• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dimaksudkan untuk mengetahui hubungan dan besarnya nilai Odds Ratio faktor risiko (variabel independen), dengan tingkat kemaknaan 95%. Adanya hubungan antara faktor risiko dengan kejadian abortus inkomplit ditunjukkan dengan nilai p<0,05; nilai OR>1, dan CI 95% tidak mencakup nilai 1. Secara lengkap distribusi faktor risiko pada kejadian abortus dapat dilihat pada tabel berikut:

4.2.1 Hubungan Usia dengan Kejadian Abortus

Tabel 6. Distribusi Subjek Menurut Usia dengan Kejadian Abortus di RS Prikasih Jakarta Selatan Tahun 2013

Kelompok Usia Abortus Jumlah OR (95%CI) P value Kasus Kontrol N % N % N % 0,693 0,265 <20 dan >35 tahun 15 15,2 41 20,5 56 18,7 20-35 tahun 84 84,8 159 79,5 243 81,3 Jumlah 99 100,0 200 100,0 299 100,0

Hasil analisis hubungan antara usia ibu dengan kejadian abortus diperoleh bahwa ada sebanyak 15 (15,2%) ibu yang berusia <20 dan >35 tahun yang mengalami abortus. Sedangkan diantara ibu yang berusia 20-35 tahun ada 84 (84,4%) yang mengalami abortus. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,265 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan proporsi kejadian abortus antara ibu yang berusia <20 dan >35 tahun dengan ibu yang berusia 20-35 tahun (tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian abortus). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai Odds Ratio sebesar 0,693, artinya usia dapat mengurangi efek terjadinya abortus. Tidak adanya hubungan usia ibu dengan kejadian abortus didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ruhmiatie (2010) di RS Roemani Muhammadiyah Semarang yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan (nilai p = 0,249) antara usia ibu hamil dengan kejadian abortus.29 Goetzinger (2014) dalam penelitiannya menyampaikan bahwa wanita

dengan usia yang lebih tua memiliki perhatian yang lebih tinggi terhadap perilaku hidup sehat seperti rutin mengonsumsi vitamin prenatal, diet yang baik dan olahraga serta menjauhi gaya hidup tidak sehat bila dibandingkan wanita yang lebih muda.30

Penelitian Lukitasari (2010) di RSU H.M Ryacudu menyebutkan hasil yang berbeda bahwa terdapat hubungan bermakna (nilai p = 0,0001) antara usia dengan kejadian abortus. Subyek yang berusia lebih dari atau sama dengan 35 tahun mempunyai peluang sekitar 3,5 kali untuk mengalami kejadian abortus dibandingkan subyek yang berusia kurang dari 35 tahun.31 Demikian pula yang dengan penelitian Raden (2009) di RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang mendapatkan hasil bahwa usia merupakan faktor risiko dari kejadian abortus setelah dilakukan uji statistik chi square (nilai p = 0,001).32

Menurut peneliti adanya perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat disebabkan karena perbedaan jumlah sampel yang diambil dan lokasi dilaksanakannya penelitian dengan penelitian sebelumnya. Diketahui bahwa semakin besar sampel yang dianalisis akan semakin besar menghasilkan kemungkinan berbeda bermakna. Selain itu, karena kejadian abortus dipengaruhi oleh banyak faktor kemungkinan ada pengaruh faktor lain yang tidak ikut diteliti.

4.2.2 Hubungan Paritas dengan Kejadian Abortus

Tabel 7. Distribusi Subjek Menurut Paritas dengan Kejadian Abortus di RS Prikasih Jakarta Selatan Tahun 2013

Paritas Abortus Jumlah OR (95%CI) P value Kasus Kontrol N % N % N % 2,287 0,001 Paritas <1 dan >5 49 49,5 60 30,0 109 36,5 Paritas 1-5 50 50,5 140 70,0 190 63,5 Jumlah 99 100,0 200 100,0 299 100,0

Hasil analisis hubungan antara paritas dengan kejadian abortus diperoleh bahwa ada sebanyak 49 (49,5%) pasien yang memiliki paritas <1 dan >5 yang mengalami abortus. Sedangkan diantara pasien yang memiliki paritas 1-5 ada 50 (50,5%) pasien yang mengalami abortus. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,001 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi kejadian abortus antara pasien yang memiliki paritas <1 dan >5 dengan pasien yang paritasnya 1-5 (ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan kejadian abortus). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=2,287, artinya ibu yang paritasnya <1 dan >5 mempunyai peluang 2,287 kali untuk mengalami abortus.

Hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Cunningham et al (2009) bahwa risiko abortus semakin meningkat dengan bertambahnya paritas. Pada kehamilan rahim ibu akan teregang oleh adanya janin dan

bila terlalu sering melahirkan rahim akan semakin lemah sehingga rentan dan berisiko untuk terjadinya keguguran. Bila ibu telah melahirkan 4 orang anak atau lebih, maka harus waspada adanya gangguan kehamilan, persalinan dan nifas.19 Demikian pula yang dinyatakan oleh Mochtar (1998) bahwa persalinan yang pertama kali (primipara) biasanya mempunyai risiko relatif tinggi terhadap ibu dan anak, kemudian risiko ini menurun pada paritas kedua dan ketiga, dan akan meningkat lagi pada paritas keempat dan seterusnya.21 Hal ini disebabkan karena pada ibu dengan primipara belum pernah memiliki pengalaman melahirkan. Sedangkan pada grandemultipara, elastisitas uterus telah menurun.

Hal tersebut didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya yaitu menurut Wadud di RS Muhammadiyah Palembang (2012) yang mendapatkan bahwa terdapat hubungan bermakna (p=0,002) antara paritas dengan kejadian abortus imminens.27 Demikian pula dengan penelitian Mariani di RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang menunjukkan nilai p = 0,007. Hal ini berarti terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian abortus.18 Pada penelitian lain yaitu yang dilakukan oleh Lukitasari (2010) di RS H.M Ryacudu Kotabumi Lampung Utara menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan (nilai p = 0,0001) antara frekuensi persalinan dengan kejadian abortus.31

Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Mahdiyah di Ruang Bersalin RSUD Dr. H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin yang mendapatkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna (p = 0,562) antara paritas dengan kejadian abortus. Peneliti menyebutkan bahwa hal ini dikarenakan paritas bukan faktor utama penyebab abortus.33 Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2012) di wilayah puskesmas Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat yang

4.2.3 Hubungan Riwayat Abortus Sebelumnya dengan Kejadian Abortus

Tabel 8. Distribusi Subjek Menurut Riwayat Abortus Sebelumnya dengan Kejadian Abortus di RS Prikasih Jakarta Selatan Tahun 2013

Riwayat Abortus Sebelumnya Abortus Jumlah OR (95%CI) P value Kasus Kontrol N % N % N % 2,188 0,009 Pernah 26 26,3 28 14,0 54 18,1 Tidak Pernah 73 73,7 172 86,0 245 81,9 Jumlah 99 100,0 200 100,0 299 100,0

Hasil analisis hubungan antara riwayat abortus sebelumnya dengan kejadian abortus diperoleh bahwa ada sebanyak 26 (26,3%) pasien yang memiliki riwayat abortus sebelumnya mengalami abortus. Sedangkan diantara pasien yang tidak memiliki riwayat abortus sebelumnya ada 73 (73,7%) pasien yang mengalami abortus. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,009 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi kejadian abortus antara pasien yang memiliki riwayat abortus sebelumnya dengan pasien yang tidak memiliki riwayat abortus sebelumnya (ada hubungan yang signifikan antara riwayat abortus sebelumnya dengan kejadian abortus). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=2,188, artinya ibu yang memiliki riwayat abortus sebelumnya mempunyai peluang 2,188 kali untuk mengalami abortus.

Hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Prawirohardjo bahwa kejadian abortus meningkat pada wanita yang memiliki riwayat abortus

sebelumnya. Setelah satu kali mengalami abortus spontan, memiliki risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah dua kali, risikonya meningkat sebesar 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus setelah tiga kali abortus berurutan adalah 30-45%.2

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Baba et al (2010) di Osaka, Jepang yang mendapatkan bahwa terdapat peningkatan risiko abortus pada wanita yang memiliki riwayat abortus sebelumnya yang dibuktikan dengan hasil OR sebesar 1,98 pada wanita dengan riwayat abortus sebanyak 1 kali, OR 2,36 pada wanita yang memiliki 2 kali riwayat abortus dan OR 8,73 pada yang pernah mengalami 3 atau lebih abortus sebelumnya.22 Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan Lukitasari (2010) di RS H.M Ryacudu Kotabumi Lampung Utara yang mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (nilai p = 0,0001) antara riwayat abortus yang dimiliki ibu dengan kejadian abortus.31 Penelitian lain menurut Wahyuni (2012) di wilayah puskesmas Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat bahwa ada hubungan (nilai p = 0,04) antara riwayat abortus dengan kejadian abortus. Selain itu pasien yang pernah mengalami abortus akan cencerung mengalami abortus sebesar 2,8 kali dibandingkan pasien yang tidak pernah mengalami abortus.28

Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Gustina (2012) di Rumah Sakit Umum Daerah Soreang Kabupaten Bandung yang menyebutkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (nilai p= 0,437) antara kejadian abortus dengan riwayat abortus sebelumnya.34 Demikian pula dengan penelitian Kusniati (2007) yang dilakukan di Banyumas menyebutkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna (nilai p = 0,302) antara riwayat abortus sebelumnya dengan kejadian abortus.35 Helgstrand dan Andersen (2005) juga menyatakan bahwa tidak

Dokumen terkait