• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Q abAvg Q tot P abAvg P tot

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Perubahan Penggunaan

5.2 Analisis Curah Hujan DAS Ciliwung Hulu

DAS Ciliwung terletak di Pulau Jawa dengan curah hujan yang dipengaruhi oleh monsun Asia dan Australia. Pola grafik curah hujan bulanan di daerah ini menyerupai huruf ‘V’, dengan nilai curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni sampai dengan Septembar, sedangkan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Oktober sapmai dengan April. Faktor iklim lain yang dapat mempengaruhi pola curah hujan di Indonesia adalah siklus Hadley dan siklus Walker, kedua siklus tersebut terjadi karena perubahan tekanan pada belahan bumi utara dan selatan serta pada bagian barat dan timur.

Data curah hujan harian yang diamati pada penelitian didapat dari 3 stasiun

hujan ynag dianggap dapat mewakili pada tiga ketinggian yang berbeda di DAS Ciliwung Hulu selama periode 1994 – 2005. Data harian tersebut kemudian dirata – ratakan menjadi data bulanan untuk mengetahui pola grafik curah hujan dari setiap setasiun.

Ketiga stasiun hujan tersebut terletak mulai dari kawasan puncak Cisarua dengan ketinggian 1160 m dpl hingga daerah outlet katulampa dengan ketinggian 480 m dpl. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 10 (Lampiran 3) untuk analisis sifat hujan wilayah. Pola grafik curah hujan bulanan tiap stasiun hujan pada daerah hulu DAS Ciliwung dapat dilihat pada Gambar11.

Tabel 6. Curah hujan bulanan rata – rata DAS Ciliwung Hulu (1993 – 2005)

Stasiun Elevasi jan feb mar apr mei jun ags sep okt nov des katulampa 480m dpl 490 438 411 369 300 229 220 240 410 437 368 Gn Mas 1160m dpl 626 615 354 322 223 180 124 165 265 393 410 Citeko 920m dpl 576 470 312 290 187 121 116 114 211 299 378 0 100 200 300 400 500 600 700

jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nov des

Bulan Cu ra h Hu ja n ( m m )

Katulampa Gunung Mas Citeko

Gambar 11. Grafik curah hujan bulanan tiga stasiun di wilayah Ciliwung Hulu

Dari Tabel 6 dan Gambar 9 dapat dilihat bahwa curah hujan daerah Gunung Mas lebih besar daripada daerah Citeko yang berada dibawahnya. Namun demikian daerah Katulampa cenderung memiliki curah hujan yang paling tinggi diantara keduanya.

Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) bahwa bulan yang memiliki nilai curah hujan bulanan < 150 mm disebut bulan kering, sedangkan bulan dengan curah hujan ≥ 150 mm disebut bulan basah.

Pada daerah hulu Ciliwung cenderung lebih banyak mengalami bulan basah sepanjang tahun yang disebabkan oleh pengaruh dari lokasi wilayah yang berada pada dataran sedang hingga tinggi. Bulan – bulan basah ini berturut – turut terjdi mulai September hingga Mei. Hal tersebut terjadi karena selain faktor ketinggian pada bulan – bulan tersebut tekanan udara di daratan Asia lebih tinggi dibandingkan di daratan Australia sehingga angin muson barat yang berasal dari benua Asia bergerak menuju benua Australia.

Angin tersebut mengangkut massa udara yang mengandung uap air yang berasal dari proses penguapan di atas Samudera Hindia dan kemudian membentuk awan potensial yang merata dan menutupi sebagian besar pulau Jawa dan Sumatera. Awan tersebut sangat potensial untuk menghasilkan hujan, sehingga pada periode tersebut di Pulau Jawa dan sekitarnya mengalami musim penghujan.

Kejadian sebaliknya bulan kering yang lebih banyak terjadi di daerah Citeko dan Gunung Mas. Tekanan udara di daratan Asia pada periode Juni - September mulai melemah sehingga angin muson timur bergerak dari Australia menuju Asia. Massa udara yang dibawa angin tersebut umumnya tidak mengandung uap air bahkan memiliki sifat yang kering sehingga tidak potensial untuk mendatangkan hujan. Hujan yang terjadi pada periode tersebut hanya dipengaruhi oleh sumber – sumber lokal dan awan yang dibentuk karena keadaan orografik dan juga proses konveksi. Pada periode tersebut sebagian besar daerah di Pulau Jawa mengalami musim kemarau.

0 100 200 300 400 500 600

jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nov des

Bulan Cu ra h H u ja n ( m m )

Gambar 12. Grafik curah hujan wilayah bulanan rata – rata DAS Ciliwung Hulu 5.3 Analisis Evapotranspirasi

Hasil perhitungan metode Penman FAO keluaran software Irsis diketahui bahwa nilai evapotranspirasi bulanan dan tahunan untuk ketiga stasiun yang dianalisis tidak nenunjukkan perbedaan yang nyata. Untuk stasiun Citeko nilai evapotranspirasinya 117 mm/bulan dan 1410 mm/tahun, stasiun Gunung Mas 113 mm/bulan dan 1366/tahun, sedangkan stasiun Katulampa 118 mm/bulan dan 1417 mm/tahun. Perbedaan topografi yang relatif rendah untuk daerah Katulampa

menyebabkan daerah ini mrempunyai nilai evapotranspirasi yang relatif lebih tinggi karena penerimaan radiasi surya yang lebih banyak dengan jumlah curah hujan yang tinggi pula. Vegetasi di daerah ini pun sudah relatif berkurang sehingga penguapan air dari permukaan tanah akan lebih banyak menyokong dari proses evapotranspirasi.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan E v a p otr a ns pi ra s i (m m /b u la n)

Citeko Gn Mas Katulampa

Gambar 13. Grafik nilai evapotranspirasi 5.4 Analisis Debit Sungai Ciliwung

Hulu (1993 – 2005)

Peningkatan debit sungai Ciliwung hulu terjadi pada musim hujan dengan nilai maksimum 195 m3/det. Penurunan debit sungai pada musim kemarau mencapai 0,02 m3/det yang terjadi pada minggu ke-2 Oktober tahun 1997. Penurunan debit minimum yang sangat drastis pada tahun 1997/1998 diduga kuat akibat adanya El Nino pada periode tersebut yang menyebabkan debit sungai menyusut pada musim kering. Selanjutnya analisis debit sungai dibagi menjadi dua periode pengamatan. Periode pertama mulai tahun 1993 sampai dengan 1996 sedangkan periode kedua dari tahun 1997 sampai dengan 2005. Pembagian ini didasarkan pada nilai koefisien rejim sungai yang mulai naik signifikan setelah tahun 1996. Untuk melihat kecenderungan grafik kenaikan debit selama periode tersebut maka data debit dipilah menurut kesamaan probabilitas atau kemungkinanan peluang kejadian suatu nilai melebihi suatu nilai tertentu yang dalam analsis ini digunakan peluang terlampaui di atas 75%. Berikut hasil dari analisis data debit sungai di outlet Katulampa.

0 50 100 150 200 250 1 251 501 751 1001 1251 1501 1751 2001 2251 2501 2751 3001 3251

Hari (Julian date)

De bi t ( m 3 /dt ) 0 20 40 60 80 100 120 140 CH (m m /h a ri ) CH Debit

Gambar 14. Grafik time series hubungan curah hujan dan debit harian

0 50 100 150 200 250 0 20 40 60 80 100 120 140 Hujan (mm/hari) D e b it (m 3 /d t) per 1997-2005 per 1993-1996

Gambar 15. Hubungan antara curah hujan dengan distribusi debit periode 1993 - 2005. Curah hujan dan debit harian telah dipilah berdasarkan kesamaan exeedance probability

(peluang kejadian suatu nilai melebihi suatu nilai tertentu).

Secara umum peningkatan debit seiring dengan peningkatan curah hujan Terjadi peningkatan debit harian yang cukup signifikan antara periode tahun pertama (1993 – 1996) dan periode kedua (1997 – 2005). Pada periode tahun kedua rata – rata debit hariannya lebih tinggi dibandingkan periode pertama dengan puncaknya mencapai dua kali debit puncak periode tahun pertama. Debit harian rata – rata periode pertama sebesar 12,32 m3/det sedangkan periode kedua sebesar 18,41 m3/det. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh ekosistem bagian hulu yang lahannya terus terkonversi untuk lahan hutan dan kebun sebagai penyangga air hujan pada musim hujan dan penyimpanan air pada saat musim kering. Tercatat untuk klasifikasi hutan baik hutan lebat maupun hutan semak telah berkurang 3,9%, kebun teh telah berkurang 4,5%, sdangkan pemukiman

meningkat tajam hingga 6,2%. Sehingga daerah hulu yang seharusnya menjadi daerah resapan air (catchment area) perlahan – lahan berubah fungsi menjadi daerah padat hunian akibat maraknya pembukaan lahan.

5.5 Analisis Indikator Penyangga DAS

Analisis lain yang dilakukan dengan data empiris curah hujan dan debit sungai Ciliwung hulu adalah aplikasi perhitungan kuantitatif dari beberapa indikator. Hasil perhitungan kuantitatif dari beberapa indikator fungsi hidrologi DAS disajikan pada Gambar 16. Indikator penyangga (buffering indicator) cenderung berkorelasi negatif dengan total debit sungai sehingga peningkatan debit akan menurunkan kapasitas menyangga dari sungai. Indikator penyangga menunjukkan tingkat penurunan yang relatif rendah pada kondisi puncak kejadian hujan (buffering peakevents

).

y = -0.6534x + 0.9999 R2 = 0.902 0.9965 0.997 0.9975 0.998 0.9985 0.999 0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 TWY BI

Gambar 16a. Hubungan indikator penyangga terhadap TWY

y = -1.1931x + 1.0009 R2 = 0.4478 0.991000 0.992000 0.993000 0.994000 0.995000 0.996000 0.997000 0.998000 0.999000 1.000000 0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 TWY BP E

Gambar 16b. Hubungan indikator penyangga puncak kejadian hujan terhadap TWY

y = 16.306x + 0.2553 R2 = 0.0543 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 TWY RB I

Gambar 16c. Hubungan indikator penyangga relative terhadap total debit terhadap TWY

Dari Gambar 16 terlihat bahwa indikator penyangga DAS berkorelasi negatif dan cenderung menurun terhadap nilai transmisi air pada saat bulan – bulan hujan. Berbeda pada indikator penyangga relatif terhadap total debit yang tidak memperhitungkan luasan area cenderung tidak terpengaruh terhadap perubahan nilai transmisi air (TWY) yang ditunjukkan dengan pola grafik yang tidak teratur. Hal ini sesuai dengan penelitian Van Noordwidjk et al., (2004) di DAS Sumber Jaya Lampung yang menunjukkan indikator penyangga DAS semakin menurun apabila korelasinya negatif terhadap transmisi air. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemampuan menyangga DAS semakin berkurang terhadap produksi limpasan pada musim hujan setiap tahunnya. Penurunan kemampuan menyangga ini dapat disebabkan oleh menurunnya daya dukung daerah disekitar aliran sungai yang telah berubah menjadi daerah pertanian dan pemukiman pada kurun waktu 1993 – 2005.

Kemampuan suatu penggunaan lahan dalam menahan curah hujan dan mengurangi terjadinya debit sungai serta menyerapkan air ke dalam tanah dipengaruhi oleh kondisi permukaan tanah terutama vegetasi (Asdak 1995, Chapman et al., 2003) dan sifat tanah (Purwowidodo, 1999) dari lahan tersebut. Asdak (1995) menyatakan bahwa pengaruh vegetasi dan cara bercocok

tanam terhadap debit sungai terjadi karena vegetasi dapat menghalangi jalannya limpasan langsung permukaan dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah sehingga akan menurunkan laju debit sungai.

5.6 Koefisien Rejim Sungai (KRS) Kriteria lain yang digunakan untuk menilai fungsi hidrologi suatu DAS adalah dengan melihat nilai koefisien rejim sungai tiap tahunnya. Koefisien rejim sungai merupakan perbandingan antara debit harian rata – rata maksimum dan debit harian rata – rata minimum. Kecendrungan kenaikan nilai KRS menunjukkan bahwa fungsi hidrologi DAS semakin menurun demikian sebaliknya. semakin kecil koefisien ini berarti kondisi hidrologi dari suatu wilayah DAS semakin baik Batasan yang diberikan untuk menilai indikator ini adalah sebagai berikut (Asdak, 1995): KRS < 50 baik; 50 ≤ KRS < 120 sedang; KRS ≥ 120 buruk. y = 25.503x0.8151 R2 = 0.1267 0 500 1000 1500 2000 2500 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun KR S

Gambar 17. Grafik nilai KRS tahun 1993 – 2005

Dari analisis data didapatkan bahwa KRS mulai mengalami kenaikan yang cukup signifkan mulai tahun 1996 sampai dengan tahun 1999 dengan niai KRS tertinggi dicapai pada tahun 1998 sebesar 2040 hasil perbandingan dari debit maksimum 61,2 m3/det dan debit minimumnya 0,03 m3/det. Selisih yang sangat besar antara debit maksimum dan debit mimimum pada saat musim hujan dan musim kering mengindikasikan bahwa pada saat musim hujan debit sungai dapat mendatangkan banjir tetpai pada saat musim kemarau debit sungai sangat kecil hingga menyebabkan kekeringan disekitar daerah aliran sungai. Sepanjang rentang data pengamatan nilai KRS menunjukkan tahun 1993 -1995 koefisien baik karena nilai berkisar kurang dari 50, tahun 1996 – 2001 menunjukkan nilai KRS yang sangat buruk dengan kisaran 182 hingga 353,7, dan pada tahun 2002 – 2005

menunjukkan nilai KRS baik hingga sedang dengan nilai 36,6 sampai dengan 103,3. Simulasi Model GenRiver untuk Evaluasi dan Prediksi Debit

Untuk mempelajari hubungan curah hujan, debit sungai dan alih guna lahan dilakukan simulasi model GenRiver menggunakan data-data daerah Ciliwung hulu. Untuk itu dilakukan simulasi model dengan komposisi 25,5% hutan pada awal simulasi dengan penurunan hingga 21,6% pada akhir simulasi selama periode 13 tahun.

Peningkatan luasan pemukiman dari 19,6% hingga 25,8% dengan penurunan luas areal pertanian dari 17,1% hingga 9,4%. Perbandingan debit dari data empiris (data pengukuran) dengan hasil simulasi model GenRiver untuk tahun ke -1(1994) dan ke- 11(2004) disajikan pada Gambar 18. Tahun ke – 1 mewakili kondisi awal simulasi (25,5% areal hutan) dan tahun ke-11 mewakili kondisi akhir simulasi dengan 21,6% areal hutan 0 5 10 15 20 25 30 35 1 18 35 52 69 86 103 120 137 154 171 188 205 222 239 256 273 290 307 324 341 358 Hari D e bi t ( m m/ ha ri )

Debit Aktual Debit Prediksi

Gambar 18a.Hasil simulasi GenRiver pada tahun 1994

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 1 18 35 52 69 86 103 120 137 154 171 188 205 222 239 256 273 290 307 324 341 358 Hari D e bi t ( m m /ha ri )

Debit Aktual Debit Prediksi

Gambar 18b. Hasil simulasi GenRiver pada tahun 2004 Perbandingan hasil simulasi dengan

data pengukuran tidak dapat dilakukan dengan melihat kedekatan setiap titik hasil simulasi dengan data pengukuran. Hasil tersebut secara umum berarti simulasi model dapat menghasilkan pola debit yang sama dengan data pengukuran walaupun masih belum bisa mendekati beberapa titik puncak dan aliran dasar. Dari uji keabsahan model simulasi pertama, dilihat dari kesesuaian pola bahwa debit prediksi mendekati pola debit pengukuran dengan nilai koefisien

determinasi model sebesar 0,55 yang berarti peluang data terwakili sebesar 55% sedangkan nilai rmsenya 1,7. Hal ini karena ragam (variance) dari debit prediksi yang lebih besar dari data pengukuran.

Sedangkan untuk simulasi kedua, pola debit prediksi juga mendekati pola debit aktualnya dengan koefisien determinasi model (R2) mencapai 0,71 yang berarti peluang data terwakili sebesar 71% dan nilai

ke-11 relatif lebih tinggi dibandingkan debit pada tahun ke-1(Gambar 18). Namun demikian peningkatan debit maksimum pada tahun ke-11 cukup signifikan dari tahun ke-1. Debit sungai tahun ke-11 lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan tahun ke-1 yang cenderung stabil setelah memasuki musim kering yaitu hari ke-201 hingga akhir tahun 1994.

Pada simulasi tahun pertama debit maksimum tercapai pada besaran 44,40 m3/dt untuk data aktual sedangkan untuk debit prediksi mencapai 49,16 m3/dt. Debit minimum aktual 1.93 m3/dt dan prediksinya 1,13 m3/dt Perbedaan ini tidak terlalu jauh yang disebabkan oleh parameterisasi yang masih harus diuji lebih lanjut karena secara grafik untuk pola debit harian model mendekati pola debit harian aktualnya. Debit maksimum ini tercapai pada saat memasuki puncak musim hujan atau pada bulan Februari. Selanjutnya untuk simulasi tahun ke-11, debit maksimum aktual tercapai pada besaran 82,46 m3/dt sedangkan untuk debit prediksinya 99,36 m3/dt. Debit minimum aktual 1,20 dan prediksinya 2,35. Pada simulasi tahun ke-11 ini penyimpangan data aktual dan prediksinya juga tidak terlalu besar karena parameternya mendekati ketelitian

meskipun waktu terjadinya hampir dapat bersamaan. Debit maksimum aktual dan prediksitercapai pada tengah bulan Januari. 5.8 Analisis Sensitivitas Parameter

Tutupan Lahan.

Analisis sensitivitas dilakukan baik terhadap parameter tipe penggunaan lahan maupun terhadap peubah curah hujan. Parameter tipe penggunaan lahan yang dipilih adalah perubahan tipe tutupan lahan yaitu hutan, perkebunan, pemukiman, dan sawah. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sensitivitas model terhadap perubahan tutupan lahan di suatu DAS akibat dari perubahan penggunaan lahan yang taerhadap nilai – nilai luarannya.

Langkah yang dilakukan dalam analisis sensitivitas parameter penggunaan lahan adalah menambah 5 – 10% dan mengurangi 5 – 10% dari masing – masing parameter. Penambahan dan pengurangan lahan 5% akan mengurangi dan menambah 1,25% pada setiap penggunaan lahan lainnya sedangkan penambahan dan pengurangan lahan 10% akan mengurangi dan menambah 2,5% pada setiap penggunaan lahan lainnya. Model dijalankan dengan data parameter penggunaan lahan yang telah diubah.

Tabel 7. Perbandingan luaran model pada beberapa nilai paramater penggunaan lahan dengan luaran model dan nilai awal.

luaran model pada perubahan hutan (%)

0 +5 +10 -5 -10 var luaran ∆ ∆ ∆ ∆ (mm) (mm) (mm) % mm mm % mm mm % mm mm % Total debit 1432 1349 -83 -5.8 1249 -183 - 12.8 1529 97 6.8 1608 176 12.3

luaran model pada perubahan pemukiman

(%) 0 +5 +10 -5 -10 var luaran ∆ ∆ ∆ ∆ (mm) (mm) (mm) % mm mm % mm mm % mm mm % Total debit 1432 1494 62 4.3 1572 140 9.8 1375 -57 -4 1321 -111 -7.8

luaran model pada perubahan perkebunan

(%) 0 +5 +10 -5 -10 var luaran ∆ ∆ ∆ ∆ (mm) (mm) (mm) % mm mm % mm mm % mm mm % Total debit 1432 1380 -80 -5.6 1274 -158 -11 1504 72 5 1585 153 10.7

luaran model pada perubahan sawah (%) 0 +5 +10 -5 -10 var luaran ∆ ∆ ∆ ∆ (mm) (mm) (mm) % mm mm % mm mm % mm mm % Total debit 1432 1462 30 2.1 1472 42 2.9 1403 -29 -2 1383 -49 -3.4 luaran model pada perubahan tegalan (%)

0 +5 +10 -5 -10 var luaran ∆ ∆ ∆ ∆ (mm) (mm) (mm) % mm mm % mm mm % mm mm % Total debit 1432 1458 26 1.8 1469 37 2.6 1408 -24 - 1.7 1392 -40 -2.8

Hasil analisis sensitivitas pada Tabel 7 terlihat bahwa variasi perubahan penggunaan/tutupan lahan selalu diikuti dengan perubahan luaran model yang berupa total debit selama setahun. Dari lima parameter yang dirubah untuk menganalisa sensitivitas model GenRiver perubahan hutan dan perkebunan yang paling sesuai deng n persentase perubahan parameter. Hal i i karena hutan dan perkebunan mempunyai kemampuan untuk menahan laju air hujan ketika jatuh ke permukaan tanah melalui kanopi pada bagian atas dan serasah pada bagian bawah. Dengan demikian air hujan tidak seluruhnya secara langsung akan membentuk limpasan akan tetapi sebagian tertahan oleh tajuk untuk kemudian diuapkan dan sebagian lagi terserap oleh akar – akar pohon besar dan terinfiltrasi pada saat curah hujan menurun. Kemampuan masing –masing lahan di sub DAS Ciliwung Hulu dalam menghasilkan debit terutama terkait dengan kemampuan masing – masing lahan tersebut dalam menghasilkan runoff. Ini disebabkan runoff merupakan komponen pembentuk debit yang memberikan sumbangan aliran air

a

n Pertimbangan ini dilakukan karena parameter curah hujan sangat berperan dalam proses kesetimbangan air. Curah hujan akan langsung berpengaruh pada besarnya aliran. Analisis sensitivitas dilakukan dengan melihat pengaruh perubahan luaran model apabila peubah ini divariasikan. Langkah yang dilakukan adalah dengan menambah 5 – 10%, dan mengurangi 5 – 10% dari peubah curah hujan sementara peubah yang lainya tetap. Model dijalankan dengan data yang telah dirubah. Luaran yang dibandingkan adalah total debit selama setahun. Data masukan yang akan digunakan adalah data simulasi tahun 2004 dengan parameter tanah dan penggunaan lahan yang telah dikalibrasi. Data curah hujan rata – rata normal digunakan untuk menjalankan model luarannya merupakan nilai awal.

paling besar dibandingkan dengan sumbangan air dari komponen pembentuk debit lainnya yaitu interflow dan baseflow. 5.9 Analisis Sensitivitas Model

terhadap Curah hujan

Tabel 8. Perbandingan luaran model pada beberapa nilai peubah curah hujan dan nilai awal. luaran model pada perubahan hujan (%)

0 +5 +10 -5 -10 var luaran ∆ ∆ ∆ ∆ (mm) (mm) (mm) % mm mm % mm mm % mm mm % Total debit 1432 1528 96 6.7 1618 186 13 1332 - 100 - 7 1246 - 186 - 13

Berdasarkan hasil skenario di atas, kontribusi curah hujan terhadap perubahan luaran model cukup nyata. Kenaikan 5% hujan menyebabkan perubahan total debit

sebesar 6,7%, kenaikan hujan 10% menaikkan 13% total debit. Sedangkan untuk penurunan hujan 5% telah menurunkan total debit hingga 4,9% dan penurunan hujan 10%

menurunkan total debit hingga 10%. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan model GenRiver lebih sensitive terhadap perubahan curah hujan apabila dibandingkan dengan perubahan penggunaan/tutupan lahan. Pengaruh curah hujan yang secara langsung terhadap kesetimbangan air di permukaan tanah menyebabkan peubah ini sangat sensitive mempengaruhi fluktuasi debit. Hasil Prediksi Debit menggunakan Model GenRiver

Untuk melihat pengaruh alih guna lahan dan variasi curah hujan terhadap debit harian di DAS Ciliwung hulu dilakukan simulasi GenRiver. Penggunaan model dilakukan dengan menerapkan beberapa kemungkinan skenario untuk mengetahui penggunaan lahan yang paling optimal dalam menekan fluktuasi debit, skenario yang akan digunakan adalah perubahan luas penggunaan

lahan seperti yang tercantum pada Tabel 4 dengan skenario variasi curah hujan rata – rata normal, + 25%, dan -25%.

Skenario pertama menggunakan perubahan lahan tegalan dan perkebunan masing – masing 9,1% dan 4,3% menjadi lahan hutan, sementara penggunaan lahan lainnya tetap. Dengan penambahan ini maka lahan hutan menjadi 35%. Sedangkan skenario kedua mengalihgunakan 8,6% lahan perkebunan, 12,2% pemukiman, 9,1% tegalan, dan 4,3% sawah menjadi lahan hutan. Dengan pengalihugunaan ini lahan hutan menjadi 55,8% dari area DAS. Secara konsep penambahan lahan hutan dapat menurunkan debit maksimum dan debit harian karena intersepsi oleh tajuk dan penyerapan oleh akar pohon – pohon besar. Berikut hasil skenario selengkapnya pada Tabel 9 sedangkan untuk gambar grafiknya ada di Lampiran 4.

Tabel 9. Debit hasil luaran model pada berbagai skenario lahan dan hujan (satuan dalam m3/dt)

Skenario 1 Skenario 2 Var. Luaran CH rata-rata CH + 25% CH -25% CH rata-rata CH +25% CH -25% Debit rata2 13.25 16.48 9.73 8.89 11.1 7.13 Debit max 92.43 113.84 69.32 61.44 76.73 49.31 Debit min 2.37 2.96 0.56 2.90 3.63 2.17 KRS 39 38.46 123.79 21.19 21.14 22.72

Dari hasil simulasi debit model GenRiver skenario 1 maka dapat diketahui besaran volume debit maksimum selama satu hari sebesar 7.985.952 m3 pada kondisi curah hujan normal dengan debit minimum 204.768 m3, 9.835.776 m3 dan debit minimum 255.744 m3 dengan penambahan hujan 25%, dan 5.989.248 m3 dan debit minimum 48.384 m3 dengan pengurangan hujan 25%. Sedangkan pada skenario 2 diperoleh volume debit maksimum pada kondisi hujan normal turun menjadi 6.447.168 m3 dan debit minimumnya 217.728, 7.285.248 m3 dan debit minimum 243.648 pada penambahan hujan 25%, dan 4.923.072 m3 dan debit minimumnya 185.760 m3 pada pengurangan hujan 25%.

Penggunaan berbagai skenario memberikan perubahan yang nyata terhadap KRS dan debit maksimum. Namun perubahan tersebut kurang nyata terhadap debit minimum, sehingga nilai KRS lebih

banyak dipengaruhi oleh debit maksimum. Berikut grafik yang menggambarkan kecenderungan pada berbagai skenario yang telah dilakukan. 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 5 10 15 20 25

Discharge aktual rata-rata (mm /day)

D is ch ar g e sk en ar io ( m m /d ay)

rata-rata aktual SK1CHrata-rata SK1CH-25% SK1CH+25% SK2CHrata-rata SK2CH-25% SK2CH+25%

Gambar 19. Plot hubungan debit model skenario terhadap debit model kondisi rata- rata aktual.

Skenario 1 dengan penambahan hujan 25% ternyata nilainya melebihi pada kondisi aktual normal. Sedangkan skenario lainnya mempunyai kecenderungan nilai

debit berada di bawah debit pada kondisi normal aktualnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa skenario 1 dengan hujan naik 25% akan meningkatkan rata – rata debit normal aktualnya.

Perubahan debit sebagai hasil perubahan luasan lahan serta penambahan dan pengurangan curah hujan pada masing – masing skenario dipengaruhi oleh kemampuan masing – masing lahan dalam menghasilkan debit.

Tipe penggunaan lahan dan kondisinya mempengaruhi besarnya runoff

melalui pengaruhnya terhadap laju infiltrasi tanah. Dedaunan dan serasah menja a infiltrasi potensial tanah dengan mencegah penutupan permukaan tanah akibat tetesan air hujan. Sebagian tetesan air hujan tertahan pada permukaan daun, meningkatkan kemungkinan air hujan tersebut terevaporasi kembali ke atmosfer. Sebagian kelembaban yang diintersepsi akan sudah mengering selama mengalir dari tanaman ke bawah menuju tanah sehingga tidak memberikan kontribusi pada masa awal terjadinya runoff.

g

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

1. Perubahan lahan dari tahun 1994 – 2004 didominasi oleh tegalan yang meningkat luasannya hingga 9,1%, kedua areal sawah yang menurun hingga 7,7%, dan ketiga pemukiman yang meningkat hingga 6,2% dari total luas lahan.

2. Hasil perhitungan dan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan penurunan indikator penyangga (buffering indicator). Penurunan indikator penyangga dari tahun 1993 – 2005 menurun dari 0,998883 sampai 0,996705 cenderung

Dokumen terkait