• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Evaluasi dengan Konsep Dasar Lean Six Sigma

4.3.3 Analisis ( analyze )

Tahap analyze menganalisis penyebab cacat atau variasi pada produk dari pemetaan proses. Tahap ini juga menganalisa hubungan sebab akibat berbagai faktor yang dipelajari untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang perlu dikendalikan pada tahap selanjutnya.

4.3.3.1 Tahap penerimaan bahan baku (receiving)

Faktor penyebab variasi kadar histamin pada bahan baku tuna pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) digolongkan ke dalam tiga faktor utama, yaitu kondisi ruang penerimaan, bahan baku dan manusia. Diagram sebab akibat pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) dapat dilihat pada Gambar 31.

1. Kondisi ruang penerimaan

Kondisi ruang penerimaan secara langsung mempengaruhi mutu tuna yang diterima. Secara umum dapat digambarkan bahwa kondisi ruang penerimaan yang ada adalah tidak tertutup dari lingkungan luar, lantai ruang penerimaan bahan baku tuna beku tidak higienis dan jarang dibersihkan. Pada saat penerimaan berlangsung, ikan ditumpuk di lantai sebelum penimbangan dilakukan. Serangga seperti lalat dapat ditemukan menempel pada bahan baku, karena tidak dilengkapi dengan insect killer serta suhu ruangan yang adalah sekitar ±27 0C. Desain ruang pengolahan termasuk ruang penerimaan seharusnya dirancang untuk mencegah kontaminasi silang. Ruang penerimaan seharusnya tertutup dari lingkungan luar untuk mencegah terkena hujan, angin atau benda asing lainnya yang dapat mengkontaminasi produk. Ruang penerimaan pada negara tropis sebaiknya disesuaikan suhunya dengan spesifikasi produk karena pertumbuhan mikroba sangat cepat (ICMSF, 1998). Selain itu menurut Kim et al. (2002) bahwa suhu 20 – 30 0C merupakan suhu optimum pembentukan histamin dari bakteri pembentuk histamin Morganella morganii.

2. Bahan baku

Bahan baku ikan tuna yang digunakan PT Z adalah berupa ikan tuna beku yang dibeli dari transit atau dari perusahaan lain. Perusahaan tidak mengetahui apakah ikan tuna yang dibeli di perusahaan lain tersebut dalam kondisi masih baik atau sudah mengalami perlakuan lain, misalnya seperti

deforst/thawing yang dilakukanberulang kali saat ketika ikan tersebut dibeli. Jika hal ini terjadi maka akan dapat mempengaruhi kadar histamin ikan tuna yang telah dibeli. Menurut Kim et al. (2002), ikan tuna beku yang mengalami

thawing pada suhu 25 0C dan dibekukan kembali akan menyebabkan histamin terakumulasi, karena jika enzim sudah terbentuk pada suhu optimumnya maka enzim tersebut akan terus memproduksi histamin walaupun sudah dibekukan. Lakmisha et al. (2008) melaporkan bahwa aktivitas pencairan kembali atau proses pen-thawing-an ikan yang telah dilakukan pembekuan akan menyebabkan ”rapid multiplication” dari mikroorganisme yang ada,

sehingga dapat dimungkinkan berujung pada peningkatan kadar histamin produk ikan tersebut.

3. Manusia

Hal lain yang dapat menyebabkan variasi kadar histamin dalam bahan baku tuna adalah pekerja. Saat penerimaan bahan baku, pekerja menangani ikan dengan kasar dan tidak mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum bekerja. Menurut Yamanaka et al. (1982) penanganan yang salah pada ikan tuna sebelum dibekukan dapat menimbulkan keracunan histamin, walaupun ikan dibekukan sampai suhu -50 0C. Kemudian Tao et al. (2009) menyatakan bahwa kadar histamin pada ikan juga dipengaruhi oleh waktu dan teknik penanganan. Dalam penelitiannya melaporkan bahwa kandungan histamin tidak dapat terdeteksi pada ikan yang berada dalam kondisi steril. Oleh karena itu disarankan bahwa berlangsung kontak fisik pekerja atau permukaaan yang tidak higienis dengan ikan agar lebih banyak dihindari. Berdasarkan informasi tersebut maka dibutuhkan perbaikan metode kerja dalam proses agar kerusakan pada ikan tidak terjadi. Ketelitian QC dalam membeli bahan baku juga mempengaruhi variasi kadar histamin pada tahap penerimaan bahan baku.

Gambar 31. Diagram sebab akibat pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) 4.3.3.2 Tahap penyimpanan beku bahan baku (raw material storaging)

Faktor penyebab dekomposisi pada bahan baku tuna tahap penyimpanan beku (cold storage) bahan baku digolongkan ke dalam tiga faktor utama, yaitu kondisi cold storage bahan baku, mesin cold storage dan manusia. Diagram

Variasi kadar histamin pada bahan baku tuna Bahan baku

Kondisi Ruang penerimaan Manusia

Penanganan Keterampilan

Ketelitian Mutu bahan baku

Defrost berkali-kali

Kebersihan Suhu tinggi

sebab akibat pada tahap penyimpanan beku (cold storage) bahan baku dapat dilihat pada Gambar 32.

1. Kondisi Cold storage bahan baku

Tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku dapat mempengaruhi kualitas ikan tuna, karena pada tahap ini bahan baku disimpan dalam waktu tertentu sampai diolah menjadi produk loin. Kondisi tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku di PT Z memiliki banyak kekurangan, diantaranya suhu cold storage yang selalu berfluktuasi, salah satunya adalah karena evaporator di dalam tertutup oleh es dan pintu

cold storage tidak dilengkapi oleh sealer. Selain itu di dalam cold storage

sering ditemukan adanya binatang pengerat, serta tata penyimpanan tidak menggunakan sistem FIFO. Menurut Undeland (2001), suhu cold storage

yang sering berfluktuasi dapat menjadi salah satu faktor utama mutu turunnya mutu dari ikan. Jika fluktuasi suhu terjadi dibawah -20 0C maka kecepatan pembusukkan ikan sangat kecil, namun jika melihat gambaran peta kendali

(control chart) pada Gambar 28, fluktuasi suhu pada tempat penyimpanan beku (cold storage) sudah berada diatas -20 0C.

2. Mesin cold storage

Mesin cold storage yang ada sudah cukup tua dan petunjuk digital di ruang mesin rusak sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti kondisi suhu yang ada. Selama penelitian dari bulan Februari sampai Maret 2009, sering terjadi pemadaman listrik dan mesin pernah terbakar, sehingga suhu dalam

cold storage menjadi lebih tinggi dalam waktu yang cukup lama. Penyebab mesin terbakar adalah karena tekanan yang besar pada bagian pipa (valve) di kondensor.

3. Manusia

Pemahaman karyawan untuk menjaga fluktuasi suhu serendah mungkin dinilai sangat kurang. Pintu cold storage sering dibiarkan terbuka untuk waktu yang cukup lama pada saat pekerja sedang memasukkan atau mengeluarkan bahan baku. Penanganan ikan yang kasar dan bahan baku yang diinjak-injak oleh pekerja dapat menyebabkan dekomposisi dan kerusakan pada bahan baku. Dibutuhkan juga kedisiplinan QC dalam

pencatatan suhu cold storage sehingga jika terjadi fluktuasi suhu dapat terdeteksi.

Gambar 32. Diagram sebab akibat tahap penyimpanan beku bahan baku 4.3.3.3 Tahap pengecekan akhir (grading)

Faktor penyebab variasi kadar histamin tuna loin beku tahap pengecekan akhir (grading) digolongkan ke dalam lima faktor utama, yaitu bahan baku, cold storage bahan baku, ruang anteroom, manusia dan manajemen. Diagram sebab akibat pada tahap pengecekan akhir dapat dilihat pada Gambar 33.

1. Bahan baku

Pada saat penerimaan dilakukan pengecekan organoleptik oleh QC, ikan tuna yang mutunya kurang baik seperti bau dan teksturnya lembek akan diuji kandungan histaminnya. Tetapi uji histamin kadangkala tidak dilakukan saat bahan baku datang. Hal ini disebabkan diantaranya habisnya test kit untuk uji histamin di perusahaan. Tidak dilakukannya uji histamin mempengaruhi efisiensi penerapan program HACCP di perusahaan. Hal ini akan berpengaruh pada produk akhir tuna loin dalam hal keamanan pangan dan keuntungan perusahaan karena pada saat pengecekan akhir sering ditemukan produk reject sehingga tuna loin tersebut tidak dapat diekspor dan harga jualnya turun.

Evaporator tertutup es

Dekomposisi bahan baku Mesin

Kondisi Cold storage Manusia

Kedisiplinan Keterampilan

Motivasi Pembersihan

Perawatan

Kondisi mesin tua

Pembersihan Kondensor sering rusak

Sealer pintu

Bahan baku yang diproses juga tidak mengikuti sistem FIFO, sehingga bahan baku yang sudah disimpan lama (sekitar 7 – 12 bulan) digunakan untuk proses pengolahan. Ben-Gigirey et al. (1999) menyatakan bahwa bakteri jenis S.maltophilia yang diisolasi dari tuna albacore selama penyimpanan pada suhu -25`0C dalam waktu 6 bulan, kadar histaminnya meningkat dengan pesat sebesar 5 ppm. Bakteri jenis ini merupakan produsen kadaverin yang kuat, sehingga pada saat produk mengalami thawing efek sinergis kadaverin dan histamin dapat menimbulkan keracunan histamin. Sedangkan menurut Lakmisha et al. (2008) ikan yang disimpan selama 2 bulan pada suhu -18 0C kandungan histaminnya dapat mencapai 20,8 ppm. Maka sebaiknya perusahaan menggunakan sistem FIFO agar risiko peningkatan kadar histamin pada produk akhir dapat dihindari.

2. Cold storage bahan baku

Fluktuasi cold storage bahan baku dapat menyebabkan dekomposisi produk dan mutu produk yang dihasilkan akan turun. Beberapa data cold storage bahan baku sampai melewati -15 0C. Kim et al. (2002) menyatakan, TMAO dapat di pecah menjadi DMA dan FA pada saat penyimpanan beku oleh enzim dalam daging ikan, tetapi enzim tersebut dapat dihambat pada suhu kurang dari -29 0C. Sedangkan menurut Taylor dan Speckhard (1983), bakteri pembentuk histamin masih ditemukan pada 3 dari 10 ikan tuna yang disimpan pada suhu -15 0C. Maka sebaiknya suhu cold storage bahan baku dijaga ≤-20 0C agar bakteri pembentuk histamin tidak dapat tumbuh dengan pesat. Kebersihan cold storage sebaiknya juga diperhatikan agar tidak terjadi kontaminasi mikroba terhadap bahan baku.

3. Manusia

Pada pengecekan akhir, QC juga berfungsi untuk memisahkan tuna loin yang bau dan penampakannya jelek. Ketelitian QC dalam penerimaan bahan baku sampai pengecekan akhir juga dapat mempengaruhi kadar histamin tuna loin yang dihasilkan. Jika ada tuna loin yang nilai sensorinya kurang dapat lolos dari pengecekan akhir maka kemungkinan terdapat produk tuna loin yang histaminnya tinggi (Ben-Gigirey et al., 1999).

4. Manajemen

Komitmen manajemen PT Z untuk memotivasi pekerja dinilai sangat kurang. Pemberian pelatihan secara berkala tentang HACCP misalnya sangat diperlukan agar HACCP diterapkan di semua lini produksi. Menurut Panisello dan Quantick (2000), komitmen manajemen sangat penting dalam penerapan kelayakan dasar yang baik serta keberhasilan program HACCP di perusahaan. Komitmen pihak manajemen dalam penerapan program HACCP di PT Z dapat dikatakan tidak konsisten. Hal ini dapat dilihat dari masalah tidak diujinya histamin pada bahan baku tuna yang diterima dan kondisi cold storage yang tidak beraturan serta fluktuasi suhu cold storage yang besar. Menurut Taylor (2004) seharusnya manajer produksi memberikan contoh dan membimbing karyawan dalam menerapkan HACCP. Manajer produksi juga sebaiknya mengecek apakah CCP selalu dimonitor dan pelaksanaan HACCP sudah sesuai yang direncanakan. Manajemen puncak harusnya memotivasi kesadaran pekerja tentang pentingnya HACCP dan mengulang pelatihan jika diperlukan pada karyawan terutama pada QC. Tanpa kepemimpinan yang baik maka program HACCP tidak akan berjalan sesuai harapan.

Gambar 33. Diagram sebab akibat tahap pengecekan akhir (grading) Manajemen

Variasi kadar histamin pada tuna loin beku

Cold storage Bahan baku Manusia Kedisiplinan Ketelitian Motivasi Tidak FIFO

Tidak uji histamin pada penerimaan

Kebersihan Fluktuasi suhu

Dokumen terkait