• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis finansial budidaya kutu lak dilakukan untuk melihat secara keseluruhan investasi yang dimiliki oleh perusahaan. Pada analisis ini, data dasar yang diambil adalah data yang selama ini dimiliki oleh Perum Perhutani dalam mengelola lak. Namun, penerapan sistem analisis inventarisasi yang dilakuan tidak semuanya berdasarkan kegiatan yang dilakukan oleh pihak Perum Perhutani. Analisis aspek finansial yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada kegiatan yang dilakukan apabila suatu perusahan baru akan membangun atau membuka perusahaan yang bergerak dibidang budidaya kutu lak. Perusahaan memiliki lahan seluas 4000 hektar yang ditanami tanaman kesambi dan nantinya akan ditulari oleh kutu lak dengan sistem penularan yang dilakukan secara bertahap untuk setiap tahunnya. Setiap tahun dilakukan dua kali periode penularan (per semester) dimana tiap semester dilakukan penularan sebanyak 4 bagian. Jumlah seluruh bagian ada 16 buah dengan masing-masing bagian memiliki luasan sebesar 250 hektar. Perusahaan juga mendirikan pabrik untuk melakukan pengelolaan lak lebih lanjut menjadi lak butiran. Manfaat dan

biaya-biaya yang dikeluarkan untuk budidaya kutu lak dengan lahan seluas 4000 hektar dapat dilihat pada Tabel 17.

Ada 2 macam proyek budidaya lak yang dilaksanankan : pada proyek pertama tanaman kesambi baru ditulari setelah berumur 15 tahun, dan hal ini juga dilakukan oleh Perum Perhutani. Pabrik sudah berdiri sejak tahun pertama pengusahaan dan agar pabrik sudah dapat berproduksi maka perusahaan akan membeli bahan lak dari petani yang membudidayakan kutu lak sampai tahun ke-14. Pada proyek kedua sistem budidaya kutu yang mengalami modifikasi, pada proyek ini penularan kutu lak sudah dilakukan sejak tanaman berumur 4 tahun dan untuk tahun-tahun awal juga membeli bahan lak untuk menutupi produksi sampai dengan tahun ke-9.

Secara finansial arus tunai pada tahun pertama proyek I terdiri dari arus keluar berupa biaya penanaman dan pemeliharaan tanaman kesambi, biaya pembangunan pabrik, biaya bahan baku lak (bloki), biaya pengelolaan lak cabang menjadi lak butiran, dan biaya pemasaran. Sehingga total biaya arus keluar sebesar Rp 15 736 012 200.00. Arus masuk pertama terjadi pada tahun pertama dimana pabrik sudah mulai berproduksi dengan bahan baku yang berasal dari luar, dalam hal ini bahan baku lak diambil dari petani yang mengusahakan budidaya lak. Arus masuk berasal dari hasil penjualan, yaitu sebesar Rp 6 687 360 000.00. Pada tahun pertama dan kedua, perusahaan masih mengalami kerugian sebesar masing-masing Rp 9 048 652 200.00 dan Rp 3 177 542 200.00. Namun pada tahun ke-3 sampai dengan ke-5 mengalami keuntungan tiap tahunnya sebesar Rp 111 657 800.00. Namun pada tahun ke-6 sampai dengan tahun ke- 14, perusahaan mengalami kerugian tiap tahunnya sebesar Rp 17 942 200.00. Kerugian yang dialami perusahaan disebabkan karena adanya biaya tambahan berupa pelaksanaan pemangkasan tanaman kesambi yang dimulai pada saat tanaman berumur 6 tahun. Biaya pemangkasan sebesar Rp 129 600 000.00 per tahun menyebabkan arus keluar pada tahun ke-6 sampai dengan ke-14 bertambah menjadi Rp 6 705 302 200.00. Pada tahun ke-15, tanaman kesambi sudah mulai dapat ditulari dengan kutu lak. Pada tahun ini terjadi pengurangan biaya pengeluaran pada biaya bahan baku lak (bloki), biaya penanaman dan pemeliharaan tanaman kesambi (khususnya biaya pemangkasan cabang), namun

ada penambahan biaya penularan bibit dan produksi kutu lak yaitu sebesar Rp 5 575 300 000.00. Pada tahun ke-15 ini, perusahaan kembali mengalami keuntungan sebesar Rp 1 550 417 800.00. Pada tahun ke-16 sampai dengan tahun ke-30, perusahaan mengalami keuntungan setiap tahun sebesar Rp 5 556 257 800.00.

Pada proyek II, arus keluar dan masuk pada tahun pertama sama persis dengan proyek pertama. Arus keluar berupa biaya penanaman dan pemeliharaan tanaman kesambi, biaya pembangunan pabrik, biaya bahan baku lak (bloki), biaya pengelolaan lak cabang menjadi lak butiran, dan biaya pemasaran dengan total sebesar Rp 15 736 012 200.00. Arus masuk pertama terjadi pada tahun pertama dimana pabrik sudah mulai berproduksi dengan bahan baku yang berasal dari luar, dalam hal ini bahan baku lak diambil dari petani yang mengusahakan budidaya lak. Arus masuk berasal dari hasil penjualan, yaitu sebesar Rp 6 687 360 000.00. Sama halnya dengan proyek pertama, pada pada proyek kedua, tahun pertama dan kedua perusahaan masih mengalami kerugian sebesar masing-masing Rp 9 048 652 200.00 dan Rp 3 177 542 200.00. Namun pada tahun ke-3 sampai dengan ke-30 perusahaan terus mengalami keuntungan. Salah satu hal yang membedakan antara proyek pertama dan kedua adalah pada proyek kedua tidak adanya biaya kegiatan pemangkasan pada pos biaya penanaman dan pemeliharaan tanaman kesambi. Pada proyek kedua, penularan kesambi sudah mulai dilakukan pada tahun ke-4. Namun demikian, pembelian bahan baku lak (bloki) masih terus dilakukan untuk memenuhi kapasitas pabrik yang belum dapat tercukupi dari hasil lak batang yang diproduksi sendiri oleh perusahaan. Sehingga ada penambahan pengeluaran biaya penularan bibit dan produksi kutu lak sebesar Rp 2 821 150 000.00 namun ada pengurangan biaya pengeluaran dari pembelian bahan baku lak (bloki) sebesar Rp 3 570 000 000.00

Analisis finansial budidaya kutu lak ditunjukkan dari beberapa kriteria diantaranya dengan memperhitungkan nilai Net Present Value (NVP) dengan tingkat diskonto yang ditetapkan dalam analisis ini sebesar 10%. Nilai NPV yang diperoleh dalam proyek I sebesar -198 604 120. Nilai NPV yang lebih kecil dari nol ini menunjukkan bahwa proyek ini merugikan karena keuntungan lebih kecil

masih perlu dipertimbangkan untuk dapat dilaksanakan atau sama sekali tidak dilaksanakan. Hal ini juga menunjukkan bahwa budidaya kutu lak ini pada proyek pertama, menyebabkan perusahaan merugi sebesar Rp 198 604 120.00. Pada proyek II diperoleh NVP sebesar +22 321 052 395, hal ini menunjukkan bahwa proyek II menguntungkan bila dilaksanakan dengan keuntungan bersih yang akan diperoleh Rp 22 321 052 395.00.

Pada proyek I, Internal Rate of Return (IRR) yang diperoleh besarnya mencapai 9.87 %, sedangkan pada proyek II diperoleh IRR sebesar 16,9 %. Baik proyek I maupun proyek II mempunyai nilai IRR yang lebih besar dari discount rate yang disyaratkan yaitu sebesar 10 % sehingga untuk kriteria IRR maka kegiatan investasi dalam budidaya kutu lak layak untuk dilaksanakan.

Total rasio manfaat dan biaya atau Net Benefit - Cost Ratio (Net B/C) pada proyek I sebesar 0.98 hal ini menunjukkan bahwa proyek pertama tidak layak untuk dilaksanakan. Proyek II menunjukan kelayakan atau proyek ini menguntungkan bila dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat dari nilai Net B/C yang dimiliki oleh proyek kedua yang mempunyai nilai yang besarnya lebih dari satu, yaitu 3.71.

Nilai BCR yang diperoleh untuk proyek I sebesar 1. Angka ini menunjukan bahwa setiap tambahan biaya sebesar seratus rupiah akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 100.00. Atau pendapatan bersih yang diterima 1 kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Pada proyek II diperoleh BCR sebesar 1.55 berarti setiap penambahan biaya sebesar seratus rupiah akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 155.00 atau pendapatan bersih yang diterima 1.55 kali lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan.

Hasil perhitungan secara finansial juga menunjukan masa pengembalian invesatsi yang didiskkonto atau Discounted Payback Periode (PBP) selama umur budidaya kutu lak pada proyek I mencapai 20 tahun 9 bulan. Pada proyek II menunjukan masa pengembalian invesatsi yang didiskkonto atau Discounted Payback Periode (PBP) selama umur budidaya kutu lak mencapai 10 tahun 9 bulan. Keseluruhan analisis finansial dari proyek I dan II ditunjukkan pada Tabel 17.

Tabel 17 Analisis finansial budidaya kutu lak pada tingkat diskonto 10 % untuk luasan sebesar 4000 ha

NVP IRR BCR PBP Net B/C

Proyek I (-)Rp 198 604 120.00 9.87 % 1 20 tahun 9 bulan 0,98 Proyek II Rp 22 321 052 395.00 16.9 % 1.55 10 tahun 8 bulan 3,71

Bila dibandingkan analisis finansial dari kedua proyek tersebut menunjukkan bahwa hanya proyek pertama yang layak untuk dilaksankan. Bila dilihat dari nilai PBP nya, proyek II lebih layak untuk dijalankan karena mempunyai Discounted Payback Periode yang lebih pendek dari proyek I dengan maksimun Discounted Payback Periode selama 30 tahun.

Dokumen terkait