IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 24
4.2. Analisis Hasil Taksiran Potensi Hutan Rakyat Berdasarkan Inter ‐
Dari hasil kegiatan penafsiran yang dikerjakan untuk periode citra 2006‐2008 diperoleh hasil penutupan dengan nilai akurasi sebesar 85% dengan nilai kappa sebesar 81% (beda 4%). Angka ini mengindikasikan bahwa tingkat keyakinan kebenaran hasil penafsiran adalah sebesar 85% atau dengan kata lain antara 81% ‐ 89%. Dengan demikian dapat diartikan bahwa tingkat kebenaran hasil penafsiran adalah sebesar 81%‐89% dengan nilai tengah 85% atau tingkat kebenarannya adalah 85%. Angka 85% ini menurut Jensen (2004) dan Congalton (2004) adalah angka akurasi minimum yang disyaratkan dalam proses hasil klasifikasi penutupan lahan, hal ini pun masih dianggap wajar apabila dikaitkan dengan luasan areal yang ditafsir yaitu P Jawa dan Madura (hampir 13 juta Ha). Dengan demikian level skala yang dihasilkan dalam proses ini dan dengan merujuk angka 85% akurasi maka level skala informasinya adalah level skala menengah – global. Dengan demikian hasil penaksiran potensi baik kayu dan karbon berdasarkan luasan hasil penafsiran penutupan lahan dengan nilai akurasi 85% sebenarnya adalah hasil penaksiran dengan skala memengah‐global. Untuk itu sebenarnya ada kebutuhan bahwa informasi ini apabila akan dijadikan rujukan untuk tingkat kabupaten maka sebaiknya kabupaten melakukan pendetilan hasil penafsiran untuk memperoleh hasil dengan skala informasi yang lebih baik.
Dengan demikian berdasarkan tingkat akurasi hasil penafsiran sebesar 85% dan merujuk hasil perhitungan spasial maka total luasan areal indikatif hutan rakyat di Pulau Jawa adalah kurang lebih 2,6 juta Ha (Tabel 4.4), apabila di rata‐rata hasil luasan dan taksiran potensi hutan rakyat (berdasarkan nilai tengah rerata)
di Pulau Jawa dapat disajikan per Provinsi dalam gambaran Grafik 4.2 di bawah ini.
Grafik 4.2. Taksiran Potensi Kayu Hutan Rakyat (indikatif) di Pulau Jawa
Grafik 4.3. Sebaran Luasan Areal dan Taksiran Potensi Kayu (rerata) Hutan Rakyat per Provinsi di Pulau Jawa dan Madura
Dari sajian gambar 4.3 diperoleh hasil bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki luasan hutan rakyat paling luas yaitu 942.698,13 atau 36,4% disusul Propinsi Jawa Tengah dengan luas 742923,17 Ha atau 28,7% dan Jawa Timur dengan luasan 523.629,25 Ha atau 20,3%, Sementara itu Banten berikutnya dengan luas 322.160,83 Ha atau 12,4% dan terakhir Provinsi DIY dengan luas 53.602,68 Ha atau 2%. Berdasarkan taksiran potensi kayu Provinsi Jawa Barat menduduki urutan teratas dengan taksiran rerata 26,2 juta m3 atau 35%, Provinsi Jawa Tengah dengan taksiran rerata sebesar 22,35 juta m3 atau 30%, Provinsi Jawa Timur dengan taksiran rerata 15,6 juta m3 atau 21%, kemudian disusul Provinsi Jawa Banten dengan taksiran rerata 9 juta m3 atau 12% dan terakhir Provinsi DIY dengan taksiran rerata 1,6 juta m3 atau 2%.
Sedangkan untuk taksiran potensi karbon (pohon) pada areal hutan rakyat diperoleh dengan mengkonversi parameter volume dengan persamaan allometrik oleh Purwanto (2009). Hasil perhitungan taksiran potensi karbon hutan rakyat per provinsi di Pulau Jawa Madura disajikan dalam Grafik 4.4 di bawah ini.
Grafik 4.4. Sebaran Potensi Karbon (pohon) Hutan Rakyat per Provinsi di
Hasil sebaran tidak terlalu berbeda dengan kondisi sebaran berdasarkan taksiran potensi kayu yaitu Provinsi Jawa Tengah dengan proporsi 35%, Jawa barat, 30% Jawa Tengah, Jawa Timur 20%, Banten 15% dan DIY sebesar 2%. Sementara itu total taksiran karbon Hutan rakyat di Pulau jawa total adalah 40,6 juta ton pada luasan 2,6 juta Ha hanya untuk taksiran berdasarkan tegakan kayunya saja (above ground woody biomasss) belum termasuk taksiran karbon dengan akar, tanaman semusim, anakan/permudaan dan tanah.
Angka hasil taksiran potensi sebesar kurang lebih 74,8 juta m3 untuk luasan 2,6 juta Ha, angka ini jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2006) menyatakan bahwa taksiran potensi hutan rakyat di Jawa sebesar 39,53 m3 pada kelas masak tebang (umur > 10th). Hasil taksiran potensi kayu di Jawa jika diambil berdasarkan nilai rerata per Ha diperoleh hasil kurang lebih 30 m3/Ha untuk setiap penggunaan lahan (Tabel 4.2), hasil tersebut kurang lebih hampir sama atau setara. Namun perbedaannya dengan kegiatan ini adalah model sampling yang dilakukan oleh Santoso (2006) dimana representasi samplingnya tidak se‐komprehensif dalam konteks sebaran spasial sebagaimana dilakukan dalam kegiatan ini. Kemungkinan kelemahan atau error yang dihasilkan dari kegiatan ini adalah jumlah sampel dan representasi sampel. Jumlah sampel sebanyak 180 petak ukur untuk luasan se‐ Pulau Jawa dan Madura dengan ukuran luasan 30m x 30m sebenarnya masih kurang jika dihitung dengan angka intensitas sampling dan representasi awal penempatan petak ukur adalah mempertimbangkan kelas kerapatan berdasarkan analisis digital namun data digital citra penginderaan jauh kondisinya tidak ideal karena disebabkan karena kualitas citra Landsat tahun 2006 yang kurang baik (drop out baris / SLC off) sehingga berimplikasi terhadap desain sampling yang dirancang dan pengkelasan kelas kerapatan. Pada awalnya penghitungan model penaksiran dilakukan dengan analisis statisitik taksiran potensi berdasarkan kelas penutupan lahan per kelas kerapatan,
namun hasil yang diperoleh sangat under estimate dan berdasarkan masukan dari workshop tanggal 18 Agustus 2009 hasil tersebut di perbaiki dan dihitung ulang dengan mengubah model penghitungan taksiran dengan hanya berbasis penutupan lahan. Dengan strategi ini hasil penghitungan setidaknya hampir menyamai beberapa studi khususnya yang telah dilakukan oleh Santoso (2006). Walau demikian angka taksiran total hampir 74,8 juta m3 untuk luasan hampir 2,6 juta Ha dapat dijadikan acuan sebelum ada data terbaru dengan metode dan jumlah sampel yang lebih komprehensif.
Berdasarkan hasil penghitungan taksiran luasan hutan rakyat yang diperoleh sebesar hampir 2,6 juta ha jika mengacu pada Gambar 4.2 diperoleh hasil yang agak berbeda dengan studi yang dilakukan serupa oleh BPKH Wilayah XI Jawa‐ Madura Tahun 2006 untuk wilayah Provinsi DIY dimana saat itu hasil luasan hutan rakyat indikatif diperoleh seluas ± 110.000 Ha sementara hasil studi ini memberikan angka luasan ± 53.000 Ha. Perbedaan ini dimungkinkan karena kedetilan tingkat interpretasi dan melihat proses interpretasi yang digunakan berbeda metode. Dalam kegiatan ini ide awal adalah menggunakan basis penutupan lahan tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Kemudian didetilkan dengan analisis digital citra transformasi NDVI sehingga diperoleh hasil luasan dalam kisaran 53.000 Ha. Sementara itu, dalam kegiatan BPKH Wilayah XI Jawa‐Madura Tahun 2006 luasan hutan rakyat diperoleh dari proses transformasi citra NDVI terlebih dahulu, kemudian dengan superimpose dengan data penutupan lahan Tahun 2003 hasil interpretasi melalui proses editing beberapa kelas penutupan lahan seperti pertanian irigasi teknis dan hutan negara dikeluarkan sehingga diperoleh luas indikasi hutan rakyat di Provinsi DIY seluas ± 110.000 Ha. Proses ini menyebabkan ada perbedaan hasil kemungkinan karena ada beberapa kelas masih disertakan dalam menurunkan luasan hutan rakyat indikatif seluas 110.000 Ha. Sementara itu, dalam kegiatan ini tentunya terjadi beberapa generalisasi karena didasarkan pada informasi satu pulau dan hanya 6 kelas
penutupan lahan yang digunakan. Perbedaan proses generalisasi dan perbedaan jumlah kelas penutupan lahan ini perlu dikaji ulang untuk mendetilkan angka‐angka luasan untuk pendetilan data per provinsi dan kabupaten sangat direkomendasikan.
Salah satu kesulitan dalam merancang desain sampling berdasarkan analisis citra satelit selain dari masalah teknsi kualitas data adalah kondisi beragamnya model hutan rakyat di lapangan (alas, tegalan, pekarangan) dan kenampakan dalam citra. Hal ini tergantung dari model pemanfaatan lahan oleh rakyat yang ditentukan dari kemampuan adaptasi masyarakat dalam memanfaatkan lahannya yang dipengaruhi oleh kondisi alam dan faktor ekonomi yang mendorong pola pemanfaatan lahan yang berbeda‐beda. Ini dibuktikan dari sulitnya membuat dan mengklasifikasikan kelas penutupan lahan berdasarkan strata, walaupun praktis secara strata kerapatan di lapangan rata‐rata berdasarkan data ada korelasi erat antara kelas kerapatan dengan model alas, tegalan dan pekarangan, namun ukuran terkecil piksel citra yang digunakan adalah resolusi medium sehingga sering terjadi kelas penutupan lahan dan kerapatan campur baur sehingga ketika dianalisis dengan model penggunaan lahan alas, tegalan dan pekarangan menjadi tidak berarti.
Variasi model penutupan ini sebenarnya dapat di cermati lebih mendalam dengan melihat budaya, nilai ekonomi dan kemampuan adaptasi masyarakat yang di wujudkan dalam model pertanaman (pola tanam). Provinsi Banten misalnya lebih didominasi model penutupan pertanian lahan kering campur semak dan hutan tanaman, data lapangan dari tally sheet menunjukkan bahwa tipologi alas/pekarangan/tegalan dengan model tegakan seumur sedikit kombinasi dengan tanaman semusim lebih banyak dijumpai di Provinsi Banten. Berbeda dengan Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah dimana model penutupan lahan pertanian lahan kering campur banyak mendominasi luasan karena model pola pertanaman yang diterapkan lebih banyak dengan
model tegalan dan model alas dengan pola pertanaman kombinasi semusim dan tanaman keras (dominan) (Lampiran 2).
Dari sisi penataan dan resep intervensi kebijakan apa yang tepat untuk pengembangan hutan rakyat. Sebenarnya dengan mencermati model penutupan lahan di tiap provinsi dimana model‐model penutupan lahan inilah yang perlu dikembangkan dan diperbaiki kualitasnya. Dengan kata lain model pola pertanaman (model penggunaan lahan) inilah yang menjadi kata kunci penting dalam pengembangan hutan rakyat.
Sementara itu dari aspek tata ruang perlu dicari strategi sehingga model‐model penggunaan ini dapat diangkat sekaligus didalami kembali sehingga dapat diakomodir dalam tata ruang. Bahkan jika memungkinkan misalnya, perlu dihitung dari kacamata erosi misalnya berapa kontribusi erosi yang dihasilkan dari model‐model penutupan lahan ini yang selanjutnya bisa menjadi bahan pertimbangan dalam intervensi tata ruang.
4.3. Hasil Interpretasi, Penghitungan dan Taksiran Karbon Berdasarkan Citra Satelit