• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dekonstruktif Terhadap Fenomena Censorship

BAB IV BIBLIOGRAFI TEKS DAN ANALISIS TEKSTUAL

C. Analisis Dekonstruktif Terhadap Fenomena Censorship

Gagasan pertama censorship dan pembatasan akses dalam perspektif teks AKI dapat ditemukan dalam bab tujuh belas:

“Fenomena ini perlu diketengahkan, karena pola publikasi elektronik

memungkinkan meledaknya informasi di internet. Apabila kebijakan akusisi bahan pustaka dilakukan secara benar, kontrol kualitas informasi terhadap terbitan elektronis yang tersedia di internet, tidak

perlu menjadi kendala bagi pengembangan koleksi perpustakaan”.39 Definisi yang dikemukakan oleh teks AKI di atas menjadikan fenomena publikasi elektronik sebagai pembenaran bahwa untuk pengembangan koleksi perpustakaan yang baik diperlukan kegiatan

penyeleksian yang ketat. “Fenomena yang perlu diketengahkan” yang

39

dimaksudkan oleh teks adalah terbitan elektronik yang beredar di dunia maya. Berdasarkan penalaran teks AKI, terbitan elektronik akan memiliki

ekses “meledaknya informasi”. Dengan demikian hasil interpretasi dari

logika teks AKI adalah, ledakan informasi merupakan gejala sosial yang membutuhkan penanganan serius guna pengembangan koleksi perpustakaan yang lebih baik. Sehingga logika teks memberikan konsentrasi pemaknaan pada terbitan elektronik sebagai langkah untuk menaikkan peluang pustakawan untuk melakukan usaha censorship melalui aktivitas kontrol kualitas. Usaha pembatasan ini semakin kuat ketika teks menjamin penyeleksian memiliki pengaruh terhadap kualitas informasi pasif.

Di dalam perspektif dekonstruksi dikenal konsep differance yang berarti penundaan. Dalam menghadapi susunan logika teks AKI, peneliti akan mencoba mempraktikkan konsep differance. Teks AKI mencoba membentuk sebuah persepsi bahwa praktik censorship di perpustakaan bisa dilakukan ketika keberadaan terbitan elektronik di internet menjadi kian tak terbendung. Praktik censorship terhadap terbitan elektronik tersebut dilaksanakan melalui mekanisme kontrol kualitas. Tawaran mekanisme ini muncul ketika ada fenomena yang menjadi konsekuensinya. Pada kasus ini, teks AKI mencoba mengetengahkan fenomena ledakan informasi sebagai landasan argumentasi. Teks AKI menganggap ledakan informasi adalah fenomena yang harus segera ditanggulangi keadaannya. Hal demikian memberikan kesan kepada pembaca bahwa peredaran informasi yang

variatif adalah sebuah keadaan yang tidak menguntungkan bagi umat manusia.

Teks AKI memberikan sebuah logika konstrukstif yang mengatakan

bahwa “publikasi elektronik adalah kemungkinan penyebab terjadinya ledakan informasi di internet.”40

Logika tersebut merupakan hasil interpretasi peneliti terhadap argumentasi yang disusun oleh teks. Terdapat

tiga frasa yang menjadi perhatian peneliti; pertama yaitu “publikasi elektronik” sebagai subjek dari peristiwa tekstual. Kedua, “ledakan informasi” sebagai peristiwa yang menjadi sorotan. Dan ketiga adalah “internet” sebagai media terjadinya peristiwa.

Publikasi elektronik dalam sudut pandang ilmu perpustakaan merupakan sumber informasi yang tidak tercetak. Sehingga ketika seseorang ingin menyerap kandungan informasi dari publikasi elektronik dibutuhkan bantuan perkakas elektronik semisal komputer. Sedangkan ledakan informasi secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana jumlah informasi yang beredar sudah melebihi kapasitas yang seharusnya.41 Kondisi tersebut secara kuantitas dianggap sudah tidak bisa lagi ditampung oleh pikiran manusia dan ruang sosialnya. Sementara itu pengetahuan umum atas internet adalah sebuah tempat peredaran informasi yang sangat luas dan tak mengenal batas. Ada banyak informasi yang bisa dihimpun ketika kita membuka internet.

40

Ibid., h. 89.

41

Ardoni, “Teknologi Informasi: Kesiapan Pustakawan memanfaatkannya”, Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan Informasi, Vol. 1, No. 2, (Desember 2005): h. 32.

Akan tetapi ketika dibuka standar pemaknaan yang lebih luas dan lebih radikal dari yang ditawarkan oleh teks AKI, maka akan ditemukan penafsiran lain dari logika yang dikonstruksikan oleh teks AKI. Pertama, publikasi elektronik adalah sumber informasi yang tidak berwujud atau yang sering disebut soft file. Dikarenakan wujudnya yang tidak terlihat, maka publikasi elektronik bisa ditafsirkan sebagai postingan facebook seseorang. Atau bisa juga sebagai sinyal radio yang berisi percakapan dari penyiar stasiun radio. Hal tersebut dikarenakan postingan facebook dan sinyal radio adalah dua hal yang sama-sama disebarluaskan (publikasi), sehingga orang lain dapat mengetahui kandungan informasinya melalui alat bantu elektronik. Hasil penafsiran dari refleksi publikasi elektronik adalah bagaimana mungkin kumpulan sinyal radio bisa menyebabkan ledakan informasi.

Kedua, ledakan informasi dalam hemat peneliti merupakan fenomena

yang memiliki makna ganda. Kata “ledakan” dalam teks AKI merupakan

fenomena sosial yang memiliki sifat jamak. Ledakan bisa bersifat menghancurkan dan meningkatkan. Ketika standar pemaknaan yang

digunakan adalah “menghancurkan”, maka secara esensi ledakan informasi

akan berdampak langsung kepada kehancuran masyarakat. Fenomena tersebut berlandaskan pada fakta empiris bahwasannya setiap manusia pasti mengkonsumsi informasi untuk menjalankan sendi-sendi kehidupannya (MI). Sehingga ketika dilakukan penafsiran ulang atas logika yang dibangun

menyebabkan terjadinya kehancuran informasi” dalam tataran sosio

kultural. Namun ketika peneliti berpijak pada sifat ledakan yang bisa

“meningkatkan”, maka secara kontekstual ledakan informasi akan

membantu masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Logika rasional yang bisa diketengahkan adalah argumentasi yang peneliti kemukakan tentang MI pada pembahasan sebelumnya. Dengan demikian ledakan informasi memiliki sisi yang menguntungkan, yaitu terciptanya efek domino yang positif. Karena dengan terjadinya peningkatan informasi maka akan meningkatkan MI individu sehingga akan menaikkan taraf hidup seorang individu.

Dan yang ketiga adalah internet, sebuah media yang memberikan kesempatan kepada seluruh manusia untuk menuangkan segala macam informasi yang ada dibenaknya. Namun karena kebebasannya tersebut, secara konseptual internet dinilai sebagai tempat informasi sampah. Hal tersebut karena internet merupakan tempat menaruh semua informasi dari seluruh penjuru dunia. Ketika pemaknaan radikal dari peneliti dikembalikan kepada konteks censorship, maka akan ditemukan penalaran yang rapuh dari logika yang dikonstruksikan oleh teks AKI. Karena terbukti, secara empiris ekses dari ledakan informasi tidak bisa ditemukan di perpustakaan, sebab internet sebagai media di perpustakaan yang dimaksudkan oleh teks akan terjadi ledakan, tidak lain adalah sebuah tempat yang dinilai sebagai tempat beredarnya informasi sampah.

Selanjutnya, peneliti berusaha melakukan representasi terhadap fenomena tekstual yang tertuang pada teks AKI. Teks berusaha menegaskan porsi ledakan informasi yang terjadi di dunia digital (internet) tanpa kemungkinan lain selain dari jenis terbitan elektronik. Namun, dengan berorientasi pada konsep realitas kekinian dalam sudut pandang ilmu pengetahuan, fenomena ledakan informasi mungkin juga bisa terjadi pada bahan informasi non-elektronik. Hal ini senada dengan pernyataan teks

yaitu “meledaknya pertumbuhan informasi ilmiah selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan”.42

Refleksi ini bersifat terbuka karena merupakan gejala sosial kultural, dimana manusia sebagai subjek pencipta ilmu pengetahuan membutuhkan media untuk menuangkan karya ilmiahnya. Media yang digunakan pun berbentuk tercetak (non-elektronik) dan tidak tercetak (elektronik). Dengan menggunakan asumsi filosofis yang peneliti paparkan dan intertekstualitas berdasarkan logika konstruktif teks AKI, maka informasi pasif non-elektronik pun kemungkinan akan mendapat pembatasan seperti halnya informasi pasif yang berbentuk elektronik berdasarkan konteks logika censorship pada teks AKI. Logika real yang bisa diketengahkan adalah fenomena buku digital dan buku tercetak. Ketika hari ini telah banyak beredar buku digital (e-book) dengan perangkat elektronik sebagai media pembacaannya, buku tercetak masih menjadi pilihan utama manusia untuk dijadikan sumber bacaan. Hal ini dibuktikan

42

dengan masih berdirinya penerbit yang menerbitkan buku-buku konvensional yang tercetak.

Dengan terbukanya peluang ledakan informasi pada bahan informasi non elektronik, maka secara kontekstual akan memperlebar kesempatan perpustakaan melakukan usaha pembatasan informasi. Konsep pembatasan

informasi juga dipertegas oleh teks AKI pada kalimat “kontrol kualitas

informasi”. Terdapat variabel kata yang menjadi pengikat secara tekstual. Kata tersebut adalah “kontrol”. Kata kontrol secara maknawi memiliki sifat

mengatur dan/atau mengekang. Pemaknaan lain ini merupakan hasil penggunaan perspektif dekonstruksi. Ketika kontrol dimaknai sebagai sebuah usaha pengekangan, di dalamnya akan memuat sekat-sekat terhadap variabel kata selanjutnya. Sehingga ketika dilakukan penafsiran ulang teks AKI berupaya mengekang kualitas informasi terhadap suatu bahan pustaka.

Disamping itu peneliti melihat kerapuhan konseptual yang ditawarkan oleh teks AKI pada argumentasi fenomena ledakan informasi. Bangunan epistemologi dari teks AKI patut dipertanyakan kembali, sebab fenomena ledakan informasi yang diketengahkan oleh teks pada dasarnya bersifat utopis. Pada pembahasan sebelumnya peneliti mengajukan tesis bahwa postingan facebook dapat dianggap sebagai terbitan elektronik yang berdasarkan logika teks merupakan penyebab terjadinya ledakan informasi. Namun pada kenyataannya saat ini data jumlah postingan facebook per hari dari setiap manusia di seluruh dunia bisa dihitung dengan bantuan aplikasi khusus. Dengan berpijak pada sudut pandang ilmu teknologi informasi (TI),

ledakan informasi yang disangkakan teks bisa ditanggulangi. Karena terbukti, jumlah peredaran informasi saat ini tidaklah mencemaskan dan secara kuantitas bisa dilakukan penganalan.

Dengan demikian, sudut pandang TI merupakan paradigma yang bisa diterapkan guna menanggulangi ledakan informasi. Sehingga ketika perpustakaan menerapkan paradigma TI di dalam sendi-sendi kesehariannya, maka ledakan informasi menjadi gugur secara tekstual. Ketika ledakan informasi sudah ternegasikan, maka dengan sendirinya aktivitas censorship tidak diperlukan lagi di lembaga informasi perpustakaan. Dan secara tekstual fenomena censorship di perpustakaan pun menjadi gugur keberadaannya. Argumentasi peneliti tentang ruang pemanfaatan paradigma TI di lembaga informasi perpustakaan juga dibenarkan oleh teks AKI. Kalimat yang mengafirmasi argumentasi peneliti tertulis di halaman 271 paragraf terakhir sebagai berikut :

“Perpustakaan dalam perjalanan hidupnya sering sangat

menggantungkan pada teknologi. Bahkan ilmu perpustakaan berkembang dengan pendekatan teknologi. Teknik mengelola perpustakaan pernah menjadi inti pendidikan dan pelatihan kepustakawanan. Bahkan tidak jarang ada perpustakaan yang selalu mengejar teknologi layaknya mengejar mode. Keadaan demikian berpengaruh pada perkembangan perpustakaan di Indonesia. Tidak dapat disangkal, bahwa masa depan perpustakaan adalah pemanfaatan

teknologi, khususnya teknologi informasi”43

Melalui pemaparan ini, pada dasarnya teks telah memahami perihal potensi yang dapat dimanfaatkan guna menanggulangi fenomena ledakan informasi. Potensi tersebut adalah pemberian ruang eksistensial terhadap

43

paradigma TI di dalam perpustakaan. Namun karena teks tidak membangun korelasi lebih lanjut, maka konklusi yang diambil teks pun menjadi sebatas alibi atas aktivitas censorship di perpustakaan. Sehingga dalam usaha penentuan basis epistemologi teks menimbulkan kerancuan.

Dampak yang dihasilkan lebih lanjut membuat tataran konseptual teks menjadi absurd. Karena pada teks selanjutnya, di halaman 271 ditemukan

kata “mode”. Kata mode dalam perspektif ruang sosial merupakan representasi dari “gaya hidup”. Dan manusia sebagai makhluk sosial

menganggap gaya hidup sebagai persoalan kebutuhan. Hasil interpretasi ulang peneliti terhadap argumentasi yang diajukan teks adalah terdapat perpustakaan yang menjadikan TI sebagai gaya hidupnya. Ketika perpustakaan bersanding dengan konsep TI maka persoalan yang berbasis teknologi pun mampu diatasi. Dan ternyata berdasarkan penalaran teks AKI, ada perpustakaan yang menjadikan TI sebagai kebutuhan. Realitas tersebut

tercermin pada kalimat “perpustakaan dalam perjalanan hidupnya sering

sangat menggantungkan pada teknologi. Bahkan ilmu perpustakaan

berkembang dengan pendekatan teknologi”.44

Namun karena kelemahan teks yang tidak melakukan upaya korelasional lebih lanjut maka relasi keilmuan antara ilmu perpustakaan dan paradigma TI tidak terbentuk di dalam teks AKI. Sehingga pada akhirnya teks menjadikan fenomena censorship sebagai tameng atas ledakan informasi, ketimbang melakukan upaya penelitian korelasional dengan bidang ilmu lain.

44

Berdasarkan fenomena censorship yang sudah peneliti paparkan, peneliti melihat kemungkinan terjadinya penyempitan jangkauan informasi di perpustakaan. Ketika varietas informasi pasif di dalam perpustakaan sudah dikendalikan, maka dengan demikian, MI setiap individu yang berinteraksi dengan perpustakaan juga telah diatur sedemikian rupa agar tercipta keseragaman intelektual. Proses seleksi yang dialami entitas informasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan MI individu yang memiliki kepentingan di perpustakaan. Sebab, bagi pemustaka yang hendak memenuhi kebutuhan MI-nya akan terbatas dalam memilih sumber informasi karena mungkin saja informasi yang ia butuhkan sudah terkena censor pada tahap seleksi.

Dengan menyeleksi, sejatinya pustakawan telah mengarahkan intelektualitas pemustaka ke arah yang tidak fleksibel dan mengekang. Dalam perspektif pembacaan dekonstruksi dikenal konsep intertekstual yaitu pemaknaan atas teks yang saling berkaitan dengan teks lainnya dan tidak akan pernah mengenal kata usai. Maka ketika variasi informasi di perpustakaan telah dibatasi dengan subjek-subjek pilihan pustakawan, pemustaka akan menemukan hambatan dalam usaha pengembangan MI miliknya, karena kekurangan literatur untuk mengaitkan makna yang hendak dicarinya. Hambatan tersebut terjadi lantaran teks-teks yang tersedia di perpustakaan tidak variatif. Dengan demikian tahap seleksi tersebut adalah salah satu bentuk censorship yang mungkin bisa digunakan sebagai alat untuk pengendalian ideologi seseorang.

Ketika censorship itu sudah terjadi, maka akan tercipta sebuah fenomena dimana perpustakaan bisa menjadi media politik untuk mengatur MI dari pemustakanya. Sebab menurut Emile Durkheim, manusia memiliki sebuah faktor moril yang dinamakan kesadaran altruistik. Adapun yang dimaksud dengan kesadaran altruistik adalah sebuah faktor yang dapat mempengaruhi individu dalam mengambil sebuah keputusan ditengah keberadaannya pada kelompok sosial tempat ia bernaung. Konsep altruistik

ini dikembangkan Durkheim untuk meneliti seberapa besar “pengaruh

lingkungan sosial seseorang yang menentukan orang dalam melakukan bunuh diri.”45

Penelitian tentang bunuh diri mulai dikembangkan pada tahun 1893 dalam bukunya berjudul The Divison Of Labor In Society yang mengkritik klaim utilitarianisme bahwa semakin tinggi pembagian kerja seseorang akan berbanding lurus dengan kemajuan ekonomi yang

dihasilkannya sehingga berimplikasi terhadap “kebahagiaan” yang akan

diperolehnya.46

Namun Durkheim menemukan fakta lain bahwa kemajuan ekonomi negara industri maju justru diikuti oleh tingkat bunuh diri yang semakin besar. Di kemudian hari Durkheim melakukan studi khusus yang membahas tentang gejala bunuh diri yang dilakukan individu-individu pada era tersebut sebagai usaha untuk membuktikan hipotesisnya. Hasil studinya tersebut

45

Anthony Giddens, dkk., Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), h. 46.

46

selanjutnya diterbitkan dengan judul Suicide (1897). Dalam konsep altruistik yang dikembangkan Durkheim dijelaskan:

“Dalam tipe ini kepentingan kolektivitas begitu kuat sehingga sering

ada kecenderungan untuk menempatkan kepentingan pribadi dibawah kepentingan kolektivitas, sampai pada tingkat pengorbanan jiwa, meskipun tidak terdapat suatu keadaan darurat yang menuntut

pengorbanan semacam itu.”47

Argumentasi yang dapat dibangun dari konsep tersebut terhadap penelitian ini adalah ketika kohesi sosial sebuah kelompok sudah tercipta sedemikian kuatnya, maka akan membentuk pola kesadaran yang sama tiap individu didalamnya melalui usaha untuk mendahulukan kepentingan kelompok. Sebagai implikasi, individu di dalam kelompok sosial dihadapkan pada realitas yang membuat dirinya rela untuk meninggalkan kepentingan individualnya. Dengan demikian, kesadaran moril tiap individu akan terikat satu sama lain.

Peneliti berusaha mengejawantahkan konsep altruistik dalam konteks perpustakaan sebagai faktor terjadinya censorship. Pengejawantahan tersebut sebagai berikut, Anto adalah seorang mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan yang baru belajar pada bidang keilmuan perpustakaan. Anto diajarkan berbagai norma yang seharusnya ditegakkan di dalam perpustakaan. Norma-norma tersebut adalah pegangan dalam berkehidupan di dunia perpustakaan kelak. Salah satu norma yang diajarkan ketika proses kuliah yaitu kebutuhan informasi pemustaka. Selama ini dalam keilmuan diyakini bahwa setiap informasi yang dicari pemustaka harus bisa

47

disediakan oleh perpustakaan, hal ini dikarenakan berkaitan dengan output

yang diharapkan yaitu kepuasan pemustaka.

Berbagai pengetahuan yang didapat dari proses transfer keilmuan tadi direkam dengan baik dan tertanam hingga saatnya akan diuji dalam praktek

real dunia perpustakaan. Ketika akan menerapkan gagasan keilmuan yang telah diajarkan di bangku pendidikan, Anto menemui hambatan. Hambatan tersebut bersifat instruktif dan tidak bisa dibantah karena merupakan sebuah peraturan yang mengikat di perpustakaan tempat ia bekerja. Peraturan tersebut mempersempit peluang Anto untuk melakukan usaha pemenuhan kebutuhan informasi pemustaka. Salah satu faktor yang menjadi penyebabnya adalah terbatasnya sumber dana untuk melakukan pengadaan informasi yang selengkap-lengkapnya sebagaimana ilmu yang ia dapatkan pada saat proses pembelajaran. Karena integrasi yang sudah tertanam kuat dalam kelompok sosial, dalam hal ini pustakawan, Anto pada akhirnya harus mengalah atas ilmu pengetahuan yang selama ini ia pelajari dan kemudian merelakan apa yang ia yakini ketika proses pendidikan.

Proses merelakan keinginan individual yang dilakukan Anto secara esensial adalah manifestasi dari bunuh diri altruistik yang Durkheim maksudkan. Pada kasus tersebut Anto tidak mempunyai kuasa yang lebih untuk melawan arus dominasi dari kelompok sosialnya. Sehingga pada akhirnya secara sukarela ia melepaskan kepentingan individualnya dan memutuskan untuk melakukan “bunuh diri”. Sebab, sebagaimana Durkheim kemukakan dalam karyanya yang berjudul Suicide:

“There are no suicides with a more definitely altruistic character. We actually see the individual in all these cases seek to strip himself of his personal being in order to be engulfed in something which he regards as his true essence. The name he gives it is unimportant; he feels that he exists in it and in it alone, and strives so violently to blend himself with it in order to have being. He must therefore consider that he has no life of his own. Impersonality is here carried to its highest pitch;

altruism is acute.”48

Korelasi yang dapat dibangun antara konsep moral altruistik dengan proses censorship adalah, ketika pemustaka sebagai individu membutuhkan informasi pasif kemudian datang ke perpustakaan yang integrasi kelompok sosialnya sudah menjadi padu – praktek pembatasan informasi yang dilakukan pustakawan sudah menjadi hal yang dominan dan lumrah dengan berbagai alasannya – akan berakibat pada terkontrolnya MI pemustaka karena informasi pasif yang ia inginkan sudah terkena proses censorship. Hal ini merupakan hasil refleksi kesadaran altruistik pemustaka yang pada akhirnya menerima realitas bahwa informasi yang dicarinya tidak tersedia di perpustakaan. Dan sebagai gantinya pemustaka harus menerima informasi yang sesungguhnya bukan informasi yang ia butuhkan (garbage information). Fenomena ini merupakan hasil kolaborasi antara kesadaran altruistik pemustaka dengan tingkat subjektivitas pustakawan yang tidak dikendalikan dengan baik – pustakawan akuisisi terus melakukan pengadaan informasi hanya berdasarkan nalurinya dan itu dilakukan secara masif, sedangkan pemustaka hanya mendapatkan bahan bacaan di perpustakaan yang informasi pasifnya merupakan hasil subjektifitas pustakawan akusisi –

48

sehingga efek domino yang dihasilkan adalah perpustakaan akan berubah menjadi sebuah alat politik. Sebuah “alat” yang berkemampuan untuk menentukan ideologi seseorang. Fenomena tersebut merupakan hasil refleksi perpustakaan yang menyimpan informasi pasif yang dibutuhkan manusia guna memenuhi kebutuhan MI-nya. Ketika perpustakaan sudah menjadi alat politik, maka citra negatif secara moral akan melekat pada institusi perpustakaan.

Peneliti menemukan cakupan yang mendukung hipotesis peneliti tentang pendiktean kualitas MI seseorang pada teks AKI, yang menafsirkan

istilah censorship sepadan dengan kata “navigator”.49

Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) kata navigator memiliki arti “orang yang melakukan navigasi”.50

Sedangkan kegiatan navigasi itu sendiri memiliki

pengertian sebagai “tindakan menempatkan haluan kapal atau arah terbang”.

Navigasi adalah sebuah kegiatan yang berkaitan dengan dunia transportasi udara maupun laut. Kegiatan ini bertujuan untuk menunjukkan arah tujuan dari suatu moda transportasi yang biasanya diperbantukan dengan sebuah radar. Jika aktivitas ini diterapkan dalam dunia perpustakaan, ia akan memiliki makna sebagai upaya pengarahan opini yang berhaluan ke sebuah informasi yang diinginkan. Kemudian, jika aktivitas navigasi ini dikaitkan dengan kegiatan pengembangan koleksi perpustakaan maka akan membuktikan adanya upaya pengarahan terhadap varietas bahan informasi.

49

Sudarsono, Antologi Kepustakawanan Indonesia, h. 120. 50

Karena seperti yang sudah peneliti paparkan sebelumnya, akan selalu ada tendensi yang muncul guna memihak kepada informasi pasif tertentu.

Selama ini, pustakawan yakin dan percaya bahwa setiap kegiatan yang dilakukannya jauh dari kegiatan censorship, selalu berpihak kepada kebutuhan pemustaka, dan objektif dalam memilih informasi. Namun pada praktiknya ada hal-hal yang tidak terelakkan dan itu cenderung berjalan tanpa disadari pustakawan. Kerangka logika teks – yang menjadikan ledakan informasi sebagai pembenaran – pada dasarnya telah memberikan representasi bahwa aktivitas censorship memang menjadi bagian kegiatan di perpustakaan. Dengan demikian paradigma anti-bias yang selama ini menjadi pegangan pustakawan telah terbantahkan oleh gagasan teoritis yang diberikan oleh teks. Kemudian fenomena ambiguitas yang hadir sebagai bentuk kritik teks, karena di dalam teks tidak dijelaskan indikator yang harus dipenuhi mengenai kualitas suatu informasi. Selama ini yang pustakawan lakukan adalah melestarikan “narasi-narasi besar” (grand naratives)51 dalam term censorship. Narasi-narasi tersebut kemudian menjadi hegemoni dari siklus hidup informasi pasif di perpustakaan.

Kerancuan pada term censorship tidak berhenti sampai disitu. Masih ada fenomena lain yang menjadi penyebab terjadinya kerancuan. Variabel tersebut bersifat multidimensional sebagai keberadaannya dalam ranah

51

Sebuah strategi intelektual yang mengklaim bahwa ada prinsip-prinsip kebenaran,

Dokumen terkait