• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Metode Penelitian

4. Analisis Data (Gap Analysis)

Dari data hasil penelitian tersebut diambil angka rerata dan kemudian dilakukan gap analysis dengan membandingkan antara data hasil penelitian ini dengan standar acuan baik Standar Nasional Indonesia (SNI), standar industri flavor dan fragran ataupun standar internasional seperti ISO, FCC (Food Chemical Codex) dan literatur.

1. Minyak Pala (Myristica fragrans)

Dari hasil analisis sampel minyak pala (Myristica fragrans Houtt) asal Sulawesi dan Jawa yang diambil secara random dari tempat penyulingan menggunakan GC-MS diperoleh sekitar 35 buah senyawa kimia volatil penyusun minyak pala yang teridentifikasi sesuai pada Tabel 16. 35 buah senyawa volatil tersebut merupakan jumlah senyawa dengan persentase area > 0.1%. Total persentase senyawa volatil pada minyak pala asal Sulawesi sekitar 98.56% dan minyak pala asal Jawa sekitar 98.76% sesuai pada Lampiran 1. Dari pola peak

pada Gambar 1 terlihat bahwa pemisahan peak antara senyawa yang satu dengan yang lain cukup baik sehingga penentuan senyawa secara kualitatif dan kuantitatif memberikan data yang lebih akurat dan valid.

Gambar 1 Kromatogram GC minyak pala Indonesia asal Sulawesi dan Jawa

Dikarenakan ke-2 analisis baik GC dan GC-MS tersebut menggunakan kolom HP-1 dan HP-1MS yang bersifat non polar maka senyawa yang titik didih rendah atau memiliki tingkat kepolaran yang tinggi akan dideteksi oleh detektor lebih dahulu sehingga akan keluar lebih awal begitupun sebaliknya hal ini karena senyawa yang titik didih rendah atau kepolaran tinggi cenderung berinteraksi kurang kuat dengan fase diam dari kolom tersebut. Senyawa yang keluar lebih awal ditunjukkan dengan RT (Retention Time) yang lebih pendek. Senyawa

dahulu dibandingkan dengan senyawa aromatik seperti safrol, eugenol, methyl eugenol, myristicin, methoxy eugenol dan elemicin karena faktor tersebut.

Pada Tabel 16 terlihat senyawa volatil yang termasuk kelompok

monoterpene diantaranya alpha thujene, alpha pinene, sabinene, beta pinene, limonene dan terpinolen. Kelompok sesquiterpene diantaranya alpha cubebene

dan alpha bergamotene. Kelompok monoterpene alcohol seperti 4-terpineol,4-isopropyl-1-methyl-2-cyclohexen-1-ol,1-methyl-4-isopropyl-3-cyclohexen-1-ol dan cis/trans sabinene hydrat. Kelompok senyawa aromatik diantaranya safrol, eugenol, isoeugenol, methyl eugenol, methoxy eugenol, elemicin dan myristicin. Kelompok senyawa ester diantaranya alpha bornyl acetate, citronellyl acetate, alpha terpenyil acetate dan neryl acetate.

Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa minyak pala asal Jawa dan Sulawesi memiliki banyak kesamaan dari komposisi komponen senyawa volatilnya sesuai Tabel 17 hal ini dikarenakan kedua minyak pala tersebut Tabel 16 Jenis senyawa volatil penyusun minyak pala asal Indonesia

(Sulawesi dan Jawa)

No Nama Komponen No Nama Komponen

1 Alpha thujene 19 4-Terpineol

2 Alpha pinene 20 Beta fhencol

3 Camphene 21 Safrol

4 Sabinene 22 Alpha bornyl acetate

5 Beta pinene 23 p-Penylanisole

6 Beta myrcene 24 Eugenol

7 Alpha phelandrene 25 Citronelyl acetate

8 Delta-3-carene 26 Alpha terpenyl acetate

9 Alpha terpinene 27 Alpha cubebene

10 Beta-o-chimene 28 Neryl acetate

11 Limonene 29 Methyl eugenol

12 Gamma terpinene 30 Isoeugenol

13 Cis sabinene hydrat 31 Alpha bergamotene

14 Cymenene 32 Methyl Isoeugenol

15 Alpha terpinolen 33 Myristicin

16 Trans sabinene hydrat 34 Elemicin

17 4-Isopropyl-1-methyl-2-cyclohexen-1-ol

35 Methoxy eugenol

18 1-Methyl-4-isopropyl-3-cyclohexen-1-ol

berasal dari jenis tanaman pala yang sama yaitu Myristica fragrans Houtt yang penyebarannya banyak di Jawa dan Sulawesi. Perbedaan antara minyak pala asal Sulawesi dengan asal Jawa diantaranya komponen sabinene dan methyl eugenol terlihat pada Tabel 17 dan Lampiran 1. Adanya perbedaan tersebut kemungkinan terkait dengan umur biji pala, proses pengeringan biji pala dan proses penyulingan. Proses pengeringan yang terlalu lama bisa menguapkan komponen senyawa volatil dalam biji pala lebih banyak terutama kelompok senyawa monoterpene seperti sabinene.

Methyl eugenol dan safrol merupakan senyawa karsinogenik sehingga ke dua senyawa ini menjadi salah satu parameter penting pada minyak pala. Methyl eugenol dibatasi konsentrasi maksimum 0.02% untuk aplikasi di fragran. Standar EP (European Pharmacopoeia) memiliki batasan methyl eugenol lebih ketat pada minyak pala yaitu maksimum 0.5% sedangkan menurut standar industri multi nasional flavor dan fragran membatasi methyl eugenol maksimum 2.5%. Pada standar EP dan standar industri multi nasional flavor dan fragran memberikan batasan safrol maksimum 2.5% dan 2% pada minyak pala. Myristicin merupakan senyawa penanda mutu dari minyak pala jika kandungan myristicin di minyak pala tinggi umumnya menunjukkan minyak pala tersebut bermutu baik. Senyawa

myristicin dan elemicin menentukan sifat halusinogenik. Aroma dari minyak pala dipengaruhi oleh adanya senyawa aromatis seperti myristicin, safrol dan elemicin (Pino et al 1995). Di minyak pala asal Jawa dan Sumatra juga terdapat senyawa

limonene yang berperan dalam karakter odor lemon like. Senyawa 4-terpineol

berperan pada karakter odor spicy nutmeg like, woody-earthy dan Lilac like

(Surburg dan Panten 2006).

Gambar 2 Spektrum massa dan struktur myristicin (C11H12O3) dengan berat molekul 192 (NIST 2008)

Jika dibandingkan dengan minyak pala yang diteliti oleh Schenk dan Lamparsky (1981) juga menunjukkan banyak kesamaan dari jenis dan persentase senyawa volatil penyusunnya. Perbedaan yang mendasar adalah persentase myristicin dari minyak pala yang diteliti oleh Schenk dan Lamparsky (1981) lebih tinggi dibandingkan kedua minyak pala asal Indonesia tersebut. Jika dilakukan gap analysis dengan membandingkan antara data hasil penelitian ini dengan standar yang ada yaitu standar EP (European Pharmacopoeia) dan standar industri multi nasional flavor dan fragran maka bisa dilihat pada Tabel 17. Secara umum standar EP memiliki persyaratan yang lebih ketat dibandingkan dengan standar industri multi nasional flavor dan fragran. Minyak pala asal Sulawesi memenuhi syarat standar industri multi nasional flavor dan fragran dan tidak memenuhi standar EP (European Pharmacopoeia) karena methyl eugenol

dan elemicin diluar spesifikasi. Sedangkan minyak pala asal Jawa memiliki kualitas yang lebih baik dibanding dengan minyak pala asal Sulawesi karena secara keseluruhan memenuhi syarat spesifikasi standar industri multi nasional flavor dan fragran sedangkan untuk standar EP mayoritas memenuhi syarat kecuali senyawa elemicin yang kadarnya 0.49% (maksimum standar EP adalah 0.2%). Data di Tabel 17 menunjukkan bahwa minyak pala yang diteliti oleh Schenk dan Lamparsky (1981) memenuhi standar industri multi nasional flavor dan fragran dan tidak memenuhi standar EP karena komponen 4-terpineol lebih tinggi dibanding standar EP.

Jika dikaji dari sisi organoleptik pada minyak pala asal Jawa dan Sumatra menunjukkan keduanya memiliki karakter terutama warmly, spicy, sweet, light, heavy dan camphoraceous juga lemon like. Karakter sweet dan camphoraceous

pada kedua minyak pala tersebut cukup kuat.

Pengalaman penulis dalam bidang sensori untuk minyak pala khususnya terkait minyak pala fresh (minyak pala yang baru selesai disuling) dan minyak pala yang sudah lama disimpan menunjukkan bahwa umumnya minyak pala

fresh memiliki karakter warmly, spicy dan pungency yang kuat sedangkan karakter sweet dan camphoraceous cenderung masih lemah terkadang karakter

burnt like (top note) yang cenderung tidak enak odornya untuk dicium dengan intensitasnya lebih kuat dibanding minyak pala yang sudah lama disimpan. Minyak pala yang sudah lama disimpan terutama yang disimpan dalam suhu ruang menunjukkan karakter sweet dan camphoraceous yang lebih kuat

sedangkan karakter pungency, spicy, atau burnt like cenderung lemah. Umumnya karakter odor tersebut yang dianggap sebagai minyak pala bermutu baik dari sisi odornya.

Perbedaan organoleptik antara minyak pala fresh dengan minyak pala yang disimpan diantaranya minyak pala fresh dipengaruhi oleh proses penyulingan yang tidak sempurna yang menimbulkan karakter burnt like yang cenderung tidak enak untuk dicium odornya. Sedangkan minyak pala yang sudah lama disimpan kemungkinan mengalami oksidasi terutama untuk senyawa-senyawa terpene yang mudah teroksidasi dan proses penguapan karena minyak pala mudah menguap terutama bagian top note (burnt like) pada suhu ruang sehingga terjadi perubahan komposisi senyawa volatil pada minyak pala yang kemungkinan mengubah karakter odornya yang cenderung lebih sweet dan

camphoraceous dengan intensitas lebih lemah untuk burnt like. Dengan demikian minyak pala yang digunakan dalam penelitian ini kemungkinan minyak pala bukan fresh namun sudah mengalami proses aging atau penyimpanan selama waktu tertentu.

Tabel 17 Profil senyawa volatil minyak pala asal Sulawesi dan Jawa dibandingkan dengan literatur

No Nama komponen Minyak pala asal Sulawesi rerata (%) Minyak pala asal Jawa rerata (%) Minyak pala (Schenk dan Lamparsky 1981) (%) Standar EP (European Pharmacopoeia)(%) Standar Industri multi nasional flavor dan fragran 1 Alpha pinene* 19.07 19.33 17.2 15 - 28 18 - 28 2 Sabinene 19.07 23.44 21 14 - 29 14 - 24 3 Beta pinene 15.71 15,86 14.8 13 - 18 12 - 17 4 Delta-3-carene* 0.61 1.05 1.4 0.5 - 2 5 Limonene 6.25 5.87 4.1 2 - 7 1 - 8 6 Gamma terpinene 4.73 3.7 2.1 2 - 6 7 4-Terpineol 5.73 4.01 6.3 2 - 6 3 - 8 8 Safrol 1.60 1.64 1.3 0 - 2 0 - 2 9 Eugenol* 0.17 0.32 0.3 0 - 0.5 0 - 1 10 Methyl eugenol 0.65 0.4 0.3 0 - 0.5 0 - 2.5 11 Isoeugenol 0.59 0.82 0 - 1 0 - 6 12 Myristicin 10.12 10.74 14 8 - 12 8 - 13 13 Elemicin 0.59 0.49 0 - 0.2 14 Total terpenes 75.56 77.34 73 - 78 73 – 78

Jika dikaji dari jenis senyawa kimia volatil yang bersifat allergen maka senyawa pada minyak pala asal Sulawesi dan Jawa yang tergolong allergen

adalah eugenol, limonene dan isoeugenol sesuai pada Tabel 16.

Senyawa alpha pinene, delta-3-carene dan eugenol sebagai penanda terjadinya pemalsuan (adulteration) pada minyak pala. Data pada Tabel 17 menunjukkan bahwa senyawa eugenol pada minyak pala dapat diidentifikasi sebagai senyawa penanda adulteration oleh adulteran atau kontaminan seperti minyak cengkeh (clove oil). Komponen eugenol banyak ditemukan dalam minyak cengkeh yang memiliki kadar > 70% (Reineccius 1992). Standar EP (European Pharmacopoeia) dan standar industri multi nasional flavor dan fragran membatasi kadar eugenol maksimum pada level 0.5% dan 1% dengan demikian peluang terjadi pemalsuan oleh minyak cengkeh bisa diminimalisir.

Menurut Burfield (2003) tentang adulteration of essential oils, minyak pala mudah untuk dipalsukan dengan fraksi terpentin seperti turpentine oil (minyak terpentin) hal ini dikarenakan komponen utama dalam minyak terpentin ada dalam minyak pala yaitu alpha pinene dan delta-3-carene. Minyak terpentin mengandung alpha pinene minimal 80% dan delta-3-carene diantara 8-11% (Wiyono et al. 2006). Standard EP (European Parmaque) membatasi kadar delta-3-carene (0.5-2%) dan alpha pinene (15-28%). Jika ada minyak pala memiliki kadar delta-3-carene lebih dari 2% kemungkinan lebih besar terjadinya

adulteration (pemalsuan) oleh adulteran (pemalsu) seperti minyak terpentin.

Standar industri multi nasional flavor dan fragran tidak mempersyaratkan parameter delta-3-carene sehingga peluang terjadi pemalsuan jauh lebih tinggi walaupun sudah dibatasi dengan parameter alpha pinene.

Dokumen terkait