• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

K. Pembuatan Material Selulosa Bakteri+Gliserol+ Chitosan (SGK)

7. Analisis Kristalinitas dengan XRD

Uji ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian gliserol dan chitosan

terhadap kristalinitas dari selulosa bakteri. Kristalinitas dari suatu polimer ini akan berkaitan erat dengan sifat mekanik yang dimiliki oleh polimer tersebut.

Selulosa bakteri dan chitosan merupakan suatu polimer alam sehingga memiliki nilai kristalinitas tertentu. Selulosa bakteri merupakan suatu polimer

yang memiliki nilai kristalinitas yang tinggi. Menurut Cai et. al. (2009), selulosa bakteri memiliki kristalinitas tinggi (70-90%) sedangkan chitosan merupakan suatu polimer yang bersifat semikristalin (Saputro dkk., 2009), sehingga melalui uji ini apabila ada pengaruh maka akan terlihat adanya perbedaan dari difraktogram yang dihasilkan dari selulosa bakteri maupun selulosa bakteri+gliserol+chitosan beserta adanya perbedaan dari kristalinitas masing-masing sampel. Berikut disajikan Gambar 22., yang merupakan difraktogram dari masing-masing sampel.

Gambar 22.b. Difraktogram selulosa bakteri+gliserol+chitosan

Gambar 22.a menunjukkan adanya empat buah puncak dengan intensitas

tinggi pada sudut 2θ = 18,10

; 22,80; 31,70 dan 33,80. Adanya puncak-puncak

tertinggi pada sudut 2θ ini sesuai dengan penelitian yang dikemukakan oleh

Meshitsuka dan Isogai (1996) beserta Hon (1996) yang menyatakan bahwa signal difraksi yang utama dari selulosa bakteri terdapat di sekitar daerah 2θ = 16,80; 22,60; 33,70; 34,90 dimana pada daerah tersebut selulosa bakteri ini memiliki fase kristalin pada bidang 101,002 dan 040 sedangkan perkiraan nilai persen kristalinitas dari selulosa bakteri ini adalah 72%. Persen kristalinitas selulosa bakteri dihitung dengan pendekatan luas segitiga. Luas kristal + luas amorf diperoleh dari luas total dibawah kurva – luas background lalu luas kristal dihitung dengan mengalikan tinggi puncak dengan FWHM yang diperoleh. Setelah mendapat luas kristal maupun luas kristal+luas amorf, lalu persen kristalinitas dihitung menggunakan Persamaan (4). Perhitungan ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Purmana dan Firman (2006), yang menyatakan

bahwa dengan penghilangan background dikurangi dengan penghilangan amorf akan mendapatkan fraksi luas kristalin.

Gambar 22.b menunjukkan adanya puncak dengan intensitas lemah pada sudut 2θ = 14,20

. Adanya puncak ini menunjukkan adanya chitosan yang berinteraksi dengan selulosa bakteri, hal ini sesuai dengan penelitian yang dikemukakan oleh Samuels (1981), yang menyatakan bahwa chitosan dengan BM rendah maupun tinggi ini memiliki puncak pada difraktogram di sekitar daerah 2θ

= 120. Selain itu adanya puncak dengan intensitas tinggi di sekitar daerah 2θ =

22,80; 31,80 dan 32,20 ini menunjukkan adanya fase kristalin dari selulosa bakteri pada bidang 002 dan 040 sedangkan perkiraan nilai kristalinitas dari selulosa bakteri+gliserol+chitosan adalah 63%.

Adanya penurunan nilai kristalinitas dari 72% menjadi 63% menunjukkan bahwa chitosan berinteraksi dengan selulosa bakteri, hal ini akan diperkuat dengan melihat profil spektra IR-nya selain itu hal ini sesuai dengan penelitian yang dikemukakan oleh Zhijiang et. al. (2011) chitosan mampu menurunkan kristalinitas dari selulosa bakteri karena adanya keberadaan chitosan yang bersifat amorf dan ternyata penambahan gliserol ternyata tidak mampu menaikkan kristalinitas dari selulosa bakteri, hal ini bertentangan dengan penelitian yang dikemukakan oleh Suyatma dkk. (2005), yang menyatakan bahwa dengan sedikit penambahan plasticizer ini dapat meningkatkan kristalinitas dari suatu polimer, sehingga dengan penambahan gliserol ini seharusnya akan meningkatkan kristalinitas dari selulosa bakteri. Hal ini kemungkinan disebabkan karena daerah amorf dari chitosan berperan sangat dominan dalam menambah daerah amorf

pada selulosa bakteri sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap struktur tiga dimensi dari rantai polimer selulosa bakteri yang sangat kompleks jika dibandingkan dengan pemutusan rantai polimer yang terjadi pada selulosa bakteri akibat adanya gliserol yang kemungkinan terjadi beberapa pemutusan rantai hanya di beberapa rantai sehingga ketika terjadi interaksi antara gliserol dan chitosan

dengan selulosa bakteri ini, kristalinitas dari selulosa bakteri ini tetap turun. Namun adanya pemberian gliserol yang dapat meningkatkan kristalinitas dari selulosa bakteri ini masih perlu dilakukan kajian dan penelitian lebih lanjut.

Adanya penurunan kristalinitas ini juga akan berpengaruh terhadap sifat mekanik dari selulosa bakteri sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhijianget. al. (2011), yang menyatakan bahwa selulosa bakteri yang memiliki kristalinitas tinggi memiliki hubungan dengan tingginya sifat mekanik dari selulosa bakteri tersebut.

M.Sterilisasi Produk

Proses sterilisasi ini bertujuan untuk membunuh mikroorganisme-mikroorganisme yang kemungkinan akan mengkontaminasi biomaterial yang dibuat. Adanya kontaminasi dari mikroorganisme lain pada biomaterial yang dibuat sangat berpotensi dapat menyebabkan timbulnya infeksi pada luka yang akan ditutup oleh biomaterial. Oleh karena itu, sebelum diaplikasikan maka biomaterial ini harus disterilisasi terlebih dahulu. Sterilisasi yang digunakan untuk suatu material penutup luka biasanya menggunakan proses sterilisasi dengan radiasi sinar gamma. Alasannya adalah karena sinar gamma merupakan suatu sinar yang sifatnya inert sehingga tidak akan mengubah komposisi penyusun dari

material. Selain itu energi yang dihasilkan juga cukup tinggi sehingga energi ini dapat digunakan untuk merusak struktur sel suatu makhluk hidup. Namun karena keterbatasan dari peralatan yang ada maka proses sterilisasi yang dipilih adalah sterilisasi dengan panas basah. Proses sterilisasi yang digunakan adalah dengan menggunakan panas basah atau autoklaf dengan suhu 1210 C selama 15 menit. Prinsipnya adalah uap panas dari autoklaf akan mengkoagulasi protein-protein penyusun dari mikroorganisme sehingga mikroorganisme akan mati.

N. Orientasi Penyembuhan Luka Secara Normal

Orientasi ini bertujuan untuk melihat jangka waktu yang dibutuhkan oleh hewan uji untuk proses penyembuhan lukanya tanpa pemberian perlakuan biomaterial atau membran chitosan atau dapat dikatakan penyembuhan secara alami. Sebelum pembuatan luka, tikus disuntik dengan kombinasi ketamine dan

xylazine sebagai anastesi. Dosis yang digunakan adalah dosis yang dapat menimbulkan efek anastesi. Hal ini sesuai dengan langkah kerja yang diungkapkan oleh Frank dan Kämpfer (2000). Selain itu langkah kerja ini juga sesuai dengan proposal yang diajukan dan disetujui oleh Komisi Kode Etik (Ethical Clearance).

Jangka waktu pengamatan semula direncanakan selama empat belas hari namun ternyata berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, ternyata pada hari yang ketujuh sejak luka pada hewan uji ini dibuat sudah menunjukkan pengecilan diameter luka yang cukup signifikan dibandingkan dengan diameter awal ketika luka dibuat dan secara patologi anatomi luka pada hari ketujuh ini sudah kering

dan warnanya sudah kecoklatan, sehingga diputuskan jangka waktu pengaplikasian biomaterial sebagai penutup luka ini adalah selama tujuh hari.

O. Pengelompokkan Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan ini sebanyak 24 ekor dengan pembagiannya menjadi 4 kelompok hari, yaitu hari ke-1, 3, 5 dan 7. Pemilihan kelompok hari berdasarkan hasil orientasi serta melihat teori yang diungkapkan oleh Price dan Wilson (2001), mengenai proses penyembuhan luka yang terdiri dari empat fase, yaitu fase vascular response, inflamasi, proliferasi dan maturasi. Berdasarkan teori tersebut, maka pada hari ketujuh sejak luka terjadi itu telah terjadi proses penyembuhan hingga tahap proliferasi sehingga kemungkinan ketika akan dibuat preparat histonya maka sudah akan terlihat pembentukan jaringan kembali.

Setelah pengelompokan berdasarkan kelompok hari lalu pada punggung satu ekor hewan uji ini dibagi menjadi lima perlakuan penutupan luka, yaitu tiga kelompok ditutup dengan biomaterial selulosa bakteri+gliserol+chitosan, satu kelompok ditutup membran chitosan sebagai kontrol positif dan satu kelompok tanpa penutupan sebagai kontrol negatif. Lalu kelimanya ditutup kembali dengan hepafix agar lebih merekatkan penutupan dari masing-masing perlakuan kecuali kontrol negatif.

P. Pembuatan Luka pada Hewan Uji

Proses pembuatan luka pada hewan uji ini sama dengan orientasi penyembuhan luka yang dilakukan. Langkah kerjanya pun sama dengan langkah kerja pada saat orientasi. Hal yang membedakan dengan orientasi adalah sesaat

setelah pembuatan luka, luka sesegera mungkin ditutup dengan masing-masing kelompok perlakuan lalu ditutup dengan hepafix.

Q. Pengamatan Penyembuhan Luka dan Pengukuran Diameter Luka

Dokumen terkait