• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.3. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data

3.3.5. Analisis Data

Untuk membuktikan hipotesis (a) dilakukan dengan uji laboratorium dan hipotesis (b) digunakan uji statistik beda rata-rata dari masing-masing variabel dengan rumus sebagai berikut:

H0: µ1≥ µ2 H1: µ1 ≤ µ2 t hitung = 2 1 2 1 2 2 2 1 n S n S X X   (Sudjana, 2002)

Kriteria pengujian adalah: tolak H0 jika t hitung < t tabel dengan derajat kebebasan (dk) = (n1+n2-2) dan á = 5% di mana:

1

X : rata – rata pendapatan (pengelolaan secara Organik). 2

X : rata – rata pendapatan (pengelolaan secara Anorganik) n : besar sampel

S : simpangan baku

n1 : jumlah data (pengelolaan secara organik) n2 : jumlah data (pengelolaan secara anorganik)

S1 : besarnya varians data rata-rata (pengelolaan secara organik) S2 : besarnya varians data rata-rata (pengelolaan secara anorganik)

Analisis kesuburan tanah (N, P, K dan pH) dilakukan dengan membandingkan hasil laboratorium dengan kriteria kesuburan tanah dilihat dari sifat fisik kimia tanah

yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1983 dalam Mukhlis (2007).

Tabel 2. Kriteria Penilaian Sifat-sifat Tanah

Sifat Tanah Satuan Sangat

Rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat Tinggi C (Karbon) % < 1,00 1,00 - 2,00 2,01 - 3,00 3,01- 5,00 > 5,00 N (Nitrogen) % < 0,10 0,10 - 0,20 0,21 - 0,50 0,51 - 0,75 > 0,75 C/N --- < 5 5 - 10 11 - 15 16 - 25 > 25 P2O5 Total % < 0,03 0,03 - 0,06 0,06 - 0,079 0,08 - 0,10 > 0,10 P2O5 eks.HCL % < 0,021 0,021-0,039 0,040-0,060 0,061-0,1 > 0,1 P-avl Bray II ppm < 8,0 8,0 - 15 16 - 25 26 - 35 > 35 P-avl Truog ppm < 20 20 - 39 40 - 60 61 - 80 > 80 P-avl Olsen ppm < 10 10 - 25 26 - 45 46 - 60 > 60 K2O eks-HCL % < 0,03 0,03-0,06 0,07-0,11 0,12-0,20 > 0,20 CaO eks-HCL % < 0,05 0,05-0,09 0,10-0,20 0,21-0,30 > 0,30 MgO eks- HCL % < 0,05 0,05-0,09 0,10-0,20 0,21-0,30 > 0,30 MnO eks- HCL % < 0,05 0,05-0,09 0,10-0,20 0,21-0,30 > 0,30 K-tukar me/100 < 0,10 0,10-0,20 0,30-0,50 0,60-1,00 > 1,00 Na-tukar me/100 < 0,10 0,10-0,30 0,40-0,70 0,80-1,00 > 1,00 Ca-tukar me/100 < 2,0 2,0-5,0 6,0-10,0 11,0-20,0 > 20 Mg-tukar me/100 < 0,40 0,40-1,0 1,1-2,0 2,1-8,0 > 8,0 KTK (CEC) me/100 < 5 5-16 17-24 25-40 > 40 KB (BS) % < 20 20-35 36-50 51-70 > 70 Kej. Al % < 10 10-20 21-30 31-60 > 60 EC (Nedeco) mmhos/cm --- --- 2,5 2,6-10 > 10

Sumber: LPT Bogor, 1983 dalam Mukhlis, 2007 Tabel 3. Kriteria pH Tanah

Kriteria pH H2O pH KCL Sangat Masam < 4,5 < 2,5 Masam 4,5 - 5,5 2,5 - 4,0 Agak Masam 5,6 - 6,5 --- Netral 6,6 - 7,5 4,1 - 6,0 Agak Alkalis 7,6 - 8,5 6,1 - 6,5 Alkalis > 8,5 > 6,5

Analisis makrofauna dihitung nilai; Kepadatan Populasi, Kepadatan Relatif, Frekuensi Kehadiran, Frekuensi Relatif, dengan tujuan agar diketahui keberadaan jenis dan komposisi makrofauna tanah dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

a. Kepadatan Populasi Makrofauna K =

b. Kepadatan Makrofauna Relatif (KR)

KR = X 100

c. Frekuensi Kehadiran Makrofauna (FK)

FK = X 100

d. Frekuensi Kehadiran Makrofauna Relatif (FR)

FR = X 1 X 100

Keterangan:

0 – 25% = Frekuensi kehadiran sangat jarang 25% - 50% = Frekuensi kehadiran jarang 50% - 75% = Frekuensi kehadiran jarang

>75% = Frekuensi kehadiran sangat sering (Suin, 1998) Jumlah Individu satu jenis

Jumlah unit sampel

Kepadatan suatu jenis Jumlah kepadatan semua jenis

Jumlah plot sampel yang ditempati satu jenis Jumlah total unit sampel

Frekuensi Kehadiran Satu Jenis Frekuensi Kehadiran Semua Jenis

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Petani Sampel

Dari hasil wawancara dan quisioner yang disebarkan di lokasi penelitian maka diperoleh beberapa karekteristik petani sampel sebagaimana terlihat pada Tabel 4 sampai dengan Tabel 7.

Tabel 4. Persentase Umur Petani Sampel (%)

Sumber: Data Pengamatan Diolah

Dari Tabel 4 dapat kita lihat bahwa usia petani perkebunan organik dan anorganik relatif sama yaitu yang tertinggi persentasenya adalah umur 40 tahun keatas (43% organik dan 63% anorganik) dan yang terkecil umur 30 tahun ke bawah (5% organik dan 4% anorganik).

Tabel 5. Persentase Jenis Kelamin Petani Sampel (%)

Sumber: Data Pengamatan Diolah Sistem Pengelolaan Perkebunan

Perkebunan

< 30 th 30-35 th 35-40 th > 40 th

Organik 5 14 38 43

Anorganik 4 15 19 63

Sistem Pengelolaan Perkebunan Laki-Laki Wanita

Organik 81 19

Berdasarkan Tabel 5 dapat kita lihat bahwa jenis kelamin petani sampel baik perkebunan organik maupun anorganik sama yaitu yang tertinggi persentasenya adalah laki-laki (81%) dan yang terkecil persentasenya adalah perempuan (19%).

Tabel 6. Persentase Tingkat Pendidikan Petani Sampel (%)

Sumber: Data Pengamatan Diolah

Berdasarkan Tabel 6 dapat kita lihat bahwa persentase pendidikan petani sampel perkebunan organik maupun anorganik sama yaitu SD (43% dan 63%) sedangkan yang terkecil persentasenya petani sampel perkebunan organik Sarjana (5%) dan petani sampel perkebunan anorganik Sarjana (0%).

Tabel 7. Persentase Lama Bertani Petani Sampel (%)

Sumber: Data Pengamatan Diolah

Berdasarkan Tabel 7 dapat kita lihat bahwa persentase lama bertani petani sampel perkebunan organik maupun anorganik sama yaitu 15 tahun (33%) sedangkan yang terkecil persentasenya adalah 5 tahun (10% dan 5%).

Sistem Pengelolaan Perkebunan SD SMP SMA Sarjana

Organik 43 38 14 5

Anorganik 63 19 19 0

Sistem Pengelolaan Perkebunan 5 th 10 th 15 th 20 th

Organik 10 29 33 29

4.2. Kesuburan Tanah

Berdasarkan hasil pengujian sampel tanah yang diambil dari wilayah penelitian unsur hara makro dan pH yang terkandung pada tanah perkebunan organik dan anorganik terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 8. Rataan Kandungan Unsur Hara Makro pada Kebun Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara

Sampel Tanah Kandungan Unsur Hara

N (%) P (ppm) K (me/100) pH

Perkebunan Organik 0,34 17,20 0,35 5,63

Perkebunan Anorganik

0,22 9,59 0,18 5,11

Sumber: Hasil Laboratorium Fakultas Pertanian USU

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa kandungan unsur hara (N, P, K dan pH) yang terkandung pada tanah dari perkebunan organik lebih besar daripada tanah dari perkebunan anorganik. Perbedaannya pun cukup besar, untuk unsur N perbedaannya 0,12%, unsur P perbedaannya 7,61 ppm, unsur K perbedaannya 0,17 me/100 dan pH 0,52. Dengan demikian tentunya bisa dikatakan bahwa ada perbedaan kandungan unsur hara yang terkandung pada tanah perkebunan organik dan anorganik. Untuk memperjelas perbedaan tersebut maka kita bisa menggunakan hasil analisis secara fisik dan kimia yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1983 dalam Muklis (2007).

Berdasarkan penilaian sifak fisik kimia tanah yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor Tahun1983 dalam Muklis (2007) kandungan N, P, K dan pH pada perkebunan organik dan anorganik dapat dijelaskan oleh Tabel 9.

Tabel 9. Penilaian Sifat Fisik Kimia Tanah pada Kebun Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara (LPT Bogor, 1983)

Sampel Tanah Kandungan Unsur Hara

N (%) P (ppm) K (me/100) pH

Perkebunan Organik

Sedang Sedang Sedang Agak

Masam Perkebunan Anorganik Sedang Sangat Rendah Rendah Masam Sumber: Data Pengamatan Diolah

Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa memang sifat fisik kima tanah perkebunan organik lebih baik daripada perkebunan anorganik. Hal ini disebabkan adanya perbedaan akumulasi biomassa seresah yang menyebabkan perbedaan kandungan unsur-unsur hara yang ada di dalam tanah karena kandungan bahan organik dan unsur hara tanah berasal dari dekomposisi seresah. Akumulasi biomassa seresah di lantai hutan dan perkebunan sangat dipengaruhi oleh kecepatan dekomposisi seresah tersebut (Haryono, et al., 2009).

Kedalaman tanah akan berpengaruh terhadap kandungan N yang ada di dalamnya. Semakin dalam solum tanah maka semakin berkurang kandungan N yang ada di dalam tanah tersebut. Hal ini disebabkan karena hasil dekomposisi bahan organik dan berbagai sumber N yang lain akan terakumulasi di permukaan tanah. Kemudian, N akan masuk ke dalam tanah dengan cara melewati pori-pori tanah atau retakan-retakan pada waktu musim kemarau. Keberadaan N sangat dibutuhkan oleh tanaman sebab N merupakan unsur penyusun protein. Dengan kandungan yang cukup, N mampu memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Jika N yang diserap

oleh tanaman kurang maka pertumbuhan akan terhambat sehingga tanaman tumbuh kerdil, daun menguning dan akhirnya daun gugur lebih awal (Hardjowigeno, 1987).

Fosfor (P) merupakan salah satu hara makro esensial bagi pertumbuhan tanaman (Marschner, 1986). Fosfor sering menjadi faktor pembatas setelah nitrogen. Unsur fosfor sangat penting karena terlibat langsung hampir pada seluruh proses kehidupan (Hakim et al., 1986). Pemberian seresah tanaman akan dapat menjadi penyekat ion Ca, Fe dan Al dengan ion P sehingga unsur P dapat menjadi lebih tersedia di dalam tanah (Risal, et al., 2008).

Hampir 99% N diserap akar dengan aliran massa dan selebihnya dengan serapan langsung. Hampir 91% P diserap secara difusi dan selebihnya dengan serapan langsung. Hampir 78% K diserap secara difusi dan 20% dengan aliran massa. Sekitar 71% Ca diserap dengan aliran massa dan selebihnya secara langsung. 95% S diserap lewat aliran massa dan selebihnya secara langsung (Donahue et.al, 1977).

Kesuburan tanah bisa diukur berdasarkan beberapa indikator kesuburan tanah. Salah satu indikator kesuburan tanah yang biasa digunakan oleh para ahli adalah tingkat kejenuhan basa. Kejenuhan Basa, nilainya dalam bentuk persen, mencerminkan akumulasi susunan kation. Peningkatan nilai persen kejenuhan basa, mencerminkan semakin tingginya kandungan basa-basa tanah pada posisi nilai pH tanah yang menyebabkan nilai kesuburan kimiawi optimal secara menyeluruh. Nilai kesuburan kimiawi secara sederhana dicerminkan oleh nilai pH, karena nilai pH akan mampu mempengaruhi dan mencerminkan aktivitas kimiawi sekaligus aktivitas

biologis dan kondisi fisik di dalam tanah (Kusumanto, 2008). Kondisi pH tanah yang netral sangat disukai oleh makrofauna seperti cacing tanah. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa kondisi pH pada tanah pada perkebunan kakao organik agak masam (5,6) sedangkan pada perkebunan kakao anorganik masam (5,1), yang mendekati pH netral (6,6) adalah pH pada perkebunan kakao organik.

4.3. Makrofauna Tanah di Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di areal Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara didapatkan 9 famili makrofauna tanah yaitu Glossoscolecidae, Mangascolicidae, Scolopeniidae, Julidae, Gryllidae, Carapidae, Blatteidae dan Pomatiopsidae seperti yang terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Makrofauna Tanah yang Ditemukan di Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara

No Family Jenis (Spesies) Nama Indonesia Lokasi I II 1 Glossoscolecidae Pontoscolex sp Cacing tanah + - 2 Mangascolicidae MegmopHix sp Cacing tanah + - 3 Mangascolicidae PHeretima posthuma Cacing tanah + + 4 Scolopeniidae Scolopendra abscurai Kelabang + + 5 Julidae Jullus sp Kaki seribu + + 6 Glomeridae Glomeris sp Kaki seribu bola - + 7 Gryllidae Allonemobius sp Jangkrik tanah + + 8 Carapidae PHilopaga sp Kumbang tanah + - 9 Blatteidae Parcoblatta sp Kecoa tanah + - 10 Pomatiopsidae Pomatiopsis sp Keong + +

Jumlah Jenis 9 6

Keterangan:

Lokasi I : Areal Perkebunan Kakao Organik Lokasi II : Areal Perkebunan Kakao Anorganik

+ : Ditemukan spesies makrofauna tanah - : Tidak ditemukan spesies makrofauna tanah

Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa makrofauna tanah yang paling banyak didapatkan adalah pada lokasi I (areal perkebunan organik) yaitu sebanyak 9 jenis, sedangkan pada lokasi II (areal perkebunan anorganik) yaitu sebanyak 6 jenis.

Menurut Paoletti et al. (1992) perbedaan penggunaan lahan akan mempengaruhi populasi dan komposisi makrofauna tanah. Selanjutnya Crossley et al (1992) & Pankhurst (1994) menjelaskan pengelolaan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara terus menerus dapat mengakibatkan penurunan biodiversitas makrofauna tanah.

Banyaknya spesies makrofauna tanah pada lokasi I (areal perkebunan organik) karena pada lokasi ini dilakukan penanaman kakao organik, yaitu suatu sistem pertanaman yang berdasarkan daur ulang hayati. Pada lokasi ini tidak ada penggunaan insektisida, pupuk anorganik, dan berbagai jenis zat kimia sintesis, sehingga pH dan tingkat kesuburan tanah setabil. Menurut Doran & Parkin (1994) kualitas tanah merupakan kemampuan tanah yang menggambarkan ekosistem tertentu untuk keberlanjutan sistem peranian. Kualitas tanah menunjukkan sifat fisik kimia tanah serta biologi tanah yang berperan dalam menyediakan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman.

Organisme sebagai bioindikator kualitas tanah berifat sensitif terhadap perubahan, mempunyai respon spesifik dan ditemukan melimpah didalam tanah (Primack, 1998). Makrofauna tanah sangat besar perannya terhadap proses dekomposisi, aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994). Keberadaan makrofauna tanah dan keadaan kualitas tanah berbanding lurus di mana antara satu dan yang lainnya saling tergantung, mempengaruhi dan memiliki interaksi timbal balik. Keadaan tanah yang masih relatif subur mendukung keberlangsungan hidup makrofauna tanah.

Menurut Rukman (1999) populasi cacing tanah (Pontoscolex sp, Megmophix sp dan Pheretima posthuma) berperan sebagai bioindikator kualitas tanah. Cacing tanah berkembang baik pada pH netral. pH yang cocok untuk cacing tanah adalah 6- 7,2. Cacing tanah menyukai bahan organik kualitas tinggi (C/N rendah).

Pada lokasi II (areal perkebunan anorganik) dilakukan pemupukan secara anorganik, penyemprotan insektisida serta penggunaan zat-zat kimia sintesis lainnya. Hal ini mempengaruhi pH tanah menjadi masam (5,1), serta kesuburan tanah. Hal ini juga berpengaruh pada jumlah spesies makrofauna tanah yang ditemukan pada lokasi ini. Pada lokasi ini hanya ditemukan satu jenis cacing tanah yaitu Pheretima posthuma. Menurut Rukman (1999) cacing tanah merupakan makrofauna tanah yang hidup komposit (menyebar) dan tergantung pada kondisi lingkungan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa spesies cacing tanah tidak akan bertahan hidup pada kondisi tanah yang tidak mendukung kehidupannya. Kondisi tanah yang berubah akibat pemupukan anorganik, penyemprotan insektisida serta pemberian zat-

zat kimia sintesis menyebabkan terjadinya perubahan pH tanah, suhu tanah serta tingkat kualitas tanah. Padahal di sisi lain makrofauna tanah membantu dalam proses penyuburan tanah. Semakin tinggi pengelolaan lahan menyebabkan biodiversitas makrofauna tanah semakin menurun.

Percobaan di Maros, Sulawesi Selatan dikawasan tanah latosol – podsolik menunjukkan bahwa pertanaman kakao yang dilakukan secara organik memberikan hasil 24% lebih tinggi dari pada yang diberikan pupuk anorganik yaitu 2,07 ton ha-1 banding 1,67 ton ha-1. (Notohadiprawiro, 1992).

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengelolaan perkebunan kakao secara organik lebih baik daripada pengelolaan perkebunan kakao secara anorganik. Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya jumlah cacing tanah yang hidup di areal perkebunan kakao organik, karena banyaknya cacing tanah menunjukkan tanah yang subur.

4.4. Kepadatan (Individu/m2) Makrofauna Tanah di Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan terhadap jumlah individu makrofauna tanah pada areal Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara, didapatkan nilai kepadatan yang bervariasi antar lokasi penelitian, seperti yang terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Nilai Kepadatan (Individu/m2) dan Kepadatan Relatif (%) Makrofauna Tanah pada Setiap Lokasi Penelitian

No Famili Jenis (Spesies) Lokasi I Lokasi II K KR K KR 1 Glossoscolecidae Pontoscolex sp 6,67 21,43 - - 2 Mangascolicidae Megmophix sp 3,70 11,90 - - 3 Mangascolicidae Pheretima posthuma 7,41 23,81 1,48 20,00 4 Scolopeniidae Scolopendra abscurai 0,74 2,38 1,48 20,00 5 Julidae Jullus sp 3,70 11,90 0,74 10,00 6 Glomeridae Glomeris sp - - 0,74 10,00 7 Gryllidae Allonemobius sp 2,96 9,52 2.22 30,00 8 Carapidae Philopaga sp 1,48 4,76 - - 9 Blatteidae Parcoblatta sp 2,96 9,52 - - 10 Pomatiopsidae Pomatiopsis sp 1,48 4,76 0,74 10,00 Jumlah 31,11 100 7,41 100 Sumber: Data Pengamatan Diolah

Keterangan:

K = Kepadatan

KR = Kepadatan Relatif

Pada Tabel 11 dapat dilihat pada lokasi I (area perkebunan kakao organik) kepadatan tertinggi adalah Pheretima posthuma (7,41) dan pada lokasi II (area perkebunan kakao anorganik) kepadatan tertinggi adalah Allonemobius sp (2,22). Pada lokasi I (area perkebunan kakao organik) kepadatan terendah adalah Scolopendra abscurai (0,74), sedangkan pada lokasi II (area perkebunan kakao anorganik) kepadatan terendah adalah Jullus sp, Glomeris sp dan Pomatiopsis sp. Menurut Suin (2003) distribusi dan keberadaan hewan tanah di suatu daerah tergantung pada keadaan faktor fisik-kimia lingkungan. Menurut Simanjuntak dan Waluyo (1982) cacing tanah (Pheretima posthuma) sangat sensitif terhadap kadar keasaman tanah.

Keasaman tanah biasa dianggap sebagai faktor pembatas dalam penyebaran cacing tanah dan menentukan jumlah cacing tanah di suatu daerah. Semakin tinggi masukan bahan organik tanaman diikuti naiknya pH tanah, pH tanah yang mendekati netral (6,6-7,5) menyebabkan makin tingginya jumlah cacing tanah. Cacing tanah mempunyai beberapa manfaat antara lain: memperbaiki struktur fisik tanah, meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan pertumbuhan tanaman, menekan pertumbuhan gulma, membantu membersihkan bahan kimia yang berbahaya bagi lingkungan, meningkatkan penyerapan air dan mencegah erosi (Saheme, 2008). Dengan demikian dari sisi kelestarian alam dan lingkungan hidup pada lokasi kebun organik lebih baik dari pada kebun anorganik.

4.5. Frekuensi Kehadiran Makrofauna Tanah di Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan terhadap jumlah individu makrofauna tanah pada areal Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara, didapatkan Nilai Frekuensi Kehadiran yang bervariasi antar lokasi penelitian, seperti yang terlihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Nilai Frekuensi Kehadiran dan Frekuensi Kehadiran Relatif (%) Makrofauna Tanah pada Setiap Lokasi Penelitian

No Famili Jenis (Spesies) Lokasi I Lokasi II F FR F FR 1 Glossoscolecidae Pontoscolex sp 6,67 21,43 - - 2 Mangascolicidae MegmopHix sp 3,70 11,90 - - 3 Mangascolicidae PHeretima posthuma 7,41 23,81 1,48 20,00 4 Scolopeniidae Scolopendra abscurai 0,74 2,38 1,48 20,00 5 Julidae Jullus sp 3,70 11,90 0,74 10,00 6 Glomeridae Glomeris sp - - 0,74 10,00 7 Gryllidae Allonemobius sp 2,96 9,52 2.22 30,00 8 Carapidae PHilopaga sp 1,48 4,76 - - 9 Blatteidae Parcoblatta sp 2,96 9,52 - - 10 Pomatiopsidae Pomatiopsis sp 1,48 4,76 0,74 10,00 Jumlah 31,11 100 7,41 100 Sumber: Data Pengamatan Diolah

Ketarangan:

F = Frekuensi Kehadiran FR = Frekensi Kehadiran Relatif

Pada Tabel 12 dapat dilihat pada lokasi I (area perkebunan kakao organik) frekuensi tertinggi adalah Pheretima posthuma sebesar 7,41 dan pada lokasi II (area perkebunan kakao anorganik) frekuensi tertinggi adalah Allonemobius sp sebesar 2,22. Hewan tanah yang frekuensi kehadirannya tinggi umumnya kepadatan relatifnya tinggi pula. Ada juga beberapa pengecualian yaitu pada hewan tanah yang hidupnya berkoloni dan memiliki mobilitasnya tinggi seperti Allonemobius sp. (Suin, 2003).

4.6. Produksi dan Pendapatan Petani

Tabel 13. Rataan Produksi

Sistem Pengelolaan Rataan Produksi (ton/ha/th)

Perkebunan organik 0,77

Perkebunan anorganik 1,20

Sumber: Data Pengamatan diolah

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa rataan produksi kakao pada perkebunan organik lebih kecil dari pada rataan produksi kakao perkebunan anorganik. Perbedaannya pun cukup besar yaitu 0,43 ton. Dengan demikian tentunya bisa dikatakan bahwa ada perbedaan produksi kakao perkebunan organik dan anorganik.

Tabel 14. Rataan Pendapatan

Sistem Pengelolaan Rataan Pendapatan (Juta Rp/th/ha)

Perkebunan Organik 20,09

Perkebunan Anorganik 13,02

Sumber: Data Pengamatan Diolah

Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa rataan pendapatan petani kakao pada perkebunan organik lebih besar dari pada rataan pendapatan petani kakao perkebunan anorganik. Perbedaannya pun cukup besar yaitu 7,07 juta rupiah. Dengan demikian tentunya bisa dikatakan bahwa ada perbedaan pendapatan petani kakao perkebunan organik dan anorganik. Namun untuk lebih meyakinkan apakah memang benar bahwa pendapatan petani kakao perkebunan organik lebih besar dari pada pendapatan petani kakao perkebunan anorganik, maka dilakukan uji beda rata-rata terhadap data tersebut, hasilnya seperti terlihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Hasil Uji Statistik terhadap Rataan Pendapatan

Variabel á = 5%

t hitung t tabel Keterangan

Pendapatan 4,50 1,68 Berbeda nyata

Sumber: Data Pengamatan Diolah

Berdasarkan Tabel 15 dapat kita lihat bahwa variabel pendapatan berbeda nyata. Hal tersebut ditunjukkan pada nilai t hitung > t tabel (4,50 > 1,68 ), dengan menggunakan kaidah yang digunakan dalam uji statistik (uji t) maka Ho diterima, artinya pendapatan petani kakao perkebunan organik lebih besar dari pada pendapatan petani kakao perkebunan anorganik.

Perbedaan yang terjadi terhadap produksi dan pendapatan petani kakao perkebunan organik dan anorganik disebabkan oleh adanya perbedaan input (saprodi) dan perbedaan harga, hal ini bisa dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Rataan Input dan Harga

Sistem Pengelolaan Rataan Input (Juta Rp/th) Rataan Harga (Rp/kg)

Perkebunan Organik 6,2 34000

Perkebunan Anorganik 12,1 21000

Sumber: Data Pengamatan Diolah

Dari Tabel 16 dapat kita lihat bahwa perbedaan biaya saprodi yang harus dikeluarkan oleh petani kakao pada perkebunan anorganik jauh lebih besar dibandingkan dengan petani kakao perkebunan organik, sementara harga kakao perkebunan organik jauh lebih mahal dibandingkan dengan anorganik. Hal ini tentunya berdampak pada pendapatan petani kakao, walaupun produksi kakao petani perkebunan organik kelihatan lebih kecil, tetapi pendapatannya lebih besar. Hal ini

sesuai dengan yang dikemukakan oleh Prihandarini (2009) yang menyatakan bahwa ada beberapa keuntungan yang dapat dipetik dari pengembangan pertanian organik, antara lain:

1. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani; karena: (1) Biaya pembelian pupuk organik lebih murah dari biaya pembelian pupuk kimia; (2) Harga jual hasil pertanian organik seringkali lebih mahal; (3) Petani dan peternak bisa mendapatkan tambahan pendapatan dari penjualan jerami dan kotoran ternaknya; (4) Bagi peternak, biaya pembelian pakan ternak dari hasil fermentasi bahan organik lebih murah dari pakan ternak konvensional; (5) Pengembangan pertanian organik berarti memacu daya saing produk agribisnis Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar internasional akan produk pertanian organik yang terus meningkat. Ini berarti akan mendatangkan devisa bagi pemerintah daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani.

2. Meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian. Karena pertanian organik: (1) Menghindari penggunaan bahan kimia sintetis dan (2) Memanfaatkan limbah kegiatan pertanian seperti kotoran ternak dan jerami sebagai pupuk kompos.

3. Meningkatkan dan menjaga produktivitas lahan pertanian dalam jangka panjang serta memelihara kelestarian alam dan lingkungan. Pemakaian kompos, misalnya, akan menciptakan lingkungan tanah, air dan udara yang sehat yang merupakan syarat utama bagi tumbuhnya komoditi pertanian yang sehat karena:

(1) Memperbaiki struktur tanah sehingga sesuai untuk pertumbuhan perakaran tanaman yang sehat;

(2) Menyediakan unsur hara, vitamin dan enzim yang dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh sehat;

(3) Menyediakan tempat (inang) bagi berbagai hama dan penyakit tanaman sehingga tidak menyerang tanaman.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait