• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data merupakan skala kategorik dengan hipotesis komparatif dan kelompok yang tidak berpasangan. Sebelum dilakukan uji Chi Square, akan uji pendahuluan untuk mengetahui apakah data memenuhi syarat dilakukan uji Chi Square.

Hasil analisis menunjukkan expected count kurang dari 5 ada pada 1 sel (< 50%) artinya data memenuhi syarat untuk dilakukan Uji Chi Square.

Analisis menggunakan Uji Chi Square menunjukkan angka signifikansi 0.478 dalam nilai p > 0.05 yang menandakan tidak adanya hubungan antara kedua variable yang diuji.

Hasil penilitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara gambaran radiologis TB paru post primer dengan uji serologis IgG anti-Tb.

BAB V

PEMBAHASAN

Diagnosis pasti TB paru dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopis adanya basil tuberkulosis dan kultur kuman pada media tertentu yang memakan waktu berminggu-minggu. Pada pemeriksaan mikroskopis sering terjadi false negatif karena tidak berhasil menemukan kuman pada sampel atau ditemukan jenis kuman yang berbeda. Untuk itu dibutuhkan metode diagnostik yang lebih mudah dan cepat untuk dilakukan, dan lebih simple serta tidak mahal untuk digunakan.

Alternatif diagnosis yang lain adalah dengan melihat gambaran radiologis paru dan uji serologis. Pemeriksaan radiologis untuk mendeteksi pasien TB paru post primer memberikan gambaran yang khas, namun belum bisa menegakkan diagnosis secara pasti. Melalui pemeriksaan radiologis, dapat dibedakan antara gambaran TB primer dan post primer.

Uji serologis pada pasien TB menunjukkan hasil dengan tingkat spesifisitas dan sensitifitas yang cukup baik. Prinsip uji serologis atau serodiagnosis adalah mendeteksi adanya antibodi yang terbentuk melalui respon adaptif sel imun. Dengan serodiagnosis, diharapkan dapat mempertegas diagnosis yang dihasilkan pada pemeriksaan radiologis.

Gambaran radiologis Tb paru post primer ditandai dengan adanya konsolidasi fokal pada segmen apikal dan posterior dari lobus atas, serta segmen superior dari lobus bawah (pada gambaran lesi minimal) atau lebih luas mengenai kedua lobus paru (pada lesi luas). Ditemukan juga gambaran berupa nodul dan opasitas yang linier, serta

gambaran kavitasi. Limfadenopathy mediastinum dan hilus tidak umum pada TB post primer. Selain itu, gambaran efusi pleura dapat terlihat sendiri pada Tb post primer meski tidak didapatkan gambaran lain yang khas (Jeong & Lee, 2008).

Pemeriksaan serologis dilakukan dengan melihat reaksi yang muncul pada serologic test kit. Hasil akan positif jika muncul 2 strip garis (pada tanda kontrol dan sampel) dan negatif jika hanya muncul 1 strip garis (pada tanda kontrol).

Dari hasil penelitian antara pemeriksaan gambaran radiologis dan uji serologis didapatkan nilai signifikansi sebesar 0.478 (p > 0.05) yang menandakan tidak ada hubungan antara kedua variable yang diuji.

Ada dua faktor yang mempengaruhi hasil penelitian tersebut yaitu interpretasi gambaran radiologis dan kemampuan alat tes diagnostik imunokromatografi itu sendiri. Interpretasi gambaran radiologis dapat menghasilkan hasil yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Hal ini dipengaruhi oleh kaburnya interpretasi dari gambar rontgen yang diperoleh.

Pada gambaran radiologis misinterpretasi hasil dapat disebabkan karena beberapa hal, diantaranya sebagai berikut :

A. Gambaran menyerupai sarang-sarang tuberkulosis (Rasad, 2008).

1. Terbentuk bercak-bercak infiltrat pneumonia lobaris lobus atas dalam masa resolusi yang berkedudukan di lapangan atas paru. Kepastian mudah diperoleh karena bercak-bercak tersebut cepat menghilang sama sekali dengan pengobatan yang baik.

2. Posisi pasien ketika foto rontgen. Pada wanita dengan rambut yang tidak diikat di atas kepala, melainkan lepas tergantung di bahu menutup bagian atas paru sehingga dapat dinilai sebagai suatu infiltrat.

B. Gambaran menyerupai kavitas tuberkulosis (Rasad, 2008).

1. Kelainan bawaan iga, bronkus ortograd superposisi bagian lateral muskulus sternokleidomastoideus, dan fossa rhomboidea yaitu ujung anterior iga pertama dapat disalahartikan dengan gambaran kavitas yang sering ditemukan pada gambaran post primer tuberkulosis.

2. Superposisi lingkaran pembuluh – pembuluh darah pada foto PA biasa dapat menyerupai lubang. Hal ini mudah dibedakan dengan pemeriksaan flouroskopi foto oblik.

C. Teknik pengambilan gambar yang buruk (Srinivasan, 2008).

Hasil cetakan film yang hipolusen di seluruh lapang paru dapat menyebabkan interpreatasi normal dari hasil rontgen, sehingga akan menimbulkan hasil negatif.

Hasil uji serologis IgG anti-TB dapat bernilai negatif pada keadaan tertentu, diantaranya dipengaruhi oleh :

A. Respon Imun pada Penderita Tuberkulosis.

Respon imun pada infeksi bakteri tuberkulosis terbagi menjadi dua yaitu innate dan adaptif. Respon imun alami (innate) terjadi saat bakteri

pertama kali masuk melalui saluran pernapasan. Di saluran pernapasan bakteri akan bertemu sel imun seperti netrofil, makrofag dan dendritik. Telah banyak diketahui bahwa makrofag adalah sel imun yang paling menonjol dalam pertahanan terhadap tuberkulosis. Selama infeksi awal makrofag akan mengsekresi sitokin yang akan mambantu aktivasi makrofag yang lain (Subagyo et al., 2006).

Masuknya bakteri ke intrasel melalui beberapa reseptor yang terdapat pada permukaan sel makrofag. Reseptor tersebut adalah reseptor untuk Fc, komplemen, mannose, surfactant protein, CD14 dan CD43. Interaksi dengan salah satu reseptor menentukan respon bakteri terhadap sel imun. Interaksi dengan reseptor Fc meningkatkan produksi reactive oxygen intermediates dan mnghasilkan fusi fagosom yang berisi bakteri dengan lisosom. Di lain pihak, interaksi dengan reseptor komplemen akan memblok maturasi dari fagosom dan mencegah bergabung dengan lisosom (Palomino, 2007).

Setelah terjadi respon imun alami atau innate maka akan terbentuk respon imun adaptif atau spesifik. Respon adaptif terjadi 4-8 minggu setelah infeksi berupa sensitisasi sel T terhadap antigen spesifik. Mekanisme tersebut pada tuberkulosis ditandai dengan dimulainya respon cell- mediated immunity (CMI) dan delayed-type hipersensitivity (DTH) yang akan meningkatkan kemampuan pejamu untuk menghambat atau mengeliminasi kuman (Subagyo et al., 2006).

Pada fase awal imun spesifik bakteri tuberkulosis yang difagosit akan mengaktivasi makrofag. Melalui MHC II makrofag yang teraktivasi akan mempresentasikan antigen dan mengaktifkan sel limfosit Th 1 untuk memproduksi sitokin tipe 1 seperti IFN γ, TNF α, IL-2 dan IL-12. Selain sel Th 1, sub sel limfosit Th 2 juga akan teraktivasi untuk memproduksi sitokin tipe 2 yaitu IL-4, IL-5, IL-6, IL-9 dan IL-10 (Subagyo et al., 2006). Namun keberadaan protein tryptophan aspartate coat protein (TACO) yang dihasilkan oleh bakteri tuberkulosis akan menghambat lisis fagosom, sehingga presentasi antigen pun terhambat (Palomino, 2007).

Dari berbagai sitokin yang terlibat pada respons imun terhadap infeksi TB, IFN-γ merupakan sitokin utama yang memainkan peran kunci dalam meningkatkan efek limfosit T terhadap makrofag. IFN γ akan mengaktifkan makrofag sehingga dapat menghancurkan kuman yang telah difagosit. Jika kuman tetap hidup dan melepas antigennya ke sitoplasma maka akan merangsang sel CD8 melalui MHC kelas I. Sel CD8 yang bersifat sitolitik selanjutnya akan melisiskan makrofag (Subagyo et al., 2006). Pada akhirnya, sitokin IFN γ-lah yang berperan dalam pembentukan manifestasi kelainan pada paru seperti tuberkuloma dan nekrosis kaseosa.

Dalam respon imunitas adaptif humoral, pembentukan IgG anti-TB di dalam tubuh diharuskan pada pengenalan antigen oleh makrofag kepada sel Th 2. Disekresikannya IL-4 oleh sel Th 2 akan merangsang sel plasma menghasilkan IgG anti-TB. Di lain pihak IL-4 sendiri merupakan penghambat dari IFN-γ yang merupakan sitokin yang terpenting di dalam pemusnahan

bakteri tuberkulosis intraseluler (Palomino, 2007). Hal ini menunjukkan peran utama respon imun seluler dibanding humoral, sehingga respon imun tubuh lebih mengutamakan terbentuknya respon imun adaptif seluler.

B. Pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis

Pada kasus tertentu, pasien yang belum berobat dan menjalani tes serologis IgG anti TB menunjukkan hasil negatif pada lanset tes serologis. Namun setelah beberapa saat pengobatan menunjukkan hasil yang positif. Hal ini disebabkan karena lisisnya bakteri oleh karena pengobatan, sehingga makrofag sebagai sel APC (antigen presenting cell) dapat mempresentasikan antigen untuk menginduksi terbentuknya sel imun adaptif humoral. Oleh karena itu, belum dilakukannya pengobatan dapat menghasilkan hasil negatif pada uji serologis IgG anti-TB.

C. Akurasi Imunokromatografi IgG Anti-TB

Akurasi alat tersebut bergantung pada antigen yang dipakai dan populasi yang diukur. Pada dewasa dan anak, spesifisitas tes serologis IgG dengan rekombinan antigen cukup tinggi (97-99%). Spesifisitas assay yang hanya mengandung antigen asli tanpa rekombinan cukup rendah, hal ini bisa terjadi akibat adanya reaksi silang antara antigen asli (native antigen) dengan lingkungan tempat bakteri berkembangbiak. Pengukuran akurasi tes serologis rekombinan IgG dengan PPV (positive predictive value) dan NPV (negative predictive value) menghasilkan nilai yang baik (Demkow U, et al., 2004).

Berdasar literatur, antigen 38-kDa menghasilkan hasil tes serologis yang memiliki karakteristik yang paling bagus. Kombinasi antara antigen 38- kDa dan 16-kDa akan menghasilkan sensitivitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan hanya antigen 38-kDa saja. Semakin tinggi angka PPV pada tes akurasi alat diagnostik menandakan bahwa nilai yang dihasilkan oleh alat tersebut dapat dipakai untuk megkonfirmasi diagnosis (Demkow U, et al., 2004).

Alternatif diagnostik lain yang kemungkinan dapat menunjukkan hasil yang berbeda adalah Enzym Linked Immunosorbant Assay (ELISA). Prinsip tes ini adalah mendeteksi adanya protein dalam bentuk antigen atau antibody secara kuantitatif, hingga diketahui kadarnya dalam sampel biologis seperti serum. Pada tuberkulosis antigen yang paling penting adalah 38 kDa. Antigen tersebut terdeteksi hamper di semua kasus tuberkulosis dan dianggap kandidat utama untuk pengembangan alat diagnostik baru untuk tuberkulosis. Antigen 38 kDa menginduksi respon imun sel B dan sel T dengan spesifisitas yang tinggi ketika dites pada level epitop menggunakan antibody competition ELISA dengan antigen yang terpurifikasi (Ahmad A, et el., 1995).

D. Reaksi Anergis

Adanya reaksi anergis berimbas pada penghambatan pembentukan sistem imun adaptif, sehingga menyebabkan kekurangreaktifan terhadap antigen (Dorland, 2006). Reaksi ini salah satunya dipengaruhi oleh keadaan

malnutrisi, seperti pada Kekurangan Energi Protein (KEP) dimana prosesproses pembentukan IgG akan tertekan.

Dari penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara gambaran TB paru post primer dengan IgG anti-TB.

Dokumen terkait