Rasa Aman
HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN USULAN PROGRAM PENGEMBANGAN DIRI
A. Hasil Penelitian
3. Analisis Hasil Adversity Qoutient Berdasarkan Tipologi Adversity Quotient
Berdasarkan kategorisasi adversity quotient menurut Stolzt (2000), dapat ditentukan pada tipe manakah mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma berada. Berikut ialah hasil kategorisasinya berdasar tipe adversity quotient:
Tabel 4.7
Kategorisasi Berdasarkan Tipe Adversity Quotient Kategorisasi Skor Tipe adversity quotient
Tinggi 166-200 Climbers Cukup 135-165 Sedang 95-134 Campers Kurang 60-94 Quitters Rendah 0-59
Maka dari itu berdasarkan hasil analisis adversity quotient mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2014 berada pada tipe campers.
B. Pembahasan
Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa terdapat 84% atau 52 mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma angkatan 2014 memiliki adversity quotient yang termasuk dalam kategori sedang. Tingkat adversity quotient yang sedang artinya bahwa mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma angkatan 2014 sudah cukup dalam berjuang menghadapi tantangan atau mampu menyelesaikan semua tanggunggjawab yang diberikan. Meskipun terkadang dalam proses berjuang ini para mahasiswa sering mengalami kemunduran atau dengan kata lain mereka mudah menyerah. Menyerahnya para mahasiswa dikarenakan adanya kegagalan yang dialami sebelumnya atau dapat dikatakan ada pengalaman yang tidak mengenakkan.
Jadi, adversity quotient yang berada pada kategori sedang, hal ini sudah dapat dikatakan baik, namun para mahasiswa ini belum mampu mengolah dan meningkatkan terus menerus sehingga ketika terjadi kegagalan dalam berjuang, para mahasiswa langsung menurunkan tingkat adversity quotient yang dimiliki. Hal ini karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses tersebut.
Banyak faktor yang menyebabkan tingkat adversity quotient ini berubah. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat Adversity Quotient mahasiswa angkatan 2014 ini yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal itu ialah genetika, keyakinan, bakat, hasrat atau kemauan, karakter, kinerja, kecerdasan, dan kesehatan. Dan yang termasuk faktor
eksternal ialah pendidikan dan lingkungan. Hal ini juga didukung oleh teori Stoltz yang mengungkapkan bahwa tidak hanya keempat dimensi yang membentuk adversity quotient. Namun ada beberapa faktor pembentuk adversity quotient itu sendiri. Hal ini juga terbukti pada penelitian terhadap mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2014.
Tingkat adversity quotient yang dimiliki oleh 52 mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma angkatan 2014 ini didukung oleh terpenuhinya seluruh aspek-aspek yang terkait dengan adversity quotient. Aspek-aspek yang dapat membentuk adversity quotient pada diri mahasiswa angkatan 2014 ini adalah control, origin dan ownership, reach serta endurance.
Aspek control (kendali) sendiri merupakan kemampuan mengendalikan perasaan terhadap permasalahan ataupun kesulitan yang dihadapi. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 48 mahasiswa dalam kategori sedang, 13 mahasiswa berada dalam kategori rendah dan 1 mahasiswa berada dikategori tinggi. Permasalahan ataupun kesulitan yang dialami oleh mahasiswa Bimbingan dan Konseling angkatan 2014 yang berada dalam kategori control yang rendah ini ialah dalam berkomunikasi serta bekerjasama dengan teman kelompok, baik kelompok magang maupun kelompok dalam tugas perkuliahan, serta membagi waktu antara perkuliahan, magang serta kegiatan diluar akademik.
Berbeda halnya dengan mahasiswa yang berada pada kategori sedang, mereka dapat lebih mampu mengendalikan perasaan ketika
menghadapi kesulitan. Hal tersebut dilihat dari salah satu contoh item yang terdapat dalam angket yang berkaitan dengan aspek control (kendali) yakni ketika kelompok magang yang dikoordinir tidak berjalan dengan baik, beberapa mahasiswa Bimbingan dan Konseling angkatan 2014 ini mampu mengatasi situasi tersebut dengan cara mengendalikan perasaannya untuk tidak emosi dalam menyikapi situasi tersebut. Terbukti beberapa mahasiswa ini melingkari rentan skor pada pilihan item di skor keempat yang artinya kemampuan untuk mengendalikan baik. Maka dari itu terlihat bahwa aspek control yang dimiliki sudah baik.
Pada aspek Origin (asal-usul) merupakan hal yang menjadi sebuah pertanyaan dalam diri individu ketika mengalami suatu kesulitan atau permasalahan dengan menanyakan “siapakah yang menyebabkan?” pertanyaan inilah yang seringkali muncul ketika sedang mengalami suatu kesulitan. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 46 mahasiswa dalam kategori sedang, 5 mahasiswa berada dalam kategori rendah dan 11 mahasiswa berada dikategori tinggi. Mahasiswa yang memiliki aspek Origin yang tinggi mereka akan menyadari dan mengakui bahwa masalah yang datang ataupun yang sedang dialami, itu terjadi karena kesalahan diri sendiri dan bukan kesalahan orang lain.
Akan tetapi lain berbeda halnya dengan mahasiswa yang memiliki aspek Origin rendah, mereka seringkali menyalahkan pihak luar ketika sedang mengalami suatu kesulitan dalam hidupnya. Hal ini terlihat jelas dari hasil penelitian bahwa mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2014, mampu menyadari kesalahan atau penyebab
kesulitan yang dialami itu timbul dari dalam diri mereka sendiri. Terbukti pada item “Sesuatu yang menyebabkan teman tidak memberitahu saya ketika ada tugas perkuliahan ”, banyak mahasiswa angkatan 2014 yang melingkari angka 4 dan 5 pada rentan skor yang tersedia. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa mahasiswa sudah mampu menyadari dan mengolah penyebab-penyebab terjadinya suatu masalah atau hambatan yang terjadi.
Pada ownership (pengakuan) dapat terlihat bahwa beberapa mahasiswa yang memiliki ownership yang tinggi mampu memberikan pengakuan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi dengan rasa tanggungjawab. Seperti halnya ketika mereka diminta untuk mengisi angket, mereka sangat antusias dan mengungkapkan kesulitan yang sedang mereka alami.
Aspek yang ketiga adalah aspek reach (jangkauan). Salah satu aspek ini juga dapat mempengaruhi tingkat adversity quotient yang dimiliki mahasiswa Bimbingan dan Konseling angkatan 2014. Reach (jangkauan) merupakan bentuk jangkauan yang mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan melibatkan bagian-bagian lain dari kehidupan. Pada aspek inilah individu dituntut untuk memberikan respon terhadap peristiwa yang sedang terjadi.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 52 mahasiswa dalam kategori sedang, 10 mahasiswa berada dalam kategori rendah dan tidak ada mahasiswa yang berada dikategori tinggi. Individu yang berada pada
kategori rendah ini selalu merasa bahwa dirinya adalah orang yang tidak mampu dan memiliki kekurangan sehingga tidak bisa menyelesaikan permasalahan ataupun keluar dari kesulitan yang dialami.
Aspek terakhir adalah endurance(ketahanan). Pengertian dari aspek endurance ini adalah sebuah dimensi yang mempertanyakan sejauh mana kesulitan dan penyebab dari kesulitan itu akan berlangsung. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 42 mahasiswa dalam kategori sedang, 20 mahasiswa berada dalam kategori rendah dan tidak ada mahasiswa yang berada dikategori tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa ada beberapa mahasiswa yang cenderung untuk menunda-nunda apa yang harus dikerjakan. Pada aspek ini mahasiswa yang berada pada kategori rendah ada 20 mahasiswa dan ini lebih banyak daripada aspek-aspek yang lainnya.
Tingkat adversity quotient didukung oleh terpenuhinya ke empat aspek adversity quotient yaitu control, origin dan ownership, reach serta endurance. Selain keempat aspek ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi, sedang dan rendahnya tingkat adversity quotient. Kemampuan mahasiswa angkatan 2014 dalam mempertahankan tingkat adversity quotient yang ada dalam dirinya, tergolong cukup mampu hal ini karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni 1) Mahasiswa harus mampu mengendalikan perasaannya ketika menghadapi bahkan mengalami suatu kesulitan dalam hidupnya 2) Mahasiswa menyadari bahwa kesulitan yang dialami semata-mata bukanlah faktor yang berasal dari luar diri melainkan dari dalam diri 3) Mahasiswa menyadari bahwa sejauh mana ia dapat menjangkau kesulitan yang sedang dialaminya
tersebut sehingga mahasiswa tersebut mampu bertahan dan menyelesaikan kesulitan yang tengah dihadapinya.
Berdasarkan tipologi adversity Quotient, mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling ini masuk dalam tipologi Campers (mereka yang berkemah). Kelompok campers atau mahasiswa pada tipe ini cenderung mudah puas dengan hasil yang diperolehnya. Mereka tidak ingin melanjutkan usahanya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari apa yang sudah mereka dapatkan saat ini. Di sini mereka mengakhiri usahanya karena sudah merasa puas dengan hasil yang didapat.
Mahasiswa pada tipe ini mereka selalu membuat target dalam setiap perjuangan mereka, namun ketika target itu sudah mereka capai mereka akan berhenti berjuang. Dapat dikatakan mahasiswa ini mudah puas dengan apa yang sudah dicapainya. Tipe campers ini merupakan mahasiswa yang memiliki adversity quotient sedang, dan hal ini sesuai dengan mahasiswa Program Studi Bimbingan Dan Konseling angkatan 2014 yang secara besar berada pada kategori sedang. Mahasiswa tipe ini juga dikenal lebih bertahan pada zona zaman mereka. Tipe campers ini pada hirarki kebutuhan Maslow berada pada posisi terpenuhinya rasa aman,Stoltz (2000).
C. Aspek Yang Teridentifikasi Rendah dan Usulan Program yang dapat