• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pengambilan

BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PENGAMBILAN KEUNTUNGAN JUAL BELI PENGECER DI ATAS HAGA

ECERAN TERTINGGI

A. Analisis Hukum Islam terhadap Pengambilan Keuntungan Jual beli Pengecer di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) di Desa Pilang Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo

Praktik pengambilan keuntungan jual beli beli pengecer di atas harga eceran tertinggi di Desa Pilang Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo dilihat dari segi pelaksanaannya sama dengan jual beli pada umumnya, adanya penjual dan pembeli yakni pengecer dan petani, adanya barang yang dijual belikan yakni pupuk subsidi, dan adanya nilai tukar barang yakni uang. Akan tetapi ada unsur yang membedakan dari jual beli lainnya, jika jual beli di masyarakat pada umumnya harga barang dan keuntungannya ditentukan oleh penjual/pedagang itu sendiri, akan tetapi pada jual beli pupuk bersubsidi, harga barang/ pupuk dan keuntungan penjual pupuk ditentukan oleh Penguasa/Pemerintah. Penetapan ini, dalam hukum Islam disebut al-tas’i@ru al-jabri@yu.

Secara bahasa al-tas’i@ru al-jabri@yu adalah penetapan harga secara paksa yang biasanya dilakukan oleh suatu kekuasaan.1 Sedangkan secara istilah, terdapat beberapa pendapat yang diberikan oleh ulama’, di antaranya adalah: 1. Imam as-Syaukani berpendapat bahwa penetapan harga adalah: Perintah

penguasa atau wakilnya atau perintah setiap orang yang mengurus urusan

1

Evra Willya, “Ketentuan Hukum Islam tentang Al-Tas’i@ru Al-Jabri@yu”, Ilmiah Al-Syir’ah

63

kaum muslimin kepada para pedagang untuk tidak menjual barang dagangannya kecuali dengan harga yang telah ditetapkan, dilarang untuk menambah atau menguranginya dengan tujuan kemaslahatan.

2. Ibn Urfah al-Maliki, berpendapat bahwa yang dinamakan penetapan harga adalah: penguasa pasar menetapkan kepada pedagang untuk menjual barang dagangannya dengan harga yang sudah diketahui. Pendapat ini menyatakan bahwa tidak wajib mengikuti penetapan harga yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak berwenang untuk itu, berdasarkan al-Quran surah an-Nisa ayat 59.

                               Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

3. Menurut Syaikh Zakaria Al-Anshari (ulama Syafi’iyah), mengatakan bahwa

tas‘i@r adalah perintah wali (penguasa) kepada pelaku pasar agar mereka tidak

menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu.2

4. Menurut Imam Syaukani, mengatakan bahwa tas‘i@r adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan

2

64

mereka kecuali dengan harga tertentu dan dilarang ada tambahan dan pengurangan dari harga itu karena alasan kemaslahatan.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat di pahami bahwa penguasa sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan, pelaku pasar sebagai pihak yang menjadi sasaran kebijakan tersebut dan penetapan harga adalah substansi kebijakan.

Al-Tas’i@ru al-jabri@yu dalam Islam dibagi menjadi dua yakni penetapan

harga yang bersifat zalim dan penetapan harga yang bersifat adil.

1. Penetapan harga yang bersifat zalim, yaitu penetapan harga oleh pemerintah yang tidak sesuai dengan keadaan pasar dan tanpa mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat.

2. Penetapan harga yang bersifat adil, yaitu penetapan harga yang disebabkan ulah para pedagang dengan mendahulukan kepentingan orang banyak dengan memperhitungkan modal, biaya transportasi, dan keuntungan para pedagang.3 Dalam hadis Nabi juga dijelaskan;

ٍﻚِﻟﺎَﻣ ُﻦْﺑ ُﺲَﻧَأ َلﺎَﻗ ٍﺪﱠﻤَُﳏ ْﻦَﻋ ٍنْﻮَﻋ ُﻦْﺑا ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ٌذﺎَﻌُﻣ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ﱠﲎَـﺜُﻤْﻟا ُﻦْﺑ ُﺪﱠﻤَُﳏ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

ا َﻲِﺿَر

ٍدﺎَﺒِﻟ ٌﺮِﺿﺎَﺣ َﻊْﻴِﺒَﻳ ْنَأ ﺎَﻨْـﻴُِ ُﻪْﻨَﻋ ُﻪﱠﻠﻟ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami mu’adz telah menceritakan kepada kami ibnu ‘Aun dari Muhammad bahwa anas bin malik rad}iyallahu ‘nhu berkata; “kami dilarang bila orang-orang kota menjual kepada orang desa”.4

Dari hadis ini Rasulullah saw. melarang orang kota yang tahu harga menjual barang dagangan kepada orang dusun yang tidak tahu harga.

3

Ahmad Subagyo, Kamus Istilah Ekonomi Islam (Jakarta: Anggota IKAPI), 428. 4

Muhammad Vandestra, Kitab Hadis Shohih Bukhari Ultimate (t.tp.: Dragon Promedia, 2017), 890.

65

Karena hal ini dapat melonjakkan harga. Maka penetapan harga diperbolehkan agar tidak terjadi pelonjakan harga.5Dalam kaidah fiqh dijelaskan:

ِمﺎَﻌْﻟا ِرَﺮﱠﻀﻟا ِﻊْﻓَﺪِﻟ صﺎﱠﳋارَﺮﱠﻀﻟا ُﻞَﻤَﺘُْﳛ

Kemudaratan khusus diberlakukan untuk menolak kemudaratan umum6 Mekanisme penentuan harga barang-barang pokok oleh pemerintah diperbolehkan berdasarkan kaidah ini. Mekanisme penentuan harga oleh pasar terkadang dapat dipermainkan oleh para pedagang sendiri, sehingga masyarakat mendapat kemudaratan karena terpaksa harus membelinya dengan harga yang sangat tinggi, oleh sebab itu pemerintah diperbolehkan menentukan harga standar yang harus diberlakukan.7

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa al-tas’i@ru al-jabri@yu

(penetapan harga) boleh dilakukan apabila pemerintah dalam menetapkan harga disebabkan ulah pedagang atau dimungkinkan akan terjadinya permainan dari pedagang sendiri dengan mempertimbangkan kemaslahatan penjual dan pembeli. Dalam hal ini mempertimbangkan kemaslahatan antara pengecer dan petani.

Sejalan dengan ini, praktik pengambilan keuntugan jual beli pengecer di desa Pilang Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo tidak boleh dilakukan, karena pemerintah dalam menetapkan harga disebabkan adanya

5

Qusthoniyah, “al-Tas’i@ru al-Jabri@yu (Penetapan oleh Negara) dalam Koridor Fiqh dengan Mempertimbangkan Realitas Ekonomi”..., 85.

6

M. Pudjihardjo,Nur Faizin Muhith, Kaidah- Kaidah Fikih untuk Ekonomi Islam, cet. I (Malang: UB Press, 2017), 141.

66

kemungkinan besar terjadi lonjakan harga, pupuk merupakan barang pokok bagi para petani dan hal tersebut rawan terjadi lonjakan harga, sehingga jika tidak ada penetapan harga dari pemerintah, maka terjadi kemudharatan bagi petani yang harus membeli pupuk subsidi dengan harga yang diingankan pengecer.

Dalam hal kemaslahatan pengecer, pemerintah memberikan porsi keuntungan yang dihasilkan dari jual beli dengan distributor. Hal ini bisa dilihat pada tabel dibawah ini:

Harga tebus Pupuk Bersubsidi oleh Pengecer dari Distributor

No Nama pupuk Harga tebus

Keuntungan sampai dengan HET(harga

eceran tertinggi)

Keterangan

1 Urea 86.000 4.000 Keuntungan adalah

selisih dari harga jual dengan harga beli

2 Za 66.000 4.000

3 Ponska 112.000 3.000

4 Organik 15.000 5.000

5 Tsp 36 98.000 2.000

B. Analisis Hukum Positif terhadap Pengambilan Keuntungan Jual Beli Pengecer di

Dokumen terkait