• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

K. Pembuatan Material Selulosa Bakteri+Gliserol+ Chitosan (SGK)

2. Analisis Gugus Fungsi dengan Instrumen FT-IR

Analisis ini bertujuan untuk melihat adanya interaksi antara gliserol dan

chitosan dengan selulosa bakteri seiring dengan penambahan kedua bahan tersebut. Apabila ada interaksi maka akan terlihat adanya perbedaan dari spektra masing-masing biomaterial dan melalui spektra-spektra ini dapat diinterpretasikan gugus-gugus fungsi dari tiap-tiap biomaterial. Berikut ini disajikan spektra IR dari serbuk chitosan, selulosa bakteri, selulosa bakteri+gliserol dan selulosa bakteri+gliserol+chitosan.

Gambar 14. Spektra serbuk chitosan

Pemeriksaan gugus fungsi dari chitosan dilakukan karena selama penelitian ini, hampir seluruhnya menggunakan chitosan. Selain itu spektra serbuk chitosan

ini digunakan sebagai kontrol pembanding antara selulosa bakteri dengan selulosa bakteri+gliserol+chitosan. Jika terjadi interaksi antara selulosa bakteri dengan

chitosan maka dapat dibandingkan spektranya dengan spektra dari selulosa bakteri maupun selulosa bakteri+gliserol. Selain itu berdasarkan spektra serbuk

chitosan dapat dihitung pula nilai derajat deasetilasi (DD) dari chitosan yang digunakan.

Berdasarkan perhitungan dengan metode baseline, chitosan yang digunakan memiliki DD 73,78%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pillai, Paul dan Sharma (2009) yang menyatakan bahwa chitosan merupakan hasil deasetilasi chitin dengan derajat deasetilasi 60-90%. Pengaruh pemberian gliserol dan chitosan terhadap spektra IR dari selulosa bakteri ditunjukkan melalui Gambar 15.

Gambar 15. Hasil spektra IR biomaterial S, SG dan SGK

Keterangan: S=selulosa bakteri, SG= selulosa bakteri+gliserol, SGK= selulosa bakteri+gliserol+chitosan

Gambar 15 menunjukkan adanya perbedaan serapan dari masing-masing sampel. Melalui perbedaan serapan dari masing-masing sampel ini dapat diinterpretasikan gugus-gugus fungsi yang terdapat dalam masing-masing sampel. Hasil interpretasi spektra IR dari masing-masing sampel disajikan dalam Tabel VI.

Tabel VI. Hasil interpretasi gugus fungsi dari sampel biomaterial No. Sampel Bilangan

Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi 1 S 3441,01 -OH 2931,80 -CH Alifatik 1627,92 C=O stretching 1350,17 –CH3 bending vibrations 1072,42 β-1,4-Glikosidik 2 SG 3464,15 -OH 2931,80 -CH Alifatik 1342,46 –CH3 bending vibrations 1026,13 β-1,4-Glikosidik

3 SGK 3425,58 -OH and –NH stretching

2931,80 -CH Alifatik

1635,64 C=O stretching

1566,20 –NH bending (amide II) 1342,46 –CH3 bending vibrations

1064,71 β-1,4-Glikosidik

Gambar 15 menunjukkan dengan adanya penambahan gliserol pada selulosa bakteri ini akan menyebabkan terjadinya pelebaran dan penajaman dari puncak gugus -OH dari selulosa bakteri di sekitar bilangan gelombang 3400 cm-1, selain itu pada spektra SG ini tidak ditemukan adanya puncak dengan intensitas kuat di sekitar daerah 1600 cm-1. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan gliserol ini akan mempengaruhi gugus fungsi dari selulosa bakteri. Selain itu dengan penambahan gliserol ini akan menyebabkan terjadinya pergeseran puncak gugus –OH dari selulosa bakteri yang semula berada di sekitar daerah 3441,01

cm-1 bergeser menjadi di sekitar daerah 3464,15 cm-1. Adanya pergeseran puncak ini menandakan terjadinya penambahan gugus –OH dari gliserol terhadap gugus

–OH selulosa bakteri.

Adanya pelebaran dan penajaman pada puncak spektra IR selulosa bakteri yang ditambah gliserol ini menunjukkan bahwa selulosa bakteri ini berinteraksi dengan gliserol. Pelebaran puncak ini disebabkan adanya penambahan gugus –OH dari gliserol sedangkan penajaman dari puncak menandakan adanya peningkatan intensitas dari gugus –OH selulosa bakteri ketika ditambah dengan gliserol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rohaeti dan Rahayu (2012), yang menyatakan bahwa lebarnya puncak pada spektrum yang terbaca menunjukkan terjadinya ikatan hidrogen antara gliserol dengan selulosa. Adanya peningkatan intensitas gugus fungsi –OH dari selulosa bakteri ketika ditambah dengan gliserol akan berkaitan dengan sifat mekanik selulosa bakteri tersebut. Hubungan antara intensitas dengan sifat mekanik dari sampel ini dapat diketahui dengan menghitung nilai absorbansi gugus fungsi dari setiap sampel. Tabel VII menyajikan nilai absorbansi dari tiap gugus fungsi untuk setiap sampel:

Tabel VII. Hasil absorbansi selulosa bakteri, selulosa bakteri+gliserol dan selulosa bakteri+gliserol+chitosan

No. Sampel Gugus Fungsi Absorbansi

1 S -OH 0,17 C=O 0,027 2 SG -OH 0,35 C=O 8,47 x 10-3 3 SGK -OH 0,27 C=O amida 0,033

Keterangan: S = selulosa bakteri, SG = selulosa bakteri+gliserol, SGK = Selulosa bakteri+gliserol+chitosan

Tabel VII menunjukkan terjadinya peningkatan absorbansi dari gugus –OH dan penurunan absorbansi gugus C=O dari selulosa bakteri ketika ditambah dengan gliserol. Hal ini akan mendukung terjadinya peningkatan persen perpanjangan dari selulosa bakteri ketika ditambah dengan gliserol jika dibandingkan dengan persen perpanjangan dari selulosa bakteri serta peningkatan stabilitas termal dari selulosa bakteri ketika ditambah dengan gliserol jika dibandingkan dengan stabilitas termal dari selulosa bakteri.

Gambar 15 menunjukkan dengan penambahan chitosan ini akan menyebabkan terjadinya pelebaran dan penajaman dari puncak gugus –OH dari selulosa bakteri di sekitar bilangan gelombang 3400 cm-1. Adanya pelebaran puncak ini menunjukkan kemungkinan terjadinya overlapping antara gugus –OH dengan gugus –NH2. Hal ini sesuai dengan penelitian yang diungkapkan oleh Anicuta et. al. (2010) yang menemukan adanya pergeseran pita absorbansi yang semula di sekitar 3350,71 cm-1 bergeser menjadi 3349,75 cm-1 dan menjadi semakin lebar yang mengindikasikan adanya kemungkinan overlapping antara interaksi hidrogen dari gugus –OH dengan -NH2. Lalu jika dilihat dari Tabel VI, maka terlihat adanya serapan di sekitar daerah 1635,64 cm-1 dan 1566,20 cm-1 yang menunjukkan adanya C=O stretching (Amida I) dan –NH bending (Amida II) yang merupakan ciri khas dari gugus C=O amida I dan gugus NH amida II yang terdapat di chitosan, yang menunjukkan gugus amida dari chitin yang belum terdeasetilasi sempurna. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Stefanescu et. al. (2012) dalam penelitiannya bahwa telah ditemukan pita baru di sekitar daerah

1640 cm-1 atau 1643 cm-1 dan di sekitar daerah 1565 cm-1 yang menunjukkan adanya C=O stretching (Amida I) dan –NH bending (Amida II).

Terjadinya penajaman puncak gugus –OH ini menunjukkan adanya interaksi yang terjadi antara gugus –OH dari selulosa bakteri dengan chitosan yang akan ditunjukkan dengan meningkatnya intensitas gugus –OH dari selulosa bakteri setelah ditambah dengan chitosan. Adanya peningkatan intensitas ini ditunjukkan dengan peningkatan dari absorbansinya.

Tabel VII menunjukkan terjadinya peningkatan absorbansi dari gugus –OH dan peningkatan absorbansi gugus C=O dari selulosa bakteri ketika ditambah dengan chitosan. Hal ini menunjukkan terjadinya ikatan hidrogen antara chitosan

dengan selulosa bakteri serta terjadinya penambahan gugus C=O dari chitosan

yang berasal dari chitin yang belum tedeasetilasi dengan sempurna. Adanya ikatan hidrogen yang terbentuk ini akan mempengaruhi sifat mekanik (nilai kuat tarik) dan stabilitas termal dari selulosa bakteri. Seiring dengan meningkatnya jumlah ikatan hidrogen yang terbentuk maka stabilitas termal dari selulosa bakteri yang ditambah chitosan ini akan meningkat jika dibandingkan dengan stabilitas termal dari selulosa bakteri dan sifat mekanik dari selulosa bakteri khususnya nilai kuat tarik dari selulosa bakteri yang ditambah chitosan ini juga akan meningkat secara teori jika dibandingkan dengan nilai kuat tarik dari selulosa bakteri.

Dokumen terkait