• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan Pembahasan

4.1. Hasil Penelitian

4.1.3 Analisis Bivariat

Pada analisis bivariat ini didapatkan anemia dan leukositosis merupakan faktor yang berhubungan terhadap kejadian MACE. Dari analisis bivariat didapatkan proporsi terjadinya MACE 27(17,9%) kejadian pada pasien dengan anemia, relative risk (RR) Anemia terhadap MACE adalah 2,093 (IK 95%, 1,273-3,440 , p=0,003). Sedangkan analisis bivariat pada leukositosis terhadap kasus MACE terjadi 38 (70,4%) kasus MACE pada pasein dengan leukositosis, dengan RR 2,208,(IK 95%1,267-3,847 , p=0,004). Selengakpnya dapat dilihat pada tabel 4.3.

27

Tabel 4.3 Tabel Analisis Bivariat

MACE Ya Tidak RR (IK 95%) p n % n % Kadar Hb Anemia 27 17,9 124 82,1 2,093 IK 95% (1,273-3,440) 0,003 Normal 27 8,5 289 91,5 Reff Hitung leukosit Leukositosis 38 70,4 204 49,4 2,208 IK 95% (1,267-3,847) 0,004 Normal 16 29,6 209 50,6 Reff

4.2 Pembahasan

4.2.1. Anemia

Pada penelitian ini didapatkan 151 (32,3%) subjek SKA mengalami anemia. Selain itu juga didapatkan 27(17,9%) subjek SKA yang mengalami anemia mengalami MACE dengan analisis bivariat RR 2,093 (IK 95% 1,273-3,440 p=0,003). Hasil ini sejalan dengan penelitian Vladimir Enezat dkk, yang mendapatkan 29% subjek penelitiannya mengalami anemia dan 22,9% mengalami MACE dengan hazard Ratio (HR) 2,262 (IK 95%, 1,331-3,843 p=0,003).9 Hasil diatas juga sejalan dengan penelitian Sabatine dkk, yang mendapatkan pada analisis multriviat peningkatkan risiko kematian, infark miokard, atau iskemi berulang pada pasien dengan Hb <11g/dl dengan odds ratio (OR) 1,45 (IK 95% 1,33-1,58, p<0,001) yang terus meningkat risikonya setiap turun 1mg/dl.30

Kadar Hb yang rendah sendiri berdasarkan analisis bivariat memberikan kemaknaan yang signifikan dalam memprediksi terjadinya MACE. Pada pasien anemia terjadi penurunan kadar Hb sehingga pembawaan oksigen ke jaringan tubuh menjadi berkurang, terutama bagian tubuh yang lebih perifer. Begitu pula pada jaringan miokard, hal ini akan menyebabkan area yang mengalami iskemi disekitar infark, pada infark miokard, ataupun bahkan daerah yang iskemi secara reversibel, pada APTS, akan mengalami kesulitan dalam resolusinya karena oksigen yang seharusnya dapat digunakan untuk pemulihan tidak memenuhi

terjadi dan area iskemik akan mengalami perburukan yang ireversibel menjadi area infark, sehingga dapat terjadi perluasan area infark. Seperti yang kita ketahui semakin luas area infark yang terjadi maka akan semakin meperburuk keadaan pasien, yang muncul akibat adanya kemungkinan semakin besarnya keparahan disfungsi ventrikel yang akan terjadi yang akan berujung pada berbagai komplikasi paska serangan SKA. Selain dampak pada perluasan luas lesi, ketidakmampuan pemenuhan supply oksigen ke otot jantung akan menyebabkan ketidakseimbangan mioelektrisitas jantung akibat tidak terpenuhinya metabolisme jantung termasuk diantaranya pompa kanal ion yang ada di miokard, sehingga berisiko untuk menimbulkan aritmia. Anemia juga telah terbukti akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Hal ini terjadi akibat sedikitnya oksigen dan Hb di sirkulasi sehingga sebagai bentuk kompensasi terhadap hal tersebut jantung akan meningkatkan volume sekuncup dan laju jantung untuk mencapai pembawaan oksigen ke seluruh tubuh yang adekuat, hal ini akan semakin memperparah jarak antara demand and supply oksigen pada seluruh miokard.30 Selain itu, rendahnya kadar Hb juga berhubungan dengan terjadinya hipotensi. Rendahnya kadar Hb tidak hanya memberikan keluaran yang buruk pada pasien SKA saja namun juga pada beberapa penyakit lain, seperti: disfungsi ginjal; gagal jantung; dan keseluruhan penyakit jantung koroner. Selain beberapa penyakit yang disebutkan tadi rendahnya kadar Hb juga merupakan penghubung dari berbagai kondisi komorbid seperti: usia lanjut, dimana pada pasien lanjut usia akan terjadi degenerasi dan akan mengalami penuruna kadar Hb; diabetes, hal ini berhubungan dengan glikosilasi yang terjadi akibat hiperglikemi sistemik pada pasien diabetes mellitus; serta disfungsi ginjal, hal ini diakibatkan karena pada pasien anemia kronik akan terjadi vasokonstriksi organ-organ perifer, terutama ginjal serta subkutan, sehingaa akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, selain itu biasanya disfungsi ginjal akan menghambat sinyal hematopoeietik sehingga akan memengaruhi kadar Hb.9

4.2.2. Leukositosis

Pada penelitian ini didapatkan 242 (51,8%) subjek mengalami leukositosis dan 38(70,4%) subjek yang mengalami MACE dengan leukositosis, dengan

29

analisis bivariat RR 2,208,(IK 95%1,267-3,847 , p=0,004). Hal ini sejalan dengan penelitian Tahir Ahmad dkk, mereka mendapatkan 40,9% kasus MACE pada subjek yang memiliki hitung leukosit >10.000, dengan HR 6,36 (p=0,016).31 Pada penelitian lain, Julio dkk, mendapatkan persentase mortalitas pada pasien SKA dengan hitung leukosit total >10.000 sebesar 56,7%. Dengan analisis multivariat OR 2,07 (IK95%, 1,08-3,94 ,p=0,027).26

Pada penelitian ini hasil analisis bivariat leukositosis terhadap MACE cukup signifikan. Kadar leukosit yang cenderung meningkat pada pasien paska serangan SKA merupakan kunci penting didalam proses resolusi. Setelah serangan SKA tubuh akan meresponnya dengan melakukan perekrutan leukosit secara besar-besaran sebagai respon inflamasi, sehingga akan didapatkan leukositosis serta peningkatan protein fase akut pada klinisnya, hal ini ditujukan untuk mengganti jaringan yang nekrosis dengan jaringan ikat. Leukositosis bahkan juga menggambarkan intensitas respon inflamasi peri-infark. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa peningkatan leukosit akan berbanding lurus dengan luas area infark, atau dapat dikatakan hitung leukosit menggambarkan tingkat keparahan luas lesi, dimana semakin luas area lesi maka semakin berat juga disfungsi ventrikel yang akan terjadi, serta semakin besar juga area jaringan parut yang akan terjadi yang dapat menyebabkan terganggunya mioelektrisistas otot jantung, yang mungkin akan berdampak pada kemungkinan munculnya aritmia.27 Selain proses resolusi yang pasti terjadi paska serangan SKA, terdapat beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan peran leukosit didalam kejadian ikutan paska SKA: pelepasan enzim-enzim proteolitik akibat degranulasi leukosit yang direkrut dan perusakan oksidatif yang diakibatkan olehnya sehingga akan menyebabkan trauma pada sel-sel endotel sehingga akan memperparah keadaan disfungsi endotel pada pasien SKA; penempelan leukosit pada dinding pembuluh darah, sebagaimana kita tahu pada proses inflamasi leukosit akan menempel pada dinding pembuluh darah sebelum masuk ke jaringan interstisial sehingga akan berdampak pada aliran darah yang melalui pembuluh darah tersebut, terutama yang melalui mikrovaskular; penurunan perfusi yang diakibatkan oleh proses inflamasi serta penempelan leukosit; hiperkoagulabilitas darah dengan penurunan patensi epikardial dan peningkatan beban iskemi; peningkatan ekspresi

monocytes tissue factor yang merupakan dampak dari inflamasi itu sendiri;risiko terjadinya aterosklerosis, seperti yang kita ketahui bahwa inflamasi sangat memainkan peran penting pada proses aterosklerosis serta stabilitas plak; instabilitas elektrik jantung; peningkatan formasi trombus, inflamasi memainkan peran penting didalam pembentukan trombus; serta dapat menyebabkan perluasan area infark akibat adanya pelepasan enzim proteolitik oleh leukosit yang telah direkrut yang ternyata akan berdampak pada kerusakan daerah sekitar lesi sehingga akan terjadi perluasa area lesi. Pada penelitian Ayub dkk, juga disebutkan peningkatan leukosit berhubungan dengan faktor komorbid lainnya seperti hipertensi, diabetes, merokok, dan hiperkolesterolemia. Ayub dkk juga menemukan peningkatan penanda infark miokard sejalan dengan peningkatan hitung leukosit seperti CRP, Troponin I, dan CK-MB, hal ini mungkin terjadi seiring dengan terjadi perluasan area infark.31,32 Namun perlu diingat bahwa leukositosis tidak hanya berhubungan dengan resolusi area infark, namun juga berhubungan dengan penyakit lainnya sesperti infeksi ataupun penyakit inflamasi lainnya, sehingga harus menjadi pertimbangan bagi negara-negara bekembang yang kecenderungan penyakitnya ke arah penyakit-penyakit infeksi.

BAB V

Dokumen terkait