• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengering Laboratorium Terkendali Terakuisis

3.4.1. Analisis Data Pengeringan

1.

Perhitungan Perubahan Kadar Air

Pengukuran kadar air dilakukan dengan mengukur massa bahan sesudah dikeringkan dengan menggunakan oven drying. Data hasil penimbangan massa bahan selama proses pengeringan diolah untuk mengetahui kadar air bahan selama proses pengeringan. Persamaan yang digunakan:

= (8) = (9) m = x 100 % (10) M = x 100 % (11) Penentuan kadar air untuk mendapatkan mutu singkong yang sesuai dengan standar (SNI 01- 345-1994) dilakukan dengan cara menimbang dengan teliti kira - kira 5 gram sampel, kemudian menempatkannya dalam cawan porselen, silika, atau platina untuk dipanaskan dalam oven dengan suhu (105 ± 1) °C selama 5 jam. Didinginkan dalam desikator sampai tercapai suhu kamar, lalu ditimbang hasilnya. Kemudian dipanaskan lagi 30 menit dan didinginkan dalam desikator. Pekerjaan tersebut diulangi 3 - 4 kali sampai diperoleh selisih hasil penimbangan berturut-turut lebih kecil dari 0.001 gram.

Besarnya nilai kadar air yang diperoleh dari setiap percobaan, kemudian dikonversi ke dalam bentuk rasio kadar air dengan persamaan sebagai berikut:

MR =

(12)

2.

Perhitungan Laju Pengeringan

Laju pengeringan selama percobaan dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

Laju Pengeringan =

(13)

dimana dan masing - masing adalah kadar air pada saat t dan kadar air pada saat t+dt

(dalam kg uap air/kg bahan kering), t adalah waktu pengeringan (dalam menit), dt adalah selang waktu pengeringan (menit).

3.

Pemodelan Pengeringan Lapisan Tipis

Pemodelan pengeringan lapisan tipis dilakukan dengan menentukan model persamaan yang sesuai dengan hasil uji keabsahan model. Model persamaan digambarkan pada grafik MR terhadap waktu dan membandingkannya dengan grafik hasil percobaan. Nilai k, a, dan n hasil pemodelan digunakan untuk menghasilkan nilai MR model.

17 Adapun, persamaan pengeringan lapisan tipis yang diturunkan secara semi teoritis untuk menyederhanakan penyelesaian persamaan difusi dan pengeringan. Beberapa model persamaan yang digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3. Model matematika pengeringan lapisan tipis

No Model Persamaan

1 Lewis MR = = exp (- kt) 2 Henderson & Pabis MR =

= a exp (- kt)

3 Page MR =

= exp (- kt n

)

Ketiga model dipilih sebagai pembanding dengan data percobaan karena model - model tersebut merupakan model yang umum digunakan untuk menggambarkan karakteristik pengeringan lapisan tipis dan merupakan penyederhanaan model teoritis yang diperoleh dari persamaan difusi (Hukum II Fick). Dimana MR (moisture ratio) mewakili data kadar air, M merupakan kadar air saat t

pengeringan berlangsung, M0 merupakan kadar air awal, Me adalah kadar air keseimbangan, k adalah

konstanta pengeringan, serta n dan a adalah konstanta.

Konstanta - konstanta dari model pengeringan lapisan tipis kemudian ditentukan secara eksperimental dari penormalisasian kurva pengeringan, kemudian dievaluasi berdasarkan koefisien determinasinya (R2). Konstanta pengeringan (k) merupakan suatu besaran yang dapat digunakan sebagai indikator seberapa cepat proses pengeringan dapat berlangsung pada suatu bahan. Menurut Wartono (1997), konstanta pengeringan (k) merupakan suatu besaran yang menyatakan tingkat kecepatan air atau massa air untuk terdifusi keluar meninggalkan bahan yang dikeringkan.

Berikut adalah bentuk persamaan model Lewis yang dinormalisasi

ln (MR) = - kt (14)

dan bentuk persamaan dari model Henderson & Pabis

ln (MR) = - kt + ln a (15)

dimana, k dan a berturut - turut ditentukan sebagai slope dan intercept dari ln (MR) terhadap waktu (t). Pada persamaan Lewis, intercept diatur sama dengan 0.

Sedangkan bentuk persamaan model Page yang dinormalisasi

ln [-ln (MR)] = ln (k) + n ln (t) (16) dimana, k dan n berturut-turut ditentukan sebagai intercept dan slope dari ln [-ln (MR)] terhadap ln (t).

Pemodelan yang dilakukan dalam hal mengetahui perilaku pengeringan dari produk pertanian yang berbeda - beda sering memerlukan metode statistikal yang berupa analisis regresi dan analisis korelasi (Yadollahinia et al. 2008). Adapun, model regresi linier dan non lnier dapat menjadi suatu

tools yang penting untuk menemukan hubungan diantara variabel - variabel yang berbeda, terutama yang tidak mempunyai hubungan secara empiris. Oleh karena itu, data percobaan yang diperoleh akan dianalisis menggunakan regresi secara linier dan non linier dengan harapan koefisien - koefisien pada persamaan empiris (Tabel 3) diperkirakan dapat memposisikan secara tepat untuk data hasil pengeringan percobaan.

Kriteria pembanding yang dipakai untuk menentukan model persamaan yang terbaik selain koefisien determinasi (R2), yaitu reduced chi - square χ2, root mean square error (RMSE) (Yadollahinia et al.2008; Shen et al. 2011). Nilai R2 digunakan sebagai kriteria pembanding untuk menentukan ketepatan model. Reduced chi - square merupakan kuadrat rata - rata dari penyimpangan

18 antara hasil percobaan dengan hasil perhitungan model. Nilai RMSE merupakan deviasi antara nilai prediksi dari model dengan nilai hasil percobaan. Semakin tinggi nilai R2 dan semakin rendah nilai

reduced chi - squareχ2, root mean square error (RMSE) maka model akan semakin tepat. Kriteria pembanding tersebut dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

R2 = (17) χ2 = (18) RMSE = (19)

dimana: MRexp,i merupakan rasio kadar air percobaan ke-i; MRpre,i merupakan rasio kadar air model

ke-i; mrexp adalah nilai rata - rata dari rasio kadar air percobaan; mrpreadalah nilai rata - rata dari rasio

kadar air model; N adalah jumlah pengamatan; z adalah jumlah konstanta dalam model pengeringan. Analisis regresi linier dan non linier dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel spreadsheet

19 Gambar 6. Bagan alir proses analisis data pengeringan untuk setiap perlakuan

Mulai

Perhitungan kadar air

M = x 100 %

=

MR =

Penentuan nilai k dan konstanta n, a (pendekatan model Lewis, Henderson &

Pabis, Page)

MR Lewis MR H & P MR Page

MR: MR Lewis MR: MR H & P MR: MR Page

R2, χ2, RMSE (Lewis) R2, χ2, RMSE (H & P) R2, χ2, RMSE (Page)

Jika R2 mendekati 1; χ2 dan RMSE mendekati 0 ya Tidak Model Terbaik Selesai Bukan model terbaik

20

3.4.2. Analisis Data Penyusutan

Adanya penyusutan pada bahan mengindikasikan bahwa terjadi pengecilan dimensi volume, luas permukaan, ataupun ketebalan. Penyusutan luas permukaan sampel irisan singkong tersebut diamati dan direkam menggunakan webcam yang dihubungkan ke komputer. Hasil citra irisan singkong yang telah direkam tersebut kemudian dianalisis menggunakan MATLAB 7.1 Release 14 (The MathWorks, Inc.). Analisis ini dilakukan terhadap area atau luas permukaan bahan. Berikut ini merupakan diagram alir dari proses pengolahan citra dengan menggunakan MATLAB 7.1 Release 14 (The MathWorks, Inc.):

Gambar 7. Diagram alir proses pengolahan citra

Data hasil pengolahan citra tersebut kemudian dihitung untuk mendapatkan nilai penyusutan luas permukaan sampel irisan singkong yang terjadi selama pengeringan berlangsung.

S = (20)

Kemudian disusun berdasarkan model empiris dari data penyusutan sebagai fungsi kadar air. Pada penelitian ini, model penyusutan luas permukaan menggunakan persamaan linier dengan persamaan sebagai berikut:

= C1 + C2

(21)

Mulai

Membaca dan menampilkan citra pertama

Ekstraksi nilai pixel red, green, and blue (RGB)

Membuat citra dengan background yang seragam

Konversi citra ke citra biner

Menyimpan data citra biner ( .jpeg) dan data area (pixels) pada sebuah file dan menutup semua citra

yang telah dikonversi

Apakah semua citra sudah terkonversi? Selesai ya Tidak Membuka citra selanjutnya

21

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG

4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu

Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar air awal 55.00 %bb - 67.74 %bb dan berakhir ketika tidak terjadi lagi perubahan massa, dimana kadar air akhir mendekati kadar air keseimbangan yang berada pada selang 8.17 %bb - 13.00 %bb. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data penurunan massa bahan untuk berbagai perlakuan suhu dan RH (Lampiran 2). Melalui pengukuran kadar air yang menggunakan metode oven, kemudian diperoleh data penurunan kadar air. Data tersebut kemudian dikonversi menjadi bentuk penurunan rasio kadar air dan diplotkan ke dalam suatu grafik sehingga diperoleh kurva penurunan rasio kadar air terhadap waktu (Gambar 8 dan Gambar 9).

Tabel 4. Data kadar air dan lama pengeringan pada suhu 50 C Suhu (°C) RH (%) Massa (gram) Kadar Air (%bk)

Berat Kering

Total Waktu Pengeringan awal akhir awal akhir (g) (menit)

50

30 119.31 42.70 205.59 9.37 39.04 395 40 144.08 53.42 210.03 14.95 46.47 435 50 134.63 53.74 173.71 9.25 49.19 450 60 145.02 68.14 136.43 11.09 61.34 560 Tabel 5. Data kadar air dan lama pengeringan pada RH 40 %

Suhu (°C) RH (%) Massa (gram) Kadar Air (%bk)

Berat Kering

Total Waktu Pengeringan awal akhir awal akhir (g) (menit) 40 40 109.32 54.15 122.25 10.09 49.19 510 50 144.08 53.42 210.03 14.95 46.47 435 60 183.74 74.69 172.40 10.73 67.45 430 70 143.70 53.34 193.38 8.90 48.98 185

Tabel 4 (perlakuan suhu yang sama yaitu 50 °C dengan tingkat RH yang berbeda) menunjukkan bahwa dengan massa awal irisan singkong yang hampir sama, seperti pada perlakuan RH 40 % dan RH 60 %, memiliki kadar air awal yang ternyata nilainya tidak sama (bervariasi). Demikian juga, pada perlakuan RH 30 %, dengan massa awal irisan singkong yang cenderung lebih rendah dibandingkan massa awal irisan singkong lainnya, ternyata memiliki kadar air awal yang cenderung tinggi, yaitu sekitar 67 %bb. Hal yang mempengaruhi bervariasinya nilai kadar air awal bahan adalah jenis varietas singkong yang dipakai, diduga berbeda pada beberapa perlakuan dan umur tanaman sampai dengan dipanen yang juga diduga tidak seragam. Tetapi, meskipun singkong yang digunakan berasal dari lokasi yang sama dengan varietas yang sama, struktur dan sifat fisik bahan dapat berbeda. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan antara irisan singkong yang digunakan untuk pengeringan pada perlakuan RH 40 % dan RH 60 %. Terlihat bahwa irisan singkong yang digunakan untuk perlakuan RH 40 % dan RH 60 % mempunyai berat awal yang hampir sama, tetapi

22 mempunyai berat kering yang berbeda sekitar 35 %. Dengan demikian, diduga bahwa struktur bahan lebih padat untuk sampel perlakuan RH 60 %. Hal yang sama juga terjadi pada sampel percobaan untuk suhu 60 °C dengan RH 40 % (Tabel 5). Perbedaan ini juga mempengaruhi karakteristik pengeringan sebagaimana akan lebih jelas pada pembahasan selanjutnya.

Waktu pengeringan irisan singkong bervariasi menurut tingkatan suhu dan RH. Tabel 4 dan 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu udara pengering, maka total waktu pengeringan semakin singkat. Selain itu, semakin tinggi RH udara pengering maka total waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan semakin lama.

Dari perubahan RH udara pengering (Tabel 4) terdapat indikasi bahwa dengan adanya peningkatan RH dapat memperlambat waktu pengeringan. Hal ini ditunjukkan oleh RH 30 % yang mempunyai waktu pengeringan tercepat yaitu 395 menit dengan kadar air akhir sebesar 9.37 %bk dan RH 60 % mempunyai waktu pengeringan terlama yaitu 560 menit dengan kadar air akhir sebesar 11.09 %bk. Tetapi, perlakuan dengan tingkat RH yang berbeda - beda ini, tidak menunjukkan adanya konsistensi antara tingkat RH dengan kadar air akhir yang dicapai. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tinggi tingkat RH pada kadar air awal tertentu menghasilkan nilai kadar air akhir yang bervariasi.

Pola perubahan rasio kadar air terhadap waktu pengeringan pada perlakuan suhu 50 °C dengan tingkat RH yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 8. Terlihat bahwa proses pengeringan berjalan cepat, mulai dari awal pengeringan yang ditandai dengan menurunnya kurva secara tajam dan kemudian semakin melambat, yang ditunjukkan dengan bentuk kurva yang melandai hingga proses pengeringan selesai. Adanya perbedaan trend kurva yang ditunjukkan oleh hasil percobaan untuk RH 60 % diduga karena struktur bahan yang lebih padat, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Gambar 8. Kurva penurunan rasio kadar air terhadap waktu pada suhu 50 °C

Gambar 8 menunjukkan semakin tinggi nilai RH, bentuk kurva relatif lebih landai dan waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan irisan singkong akan semakin lama, karena kecepatan atau kemampuan untuk pembebasan air menjadi lebih rendah.

Berdasarkan perubahan suhu udara pengering (Tabel 5), terlihat indikasi bahwa dengan adanya peningkatan suhu udara pengering dapat mempercepat waktu pengeringan. Hal ini terlihat pada suhu

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 0 90 180 270 360 450 540 630 Ra sio K a da r Air (- ) Waktu (menit) 30% 40% 50% 60%

23 70 °C mempunyai waktu pengeringan tercepat yaitu 185 menit dengan kadar air akhir sebesar 8.90 %bk. Sedangkan suhu 40 °C mempunyai waktu pengeringan terlama yaitu 510 menit dengan kadar air akhir sebesar 10.09 %bk. Berdasarkan hasil perhitungan kadar air akhir bahan setelah pengeringan, ternyata semakin cepat proses pengeringan menyebabkan nilai kadar air akhir yang cenderung semakin rendah, kecuali pada kondisi suhu 40 °C yang seharusnya memiliki kadar air akhir lebih tinggi dibandingkan kondisi lainnya. Hal ini disebabkan oleh nilai kadar air awal bahan yang sangat kecil, sehingga membuat nilai kadar air akhir bahan juga semakin kecil. Pola perubahan rasio kadar air terhadap waktu pengeringan pada perlakuan RH 40 % dengan tingkat suhu yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Kurva penurunan rasio kadar air terhadap waktu pada RH 40 %

Gambar 9 menunjukkan semakin tinggi suhunya, bentuk kurva relatif lebih curam dan waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan irisan singkong akan semakin singkat, karena kecepatan atau kemampuan untuk pembebasan airnya lebih tinggi. Tetapi, pada suhu 50 °C terlihat bahwa trend

penurunan rasio kadar airnya berhimpitan dengan perlakuan suhu 60 °C. Selain itu, waktu yang dipakai untuk mengeringkan irisan singkong juga cenderung hampir sama, yaitu hanya terjadi selisih 5 menit. Hal ini diduga karena terjadi ketidakstabilan alat kontrol suhu pada mesin pengering saat proses pengeringan berlangsung.

4.1.2 Perubahan Laju Pengeringan Terhadap Waktu

Laju pengeringan menunjukkan banyaknya air yang diuapkan per satuan waktu. Proses penguapan sejumlah air dari permukaan bahan akan bertambah cepat dengan adanya peningkatan suhu, peningkatan kecepatan udara pengering, dan penurunan tingkat RH dalam proses pengeringan. Data laju pengeringan rata - rata yang dihitung dengan cara merata-ratakan besarnya nilai laju pengeringan setiap 5 menit pengambilan data selama proses pengeringan dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7.

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 0 90 180 270 360 450 540 630 Ra sio K a d a r Air ( -) Waktu (menit) 40 C 50 C 60 C 70 C

24 Tabel 6. Laju pengeringan rata - rata irisan singkong pada suhu 50 °C

Suhu (°C ) RH (%) Laju Pengeringan (%bk/menit)

50

30 0.497

40 0.448

50 0.365

60 0.224

Tabel 7. Laju pengeringan rata - rata irisan singkong pada RH 40 %

RH (%) Suhu (°C ) Laju Pengeringan (%bk/menit)

40

40 0.219

50 0.448

60 0.376

70 0.992

Tabel 6 dan 7 memperlihatkan bahwa laju pengeringan rata - rata meningkat seiring dengan semakin meningkatnya suhu atau semakin menurunnya tingkat RH. Hal ini disebabkan penguapan air akan berlangsung lebih cepat dengan bertambahnya suhu udara pengering atau menurunnya tingkat kelembaban relatif. Sehingga, laju pengeringan cenderung berbanding lurus dengan suhu pengeringan dan berbanding terbalik dengan kelembaban udaranya. Tabel 6 menunjukkan bahwa untuk perlakuan RH 30 % dengan kecepatan udara pengering yang cenderung konstan, yaitu sekitar 0.5 m/s memiliki laju pengeringan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan RH lainnya. Demikian juga pada perlakuan dengan tingkat suhu yang berbeda dan kecepatan udara pengering yang cenderung konstan (Tabel 7), terlihat bahwa untuk perlakuan suhu 40 °C memiliki laju pengeringan rata - rata yang lebih rendah dibandingkan perlakuan suhu lainnya. Tetapi, untuk perlakuan suhu 60 °C menunjukkan bahwa nilai laju pengeringan rata - ratanya lebih kecil dibandingkan perlakuan suhu 50 °C dan tidak berada pada selang (0.448 - 0.992) %bk/menit. Selain diduga karena terjadi ketidakstabilan mesin pengering seperti pada kontrol suhu dan kecepatan aliran udara, hal ini dapat juga disebabkan oleh sifat bahan itu sendiri, seperti tingkat kadar air dan ketebalan bahan. Jika meninjau kembali pada Tabel 5, terlihat untuk perlakuan suhu 60 °C memiliki kandungan air yang lebih rendah atau sedikit dibandingkan dengan perlakuan suhu lainnya seperti 50 °C dan 70 °C. Jumlah kandungan air bahan yang sedikit ini menyebabkan proses penguapan menjadi susah. Akibatnya, laju pengeringan menjadi lebih rendah.

Ketebalan dari irisan singkong ternyata juga berpengaruh dalam menentukan semakin tinggi atau rendahnya laju pengeringan. Terlihat pada Tabel 5 bahwa berat kering sampel irisan singkong untuk perlakuan suhu 60 °C dengan RH 40 % lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya. Sehingga, selain diduga bahwa struktur bahan lebih padat, irisan - irisan singkong pada perlakuan ini memiliki kemungkinan juga lebih tebal dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Irisan yang lebih tebal ini menyebabkan semakin sulitnya air untuk berpindah karena jarak yang harus ditempuh oleh air semakin jauh. Akibatnya, laju pengeringan menjadi lebih rendah.

Gambar 10 dan 11 memperlihatkan kurva laju pengeringan terhadap waktu pada proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong. Terlihat bahwa trend laju pengeringan pada tahap awal lebih cepat, ditunjukkan dengan bentuk kurva yang lebih curam dibandingkan pada tahap akhir pengeringan. Hal yang menjadi penyebab penurunan kadar air yang relatif besar di awal pengeringan adalah masih terdapatnya air bebas yang berada di bagian permukaan bahan, sehingga terjadi perpindahan massa dari bahan ke udara dalam bentuk uap air sampai tekanan uap air pada permukaan

25 menurun. Pada tahap berikutnya, terjadi perpindahan air dari dalam bahan ke permukaan secara difusi yang mengakibatkan penurunan massa air menjadi lebih lambat. Hingga akhirnya setelah air bahan semakin berkurang, maka tekanan uap air bahan akan menurun sampai terjadi keseimbangan dengan udara disekitarnya dan tidak terjadi perpindahan air lagi. Hal ini ditunjukkan dengan bentuk kurva yang relatif landai pada masa menjelang akhir pengeringan hingga tercapai keseimbangan.

Selama proses pengeringan terdapat dua periode laju pengeringan, yaitu periode laju pengeringan konstan dan periode laju pengeringan menurun. Laju pengeringan menurun sering dikelompokkan lagi menjadi dua tahap, yaitu tahap laju pengeringan menurun pertama dan laju pengeringan menurun kedua. Dalam periode laju pengeringan konstan, air yang berada pada permukaan bahan akan menguap seperti penguapan pada permukaan air bebas, dimana kecepatan penguapannya sama dengan kecepatan air yang dipindahkan dari dalam bahan ke permukaan. Sedangkan kondisi dimana kadar air saat laju pengeringan konstan ini berakhir lazim disebut sebagai kadar air kritis.

Gambar 10. Kurva laju pengeringan terhadap waktu pada suhu 50 °C

Gambar 11. Kurva laju pengeringan terhadap waktu pada RH 40 % 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 0 90 180 270 360 450 540 630 La ju P e ng e r ing a n (%b k /m e nit ) Waktu (menit) 30% 40% 50% 60% 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 0 90 180 270 360 450 540 630 L a ju P eng er ing a n ( %bk /m e nit) Waktu (menit) 70 C 60 C 50 C 40 C

26 Gambar 10 dan 11 menunjukkan bahwa sebagian besar dari kondisi perlakuan pengeringan tidak menunjukkan terjadinya laju pengeringan konstan sehingga dapat dikatakan bahwa pengeringan irisan singkong berlangsung pada periode laju pengeringan menurun. Hanya saja, laju pengeringan konstan terjadi sangat singkat pada perlakuan suhu 50 °C dengan RH 60 %. Namun, karena laju pengeringan konstan ini sangat singkat sehingga dapat diabaikan. Terlihat pada Gambar 10, laju pengeringan menurun pertama pada semua tingkat RH terjadi sampai menit ke - 200, kemudian dilanjutkan dengan periode laju pengeringan menurun kedua hingga pengeringan berakhir. Gambar 11 menunjukkan bahwa laju pengeringan menurun pertama pada kondisi suhu pengeringan 70 °C terjadi sampai menit ke - 130 dan untuk kondisi suhu 40 °C, 50 °C, dan 60 °C terjadi sampai menit ke - 180, kemudian dilanjutkan dengan periode laju pengeringan menurun kedua hingga pengeringan berakhir.

4.1.3 Perubahan Laju Pengeringan Terhadap Kadar Air

Laju pengeringan dipengaruhi oleh kandungan air dalam bahan. Laju pengeringan akan menurun seiring dengan pengurangan jumlah air di dalam bahan selama pengeringan. Hubungan antara kadar air dan laju pengeringan dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13. Seperti halnya hubungan antara perubahan laju pengeringan terhadap waktu, maka penurunan laju pengeringan terhadap kadar air dibagi juga menjadi dua periode, yaitu periode laju pengeringan konstan dan periode laju pengeringan menurun. Terlihat pada Gambar 12 dan 13 bahwa sebagian besar dari kondisi perlakuan pengeringan tidak menunjukkan terjadinya periode laju pengeringan konstan kecuali pada perlakuan suhu 50 °C untuk RH 60 %. Namun, laju pengeringan konstan ini terjadi sangat singkat pada awal pengeringan sehingga dapat diabaikan. Dengan demikian, praktis dapat dikatakan bahwa pengeringan irisan singkong berlangsung pada periode laju pengeringan menurun. Terjadinya periode laju pengeringan konstan pada perlakuan pengeringan irisan singkong ini diduga karena adanya lapisan yang terbuka pada irisan - irisan singkong yang sebelumnya diberikan perlakuan pra pengeringan (blanching).

Terlihat juga pada Gambar 12 dan 13, laju pengeringan akan menurun dengan cepat pada kadar air bahan tinggi yaitu di atas 193.38 %bk dan menurun dengan lambat pada kadar air bahan rendah, seperti pada perlakuan suhu 50 °C untuk RH 60 % dan suhu 40 °C untuk RH 40 %. Sehingga, dapat dikatakan bahwa semakin rendah kadar air bahan, maka laju pengeringannya semakin kecil.

Gambar 12. Kurva laju pengeringan terhadap kadar air pada suhu 50 °C 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 0 50 100 150 200 250 L a ju P eng er ing a n ( %bk /m e nit) Kadar Air (%bk) 30% 40% 50% 60%

27 Gambar 13. Kurva laju pengeringan terhadap rasio kadar air pada RH 40 %

Gambar 13 memperlihatkan bahwa kurva saling berhimpitan pada kondisi suhu 40 °C, 50 °C, dan 60 °C. Terlihat juga adanya perbedaan trend kurva yang ditunjukkan oleh hasil percobaan untuk suhu 70 °C. Selain dikarenakan faktor kadar air yang cenderung bervariasi, suhu ternyata juga berperan dalam menentukan semakin tinggi atau rendahnya laju pengeringan. Sehingga, semakin rendah/tinggi suhu pengeringan dan semakin rendah/tinggi kadar air, maka laju pengeringannya menurun dengan lambat/cepat.

4.1.4 Model dan Konstanta Pengeringan Lapisan Tipis Singkong

Pengeringan lapisan tipis adalah pengeringan bahan dimana semua bagian bahan yang terdapat dalam lapisan tersebut dapat menerima langsung panas yang berasal dari udara pengering (Hall 1980). Dengan demikian, semua bahan dalam lapisan tersebut akan mengalami pengeringan yang seragam. Pengeringan lapisan tipis irisan singkong ini menggunakan model semi - teoritis dan empiris untuk mendapatkan model pengeringannya. Adapun, model matematis pengeringan lapisan tipis irisan singkong yang dipilih meliputi model Lewis (Newton), Henderson & Pabis, dan Page. Perhitungan dilakukan dengan menormalkan persamaan dari model - model tersebut menjadi persamaan linier sederhana, seperti yang terlihat pada persamaan (13), (14), dan (15).

Hasil pemodelan pengeringan lapisan tipis singkong berdasarkan model Lewis (Newton), Henderson & Pabis, dan Page dapat dilihat pada Gambar 14, Gambar 15, dan Gambar 16. Ketiga gambar tersebut memperlihatkan perbandingan antara data percobaan pengeringan lapisan tipis singkong dengan data hasil perhitungan. Terlihat bahwa model Page (Gambar 16) adalah model yang paling mendekati data percobaan pengeringan lapisan tipis singkong, ditunjukkan dengan bentuk grafik yang sangat berhimpit dengan grafik hasil percobaan. Hal ini didukung juga oleh analisis statistikal yang dilakukan (Tabel 8 dan 9), dimana model Page memiliki nilai rata - rata R2 paling

tinggi dan nilai rataan χ2

, RMSE yang paling rendah dibandingkan dengan model Lewis dan Henderson & Pabis. Pada kondisi suhu 50 °C dengan tingkat RH berbeda, menghasilkan nilai rataan R2, RMSE, dan χ2 berturut - turut adalah 0.9998, 0.004105, dan 0.000021. Pada kondisi RH 40 % dengan suhu yang berbeda memiliki nilai rataan berturut - turut 0.9998, 0.005013, dan 0.000035.

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 0 50 100 150 200 250 L a ju P eng er ing a n ( %bk /m e nit) Kadar Air (%bk) 40 C 50 C 60 C 70 C

28 Sehingga, dapat dikatakan bahwa model Page adalah model yang dapat menggambarkan karakteristik pengeringan lapisan tipis singkong.

Model Page memiliki nilai R2, RMSE, dan χ2 berturut - turut untuk semua perlakuan, berada pada kisaran 0.9995-0.9999, 0.002051-0.010040, dan 0.000004-0.000107. Kemudian diikuti oleh

Dokumen terkait