak pun akan memaksa dan mengancam supaya keinginannya itu dilakukan. Bapak selalu memaksa dan mengancam aku, adek dan mamak untuk masuk ke agama yang sama dengannya. Aku jadi takut sama bapak. Bapak juga tidak pernah mau mengerti dan mendengar pendapat anak-anaknya. Sama bapak tidak boleh kompromi. Aku kurang suka dengan sikap bapak.Aku juga takut.

Orang tua yang sangat otoriter, tidak memberikan peluang anaknya untuk berekspresi bahkan seringkali memaksakan kehendak pada anak tanpa melihat kemampuan anak dengan situasi, kebutuhan dan karakter anak. Sikap memaksakan menjadi pola kebiasaan dan peraturan tanpa memberikan ruang untuk pembaharuan dan fleksibelitas yang dapat memicu ketegangan diantara orang tua dengan anak (Sarwono, 2006).

Hal senada juga diungkapkan oleh GHN (Informan V):

Bapak itu orangnya keras. Dia selalu mewajibkan aku sudah harus berada di rumah jam 10 malam. Kalau aku tidak mengikuti itu, dia bisa marah habis-habisan sama ku. Aku pernah kemalaman pulang dan sampai

134

di rumah jam setengah sebelas malam, dia langsung memukul ku pakai gagang sapu. Kadang aku kurang suka kalau diatur seperti itu. Aku sudah besar dan tahu apa yang baik untukku.

Orang tua yang bertindak sebagai orang tua yang cenderung otoriter, maka atmosfer yang terbentuk dalam keluarga tempat seorang anak pertama kali belajar hidup juga adalah sebuah atmosfer otoritarianisme dan hal ini menjadi kebiasaan sehari-hari sang anak. Keluarga otoriter dapat dikatakan merupakan agen utama yang mencipta sosok individu otoriter yang cenderung melakukan kekerasan (Kusumadewi, dalam Yuniartiningtyas, 2013:3).

c. Faktor masalah keluarga

Hal ini lebih mengacu pada situasi keluarga khususnya hubungan orangtua yang kurang harmonis. Ruang keluarga yang dihiasi oleh suasana pertengkaran, perselisihan dam permusuhan adalah sumber terjadinya kekerasan terutama kekerasan fisik dan yang paling terkena sasaran kekerasannya adalah anak (Huraerah,2007:69).

Menurut Richard J Gelles (dalam Huraerah, 2007: 55), salah satu struktur keluarga tertentu yang memiliki risiko untuk melakukan tindakan kekerasan pada anak yaitu keluarga yang sering bertengkar. Keluarga-keluarga yang sering bertengkar secara kronis atau istri yang diperlakukan salah mempunyai tingkat tindakan kekerasan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan keluarga yang tanpa mempunyai masalah.

Hal ini dialami oleh semua orang tua dari informan I, II, III, IV dan V yang menyatakan tidak ada keharmonisan dalam keluarga serta suasana rumah sering ribut dan gaduh. Perbedaan pendapat terhadap suatu pokok persoalan keluarga

135

menimbulkan pertengkaran. Antara suami dan istri sering terjadi percekcokan dan perselisihan yang terus menerus berlangsung, sehingga dalam perselisihan tersebut seringkali menyebabkan salah satu pihak menjadi marah, sering menyakiti dan memukul pihak lainnya. Akibatnya anaklah yang sering menjadi korban dari pertengkaran orang tuanya. Irwanto menyatakan bahwa anak-anaklah acap kali menjadi titik rawan dalam keluarga untuk menerima perlakuan sewenang-wenang dan salah (Irwanto, dalam Suyanto, 2010 : 198).

Seperti yang diungkapkan oleh Ibu R (ibu kandung informan I, HSS) :

Saya dan suami sering berbeda pendapat, kadang soal keuangan, juga bisa karena masalah anak-anak. Dan kalau sudah berantam biasanya kami saling diam dan itupun bertahan cuma sehari. Apalagi meski hati ini masih kesal, tapi kalau bapak minta dibuatkan sarapan pagi-pagi, tetap ibu harus buatkan juga. Ibu dan keluarga tidak pernah pergi jalan-jalan sama, kalau ibadah sama juga paling hanya ibu dan anak-anak saja, suami saya beda agama dengan saya. Bahkan karena perbedaan agama ini juga yang buat kami berantam, sampai saya meninggalkan rumah. Suami saya selalu memaksa dan mengancam kami untuk mengikuti agamanya. Anak-anak jadi takut dan tidak betah di rumah karena selalu diancam.

Jadi hasil wawancara dengan Ibu R diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga Ibu R tidak harmonis, hal itu ditandai dengan adanya perbedaan pendapat diantara suami dan isteri yang menyebabkan mereka sering terlibat dalam pertengkaran. Perbedaan itu terutama terkait masalah ekonomi dan kondisi anak-anak. Selain itu adanya perbedaan akan keyakinan yang dianut oleh masing-masing anggota keluarga mengakibatkan anak-anak harus mengalami kekerasan secara psikis.

136

Seperti juga penuturan Bapak ER (ayah kandung Informan II, IR) :

Istri saya tidak suka dengan pekerjaan saya yang selalu sibuk sehingga katanya tidak pernah ada waktu dengan anak-anak. Padahal saya selalu berusaha memenuhi apa yang diinginkan anak-anak. Biasanya saya memang selalu pulang malam dari kantor, memang juga sering ke luar kota juga, tetapi itupun karena ada proyek dari kantor. Karena masalah itu juga, kami jadi sering ribut dan saling tidak berkomunikasi. Dia curigaan sama saya, menuduh saya punya cewek lagi di luar sana. Dan setiap kami berantamselalu saat ada anak-anak di rumah. Saya paling tidak suka dengan sikap isteri saya yang selalu menunjukkan pisau ke saya setiap bertengkar terutama dihadapan anak-anak. Anak-anak kan pasti jadi takut. Saya kesal saja kenapa istri saya bisa berpikir seperti itu dan tidak percaya sama saya. Padahal saya selalu memberi kabar.Kami sekeluarga jarang rekreasi serta ibadah bersama.

Dari hasil wawancara dengan Bapak ER diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga Bapak ER bukan termasuk keluarga yang harmonis. Berbeda dengan informan I yang mengalami pertengkaran dikarenakan adanya masalah ekonomi dan keyakinan. Informan II sering terlibat pertengkaran dikarenakan terdapat salah satu pihak yang tidak menyukai pekerjaan dan tidak adanya sikap saling mempercayai dengan pihak lainnya. Hal tersebut memicu pertengkaran diantara Bapak ER dan isteri yang memang sering terjadi terutama dihadapan anak-anak mereka. Anak-anak yang menyaksikan kedua orangtuanya terlibat pertengakaran dengan menggunakan benda tajam (pisau) menjadi takut, sedih dan bingung akan sikap kedua orang tuanya. Hal tersebut mengakibatkan anak-anak mengalami

137

kekerasan secara psikis.Hal senada juga diungkapkan oleh Ibu W (ibu kandung informan III, AL):

Kami sering ribut, biasanya masalah uang, kadang hal sepele juga diributkan sama suami saya. Karena hal seperti itu, hubungan kami sering tidak baik. Kami dan anak-anak juga tidak pernah jalan-jalan ke tempat wisata dan melakukan ibadah sama-sama seperti orang lain. Saya sekarang masih kesal kalau mengingat tentang suami. Kurang ajar dia itu, aku sudah dikawininya dan sekarang anakku pun digarapnya juga.

Jadi hasil wawancara dengan Ibu W diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga Ibu W merupakan keluarga yang tidak harmonis, hal itu diakrenakan sering terjadi perbedaan pendapat diantara suami dan isteri terutama diakibatkan oleh masalah keuangan. Masalah keuangan juga yang mengakibatkan informan III jarang melakukan rekreasi serta ibadah bersama-sama.

Seperti yang juga diungkapkan oleh Ibu R (ibu kandung informan IV, RHP) : Sebelum dia pergi meninggalkan kami sampai hari ini, kami memang sudah bertengkar. Selama tiga hari tidak ada berkomunikasi. Selama ini, saya sudah bersabar dengan sikapnya yang suka marah bahkan saya juga

Dokumen terkait