• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. Biaya Investasi

Alat Umur teknis (tahun) Harga (Rp)

Drum dryer 5 250.000.000 Disc mill 5 10.000.000 Peralat masak 3 1.000.000 Timbangan 3 200.000 Blender 3 500.000 Mesin sealer 3 250.000

II. Biaya Tetap

Jenis Biaya Rincian Harga (Rp)

Penyusutan peralatan: - Drum dryer 4.166.667 - Disc mill 166.667 - Peralat masak 16.667 - Timbangan 3.333 - Blender 8.333 - Mesin sealer 4.167 Akumulasi penyusutan peralatan 4.365.833 Sewa tempat 10.000.000

Tenaga kerja: pimpinan 2x3.000.000 6.000.000

Karyawan 15x1.500.000 22.500.000

Listrik dan telepon 2.000.000

Total biaya tetap 44.865.833

III. Biaya Variabel

Nama Bahan Jumlah

per hari Jumlah per bulan Harga Satuan (Rp) Harga (Rp) Jagung pipilan (kg) 100 2500 5.000 12.500.000 susu skim bubuk (kg) 75 1875 40.000 75.000.000

minyak sawit (kg) 15 375 12.000 4.500.000 gula halus (kg) 15 375 20.000 7.500.000 premix vitamin (kg) 1 25 100.000 2.500.000 kalsium hidroksida (kg) 1 50 10.000 500.000 kemasan (sachet) 7000 25 500 12.500

Biaya produksi = biaya tetap + biaya variabel

= Rp 44.865.833,00 + Rp 102.512.500,00

= Rp 147.378.333,00

Kapasitas produksi/hari = 7.000 sachet/hari Harga produk/sachet = Rp 1.000,00

Kapasitas produksi/bulan = 7.000 x Rp 25 hari kerja = 175.000 sachet Total penjualan/bulan = 175.000 x Rp 1.000,00 = Rp 175.000.000,00 Keuntungan = total penjualan – biaya produksi

= Rp 175.000.000,00 – Rp 147.378.333,00

ABSTRACT

HERLINA MARTA. Functional and Rheological Properties of Nixtamalized Corn Flour and Its Application on Supplementary Infant Food Production. Supervised by SUGIYONO and BAMBANG HARYANTO

This study was carried out to evaluate changes in functional and rheological properties of corn flour treated by nixtamalization and to apply the nixtamalized corn flour for supplementary infant food production. The corn was nixtamalized using lime at different concentrations (0%, 0,25% and 0,5%) and cooking times (0, 5, 10, 15, and 20 min). The lime concentration and cooking time significantly (p ≤ 0,05) affected functional and rheological properties of corn flour. Swelling volume, solubility, water absorption capacity and gel strength decreased with increasing lime concentration. Gel strength increased with cooking time up to 10 minutes and decreased with prolonged cooking time. Pasting studies showed that the peak viscosity, breakdown and setback of corn flour decreased with increasing lime concentration. Functional and rheological properties of nixtamalized corn flour were affected by Ca-starch interactions. The increasing of water absorption capacity increased swelling volume, solubility, gel strength and peak viscosity and conversely decreased wettability of corn flour. The gel strength had a positive correlation with setback. The nixtamalized supplementary infant food had macro nutritions complied with the standard. It had lower water absorption capacity and higher bulk density than non-nixtamalized supplementary infant food. The nixtamalized supplementary infant food had protein digestibility of 87,36% (db) and starch digestibility of 81,07% (db). Sensory acceptabilities of the nixtamalized supplementary infant food were not significantly different (p ≤ 0,05) from commercial supplementary infant food except smoothness, color and aroma.

Keyword: nixtamalization, corn flour, functional properties, rheological properties, supplementary infant food

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jagung (Zea mays) merupakan salah satu serealia yang strategis dan bernilai ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras. Berdasarkan komposisi kimia dan kandungan zat gizinya, jagung mempunyai prospek sebagai bahan pangan dan bahan baku industri.

Kebutuhan jagung terus meningkat seiring dengan meningkatnya bahan baku untuk pangan maupun pakan. Di Indonesia, produksi jagung sebagai bahan pangan pokok berada di urutan ketiga setelah padi dan ubi kayu. Produksi jagung nasional selama lima tahun terakhir cenderung meningkat yaitu sebesar 12.523.894 ton pada tahun 2005 hingga 17.041.251 ton pada tahun 2009 dengan rata-rata kenaikan 7,21 persen per tahun (BPS 2010). Alternatif produk yang dapat dikembangkan dari jagung mencakup produk olahan segar, produk primer (beras jagung, tepung, dan pati), produk siap santap (marning, emping), dan produk instan (beras jagung instan, pati jagung untuk gula, sirup glukosa, sirup fruktosa, maltosa, sorbitol, bioetanol), sedangkan limbah jagung dapat digunakan sebagai pakan ternak (Richana dan Suarni 2007).

Untuk memenuhi kebutuhan jagung untuk dikonsumsi langsung, masyarakat di beberapa daerah membuat tepung jagung dengan peralatan sederhana dengan menggunakan metode perendaman dan tanpa perendaman. Perendaman dilakukan dengan tujuan untuk melunakkan endosperm yang bersifat keras (horny endosperm) sehingga lebih memudahkan pada proses pengolahannya. Beberapa pabrik pengolahan jagung menghasilkan tepung jagung (40 dan 50 mesh) sebagai produk samping (10%) disamping grits jagung (8, 12, 16, 24 mesh) sebagai produk utama yang digunakan sebagai bahan baku snack jagung (Pusat Teknologi Agroindustri BPPT 2008). Tepung jagung dipilih sebagai langkah awal diversifikasi jagung karena memiliki beberapa keunggulan antara lain: (i) tepung jagung lebih luas penggunaannya sebagai bahan baku dalam pembuatan berbagai macam produk olahan pangan; (ii) penyimpanan tepung lebih mudah dan umur simpan lebih lama; (iii) adanya defisiensi beberapa zat gizi dapat lebih mudah

difortifikasi atau disuplementasi jika dalam bentuk tepung; dan (iv) lebih mudah bercampur dengan bahan lain (komposit).

Salah satu metode pembuatan tepung jagung adalah melalui proses nikstamalisasi yaitu proses pemasakan biji jagung dalam larutan kapur biasanya Ca(OH)2, kemudian dilakukan perendaman dalam larutan yang sama selama beberapa jam, dilanjutkan dengan pengeringan, pengecilan ukuran dan pengayakan. Proses ini memiliki beberapa keuntungan antara lain memudahkan proses pelepasan perikarp dan lembaga, memberikan flavor dan tekstur khas yang diinginkan (Rooney & Serna-Saldivar 2003; Johnson 2000), meningkatkan aroma produk olahan, memudahkan proses penggilingan, meningkatkan nilai zat gizi, dan mengurangi kandungan mikotoksin (Wikipedia 2010).

Informasi mengenai sifat fungsional dan reologi tepung sangat bermanfaat dalam aplikasi untuk mendisain beberapa produk pangan yang cocok dibuat berdasarkan sifat-sifat tersebut. Beberapa penelitian mengenai sifat fungsional dan reologi berbagai jenis tepung sudah banyak dilakukan di antaranya sifat fungsional tepung beras (Kadan et al. 2003), sifat fungsional tepung gandum (Graybosch et al. 2003), sifat reologi tepung gandum (Hallén et al. 2004), sifat reologi tepung ubi jalar (Chun & Yoo 2006), sifat fungsional tepung sorgum (Elkhalifa et al. 2005). Begitu juga dengan penelitian mengenai pengaruh nikstamalisasi terhadap biji, pati maupun tepung jagung juga sudah banyak dilakukan di antaranya pengaruh nikstamalisasi terhadap sifat termal dan fisikokimia tepung jagung (Ruiz-Gutiérrez et al. 2010), struktur kristalin pati jagung (Mondragón et al. 2004), difusi kalsium ke dalam biji jagung (Fernández- Muñoz et al. 2006), kandungan aflatoksin pada biji jagung (Mendéz-Albores et al. 2004). Namun, informasi mengenai sifat fungsional dan reologi tepung jagung nikstamal yang mengalami proses pragelatinisasi menggunakan drum dryer masih terbatas.

Tepung pragelatinisasi atau tepung instan adalah tepung yang telah mengalami proses pemasakan atau gelatinisasi terlebih dahulu sebelum dikeringkan agar bersifat mudah terdispersi di dalam air dingin membentuk suspensi yang stabil. Menurut Linden & Lorient (1995), penerapan tepung pragelatinisasi untuk produk instan sudah meluas di bidang industri makanan,

diantaranya pada tahap preparasi berbagai produk instan seperti saus, flake,

powder food, crackers, snack dan sebagainya. Sifat fungsional yang harus dimiliki oleh tepung pragelatinisasi adalah kelarutan yang tinggi, sifat dispersi yang baik dan kemudahan untuk dicerna.

Dalam penelitian ini, tepung jagung nikstamal pragelatinisasi digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan makanan pendamping air susu ibu (MP- ASI) dalam bentuk bubur instan. Aplikasi tepung pragelatinisasi sebagai bahan dasar pembuatan bubur instan MP-ASI bertujuan untuk memudahkan proses preparasi bubur tersebut dan kemudahan untuk dicerna oleh bayi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Mendéz-Montealvo et al. (2008), tepung jagung yang dibuat melalui proses nikstamalisasi memiliki viskositas yang lebih rendah dibandingkan tepung jagung tanpa proses nikstamalisasi serta menghasilkan gel yang lebih lunak. Sifat tepung jagung nikstamal ini cocok digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bubur instan MP-ASI, dimana pada makanan bayi tidak diinginkan viskositas yang terlalu tinggi agar makanan bayi yang dihasilkan bebas gumpalan, mudah disuapkan dengan sendok dan mudah ditelan oleh bayi.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan sifat fungsional dan reologi tepung jagung yang disebabkan oleh proses nikstamalisasi. Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh berbagai kondisi proses nikstamalisasi terhadap sifat fungsional dan reologi tepung jagung nikstamal yang dihasilkan.

2. Mengetahui karakteristik kimia, fisik, daya cerna dan organoleptik bubur instan MP-ASI yang dibuat dari bahan baku tepung jagung nikstamal.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menunjang optimalisasi produksi tepung jagung dan aplikasinya pada produk-produk pangan. Selain itu dengan mengetahui informasi mengenai sifat fungsional dan reologi tepung jagung nikstamal diharapkan dapat dipilih produk pangan yang cocok dibuat berdasarkan sifat-sifat tersebut serta meningkatkan nilai ekonomis jagung sebagai upaya diversifikasi pangan.

k u e c d m ( G m p t t t Biji ja kulit biji ata utama, yaitu embrio dari cadangan m dan 10% pro miniatur tan (Hardman & Gambar 1. menghubung Gam Perika proses pemb tipis, tetapi taraf tertentu testa/aleuron agung disebu au testa, mem u (a) perika organisme makanan, me otein, minera naman yang & Gunsolus Selain itu b gkan biji den

mbar 1 Biji j arp merupak bentukan bij sel-sel ini b u lapisan ini n yang seca TINJA B ut kariopsis, mbentuk din arp, berupa pengganggu encapai 75% al, minyak, d terdiri atas p s 1998). Ba biji jagung j ngan tongko agung dan b kan lapisan p i. Pada wak berkembang membentuk ara morfolo AUAN PUST Biji Jagung , dinding ov nding buah. B lapisan luar u dan kehila % dari bobot dan lainnya; plamule, aka agian-bagian juga menga l (Rooney & bagian-bagia pembungkus ktu kariopsis seiring deng k membran y gi adalah b TAKA

vari atau per Biji jagung r yang tipis angan air; (b t biji yang m dan (c) emb ar radikal, s n biji jagun andung tip c & Serna-Sald annya (Subek s biji yang masih mud gan bertamb yang dikenal bagian endo rikarp menya terdiri atas t s, berfungsi b) endosperm mengandung brio (lembag cutelum, da ng dapat di cap yaitu ba divar 2003). kti et al. 200 berubah cep da, sel-selnya bahnya umur l sebagai ku osperm. Bob atu dengan tiga bagian mencegah m, sebagai g 90% pati ga), sebagai an koleoptil ilihat pada agian yang 07) pat selama a kecil dan r biji. Pada lit biji atau bot lapisan

aleuron sekitar 3% dari keseluruhan biji. Perikarp merupakan lapisan luar biji yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron. Lapisan aleuron mengandung 10% protein (Subekti et al. 2007).

Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu sekitar 85% yang hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat dari bagian yang lunak (floury endosperm) dan bagian yang keras (horny endosperm). Pati endosperm tersusun dari senyawa anhidroglukosa yang sebagian besar terdiri atas dua molekul, yaitu amilosa dan amilopektin, dan sebagian kecil bahan antara (White 2001). Namun pada beberapa jenis jagung terdapat variasi proporsi kandungan amilosa dan amilopektin. Sel endosperma memiliki lapisan alueron yang merupakan pembatas antara endosperma dan bagian kulit.

Terdapat 6 tipe utama biji jagung antara lain dent corn, flint corn, flour corn, sweet corn, pop corn dan pod corn. Perbedaan utama dari masing-masing jenis ini berdasarkan kualitas, kuantitas dan susunan komposisi endospermnya. Masing-masing tipe bervariasi dalam hal warna perikarpnya, yang paling umum adalah kuning dan yang lainnya warna putih, merah atau biru. Warna biji jagung tertentu dapat menghasilkan produk-produk khas tertentu seperti blue corn flour

atau blue tortillachip atau red tortilla chip (Johnson 2000).

Menurut Suprapto dan Marzuki (2005) diacu dalam Hatorangan (2007), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan semi mutiara (semiflint), seperti jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (semi mutiara), Pioner-2 (semi-mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara) dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara dan semi mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn) dan jagung manis (sweet corn).

Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989) diacu dalam Juniawati (2008) jenis jagung semiflint (semi mutiara) lebih mudah dibuat tepung dibandingkan tepung mutiara. Hal ini disebabkan jagung semi mutiara mengandung endosperma lunak yang lebih banyak dibandingkan endosperma kerasnya. Endosperma keras terdiri dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat, sedangkan endosperma lunak susunan sel-selnya tidak serapat bagian keras.

Beberapa cara pemanfaatan biji jagung untuk meningkatkan nilai gunanya antara lain melalui: (i) proses fraksinasi, yaitu pemisahan jagung menjadi komponen-komponen fraksinya yang digunakan sebagai ingredien dalam pembuatan produk pangan dengan cara penggilingan kering maupun penggilingan basah; (ii) proses konversi, yaitu mengolah lebih lanjut komponen fraksi menjadi ingredien yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi atau produk olahan industri, seperti konversi pati secara enzimatis menjadi gula atau fermentasi gula menjadi etanol, dan (iii) proses refabrikasi, yaitu mengkombinasikan produk- produk jagung dengan ingredien lain untuk menghasilkan “engineered food” atau

“refabricated food” atau produk olahan industri (Johnson 2000).

Kent dan Evers (1994) menjelaskan bahwa biji jagung dapat digunakan untuk penghasil pati, sirup dan gula, industri minuman keras dan whisky. Produk hasil penggilingan biji jagung termasuk grits, meal dan tepung (dan produk turunannya), protein, dan corn steep liquor. Makanan siap santap seperti corn flakes juga dapat dibuat dari grits jagung.

Tepung Jagung

Jagung dapat diproses lebih lanjut menjadi produk pangan diantaranya tepung jagung, minyak dan pati jagung. Secara umum terdapat dua metode pembuatan tepung jagung yaitu metode basah dan metode kering. Pada metode basah, biji jagung yang telah disosoh direndam dalam air selama 4 jam lalu dicuci, ditiriskan dan diproses menjadi tepung menggunakan mesin penepung, sedangkan pada metode kering biji jagung yang telah disosoh langsung ditepungkan artinya tanpa perendaman (Suarni 2009). Berdasarkan hasil penelitian Suarni et al.

(2001), penepungan dengan metode basah (perendaman) menghasilkan rendemen tepung yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode kering (tanpa perendaman), namun kandungan nutrisi pada penepungan dengan metode kering lebih tinggi.

Pada prinsipnya penggilingan biji jagung menjadi tepung adalah proses pemisahan perikarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan proses pengecilan ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung karena kandungan seratnya tinggi sehingga membuat tepung bertekstur kasar. Pada proses pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa

pemisahan lembaga akan menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap atau bagian pangkal juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Pada pembuatan tepung, endosperm merupakan bagian yang digiling menjadi tepung.

Kandungan zat gizi tepung jagung cukup baik. Berdasarkan hasil penelitian Suarni (2009), kadar protein tiga varietas jagung (Anoman-1, Srikandi Putih-1, dan lokal) berkisar 7,54-7,89% pada metode kering dan 6,70-7,24% pada metode basah. Kadar lemak tepung 2,05-2,38% pada metode kering lebih tinggi dibandingkan metode basah yang hanya 1,86-2,08%. Kadar lemak yang rendah akan menguntungkan dari segi penyimpanan karena tepung dapat disimpan lebih lama. Kadar serat kasar tepung hasil pengolahan kering (1,29-1,89%) lebih tinggi dibandingkan dengan metode basah (1,05-1,06%). Kadar serat mengalami penurunan dari biji jagung menjadi tepung. Tepung jagung juga mengandung serat makanan yang dibutuhkan tubuh, bahkan jagung kuning mengandung beta karoten (provitamin A) dan jagung merah mengandung unsur Fe.

Mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) disajikan pada Tabel 1. Kriteria fisik mutu tepung (bau, rasa, warna) harus normal, yaitu bau spesifik jagung, rasa khas jagung, warna sesuai dengan varietas jagung (putih, kuning), dan secara umum sesuai spesifik bahan aslinya.

Tepung jagung dapat digunakan dalam pembuatan berbagai produk pangan antara lain roti, muffins, donat, pancake, makanan bayi, biskuit, wafer, sereal sarapan siap saji dan juga sebagai bahan pengisi dan pengikat dalam produk olahan daging (Kent & Evers, 1994).

Tabel 1 Syarat mutu tepung jagung berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI)

Kriteria uji Satuan Persyaratan

Bau Rasa Warna Benda asing Serangga

Pati lain selain jagung Kehalusan Lolos 80 mesh Lolos 60 mesh Air Abu Silikat Serat kasar Derajat asam Timbal Tembaga Seng Raksa Cemaran arsen Angka lempeng total E.coli Kapang - - - - - - % % % (b/b) % (b/b) % (b/b) % (b/b) ml N NaOH/100 g mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/g APM/g koloni/g Normal Normal Normal Tidak boleh Tidak boleh Tidak boleh Minimum 70 Maksimum 99 Maksimum 10 Maksimum 1,50 Maksimum 0,10 Maksimum 1,50 Maksimum 4 Maksimum 1 Maksimum 10 Maksimum 40 Maksimum 0,05 Maksimum 0,50 Maksimum 5 x 106 Maksimum 10 Maksimum 104 Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1993)

Pati Jagung

Pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang kandungan bahan kimianya masih lengkap. Perbedaan yang signifikan terutama pada kandungan protein, lemak, dan kadar abu. Pada tepung jagung komposisinya masih lengkap sedangkan pada pati jagung sudah dipisahkan serta sebagian hilang pada proses pencucian.

Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan terutama karena mensuplai kebutuhan energi manusia dengan porsi tinggi. Lebih dari 80% tanaman pangan terdiri dari biji-bijian dan tanaman sumber pati lainnya. Dalam bentuk aslinya, pati secara alami merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati sehingga dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula, karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum serta permukaan granulanya (Jobling 2004).

Pati merupakan komponen utama biji jagung yaitu sekitar 72-73% dari berat biji. Karbohidrat lain berada sebagai gula sederhana seperti glukosa, sukrosa dan fruktosa dengan jumlah yang bervariasi antara 1-3% dari berat biji. Pati jagung terdiri atas dua polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Rasio amilosa dan amilopektin ini memengaruhi karakteristik pati jagung. Jumlah amilosa dan amilopektin bervariasi berdasarkan jenis jagungnya (Shandu et al. 2004).

Terdapat 3 jenis pati jagung alami antara lain: (i) normal starch, (ii) waxy starch, dan (iii) high amylose starch. Pati normal jagung tipe dent mengandung amilosa 26-28% dan amilopektin 72-74%; tipe waxy mengandung amilopektin 99% dan amilosa 1%; dan tipe amylomaize mengandung amilopektin 20-50% dan amilosa 50-80%. Jagung jenis waxy dan amylomaize diproduksi untuk menghasilkan pati dengan sifat tertentu. Pati normal dan pati termodifikasi dari jagung jenis waxy diproduksi secara luas karena memiliki viskositas pasta, stabilitas termal dan stabilitas pH yang tinggi serta sifat-sifat lainnya (Johnson 2000).

Gabungan polimer amilosa dan amilopektin pada suhu rendah akan menurunkan ikatan air dan secepatnya membentuk gel. Kandungan amilosa yang tinggi akan membentuk gel yang kokoh (firm) dan gelap (opaque) sebaliknya jika kandungan amilopektinnya yang tinggi akan menghasilkan gel yang lembut dan pasta pati yang transparan (Mauro et al. 2003). Beberapa sifat amilosa dan amilopektin dari pati alami jagung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Beberapa sifat amilosa dan amilopektin pada pati normal jagung

Sifat Amilosa Amilopektin

Berat molekul (Dalton) 1-2 x 105 >2 x 107 Tingkat polimerisasi (DPN-jumlah

residu glukosa)

990 7200 Ikatan glikosida Umumnya α-D-(1,4) α-D-(1,4), α-D-(1,6)

Bentuk molekul Linier Bercabang

Kecenderungan untuk teretrogradasi Tinggi Rendah Lambda max of iodine complex 644 nm 554 nm

Afinitas iodin 20,1 g/100 g 1,1 g/100 g

Sumber: White (2001)

Bentuk granula juga merupakan ciri khas masing-masing pati. Pati jagung mempunyai ukuran granula yang cukup besar dan tidak homogen, yaitu untuk yang kecil 1-7 µm dan untuk yang besar 15-20 µm. Granula besar berbentuk oval

polihedral dengan diameter 6-30 µm. Granula pati yang berukuran kecil mempunyai ketahanan yang lebih rendah terhadap perlakuan panas dan air dibanding granula yang besar (Singh et al. 2005). Pati jagung memperlihatkan sifat birefrinjen jika diamati di bawah mikroskop polarisasi. Granula pati mengandung daerah kristalin dan amorphous (Johnson, 2000).

Proses Nikstamalisasi

Nikstamalisasi merupakan proses tradisional Meksiko yang dikembangkan oleh peradaban Mesoamerika dan masih digunakan dalam produksi tortila dan produk-produk pangan lain yang menggunakan jagung sebagai bahan bakunya (Rooney & Serna-Saldivar 2003). Menurut Wikipedia (2010), nikstamalisasi merupakan proses penyiapan jagung atau biji-bijian lain, dimana biji direndam dan dimasak dalam larutan alkali, biasanya larutan kapur dan dilakukan pelepasan kulit. Lebih jelasnya nikstamalisasi menurut Johnson (2000) adalah metode pengolahan jagung secara tradisional dengan cara memasak biji jagung dalam larutan kapur 1% dengan suhu 90-110 0C selama 10-15 menit, kemudian biji jagung tersebut direndam dalam larutan yang sama selama semalam. Rooney dan Serna-Saldivar (2003) menjelaskan biji jagung yang telah mengalami proses nikstamalisasi kemudian dicuci untuk menghilangkan sisa larutan kapur dan jaringan perikarp kemudian digiling menggunakan stone grinder untuk menghasilkan adonan yang disebut “masa”. Masa merupakan bahan baku dalam pembuatan produk tradisional Meksiko seperti tamales, pozole, atoles, tortillas, corn chips, tortilla chips dan lain-lain.

Nikstamalisasi terdiri dari 2 tahap yaitu pertama, biji jagung dimasak dalam larutan alkali (kalsium hidroksida) dan kedua, perendaman biji jagung tersebut dalam larutan yang sama selama beberapa jam. Pada proses secara tradisional, biji jagung kemudian dibilas untuk menghilangkan kelebihan kalsium hidroksida (Fernández-Muñoz et al. 2006). Lamanya pemasakan sangat penting diperhatikan untuk mendapatkan tekstur optimum yang diinginkan, jika terlalu banyak jumlah pati yang tergelatinisasi akan menghasilkan tekstur yang lengket, menyebabkan kesulitan dalam penanganan adonan (Johnson 2000).

Proses nikstamalisasi ini memberikan beberapa keuntungan antara lain: memudahkan proses pelepasan perikarp dan lembaga, meningkatkan gelatinisasi granula pati, memberikan flavor dan tekstur khas yang diinginkan (Rooney & Serna-Saldivar 2003; Johnson 2000), meningkatkan aroma, memudahkan proses penggilingan, meningkatkan nilai zat gizi, dan mengurangi kandungan mikotoksin (Wikipedia 2010). Dengan adanya beberapa keuntungan dari proses nikstamalisasi menyebabkan proses ini menjadi tahap pendahuluan yang sangat penting bagi jagung yang akan mengalami proses pengolahan lebih lanjut menjadi produk pangan. Proses nikstamalisasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode tradisional ataupun metode industri dalam produksi tortilla, tamales, corn chips, hominy dan lain-lain.

Perlakuan alkali-panas yang digunakan dalam proses nikstamalisasi dapat memengaruhi komponen dinding sel yaitu merubah hemiselulosa menjadi gums yang larut. Perlakuan ini memiliki beberapa fungsi seperti untuk menggelatinisasi pati, saponifikasi bagian lipid, dan juga untuk melarutkan beberapa protein yang terdapat di sekitar granula pati. Nikstamalisasi secara khas memengaruhi sifat reologi dan tekstur produk (Rooney & Serna-Saldivar 2003).

Pemasakan adalah tahapan yang kritis pada proses nikstamalisasi. Banyak variasi bahan dan proses yang menentukan tingkat pemasakan jagung termasuk kualitas karakteristik dari jagung, interaksi antara suhu pemasakan, lama pemasakan, lama perendaman, dan konsentrasi larutan kapur. Selama pemasakan,

Dokumen terkait