Berhubung UU Pemda baru berlaku kurang lebih setahun, dampak pemberlakuan yang dipaparkan dalam laporan ini belum merupakan hal-hal yang konkrit seperti penambahan jumlah UPTD provinsi atau penghapusan sauan kerja perangkat daerah tingkat kabupaten/kota. Dengan baru melewati kurang lebih satu tahun, paparan mengenai dampak lebih menunjuk pada pandangan-pandangan terhadap UU Pemda dan rencana-rencana mengimplementasikannya. Pandangan-pandangan mencakup optimisme dan kekawatiran-kekawatiran mengenai kondisi dan hasil yang akan muncul.
3.1. Organisasi perangkat daerah
Sekalipun mendapatkan tambahan kewenangan yang banyak dari pemberlakuan UU Pemda, pemerintah provinsi di tempat tertentu kawatir dengan kemampuan mereka dengan jumlah sumberdaya manusia yang terbatas. Dicontohkan kemampuan untuk menangani permohonan izin usaha pertambangan yang mencapai 700-an. Situasi yang sama juga dibayangkan berpotensi terjadi untuk penyelenggaraan perizinan di bidang kehutanan. Pemerintah diperkirakan tidak akan bisa menyediakan pelayanan efektif akibat banyaknya jumlah permohonan apalagi harus melakukan verifikasi lapangan ke tempat-tempat yang secara jarak jauh dari ibu kota provinsi. 4 Karena itu, kehadiran Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian di daerah, dianggap akan bisa mengatasi kelemahan tersebut. 3.2. Pemberian hak pengelolaan hutan kepada masyarakat
Pada dasarnya dampak yang sangat nyata dari pemberlakukan UU Perda adalah terhadap perencanaan pembangunan ditingkat Kabupaten/Kota khususnya terkait kehutanan (selain pertambangan mineral batubara dan kelautan). Dalam bidang kehutanan saat ini, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan bahkan desa sudah enggan memasukan kegiatan terkait kehutanan di dalam dokumen perencanaan. Berkurang atau tidak adanya anggaran pada bidang kehutanan ditingkat kabupaten/kota, tentu akan berimbas kepentingan masyarakat khususnya mereka yang sedang melakukan pengelolaan hutan dengan skema perhutanan social
4 Hal tersebut diungkapkan oleh dua peserta Focused Group Discussion yang masing-masing mewakili Dinas Pertambangan, Mineral dan Batubara Provinsi Sulawesi Selatan dan Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (17/12/2015).
38
maupun agroforestry. Berkurangnya anggaran juga berimbas pada alokasi anggaran untuk pengamanan hutan misalnya menjaga hutan dari perambahan dan kebakaran hutan.
Dampak yang juga nyata adalah beban tugas kabupaten/kota akan beralih menjadi beban Dinas Kehutanan Provinsi. Sementara, pada saat yang sama jumlah personil yang dimiliki sangat terbatas. Pengalihan beban ini juga ditegaskan oleh Surat Edaran Kementerian LHK No.SE.5/MenLHK-II/2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di bidang Kehutanan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dimana salah satunya diktumnya menyatakan bahwa penyelenggaraan kegiatan hutan kemasyarakatan, hutan desa dan hutan tanaman rakyat yang telah ditetapkan areal kerjanya oleh Menteri LHK, maka penerbitan IUPHKm, HPHD, dan IUPHHK-HTR diterbitkan oleh Gubernur dengan mempertimbangkan proses dan tahapan yang sudah dilakukan oleh Bupati/Walikota serta memperhatikan masa berlakunya penetapan areal kerja.
Daya jangkau Dinas Provinsi untuk melingkupi seluruh kabupaten/kota juga menjadi tantangan tersendiri dalam memberikan layanan kepada masyarakat baik dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat,prosedur perizinan perhutanan sosial, sosialisasi program / kegiatan, dan yang tidak kalah penting adalah menangani konflik kehutanan.
Pendapat berbeda disampaikan oleh perwakilan dari Kanwil Pertanahan Provinsi Sulawesi Selatanyang menyatakan bahwa terbitnya UU Pemda mempunyai dampak positif khususnya dalam hal penyelesaian konflik tanah, karena dianggap akan mendukung pelaksanaan Peraturan Bersama 4 Menteri (Kehutanan, Dalam Negeri, Tata Ruang dan BPN) tentang Penyelesaian penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan. Bahkan untuk tahun 2016, anggaran yang dialokasikan ditargetkan untuk menyelesaikan 26.000 bidang tanah.
39
IV. Rekomendasi
Rekomendasi-rekomendasi yang diusulkan dalam rangka menuju dua hal yaitu: (i) perubahan UU Kehutanan dalam rangka menyesuaikan dengan UU Pemda; dan (ii) menciptakan kesiapan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk melaksanakan ketentuan UU Pemda. Dengan dua tujuan tersebut, rekomendasi-rekomendasi yang diusulkan adalah sebagai berikut:
Pertama, revisi UU Kehutanan untuk menyesuaikan dengan pengaturan
desentralisasi bidang kehutanan yang terdapat dalam UU No. 23/2014, dengan poin-poin sebagai berikut:
1. Penegasan ulang pembagian kewenangan bidang kehutanan dan sub bidang kehutanan seperti yang diatur dalam UU No. 23/2014 dengan cara membuat pasal tersendiri.
2. Perubahan redaksi pengaturan tentang kewenangan mengakui keberadaan dan hak masyarakat hukum adat atas hutan yaitu dengan menentukan bahwa kewenangannya ada pada provinsi dan kabupaten/kota. Ketentuan seperti itu akan mengakhiri silang tafsir mengenai istilah ‘peraturan daerah’ yang terdapat di dalam Pasal 67 Ayat 2UU No. 41/1999.
3. Bahwa pengaturan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat tidak diatur lebih lanjut dengan cara penerbitan PP tersendiri akan tetapi cukup dengan menyatakan ‘mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku’.
Kedua, dengan beralihnya titik berat otonomi daerah dari kabupaten/kota ke
provinsi termasuk dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam pasca pemberlakuan UU No. 23/2014, diperlukan asistensi kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, untuk keperluan-keperluan sebagai berikut:
Pemerintah provinsi
1. Penyusunan rancangan organisasi perangkat daerah yang menyesuaikan dengan kewenangan yang baru dan didasarkan pada semangat efisiensi, efektivitas dan berbasis kebutuhan
2. Penataan distribusi sumberdaya manusia terutama yang sebelumnya menjadi pegawai pemerintah kabupaten/kota
3. Perancangan sistem data base sebagai hasil dari penggabungan data base tingkat kabupaten/kota dengan provinsi
40
4. Pembuatan regulasi yang mengatur mengenai penyelenggaraan kewenangan dan organisasi perangkat daerah.
Pemerintah kabupaten/kota
1. Mengidentifikasi kewenangan-kewenangan atributif dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam
2. Menyusun rancangan organisasi perangkat daerah dengan menyesuaikan pada pengurangan kewenangan secara signfikan pasca pemberlakuan UU No.23/2014
3. Penataan distribusi sumberdaya manusia pasca pembubaran atau penyederhanaan SKPD-SKPD yang mengurus bidang kehutanan
4. Pembuatan regulasi yang mengatur penyelenggaraan kewenangan pengelolaan SDA yang didasarkan pada kewenangan atributif dan regulasi mengenai organisasi perangkat daerah.
41
Bahan Bacaan
Artikel
Manning, Chris (1971), ‘The Timber Boom with Special Reference to East Kalimantan’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 7(3): 30-60.
Buku
Jemadu, Aleksius (1996), Sustainable Forest Management in the Context of
Multi-Level and Multi-Actor Policy Processes. PhD thesis at Katholieke Universiteit
Leuven.
Magenda, Burhan (1991), East Kalimantan The Decline of a Commercial Aristocracy. Ithaca New York: Southeast Asia Study Program Cornell University.
Peraturan perundang-undangan
Undang-undang
1. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan
2. UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah 3. UU No. 31/2004 tentang Perikanan
4. UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 5. UU No. 1/2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun
2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
6. UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
7. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan pemerintah
PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Surat edaran
1. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/253/S tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Setelah Ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SE. 5/MenLHK-II/2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.