• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik penggusuran terhadap pedagang buku bekas sisi timur Lapangan Merdeka Kota Medan dilatarbelakangi dengan kebijakan Pemerintah Kota (Pemko) Medan yang ingin membangun City Check In , Sky Bridge dan lahan parkir. Dengan alasan pembangunan, para pedagang buku dipaksa direlokasi menuju Jl. Pegadaian. Pembangunan ini dilaksanakan berkaitan dengan adanya proyek pembangunan jalur Kereta Api ke Bandara Kuala Namu termasuk adanya proyek jalan tol. Program pembangunan ini tepat berada pada lokasi berjualan pedagang buku bekas di sisi Timur Lapangan Merdeka. Lokasi sisi Timur Lapangan Merdeka tersebut dekat dengan lokasi stasiun Kereta Api Medan, maka sudah dipastikan dibutuhkan lahan parkir yang luas.

Pedagang buku bekas menyadari bahwa mereka dipindahkan dari titi gantung ke sisi timur lapangan merdeka berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Medan No.510/ 1034/k/2003 dan telah disetujui oleh DPRD Kota Medan melalui surat No. 646/624 tertanggal 11 Juli Tahun 2003 perihal persetujuan Revitalisasi Cagar Budaya Titi Gantung Medan dan pemindahan pedagang buku di Lapangan Merdeka.Namun kemudian pedagang kembali di gusur dengan terbitnya SK Wali KotaSK Walikota Medan Nomor: 511.3/1982 K/2012 tertanggal 25 Oktober 2012.Hal ini menimbulkan penolakan dan gerakan perlawanan dari pedagang buku bekas yang tergabung di dalam organisasi Persatuan Pedagang Buku Lapangan Merdeka (P2BLM) terhadap pemerintah Kota Medan yang dianggap diskriminatif karena tidak melindungi hak-hak mereka. Menurut William Dunn (1990) Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat dimana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan. Tahapan-tahapan pembuatan kebijakn publik menurut William Dunn yaitu 1) Penyusunan Agenda, 2) Formulasi Kebijakan, 3) Adopsi/Legitimasi Kebijakan, 4) Implementasi Kebijakan 5) Evaluasi Kebijakan.

1. Penyusunan Agenda

Penyusunan agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan agenda publik perlu diperhitungkan.

Penyusunan agenda kebijakan seyogianya berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.

Diterbitkannya Surat Keputusan Wali Kota Medan terkait penggusuran dan pemindahan pedagang buku bekas dari sisi timur lapangan merdeka ke jalan pegadaian dipandang pedagang sebagai kebijakan yang diskriminastif,Pedagang buku menolak untuk direlokasi dari sisi timur Lapangan Merdeka ke Jl. Pegadaian, Keluarahan Aur, Kecamatan Medan Maimun. Hal ini beradasarkan lokasi yang tidak strategis, dan penempatan kios di Lapangan Merdeka sah secara hukum. Seperti yang dinyatakan Informan kunci I:

“Kita gak setuju untuk pindah, karena kita punya legalitas yang kuat, punya SK, punya surat izin, dan keputusan DPRD dari hasil sidang paripurna. Kita pertanyakan alasan kenapa kita mau di relokasi mereka gak bisa jawab. Kalau kita mau di ganti harus ada UU perubahan peruntukkan tempat untuk pedagang buku. Nah, pedagang buku kalo mau dipindah harus ada dong melalui sidang paripurna juga kalo lahan pedagang buku diperuntukkan untuk parkir, Secara hukum kita kuat. Kios gak layak, mereka menempatkan itu melanggar Perda lho. Walikota yang buat kenapa beliau yang melanggar. Seharusnya beliau yang jadi panutan untuk masyarakat kok jadi beliau yang ngajari masyarakat untuk melanggar hukum”.

Selain itu, menurut Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota (RTRWK) Medan Tahun 2011-2031, pembangunan sky bridge, city check in dan lahan parkir diperuntukkan di lokasi Jl. Jawa Kecamatan Medan Timur tepat berada di lokasi kompleks Centre Point tersebut.

City check in dan lahan parkir itu ternyata menurut RTRWK seharusnya berada di bangun di Jalam Jawa, Kecamatan Medan Timur. Centre Point yang udah berdiri megah di lokasi untuk bangun itu kenapa kami yang digusur? Kenapa Pemerintah gak berani gusur bangunan itu? Jadi, gak ada alasan yang tepat untuk merelokasi kami”.

2. Formulasi Kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada.

Pemko Medan sebagi pembuat kebijakan tidak menawarkan solusi lain selain menggusur pedagang dan di pindahkan ke jalan pegadaian berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Medan dengan cara penggusuran paksa.

Seperti yang disampaikan informan kunci II:

Sky bridgeudah dibuat di perda kita dibangun disitu masalahnya sekarang harus menelusuri Bapeda. Masterplan kereta api orang tu bangunnya dimana kadang-kadang masterplan kami disini, kereta api disini kan kami harus bersinergi jadi bukan kitab suci yang tidak bisa dirubah, tiap saat bisa berubah namanya produk manusia, siapa bilang RTRWK gak bisa dirubah, ya boleh boleh aja. Kita kan harus ikuti orang itu kereta api. Saya sekedar melanjutkan, di dalam buku perdanya kami bangun disitu, kalo gak kami bangun ngelanggar perda, APBD Kota Medan yang harus kita kerjakan dibahas di anggota dewan. Kalo dia gak tau berarti kan dia gak baca”

Ditambah dengan pernyataan Informan III: “Terjadi penggusuran secara paksa , bahwasanya kami harus pindah dari lapangan merdeka dengan pemko mengerahkan tentara, brimob, marinir, angkatan laut dan angkatan udara beserta 2 buldoser. Karena kami merasa kuat dengan legalitas yang sah kami melawan dengan cara mempertahankan lapangan merdeka”.

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Kebijakan Pemko Medan menggusur dan memindahkan pedagang ke jalan pegadaian justru telah melanggar peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan oleh Pemko Medan Sendiri.

Seperti apa yang dinyatakan oleh informan kunci III:

“.... Ketiga, ternyata tanah itu punya PT. KAI bukan punya Pemko Medan, yang kita dapat informasi tanah itu akan dipakai oleh PT. KAI untuk membangun diouble track, nah jadi tempat relokasi itu tidak menjamin keberlangsungan para pedagang bisa berjualan disana suatu saat ketika PT KAI menghendaki tanah itu untuk dipakai guna membangun double track maka pedagangnya akan digusur lagi nah belum tentu ada tempat relokasi yang lain. Keempat, relokasi ini ternya bertentangan dengan peraturan perundang undangan perda kota medan misal beretntangan dengan undang-undang perkeretaapian. Tidak boleh orang mendirikan bangunan 12 meter dari rel itu uu perkereta apian kita tapi bangunan itu di sekitar 5-6 meter dari rel kereta api itu jalur hijau melanggar Perda Kota Medan tentang jalur hijau, tidak boleh ada orang mendirikan bangunan di atas badan jalan atau trotoar. Kios itu ada di badan jalan, oleh karena itu ini bertentangan dengan banyak hal. Yang berikutnya setelah kita kaji juga RTRWK Medan, ternyata city check in dan areal parkir itu dia tidak dibuat di sisi timur Lapangan Merdeka tapi itu di Jalan Jawa, jadi ada kepentingan usaha besar kemudian pemerintah menegasikan kelompok-kelompok kecil itu yang kemudian menjadi landasan bagi kontras untuk melakukan advokasi terhadap pedagang, ternyata pemko bukan hanya tidak memperhatikan persoalan HAM, tapi dia juga melanggar aturan yang ia buat sendiri”.

Sama halnya seperti terdapat dalam kutipan wawancara dengan informan kunci I:

City check in dan lahan parkir itu ternyata menurut RTRWK seharusnya berada di bangun di Jalam Jawa, Kecamatan Medan Timur. Centre Point yang udah berdiri megah di lokasi untuk bangun itu kenapa kami yang digusur? Kenapa Pemerintah gak berani gusur bangunan itu? Jadi, gak ada alasan yang tepat untuk merelokasi kami”.

Pemindahan pedagang buku Titi Gantung ke sisi timur Lapangan merdeka adalah sesuai dengan SK: No. 511.3/5750. B tertanggal 22 Juli 2003. Surat tersebut menyatakan bahwa pedagang buku akan di relokasi ke sisi timur Lapangan Merdeka yang menjadi cagar budaya Kota Medan dan hak kepemilikan kios untuk pedagang buku.

”Kami dulu awalnya berjualan di Titi Gantung di relokasi ke Lapangan Merdeka dengan alasan cagar budaya. Itupun kami gak langsung pindah, Waktu dipindahi masi bertahan lah kami disini, setelah mediasi- mediasi setujulah kami untuk pindah ke lapangan merdeka, itupun dengan catatan kami seluruh pedagang dihadapkan langsung oleh Pemko Medan yang diwakili oleh sekda nya (sekretaris daerah) tahun 2003 ketemunya pun di Hotel Dharma Deli”

4. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)

Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut dilaksanakan. Dalam tahap ini suatu kebijakan seringkali menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda dilapangan. Pemko Medan dalam mengimplementasikan kebijakan penggusuran dan pemindahan pedagan masih menggunakan cara-cara arogan dengan memakai kekuatan Satpol PP, Polisi, TNI dan bahkan menyewa preman.

“Pada saat itu pihak Kontraktor pernah melakukan memanggil orang bayaran untuk menghancurkan atau mengahantam kami pedagang P2BLM. Itu dengan turunya sekian ratus orang yang di fasilitasi sama pihak Kontraktor dengan menggunakan jasa tukang batu untuk memasuki lahan dan menghancurkan kios. Itu sempat terjadi kontak dengan pedagang. Kami mennyikapinya secara spontanitas aja. Cara masuk orang itu pun tidak diketahui sama pedagang. Orang itu gak sekalian datang banyak, satu- satu, ya kita pikir mereka itu pekerja yang udah diambil lahan ama pengembang itu 17,5 meter. P2BLM ini tidak mau memulai, walaupun pun sudah dicurigai, tapi dibilang waktu itu ama ketua kita belum ada tindakan jangan pernah membuat tindakan. Kita sabar, lalu tiba-tiba banyak berani mereka hancurkan kios, udah ada satu itu yang dipukul mereka kek, martil, linggis, godam, ketauan sama pedagang ya ributlah. Menjerit pedagang, kumpul semua pedagang, bentrok belum sempat puku-pukulan cuman tolak-tolakan aja, gak lama itu datang pihak kepolisian medan barat di tengahi sama mereka yang sedikit beratnya ke kontraktor”.

5. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup subtansi, implementasi dan dampak. Kebijakan Pemko Medan yang memaksa pedagang untuk pindah dengan cara penggusuran paksa telah berdampak terhadap tingkat kesejahteraan pedagang yang meliputi pendapatan, kesehatan, pangan dan perumahan pedagang.

Seperti yang terdapat dalam kutipan wawancara dengan informan kunci I: “Kalau dampaknya sama pedagang pasti adalah, terutama dalam pendapatan, pedagang udah enggak ada lagi yang bukak kios (kedai buku) karna

kita takut tiba-tiba nanti udah datang aja pihak pemko medan bawak polisi, satpol PP dan TNI, Sama dari segi kesehatan, setiap malam harus berjaga di lapangan merdeka supaya enggak ada orang-orang yang mau berbuat aneh sama perjuangan kita ini”.

Tidak jauh berbeda, informan tambahan I juga mengatakan bahwa penggusuran dan pemindahan pedagang ke jalan Pegadaian oleh Pemko Medan tersebut telah berdampak terhadap kesehatan.

“Sakit memang enggak sering tapi pernah sakit, biasanya sakit abang (suami) itu pilek, batuk dan demam biasa. Sebabnya tempat dia jualan di pegadaian itu kan banyak kali debu, jadi karna ngirup udara gk sehat gitu makanya batuk,pilek bahkan sampai demam”.

5.3.2. Analisis Perlawanan (Resistensi)

Resistensi rakyat menurut Scott dalam Alisjahbana (2005:39-41) dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu, resistensi yang disebabkan oleh penyebab secara langsung dan penyebab tidak langsung. Resistensi rakyat karena penyebab secara langsung seperti penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan oleh tuan tanah, pemerintah, pemilik modal atau pihak lain. Resistensi yang secara tidak langsung dilakukan melalui perlawanan secara sembunyi-sembunyi. Resistensi secara sembunyi-sembunyi mampu mencapai hasil yang lebih besar dibandingkan resistensi yang dilakukan secara terang-terangan.

Alisjahbana (2005:130) mengatakan perlawanan yang dilakukan oleh sektor informal berdasarkan perlawanannya dapat ditipologikan menjadi dua :

Ini identik dengan perlawanan secara terbuka dalam artian sektor informal siap untuk berhadap-hadapan secara langsung dengan pemerintah.

Seperti apa yang disampaikan oleh Informan kunci I:

“Kami dan kawan-kawan ke DPR yang sedang melakukan sidang paripurna yang dihadiri Walikota Medan (Plt) yaitu Pak Eldin tentunya pada saat mereka sidang, kami juga udah di dalam sama pedagang buku yang udah ada di dalam gedung DPRD itu. Kami satu per satu naik ke ruangan sidang itu menerobos dan serta gulungan poster ama spanduk digulung supaya gak ketauan, meminta pada security untuk berjumpa dengan Eldin untuk melakukan audiensi akhirnya diterima juga sama pihak security kami pun tatap muka sama Walikota untuk menyampaikan aspirasi kami untuk menolak relokasi”.

b) Resistensi (perlawanan) tersembunyi,

Perlawanan yang dilakukan dalam bentuk siasat-siasat untuk menghindari konfrontasi langsung dengan aparat pemerintah kota, resistensi ini bersifat menghindar. Bentuk resistensi dengan tipe seperti ini ditemukan dalam resistensi main kucing-kucingan dengan aparat penertiban, kongkalikong dengan “orang dalam”, menebus barang dagangan untuk berjualan lagi, mencari tempat yang agak tersembunyi, membatasi jumlah sektor informal oleh sektor informal “senior”, membentuk paguyuban sektor informal dan mengumpulkan iuran untuk ‘keamanan’, mencari dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan mahasiswa, dan melawan kekuatan modal.

Seperti apa yang disampaikan Informan Kunci I: “Kita lakukan lah konsolidasi dengan teman-teman sesama pedagang buku dalam P2BLM kemudian kita juga demo dan membangun hubungan dengan organisasi lainnya seperti organisasi mahasiswa, kelompok petani, buruh dan meminta bantuan KontraS,

Karena koordinator Kontras yang bernama Herdensi Adnin, beliau itu emang pemain lama dari 2003, dan beliau tau seluk beluk bagaimana pemindahan dari Titi Gantung ke Lapangan Merdeka. Yang jelas, tergerak juga hatinya untuk membantu kita. Beliau juga memperjuangkan tahun 2003 sampe ke Lapangan Merdeka, jadi karena udah dekat juga sama kita”.

5.3.3. Analisis Dampak Penggusuran Terhadap Kesejahteraan Keluarga

Dampak secara sederhana bisa diartikan sebagai pengaruh atau akibat. Dalam setiap keputusan yang diambil oleh seseorang biasanya mempunyai dampak tersendiri, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Dampak juga bisa merupakan proses lanjutan dari sebuah pelaksanaan pengawaan internal. Seorang pemimpin yang handal sudah selayaknya bisa memprediksi jenis dampak yang akan terjadi atas sebuah keputusan yang akan diambil. Dalam penelitian ini sebagian besar memperoleh pengaruh yang negatif dari penggusuran dan pemindahan pedagang buku bekas.

Bentuk dampak yang sering dirasakan oleh pedagang buku bekas adalah berkurangnya pendapatan, terganggunya kesehatan dan pemenuhan pendidikan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan kondisi papan atau perumahan pedagang.

Dampak yang mereka terima dari penggusuran dan pemindahan oleh Pemerintah Kota Medan berupa dampak negative, akibat yang dihasilkan dari dampak ini adalah merugikan dan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga meliputi Pendapatan, Kesehatan, Pendidikan dan Perumahan. Adapun kutipan wawancara tersebut yaitu dari informan utama I:

“Kalau pendapatan satu hari enggak tentu bang, kadang kalau lagi banyak rezeki bisa sampai Rp.150.000 dibawak pulang, kadang kalau sepi cuma dapat Rp.50.000, namun pada saat pemko medan gencar-gencarnya ingin menggusur pedagang,

disitulah kami lagi hancur-hancurnya bang. Waktu itu kami gak jualan, kami fokus menggalang kekuatan untuk menolak penggusuran itu. Kalau setelah dipindahkan ke jalan pegadaian ini bg jauh kali bedanya sama di lapangan merdeka. untuk mendapatkan penghasilan Rp.100 ribu aja berat”

Informan II juga mengatakan pemindahan dan penggusuran sangat berdampak terhadap penghasilan berjualan sehar-hari, Adapun kutipan wawancaranya yaitu:

“Berpengaruh kali lah dek sama pendapatan kita pedagang, pertama lokasi jalan pegadaian gak semua orang tau, kita juga jualannya di atas jalan, orang mau beli kadang-kadang malas berlama-lama karena itu lahan parkir gak ada dan jalan ini sering kali macet. Beda dengan di lapangan merdeka, selain tempatnya nyaman, lahan parkir ada, dan orang senang belanja karna ada fasilitas tempat duduk untuk baca-baca buku”.

Sama halnya dengan informan utama I dan II, informan utama III juga mengatakan penggusuran sangat berpengaruh terhadap penghasilan berjualan sehari-hari, berikut kutipan wawancaranya:

“Tergantung harinya juga dek, kalau hari senin sampai jumat lumayanlah, apalagi kalau lagi masuk tahun ajaran baru, orang banyak belanja buku kan, kalau hari biasa paling dapatnya dibawah 100 ribu perhari.

Dampak dari kondisi tersebut kemudian membuat informan utama I tidak lagi dapat menyisihkan pendapatnya untuk ditabung, seperti yang dikatakannya dalam wawancara:

“Kalau ada rezeki hari itu lebih misalnya semua kebutuhan udah kita belik, sisanya kita kasihlah sama orang rumah (istri) untuk uang jaga-jaga (tabungan),walaupun enggak banyak sih bang tapi ada jugak lah.Tapi itu waktu jualan masih di lapangan merdeka,kalau jualan di jl.pegadaian ini udah gak ada lagi itu bang untuk tabungan,bisa cukup belanja aja udah syukur kali”.

Selain informan I, informan III juga nmengatakan tidak dapat menyisihkap uang pendapatan untuk di tabung, adapun kutipan wawancaranya yaitu:

“Kalau untungnya (pendapatan) sehari-hari cuma cukup untuk kebutuhan rumah aja, makanya ibu sambil jualan batu (batu cincin) ini”.

Tetapi berbeda halnya dengan informan utama II, jika yang lain mengatakan bahwa penggusuran dan pemindahan lokasi berjualan membuat pedagang tidak bisa menanbung, informan II masih bisa mmenyisihkan penghasilan sehari-hari untuk di tabung. Seperti kutipan wawancaranya yaitu:

“Kalau keuntungan dari jualan alhamdulillah sebagian adalah dek di sisihkan untuk di tabung, mana tau nanti kedepan ada keperluan mendesak maka kita udah punya uang simpanan”

Selain berdampak terhadap pendapatan pedagang, penggusuran dan pemindahan pedang ke jalan pegadaian juga berdampak terhadap kesehatan pedagang, berikut pernyataan informan Utama I:

“Kalau kesehatan keluarga waktu masih jualan di lapangan merdeka sehat-sehat aja bang, ya biasalah bang paling ada demam biasalah, tapi waktu kita lagi berjuang mempertahankan lapangan merdeka itu kebetulan istri juga ikut waktu demo-demo itu, sering kita sakit demam atau pilek, mungkin karena kecapean tambah kenak terik matahari lagi. Kalau pas udah jualan di jl.pegadaian itu justru aku yang sering sakit bang,taulah bang tiap hari kita kenak debu jalan, kalau udah sakit gitu terpaksalah dibawak ke rumah sakit ”.

Hal itu juga dirasakan oleh Informan Utama III, menurutnya selama berjualan di jalan pegadaian dia sering sakit disebabkan banyaknya debu jalan dari kendaraan yang melintas berpengaruh terhadap kesehatan.

“Sebelum penggusuran kondisi kita sekeluarga sehat-sehat aja dek, tapi udah pindah ke pegadaian ini sering kita sakit, soalnya tiap hari kita menghirup polusi kendaraan sama debu dari jalan ini”.

Selain berdampak kepada kesehatan, penggusuran juga berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan anggota keluarga pedagang, Informan utama III harus bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya. Adapun kutipan wawancaranya yaitu:

“Kalau dari penghasilan berjualan buku bekas ini enggak cukuplah dek memenuhi kebutuhan sekolah anak, mungkin kalau biaya sekolah enggak berat tapi untuk beli perlengkapan sekolah, jajan dan ongkos becak mereka kan harus di carik jugak. Makanya harus cari kerja sampingan”.

Selain informan III, informan utama I juga dibantu oleh istri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, hal itu seperti kutipan wawancara dari informan tambahan I:

“Semenjak orang itu digusur dari lapangan merdeka, penghasilan abang memang udah gak cukup lagi untuk uang belanja, makanya kami cuma mengandalkan gaji kakak dari rumah sakit itulah dek. Gaji kakak enggaknya besar-besar kali Cuma 800 ribu dikasih sebulan”.

Pemenuhan papan atau perumahan, Informan utama I masih menyewa rumah untuk tempat tinggal, seperti yang dikatakannya dalam wawancara:

“Sekarang kita masih ngontrak (sewa) bang, rumah sedang semi permanen gitu, ada dua kamar di dalam, lantai masih pakek semen biasalah ada ruang dapur yang sedang dan satu kamar mandi di dalam”.

BAB VI

Dokumen terkait