• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUANPUSTAKA

3.4 Analisis Data

3.4.1 Analisis fasilitas dan aktivitas

Analisis deskriptif terhadap fasilitas dan aktivitas perikanan tangkap di PPI Meulaboh meliputi kondisi dan ukuran fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. Pada analisis ini juga disajikan gambar dan grafik.

3.4.2 Analisis kebijakan PPI Meulaboh

Kebijakan adalah faktor yang sangat penting bagi pengelolaan perikanan (pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan) di suatu daerah. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini salah satunya melalui evaluasi kebijakan yang ada, baik menggunakan kebijakan tertulis maupun kebijakan tidak tertulis.

Analisis kebijakan tertulis menggunakan pendekatan kerangka hukum, berupa pendekatan hukum (legal framework) dilakukan untuk melihat hukum/peraturan perundang- undangan dari sisi struktur (legal structure), mandat (legal mandate) dan penegakan hukum (legal enforcement), kemudian kebijakan yang tidak tertulis berupa kearifan-kearifan lokal yang telah lama dianut oleh masyarakat setempat dalam pemanfaatan dan pengelolaan PPI (Gambar 1).

Selanjutnya dipilih kebijakan yang mendukung sektor usaha perikanan di PPI, berupa kebijakan tertulis yaitu peraturan perundang-undangan atau qanun yang berlaku, baik yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang mendukung sektor usaha perikanan di PPI dan kemudian menggunakan kebijakan ini untuk pengelolaan PPI Meulaboh menjadi lebih baik.

Input:

Kebijakan perikanan

(Kebijakan tertulis dan tidak tertulis)

Analisis aspek hukum: • Struktur hukum (legal structure)

• Mandat hukum ( legal mandate) • Pendekatan hukum ( legal enforcement)

Tentukan :

Pilih kebijakan yang mendukung pengelolaan perikanan di PPI

Meulaboh

Cukup

Cetak :

Kebijakan yang mendukung pengelolaan PPI Meulaboh

mulai

Gambar 1 Diagram alir deskriptif analisis kebijakan perikanan (Nurani, 2010) diolah kembali

3.4.3 Elemen kunci pengelolaan PPI Meulaboh

Analisis pengelolaan PPI Meulaboh dalam penelitian ini menggunakan metode Interpretative structural modeling (ISM). Analisis ini dilakukan secara bertahap dan sistematis dengan mengurutkan elemen yang berpengaruh dalam pengelolaan Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh yang didapatkan dari penggalian isu yang strategis yang menjadi acuan atribut elemen Model ISM.

Permodelan sistem yang dihasilkan diharapkan dapat diterapkan pada sistem nyata. Strategi implementasi perlu dilakukan agar model pengelolaan perikanan dapat berhasil dengan baik. Strategi implementasi dilakukan dengan menggunakan teknik Interpretative structural modeling (ISM). Langkah-langkah dalam penggunaan ISM adalah sebagai berikut (Ringh, 2008):

1) Identifikasi elemen sistem

2) Membangun hubungan konseptual antar elemen disesuaikan dengan tujuan model

3)Pembuatan matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction matrix/ SSIM).

Ini dibuat berdasarkan persepsi responden yang dimintakan melalui wawancara kelompok terfokus. Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem yang dipertimbangkan adalah

V : hubugan dari elemen Ei terhadap Ej , tidak sebaliknya. A : hubungan dari elemen Ei terhadap Ej , tidak sebaliknya. X : hubungan interrelasi antara Ei dan Ej (dapat sebaliknya). O : menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan.

4)Pembuatan matriks ” interaksi yang terjadi “ (reachability matrix/ RM): sebuah RM yang dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM (Structural Self Interaction Matrix) ke dalam sebuah matris biner.

Aturan – aturan konversi berikut menerapkan :

- Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM, maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM;

- Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan Eji = 1 dalam RM;

- Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM;

RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1, Ejk = 1

5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM.

6) Pembuatan matriks canonical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini.

7) Pembuatan Digraph: adalah konsep yang berasal dari directional graph sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan, dan level hierarki.

8) Interpretative strucrtural modelling: ISM dibangkitkan dengan memindahkan seluruh jumlah elemen deskripsi elemen aktual. oleh sebab itu, ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya.

Penentuan strategi implementasi model pengelolaan perikanan dengan menggunakan teknik ISM, memerlukan identifikasi elemen penting yang akan dimasukkan kedalam model atau program. Menurut Saxena (1992) diacu dalam Eriyatno (2003) program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu:

1) Sektor masyarakat yang terpengaruh. 2) Kebutuhan dari program.

3) Kendala utama program.

4) Perubahan yang dimungkinkan dari program. 5) Tujuan dari program.

6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan.

7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan.

8) Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas. 9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.

Selanjutnya, untuk setiap elemen dari program yang dikaji dijabarkan menjadi sejumlah subelemen berdasarkan pendapat responden. Setelah itu ditetapkan hubungan kontekstual antara subelemen yang terkandung adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi subordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan, seperti “apakah tujuan A lebih penting dari tujuan

B?”, perbandingan berpasangan yang menggambarkan keterkaitan antar subelemen atau tidaknya hubungan kontekstual ditentukan dari pendapat responden. Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual maka disusunlah Structural Self-Interaction Matrix (SSIM).

Pengertian nilai 1 adalah ada hubungan kontekstual antar subelemen, sedangkan nilai 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antar subelemen. Hasil penilaian tersebut tersusun dalam Structural Self-Interaction Matrix (SSIM). SSIM dibuat dalam bentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan menganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Penyusunan SSIM menggunakan simbol V, A, X dan O yaitu:

V jika ea = 1 dan eb = 0; artinya bahwa elemen A berpengaruh dibandingkan elemen B

A jika ea = 0 dan eb = 1; artinya bahwa elemen A berpengaruh dibandingkan elemen B

X jika ea = 1 dan eb = 1; artinya bahwa elemen A sama-sama berpengaruh dengan elemen B

O jika ea = 0 dan eb = 0; artinya bahwa elemen A dan elemen B sama-sama tidak memiliki pengaruh

Hasil survei awal dan pendapat stakeholders (DKP, BAPPEDA, Akademisi dan Panglima Laot) di lapangan berdasarkan kondisi di tempat Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh, ditetapkan tujuh elemen sistem yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas beberapa subelemen sistem. Selanjutnya elemen dan subelemen sistem ini, digunakan sebagai input yang dianalisis dengan teknik ISM ( Tabel 4).

Pembuatan matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction matrix/SSIM), memerlukan persepsi dari responden. Pada penelitian ini, responden yang dimintakan pendapatnya melalui pengisian kuesioner adalah pakar di bidang pelabuhan perikanan atau perikanan tangkap.

Hasil teknik ISM berupa ranking dari setiap subelemen dan plot masing- masing subelemen ke dalam empat sektor beserta koordinatnya. Berdasarkan ranking masing- masing sub-elemen, maka dapat dibuat hierarki setiap subelemen secara manual dimana subelemen dengan ranking yang lebih tinggi akan berada

pada hierarki yang lebih rendah. Diagram alir deskriptif teknik analisis ISM seperti terlihat pada Gambar 2.

Tabel 3 Elemen dan subelemen strategi implementasi Pengelolaan Pangkalan Pendaratan Ikan

No Elemen Sistem Subelemen

1 Sektor masyarakat

yang terpengaruh dari pengelolaan PPI

Pengelola PPI, nelayan, panglima laot, industri perikanan, pemilik kapal, pedagang pengumpul, pedagang pengecer, pengusaha jasa transportasi, buruh angkut, konsumen dan masyarakat sekitar PPI.

2 Kebutuhan terlaksana

program pengelolaan PPI

Pengelolaan fasilitas & aktivitas dan peraturan meliputi: ketersediaan fasilitas yang lengkap, ketersedian data base dan informasi, dukungan teknologi di PPI, penyuluhan pengelolaan PPI, ketersedian sumberdaya manusia (SDM), keberpihakan pemerintah provinsi (komitmen), partisipasi nelayan, dukungan dari Pemerintah kabapaten tentang qanun pengelolaan PPI, dukungan dari kecamatan, koordinator antar sektor, ketersediaan anggaran ke PPI, kebijakan pengelolaan PPI,

penegakan hukum, dan tokoh masyarakat

3 Kendala utama dalam

pengelolaan PPI

Kendala pengelolaan aktivitas dan peraturan meliputi: kualitas SDM yang masih rendah di PPI, kurang pemahaman lembaga adat tentang pengelolaan PPI, kualitas Pengelola PP/PPI masih rendah, aksesbilitas ke PPI, konflik kepentingan antar pemerintah daerah di PPI, terbatasnya anggaran pengelolaan

pembangunan PP/PPI, campur tangan NGO, tidak adanya peraturan pengelolaan optimal PPI, penempatan pengelola PPI bukan dari keahlian ilmunya dan konflik antar nelayan di PPI

4 Tujuan dari program

pengelolaan PPI yang baik

Optimalisasi pemanfaatan SDM, kinerja DKP dan panglima Laot, peningkatan keuntungan usaha perikanan, manajemen fungsional PPI, pengelolaan optimal PPI yang baik, kebijakan pemerintah yang berpihak ke PPI, peningkatan kemampuan pengelola PPI, penyerapan tenaga kerja sesuai ahlinya di PPI, kesejahteraan nelayan lebih baik, peningkatan PAD

5 Tolok ukur keberhasilan pengelolaan PPI

Adanya peraturan pengelolaan yang jelas tentang pengelolaan PPI, kinerja instansi yang terkait efisien, terbentuk pengelolaan bersama, adanya koordinasi antar stakeholder di PPI, tugas pokok panglima laot dan DKP sesuai qanun, penyerapan tenaga kerja tinggi ke PPI, pendapatan usaha perikanan

meningkat, perekonomian daerah meningkat, PAD meningkat dan tidak terjadi konflik antar nelayan di PPI

6 Aktivitas yang

dibutuhkan dalam pengelolaan PPI

Koordinasi dengan lembaga yang saling terkait, pembuatan peraturan pengelolaan PPI,

pengembangan teknologi di PPI, training/pelatihan SDM di PPI, penyediaan sarana dan prasarana di PPI, penciptaan kondisi yang kondusif, pengembangan akses pasar di PPI, pengembangan akses informasi dan terbuka dengan semua pihak

7 Lembaga yang terlibat

dalam pengelolaan PPI

Dinas perikanan dan ilmu kelautan provinsi, dinas perikanan dan ilmu kelautan kabupaten, majelis adat aceh, panglima laot, panglima laot lhok, pengelola PPI, syahbandar, HNSI ( Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), GAPI (Gabungan Pedagang Ikan), koperasi, GAPIKA (Gabungan Pengolah Ikan)

Uraikan setiap elemen menjadi subelemen

Tentukan hubungan kontekstual antara subelemen pada setiap elemen

Susunlah SSIM untuk setiap elemen

Bentuk Reachabiliy Matrix untuk setiap elemen

Uji matrix dengan aturan transitity

Ubah RM menjadi format

Lower Triangular RM

Tentukan rank dan hirarki dari subelemen

Tetapkan Drive Dependence

Matrix setiap elemen

Plot subelemen pada empat faktor

Klasifikasi subelemen pada empat peubah kategori

Tetapkan Drive dan Drive power

setiap subelemen

Susun digraph dari lower

triangular

Susun ISM dari setiap elemen

Tentukan level melalui pemilihan

OK Modifikasi SSIM

Tindakan program menjadi perencanaan program Program

Gambar 2 Diagram alir deskriptif teknik interpretative structural modeling (ISM) (Marimin, 2004)

Teknik analisis interpretative structural modeling (ISM) digunakan untuk strategi implementasi program atau kebijakan, agar pengelolaan optimal PPI Meulaboh di Kabupaten Aceh Barat dapat diaplikasikan dengan baik. Implementasi program optimal merupakan suatu sistem yang kompleks, untuk itu harus dilakukan melalui perencanaan yang sistematis dan terintegrasi dari seluruh komponen sistem.

Output dari analisis ISM (interpretative structural modeling) yang dilakukan menghasilkan diagram struktural elemen dan matriks driver power-dependence dari elemen-elemen hubungan dengan setiap subelemen berdasarkan tujuh program yang digunakan dalam pengelolaan optimal PPI Meulaboh.

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1

Letak dan Kondisi Geografis

Kabupaten Aceh Barat merupakan salah satu kabupaten yang termasuk dalam wilayah Pemerintahan Aceh yang terletak di daerah barat selatan aceh. Secara geografis Kabupaten Aceh Barat terletak di posisi : 040 06’– 040 47’ LU dan 950 52’– 96 30’ BT. Secara administrasi Kabupaten Aceh Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya dan Pidie di sebelah utara, dengan Aceh Tengah dan Nagan Raya di sebelah timur, dengan Samudera Indonesia dan Kabupaten Nagan Raya di sebelah barat dan selatan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah daratan 2.927,95 km2 atau 292.795 ha, dengan panjang garis pantai diperkirakan 50,55 km dan dengan luas laut 233 km2 mempunyai wilayah yang sangat potensial untuk salah satu daerah hasil laut yang produktif (DKP, 2007). Menurut Badan Pusat Statistik (2010), Kabupaten Aceh Barat memiliki 321 desa dengan 12 (dua belas) kecamatan, dan juga memiliki empat kecamatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia yaitu kecamatan pesisir meliputi Kecamatan Johan Pahlawan, Meureubo, Samatiga dan Kecamatan Arongan Lambalek, serta delapan kecamatan daratan yaitu Kaway XVI, Sungai Mas, Pantee Ceureumen, Panton Ree, Bubon, Woyla, Woyla Barat dan Woyla Timur. Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa Kecamatan Kaway XVI merupakan kecamatan terluas di Kabupaten Aceh Barat dengan luas mencapai 510,18 km2 kemudian diikuti Kecamatan Pante Ceureumen dengan luas 490,25 km2, kedua kecamatan ini adalah kecamatan daratan yang tidak ada pesisir. Kecamatan terkecil adalah Kecamatan Panton Reu dengan luas 83,04 km2 merupakan kecamatan pemekaran pada tahun 2007, dan Kecamatan Johan Pahlawan dengan Luas Wilayah 44,91 km2 atau 1,53% dari luas kabupaten kecamatan ibu Kota Aceh Barat. Kecamatan ini merupakan tempat lokasi penelitian di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Meulaboh Desa Ujung Baroh, Kecamatan Johan Pahlawan dengan luas area pelabuhan 1,5 hektar (BPS, 2010).

Tabel 4 Nama-nama kecamatan, ibu kota kecamatan, jumlah desa/gampong dan luas wilayah kecamatan di Kabupaten Aceh Barat.

No Kecamatan Ibukota Kecamatan Jumlah

Desa

Luas (km2)

1 Johan Pahlawan Meulaboh 21 44,91

2 Samatiga Suak Timah 32 140,69

3 Bubon Banda Layung 17 129,58

4 Arongan L Drien Rampak 27 130,06

5 Woyla Kuala Bhee 43 249,04

6 Woyla Barat Pasi Mali 24 123,00

7 Woyla Timur Tangkeh 26 132,60

8 Kaway XVI Keudee Aron 43 510,18

9 Meureubo Meureubo 26 112,87

10 Pante C Pante C 25 490,25

11 Panton Reu Meutulang 19 83,04

12 Sungai Mas Kajeung 18 781,73

Jumlah 321 2.927,95

Sumber : BPS, Kabupaten Aceh Barat dalam Angka 2010

4.2 Penduduk dan Mata Pencaharian

Kabupaten Aceh Barat terdiri beberapa suku asli Aceh dan pendatang dari berbagai daerah. Kelompok etnis pendatang terbesar sampai saat ini adalah Padang dan Jawa. Banyaknya penduduk pendatang ini akibat adanya program transmigrasi penduduk dari daerah lain ke aceh dan juga akibat tsunami tahun 2004, banyak suku pendatang yang mencari rizki ke Kabupaten Aceh Barat seiring dengan pembangunan kembali kabupaten ini oleh BRR (badan rehabilitasi dan rekontruksi) Aceh-Nias, yang kemudian sebagian besar diantaranya menetap tinggal di Kabupaten Aceh Barat. Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Barat yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 adalah 184.147 orang, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 87.682 orang dan perempuan 85.214 orang.

Setelah gempa dan gelombang tsunami dengan kekuatan 9,8 skala richter yang melanda Pemerintahan Aceh tanggal 26 Desember 2004, sekitar 80% bangunan fisik Kota Aceh hancur total. Keadaan yang seperti itu jumlah penduduk Kabupaten Aceh Barat akhir Desember 2005 tercatat 150.450 jiwa, sehingga dalam periode waktu 2004–2009 Kabupaten Aceh Barat mempunyai rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 2,96% per tahun.

Dari tahun 2005 sampai tahun 2009, Kecamatan Johan Pahlawan menduduki posisi pertama dengan jumlah penduduk di Kabupaten Aceh Barat. Hal ini dikarenakan Kecamatan Johan Pahlawan terletak di pusat kota Meulaboh,

sebagai ibu kota dari Kabupaten Aceh Barat, kemudian diikuti diposisi kedua oleh Kecamatan Meureubo dengan jumlah penduduk 22.999 jiwa dan Kecamatan Kaway XVI pada posisi ketiga tahun 2009 mencapai 18.133 jiwa. Pada tahun 2006 penduduk di Kecamatan Kaway XVI ini mencapai angka tertinggi 25.365 jiwa, namun pada tahun 2007 terjadi pemakaran sehingga mengalami penurunan 27,35% (18,429 jiwa) dan pembentukan kecamatan baru yaitu Kecamatan Panton Reu di Kabupaten Aceh Barat yang sebelumnya merupakan wilayah Kecamatan Kaway XVI. Perkembangan jumlah penduduk menurut Kecamatan dalam Kabupaten Aceh Barat dari tahun 2004-2009 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perkembangan penduduk di kecamatan pesisir dan daratan dalam Kabupaten Aceh Barat periode 2004-2009

Kecamatan Penduduk (jiwa)

2004 2005 2006 2007 2008 2009 Kecamatan Pesisir 1. Johan Pahlawan 52.118 43.804 44.139 45.654 66.35 65.182 2. Meureubo 24.018 18.417 18.557 19.194 21.013 22.999 3. Samatiga 14.794 12.492 12.587 13.019 14.85 15.058 4. Arongan L 12.293 10.058 10.134 10.481 11.763 11.808 Jumlah 103.223 84.771 85.417 88.348 113.976 115.047 Kecamata daratan 5. Woyla 11.538 11.613 11.701 12.102 12.489 12.759 6. Woyla Barat 7.793 6.869 6.921 7.158 7.402 7.443 7. Woyla Timur 5.324 4.009 4.039 4.178 4.520 4.500 8. Kaway XVI 23.684 25.174 25.365 18.429 18.429 18.133 9. Bubon 5.098 5.481 5.523 5.712 5.751 5.892 10. Pante C 11.317 9.125 9.194 9.509 10.406 10.65 11. Panton Reu - - - 3.552 5.930 6.064 12. Sungai Mas 4.653 3.408 3.434 4.306 3.662 3.659 Jumlah 69.407 65.679 66.177 64.946 68.589 69.1 Jumlah Keseluruhan 172.630 150.450 151.594 153.294 182.565 184.147

172.63 150.45 151.594 153.294 182.565184.147 0.000  25.000  50.000  75.000  100.000  125.000  150.000  175.000  200.000  2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah P e nduduk (Jiw a) Tahun

Gambar 3 Grafik perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Aceh Barat periode 2004-2009

Kabupaten Aceh Barat adalah salah satu kabupaten yang kemajuannya sangat pesat pasca tsunami pada tahun 2004. Jumlah keseluruhan penduduk Kabupaten Aceh Barat 184.147 jiwa sampai tahun 2010, dengan berbagai macam mata pencaharian diantaranya petani (ladang, tambak), nelayan, pegawai negeri sipil, tetapi di kabupaten ini yang lebih dominan mata pencahariannya adalah petani dengan luas lahan hingga tahun 2009 mencapai 221.520 hektar. Luas areal budidaya tambak (brackish waterpond) dan kolam (fresh waterpond) yang sudah dimanfaatkan di Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2008 tercatat 150,85 hektar dengan hasil produksinya 36,5 ton. Masyarakat pencari kerja/pengangguran dari tahun 2008-2009 mencapai 5.375 jiwa. Potensi lahan dan areal yang sangat banyak di Kabupaten ini Aceh Barat belum dimanfaatkan secara efektif oleh masyarakat sehingga jumlah pengangguran masih tinggi di daerah ini. Pemerintah kabupaten harus bekerja lebih keras lagi untuk menangulangi tingkat pengangguran. Salah satu langkahnya adalah memberikan penyuluhan kepada masyarakat sehingga lahan yang tersisa bisa digarap secara efektif dan mata pencaharian masyarakat menjadi lebih beragam di masa yang akan datang.

4.3 Deskripsi Keadaan Perikanan Tangkap 4.3.1 Armada penangkapan

Kapal adalah salah satu sarana penunjang kegiatan produksi perikanan yang harus ada dalam operasi penangkapan ikan. Menurut Undang-undang No. 45 tahun 2009 tentang perikanan, kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat

apung yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengelohan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan.

Armada penangkapan ikan yang beroperasi di Kabupaten Aceh Barat, terdiri dari sampan atau jukung (perahu tanpa motor), perahu motor (PM) dan Kapal motor. Kapal motor yang terdapat di PPI Meulaboh adalah yang berukuran <10-30 GT (Gross Tonage). Jenis armada penangkapan yang paling banyak digunakan oleh nelayan adalah jenis kapal motor dimana alat tangkap yang sering digunakan seperti pukat cincin, jaring insang, payang (lampara), rawai hanyut, pancing tonda.

Tabel 6 Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Aceh Barat periode tahun 2005-2009

Tahun Perahu Tanpa Motor (unit)

Motor Tempel

(unit)

Kapal Motor (unit) Jumlah

(unit) < 10 GT 10- 20 GT 20-30 GT 2005 257 60 440 102 4 863 2006 70 85 544 67 7 773 2007 62 85 563 50 9 769 2008 43 72 558 43 9 725 2009 25 40 509 75 12 661

Sumber: DKP Kabupaten Aceh Barat 2005-2009; diolah kembali

Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah kapal yang ada di PPI Meulaboh mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Jumlah kapal (perahu tanpa motor, motor tempel dan kapal motor) tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu 863 unit dan terendah pada tahun 2009 sebesar 661 unit. Perkembangan jenis kapal tidak sama, seperti terlihat pada Tabel 6. Penurunan jumlah kapal pada tahun 2008 terjadi pada perahu tanpa motor, motor tempel dan kapal motor yang berukuran 10-20 GT.

bali Sumber: DKP Kabupaten Aceh Barat 2010; diolah kem

863 773 769 725 661 500 550 600 650 700 750 800 850 900 2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah Ar mada P e nangkapan (unit) Tahu n

Gambar 4 Grafik Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan periode 2005-2009

Berdasarkan Gambar 4, armada penangkapan yang terdapat di Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2005 sebanyak 863 unit dan tahun 2006 mengalami penurunan drastis menjadi 773 unit atau turun 10,42%, dan pada tahun 2009 jumlah armada penangkapan yang masih operasi di Kabupaten ini turun menjadi 661 unit (8,82%). Penurunan jumlah unit kapal salah satunya karena NGO atau LSM yang membantu masyarakat dalam bidang perikanan dan kelautan di Pemerintahan Aceh telah berakhir masa kontraknya dengan pemerintah yang diwakili oleh BRR (Badan rehabilitasi dan rekontruksi) Aceh-Nias. Selain itu juga kurangnya modal yang dimiliki nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang semakin mahal, sebagian nelayan lebih memilih beralih profesi lain seperti menjadi pedagang pengecer ikan dan juga nelayan menjual armadanya.

Tahun 2009, pemerintah pusat (Kementrian Kelautan dan Perikanan) dan pemerintah daerah memberikan beberapa bantuan unit kapal kepada kelompok nelayan dengan ukuran >20 GT supaya nelayan bisa melakukan penangkapan ikan dengan jangkuan yang lebih jauh dan hasil yang banyak, bagus serta punya kualitas eskpor.

.3.2 Alat tangkap

n atau alat penangkap ikan merupakan salah satu komponen yan

erdaya ikan oleh nelayan secara optimal tentunya sangat did ak dila Neg 7 4

Alat tangkap ika

g sangat penting bagi nelayan karena menjadi alat utama dari mata pencahariannya dalam menghasilkan produksi perikanan, baik yang berupa ikan maupun yang non ikan.

Pemanfaatan sumb

ukung oleh teknologi alat penangkapan yang digunakan. Unit penangkapan ikan yang digunakan memerlukan pengkajian yang mendalam untuk mendapatkan unit penangkapan yang tepat guna atau unggulan yaitu unit penangkapan ikan yang memiliki kriteria: (1) tidak merusak kelestarian sumberdaya, (2) secara teknis efektif digunakan, (3) dari segi sosial diterima oleh masyarakat nelayan, (4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan (Malanesia, 2008).

Jenis perkembangan alat tangkap dan usaha penangkapan yang bany kukan oleh nelayan di Kabupaten Aceh Barat adalah beragam yaitu payang, gill net, pukat pantai, jaring hanyut, jaring insang, trammel net, rawai, pancing tonda dapat dilihat pada Tabel 7. Pada tahun 2008 alat tangkap rawai memiliki jumlah terbanyak dibandingkan alat tangkap lainnya yaitu 260 unit, dan secara keseluruhan alat tangkap yang dominan digunakan nelayan di Kabupaten ini adalah rawai dari tahun 2005-2009 dengan jumlah 1.062 unit.

Peristiwa gempa dan tsunami tahun 2004 di Aceh mengakibatkan banyak ara yang telah membantu Pemerintahan Aceh sehingga telah membawa perubahan, terutama dalam hal teknologi alat tangkap yang sering digunakan oleh nelayan Kabupaten Aceh Barat. Tabel 7 memperlihatkan bahwa jenis dan jumlah unit alat tangkap pukat pantai menunjukkan peningkatan yang cukup drastis di tahun 2009 karena dioperasikannya sebanyak 60 unit pukat pantai, begitu juga dengan alat tangkap pukat cincin sebanyak 71 unit dan alat tangkap jaring insang sebanyak 18 unit. Seperti dijelaskan pada Tabel 7, jenis dan alat tangkap yang dioperasikan di Kabupaten Aceh Barat hingga tahun 2009 berjumlah 3.443 unit.

Alat tangkap jaring klitik mengalami kenaikan dari tahun 2005-200 sebanyak 174 unit, tetapi pada tahun 2008 mengalami penurunan yang sangat drastis menjadi 15 unit (91%) dan pada tahun 2009 menunjukkan jaring klitik tidak digunakan lagi oleh nelayan di Kabupaten Aceh Barat. Begitu juga alat

tangkap trammel net mulai mengalami penurunan dari tahun 2008 sebanyak 86 unit (17%) dan tahun 2009 nelayan tidak mengoperasikan alat tangkap ini lagi. Berdasarkan hasil wawancara, alasan nelayan lebih memilih alat tangkap pancing tonda dan rawai disebabkan biaya perawatan jaring lebih mahal dibandingkan alat tangkap pancing tonda dan rawai sehingga nelayan lebih memilih mengoperasikan alat tangkap pancing tonda dan rawai yang lebih baik dari segi hasil tangkapan secara ekonomis dan lebih efektif. Penurunan juga diakibatkan banyak nelayan menjual alat tangkapnya ke kabupaten lain.

Jumlah alat tangkap yang beroperasikan di Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2006 meningkat 31,45%, kemudian pada tahun 2007 total alat tangkap

Dokumen terkait