• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Bahan Hukum

Data sekunder yang telah terkumpul selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif, karena hasil penelitian nantinya berupa uraian-uraian kalimat.40

a. Mengumpulkan bahan hukum berupa inventarisasi peraturan perundang-undangan yang relevan dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang mendukung;

Analisis kualitatif dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

b. Memilih bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan-bahan hukum sesuai dengan permasalahan;

c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkan untuk menemukan kaidah, asas, konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut;

40 Ibid

BAB II

PENGATURAN TENTANG LARANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL PADA PERNIKAHAN ANAK USIA DINI

Ekspolitasi seksual dalam pernikahan dini bagaikan fenomena gunung es yang sulit untuk ditangani, karena terus meningkat setiap tahunnya. Pelaku eksploitasi seksual anak menggunakan berbagai cara atau modus operandi untuk dapat membujuk korban, mulai dari pemberian iming-iming serta janji manis, sampai melakukan pemaksaan dengan kekerasan. Terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi alasan meningkatnya kejahatan eksploitasi seksual yang satu ini, namun faktor yang paling menentukan adalah perangkat hukum yang tidak tegas, sehingga dijadikan celah oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk menikahi anak-anak di bawah umur.

Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah mengatur batas minimum seorang perempuan untuk diperbolehkan menikah, yaitu pada usia 16 (enam belas) tahun. Apabila karena alasan tertentu yang mengharuskan tetap dilaksanakannya perkawinan di bawah ketentuan usia tersebut, maka perkawinan dilaksanakan dengan izin orang tua. Pengecualian tersebut membuat pengaturan tentang batasan usia menikah bersifat fleksibel.

Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur tentang ancaman pidana bagi orang yang menikahi perempuan berusia di bawah 16 tahun. Terhadap hal tersebut tentu bertentangan dengan tuntutan jaman, sebab dalam pengaturan Konvensi Hak

Anak Internasional seseorang yang menikah dengan anak usia di bawah 18 (delapan belas) tahun, dengan maksud dan tujuan yang tidak baik termasuk eksploitasi seksual terhadap anak.

Seperti yang telah dikemukakan pada BAB PENDAHULUAN tepatnya pada halaman ke-4 alinea ke-2 bahwa terdapat 5 (lima) bentuk utama dan saling terkait dari eksploitasi seksual anak, yakni: pelacuran anak, pornografi anak, pariwisata seks anak, dan perkawinan anak. Terhadap masalah perdagangan anak, pelacuran anak, pornografi anak, larangannya telah ada termuat dalam KUHPidana, yakni pada pasal pasal 297 (perdagangan anak), pasal 296 dan 506 (pelacuran anak), dan pasal 283 (pornografi anak).

Larangan terhadap ketiga bentuk eksploitasi seksual anak tersebut menjadi pembahasan tingkat Internasional, dan secara khusus dibuat dalam Protokol Opsional Konvensi Hak Anak, dan Indonesia sudah meratifikasi Protokol Opsional Konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan Pornografi Anak. Berdasarkan hal tersebut berarti mengenai larang terhadap bentul perdagangan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak, Indonesia memiliki 2 (dua) aturan hukum, yakni KUHPidana, dan Undang-Undang Tentang Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan Pornografi Anak.

Terhadap bentuk eksploitasi seksual anak berupa pariwisata seks anak dapat dikategorikan sebagai bentuk perdagangan anak, sebab melalui sarana-sarana penunjang pariwisata, seperti hotel, bar, kafe yang ada di lokasi pariwisata,bisa saja terjadi transaksi jual beli anak41

Terhadap eksploitasi seksual anak dalam bentuk perkawinan anak, selain memang tidak termuat dalam Protokol Opsional Konvensi Hak Anak, Indonesia juga tidak memiliki aturan hukum spesifik untuk menanganinya, namun demikian bukan berarti perbuatannya diperbolehkan. Menyadari akan banyaknya kerugian baik fisik maupun mental, dengan hancurnya masa depan yang akan dialami oleh seorang anak apabila menjadi korban eksploitasi seksual dalam pernikahan dini, maka meskipun tidak diatur secara spesifik, namun beberapa perundang-undangan melarang melakukan persetubuhan dengan anak yang masih di bawah umur, dengan atau tanpa paksaan, atau perbuatan lain yang melanggar kesusilaan, serta dapat merampas hak anak. Perundang-undangan tersebut antara lain yakni : KUHPidana, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Keppres . Anak-anak tersbut bisa saja hanya diperuntukkan sebagai pemuas nafsu pada saat mereka melakukan perjalanan wisatawan, atau bisa juga dibeli untuk dimiliki dan dibawa ke negara asalnya, sehingga terhadap eksploitasi seksual dalm bentuk pariwisata seks pengaturan mengenai larangannya dikategorikan ke dalam perdagangan anak.

41Memerangi Pariwisata seks anak, dalam

http://resources.ecpat.net/EI/Publications/CST/CST_FAQ_BAHASA.pdf, hlm. 35-34, diakses 7 Oktober 2013

Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak, dan Keppres Nomor 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.

A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah eksploitasi seksual dalam pernikahan dini, namun di dalamnya terdapat beberapa pasal yang melarang perbuatan bersetubuh dan cabul terhadap orang yang belum dewasa, sehingga bunyi pasal tersebut dapat diinterpretasikan sebagai perbuatan eksploitasi seksual terhadap anak.

a. Pencabulan dan Perkosaan Pasal 285 KUHP:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.” Berdasarkan pasal 285 KUHPidana tersebut, maka batasan eksploitasi seksual adalah :

1. Menyetubuhi seorang wanita;

2. Di luar perkawinan;

3. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Pasal 287 KUHP:

“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum 15 (lima belas) tahun

diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.” Pasal ini disebut sebagai statutory rape42

1. Menyetubuhi seorang wanita;

. Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 287 KUHPidana adalah :

2. Di luar perkawinan;

3. Menyadari bahwa wanita tersebut belum berusia 15 (lima belas) tahun.

Pasal 288 KUHP :

1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan perempuan yang dinikahinya, padahal diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa perempuan itu belum pantas dikawini, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun, apabila perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka.

2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan tersebut mendapat luka berat dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya delapan tahun.

3) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan itu, dijatuhkan pidana selama-lamanya dua belas tahun.

Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 288 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3):

1. Bersetubuh dengan perempuan;

2. Perempuan tersebut merupakan isterinya;

3. Ia menyadari bahwa perempuan tersebut belum cukup umur untuk dinikahinya;

42 Statutory rape adalah hubungan sex yang dilakukan oleh seorang pria dewasa dengan seorang anak perempuan di bawah umur baik yang dilakukan dengan paksaan ataupun sukarela , di dalam maupun di luar hubungan perkawinan.

4. Persetubuhan tersebut mengakibatkan luka berat pada perempuan tersebut;

5. Persetubuhan tersebut mengakibatkan matinya perempuan tersebut; ayat (3)

Pasal 290 KUHP :

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin:

3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal 290 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) KUHPidana tersebut adalah :

1. Berbuat cabul dengan wanita yang pingsan atau tidak berdaya; ayat (1)

2. Patut diduganya bahwa usia wanita tersebut di bawah 15 (lima belas) tahun, atau belum pantas untuk dikawini; ayat (2)

3. Perbuatan cabul atau persetubuhan dilakukan dengan bujukan, dan di luar perkawinan.

Pasal 292 KUHP :

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.

Pelaku perbuatan pasal 292 adalah penyuka sesama jenis. Adapun batasan ekploitasi seksual terhadap anak yang dimaksud dalam pasal ini adalah :

1. Seorang dewasa, baik laki-laki ataupun perempuan;

2. Mencabuli anak yang belum dewasa;

3. Anak tersebut berjenis kelamin yang sama dengannya.

Pasal 293 KUHP :

1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.

3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.

Batasan eksploitasi seksual terhadap anak berdasarkan pasal 293 KUHPidana adalah sebagai berikut :

1. Dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang;

2. Dengan menyalahgunakan hubungan keadaan antara pelaku dan korban;

3. Dengan penyesatan;

4. Menggerakkan seorang anak;

5. Untuk melakukan perbuatan cabul ataupun membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan terhadapnya;

Pasal 294 KUHP :

1) “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengm anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya dipercayakan kepadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

2) Diancam dengan pidana yang sama:

(1) Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya,

(2) Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atas, pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.

Batasan eksploitasi seksual terhadap anak yang dimaksud dalam pasal 294 ayat (1) adalah pencabulan terhadap anak kandung, atau anak tiri, atau anak angkat, atau anak

yang di bawah pengawasannya, dimana pendidikan, pemeliharaan, serta penjagaan terhadap anak tersebut, dipercayakan kepadanya. Ayat (2) pasal ini memberikan batasan eksploitasi seksual berupa perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang atasan kepada bawahannya. Batasan eksploitasi seksual yang terdapat pada ayat (3) pasal ini adalah perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang pengurus atau pemberi jasa di suatu lembaga atau instansi pelayanan masyarakat, terhadap orang yang sedang dimasukkan ke dalam lembaga atau instansi tersebut.

b. Prostitusi Anak Pasal 296 KUHP:

“Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.” Batasan eksploitasi seksual dalam pasal 296 adalah jika seseorang menghubungkan seseorang dengan orang lain, untuk memudahkan mereka berbuatan cabul, dimana kegiatan ini dijadikan sebagai mata pencahariannya sehari-hari. Tindakan sebagai menghubungkan atau memudahkan tesebut misalnya dengan menyediakan kamar sewaan, tempat-tempat karaoke, kafe remang-remang, dan sebagainya.

Pasal 506 KUHP:

“Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu

tahun.” Batasan eksploitasi seksual yang terdapat dalam pasal ini adalah apabila dengan perbuatan cabul seorang wanita, maka dia mendapatkan bayaran uang, dimana kegiatan tersebut dijadikan sebagai mata pencahariannya sehari-hari. Profesi seperti ini bisa disebut dengan istilah germo, mami, atapun mucikari, yang melalui jasanya seorang penikmat seks bisa mendapatkan wanita pemuas nafsu.

c. Penjualan dan Perdagangan Anak (Untuk Tujuan Seksual)

Pasal 297 KUHP:

“Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.” Batasan eksploitasi seksual anak menurut pasal 297 KUHPidana adalah memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa untuk tujuan seks. Anak yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seorang anak laki-laki yang belum dewasa, sedangkan penyebutan wanita oleh karena tidak disebutkan batas usianya, maka wanita yang diperdagangkan adalah wanita dewasa.

d. Pornografi Anak

Pasal 283 KUHP:

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk

mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya.

2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan di muka orang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat yang lalu, jika isi tadi telah diketahuinya.

3) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan.

Batasan eksploitasi seksual terhadap anak menurut pasal ini adalah :

1. Menawarkan atau memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan;

2. Menawarkan atau memberikan alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa;

3. Membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan kepada anak yang belum dewasa, dimana tulisan tersebut diketahuinya adalah tidak baik jika diperdengarkan kepada anak-anak;

Secara keseluruhan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam KUHPidana, mengenai batasan eksploitasi seksual terhadap anak ditemukan fakta-fakta sebagai berikut :43

1. Tidak ada definisi khusus dalam KUHPidana, untuk dikatakan belum dewasa atau dikatakan anak-anak. KUHPidana menggunakan batas usia spesifik, namun terkadang menggunakan term “yang belum dewasa” atau bahkan menggunakan keduanya secara bersama-sama. (perhatikan pasal pasal 45) 2. Batas umur statutory rape, yang dinyatakan dalam KUHPidana terlalu rendah,

yakni 12 (dua belas) tahun (pasal 287 KUHPidana ayat 2). Apabila diasumsikan bahwa batas umur kematangan seksual untuk anak perempuan adalah 16 (enam belas) tahun44

3. Berarti seorang anak perempuan yang berumur 12 (dua belas) tahun di Indonesia dianggap sudah cukup matang untuk berhubungan seks atas dasar suka sama suka namun dia belum boleh menikah secara legal.

, maka ketentuan dalam KUHPidana secara efektif meninggalkan anak-anak yang berumur 12 sampai 16 tahun dari perlindungan terhadap statutory rape.

43 Emmy. L. Smith, Perlindungan Anak dalam rancangan KUHP, dalam http://kuhpreform.files.wordpress.com/2008/10/perlindungan-anak-dalam-rancangan-kuhp_bahan-emmi.ppt, diakses 8 Oktober 2013

44 Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan

4. Apabila dikaitkan dengan konteks perlindungan anak, ketentuan KUHPidana membiarkan anak-anak perempuan yang sudah berumur 12 (dua belas) tahun tapi belum mencapai 16 tahun tidak terlindungi dari eksploitasi seksual.

5. Sanksi pidana terhadap mereka yang melakukan statutory rape ditetapkan terlalu rendah, yakni paling lama 9 tahun penjara (pasal 287), bahkan lebih rendah dari sanksi pidana untuk rape, yakni paling lama 12 (dua belas) tahun penjara (pasal 285)

6. Konsep statutory rape dalam KUHPidana tidak dinyatakan secara tegas. Hal ini bersamaan dengan ketiadaan pemahaman di kalangan aparat penegak hukum tentang asumsi-asumsi dasar menyangkut statutory rape, membuat anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual bahkan jika umur mereka kurang dari 12 (dua belas) tahun sering mengalami “kekerasan seksual” dalam bentuk lain selama proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan selama proses persidangan karena jenis-jenis pertanyaan yang diajukan oleh polisi (BAP dan oleh hakim (persidangan) pada umumnya berangkat dari asumsi anak-anak itu sudah matang secara seksual.

7. KUHPidana yang berlaku memidanakan para germo dan memberikan sanksi pemenjaraan paling lama 1 tahun 4 bulan (pasal 296) atau denda paling banyak Rp 15,000 (lima belas ribu) rupiah. Ketentuan relevan lainnya, yakni pada pasal 506 hanya memberikan sanksi kurungan paling lama satu tahun bagi praktek penggermoan.

8. Pendekatan regulasi yang digunakan oleh KUHPidana telah membuat isu prostitusi diatur oleh peraturan daerah yang melegalisir prostitusi dalam

lokalisasi resmi dan sekaligus memidanakan pelacuran jalanan dan sebagai konseksuensinya anak-anak yang terlibat dalam prostitusi jalanan juga dikriminalisasikan.

9. KUHPidana tidak secara langsung menarget pornografi anak sehingga tidak ada definisi legal dari pornografi anak.

10. Tindakan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki belum dewasa, tanpa menyebutkan wanita yang belum dewasa;

11. Tindakan menawarkan, menyerahkan, memperlihatkan, mendengarkan isi surat, naskah, gambar atau bahan yang bertentangan dengan norma kesopanan umum kepada seorang anak (dibawah 17 tahun).

B. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lahirnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diprakarsai oleh lahirnya deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang merupakan upaya untuk menangani masalah perdagangan manusia, utamanya bagi pemenuhan hak-hak asasi korban dan perlindungan hukumnya. Upaya tersebut kemudian dirangkum dalam “Protokol untuk mencegah, menindak dan menghukum perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak”. Protokol ini lahir di kota Polermo, Italy pada 12 Desember 2000, yang kemudian dikenal sebagai Protokol Polermo. Protokol Polermo tidak hanya mewajibkan negara untuk mempidanakan

pelaku tindak perdagangan orang, tetapi juga mengharuskan negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi korban perdagangan.45

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga tidak ada menyebutkan secara jelas dan tegas mengenai eksploitasi seksual terhadap anak dalam pernikahan dini. Pengertian eksploitasi seksual yang tercantum di dalam pasal 1 angka 8 hanya memberikan pengertian eksploitasi seksual secara umum tanpa mengerucut kepada eksploitasi seksual yang dilakukan terhadap anak. “Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan”.

Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”. Pasal 2 ayat

45 Protokol Polermo, dalam http://jurnalperempuan.com/2011/05/protokol-palermo-2/, diakses pada 30 September 2013

(2) berbunyi: “Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Berdasarkan bunyi pasal 2, pernikahan dini dapat dimasukkan ke dalam kategori trafiking, yakni pernikahan dini untuk kawin kontrak, apabila dilakukan melalui perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk dieksploitasi secara seksual, sehingga mendatangkan keuntungan.

C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Keberadaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan perwujudan komitmen pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Hak Anak. Secara filosofis, lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak bertujuan untuk melindungi hak-hak anak. Perlindungan anak adalah: “Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.46

46 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Demi melindungi kepentingan anak, maka undang-undang melarang setiap orang

menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak, baik secara ekonomi maupun seksual.

Ketentuan pidana yang terdapat di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak lebih tegas bila dibandingkan dengan KUHPidana karena sudah memuat tentang batas minimum hukuman. Ketentuan pidana terkait tindakan eksploitasi seksual terhadap anak tercantum dalam pasal 81, 82, dan 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 81:

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Batasan eksploitasi seksual terhadap anak sesuai pasal 81 ini adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada seorang anak melalui kekerasan, ancaman kekerasan, ataupun dengan bujukan dan tipu muslihat.

Pasal 82:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

Dokumen terkait