• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : PENGELOLAAN TAMBANG MINYAK DI DESA

B. Analisis Hukum Pertambangan Minyak Rakyat Wonocolo

Status kepemilikan

Sebenarnya sumur-sumur minyak yang diusahakan di Wonocolo, adalah sumur-sumur peninggalan Belanda. Dahulu Belanda pernah membebaskan tanah

109

Al Mawardi, Al Ahkam al Sulthaniyyah, , hal. 394

110

yang akan dibor menjadi area pertambangan, dengan memberikan kompensasi kepada para pemegang hak atas tanah. Belanda juga sempat mengontrak tanah warga yang mereka gunakan sebagai gudang gudang peralatan tambang. Tetapi, dalam hal ini menurut peraturan perundang-undangan, seharusnya peninggalan Belanda berupa asset-aset perekonomian diambil alih untuk dimiliki negara. Seperti yang tersurat dalam amanat Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda di Indonesia. Namun ternyata Negara melalui PT Pertamina tidak memanfaat sumur-sumur tersebut.

Nasionalisasi ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang lebih luas kepada masyarakat Indonesia serta memperkokoh keamanan dan pertahanan negara yang saat itu sedang berkonfrontasi dengan kerajaan Belanda dalam rangka pembebasan Irian Barat. Beberapa perusahaan yang penting bagi masyarakat dan dianggap menguasai hajat hidup orang banyak dinasionalisasi. Perusahaan farmasi, perkebunan, listrik, hingga pertambangan berubah kepemilikannya menjadi milik negara, dan beberapa perusahaan menjelma menjadi cikal bakal BUMN yang kita kenal sekarang seperti PLN, PTPN (Perkebunan) dan Garuda Indonesia Airline. Termasuk perusahaan-perusahaan pertambangan yang dahulu dimiliki pemerintahan kolonial. Pasca dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959 oleh Bung Karno, tidak kurang dari 600 perusahaan diambil alih dari Belanda, 100 perusahaan diantara berupa perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan.

Kasus di Wonocolo adalah ketika ditinggalkan Belanda, desa Wonocolo dalam keadaan kurang ekonomis. Hal itu juga yang menyebabkan Belanda dahulu sempat meninggalkannya dan berpindah ke Kawengan. Seharusnya sumur-sumur itu menjadi aset pendapatan bagi negara. Namun karena sudah tidak ekonomis lagi, negara pun akhirnya enggan mengurusinya. KUD yang seharusnya menjadi lini paling bawah untuk tetap meraup untung dari sumur tua itupun tidak maksimal dalam operasionalnya. Faktor penentuan harga beli dari masyarakat yang terlalu rendah dan kurangnya pengawasan kepada warga penambang, menyebabkan warga setempat “bermain sendiri “ dengan sumur-sumur tua tersebut. Oleh karena itu warga meneruskan sumur-sumur itu dan seolah lupa dengan KUD. Akhirnya dengan kemampuan seadanya yang mereka warisi dari Belanda mereka berjalan sindiri.

Lebih dari sekedar pemindahan hak milik, nasionalisasi adalah salah satu langkah dalam upaya pemerataan hasil sumber-sumber alam. Dalam hal ini, penulis sangat setuju dengan nasionalisasi perusahaan eks-kolonial, atau penguasaan atas negara untuk mengelola sumber-sumber yang menjadi hajat hidup orang banyak. Karena negara adalah satu-satunya kekuatan yang dapat melakukan pemerataan hasil Sumber Daya Alam tersebut, serta satu-satunya organisasi yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat luas, membuat peraturan-peraturan demi terciptanya keamanan, dan terselenggaranya kehidupan yang harmonis dan sejahtera.

Penulis tidak ingin memojokkan pemerintah menyangkut kemakmuran mereka, namun pada kasus daerah-daerah seperti Wonocolo, Bangka dan sebagainya,

penulis hanya ingin meng-ibaratkan kekayaan negara tidak ubahnya air yang mengalir di Sungai, atau parit. Selama air (kekayaan alam) tersebut dapat dapat mengalir (terdistribusikan) melalui parit-parit yang dibuat oleh negara dengan pengaturan dan pengawasannya, maka merupakan nilai tambah jika daerah sekitar sumber air itu berada menjadi lebih subur. Dan ini sangat wajar.

Di sini penulis melihat bahwa, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh warga Wonocolo menurut mereka adalah memanfaatkan sesuatu yang menjadi peninggalan Belanda, dan tidak didayagunakan oleh pemerintah karena kurang ekonomis. Akan tetapi Pemerintah dalam hal ini PT Pertamina melakukan langkah langkah yang sangat mencekik warga dengan membuat kebijakan-kebijakan yang sangat memberatkan. Seperti mangharusakan menjual hasil kerja mereka ke PT Pertamina melalui KUD yang terdaftar resmi, dengan harga tertentu jauh di bawah standar layak, yaitu saat konsumen luar berani membeli latung Wonocolo dengan harga Rp. 100.000/drum. Pertamina hanya membeli latung Wonocolo dengan harga Rp. 45.000/drum. Tentu hal ini sangat tidak wajar. Dan membuat warga mencari “celah” untuk meningkatkan pendapatan. Mereka dibiarkan menambang, namun ternyata hanya dimanfaatkan demi keuntungan PT Pertamina. Seandainya memang dianggap menyimpang dan illegal, maka lebih baik diberikan penyuluhan dan penertiban, atau diatur menggunakan Undang-Undang pertambangan rakyat yang telah ada, serta memberikan jalan keluar agar sama-sama menguntungkan kedua belah pihak.

Sebelum tahun 2006, Pertamina begitu aktif men-cukongi latung-latung hasil timbaan warga. Pertamina dengan berani menentukan harga jual warga jauh di bawah harga pasar, dan setiap latung dari warga harus dijual ke Pertamina. Barang siapa yang berani menjual keluar dari Pertamina, maka akan ditangkap. Menurut penulis, apa yang dilakukan Pertamina tidak ubahnya seperti mengambil keuntungan dari sesuatu yang tidak dapat mereka lakukan istilah orang jawa (aji mumpung). Pertamina hanya memanfaatkan warga untuk menjadi pemasok latung dari sumur-sumur yang tidak dapat mereka upayakan karena pertimbangan ekonomis.

Pertamina adalah perusahaan negara yang dipercaya menangani masalah permiyakan, dia juga yang harus menyediakan cadangan keperluan dalam negeri, bertanggung jawab memasok dan mendistribusikannya sampai ke daerah-daerah. Tapi, jika kita melihat cara PT Pertamina mengumpulkan latung dari warga Wonocolo, maka hal itu sangat tidak manusiawi. Pertamina tidak mau tahu, berapa modal masyarakat untuk membeli peralatan timba, serta usaha mereka untuk mengeluarkan sisa-sisa minyak di perut bumi, tapi dengan seenaknya Pertamina mewajibkan warga menjual hasil latung mereka ke PT Pertamina, dengan harga yang sangat rendah. Saya tidak ingin menyebut ini penindasan, jika masih ada kata-kata yang lebih santun.

Selanjutnya mengenai status kepemilikan tambang yang berada pada tanah dengan milik individu, maka dalam hukum positif jelas telah diatur, bahwa demi terselenggaranya pemerataan kekayaan negara, maka tambang tersebut akan diambil

alih oleh negara. Meskipun terkadang harus melalui proses yang alot di pengadilan, namun biasanya pada akhirnya pengadilan lebih berpihak pada pemegang kuasa pertambangan (KP)dengan pertimbangan maslahat bersama. Tetapi pemegang kuasa pertambangan diharuskan membayar ganti rugi sesuai dengan kesepakatan dengan pemilik tanah.

Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang kita menemukan konflik antara pemegang hak atas tanah dengan pemegang kuasa pertambangan. Pemegang kuasa pertambangan mempunyai hak untuk menambang bahan-bahan galian yang ada di dalam tanah, namun pemegang hak atas tanah mempunyai hak untuk mengolah dan memanfaatkan permukaan tanah. Konflik ini akan berlarut-larut jika pemerintah tidak dapat menjadi penengah diantara kedua belah pihak. Biasanya pemerintah lebih mendahulukan kepentingan pemegang kuasa pertambangan, dan mengharuskan membayar ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah. Namun terkadang hal itu tidak dapat menjadi solusi karena dengan uang ganti rugi tersebut belum tentu pemegang hak atas tanah mendapat ganti lokasi, yang biasanya yang mereka membutuhkan lokasi baru ketika tanah mereka di ambil. Menurut penulis, akan sangat tepat jika Pemerintah mau mencarikan solusi, tidak hanya member ganti rugi, tetapi juga mencarikan lokasi baru sehingga mereka tetap dapat bekerja, atau merelokasi warga jika area yang akan diambil menyangkut orang banyak seperti satu kampung. Di Wonocolo, sebenarnya pada awalnya banyak warga yang memiliki tanah luas untuk bercocok tanam. Namun, karena banyak calo yang membeli tanah

warga dengan harga yang lebih tinggi dibanding harga pasaran, maka warga pedesaan yang rata-rata kurang berpendidikan sangat mudah terayu apalagi setelah ditemukan cadangan minyak baru di desa Banyu Urip (2001), banyak para jutawan dari Surabaya yang menyebar calo untuk membeli tanah-tanah warga, akhirnya ketika PT. Pertamina hendak membebaskan tanah mereka, yang ia hadapi bukan lagi warga pedesaan, tetapi para calo yang sudah memprediksi bahwa PT. Pertamina akan membebaskan tanah warga.

Ringkasnya bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak, meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Maka barang siapa menemukan barang tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan ia harus memberikannya kepada negara, berapun ukurannya.111 Sistem pengelolaan

Pertambangan minyak rakyat desa Wonocolo pada dasarnya adalah pertambangan yang dilakukan warga setempat secara berkelompok-kelompok (berserikat), dan hasilnya dibagi sesuai sumbangsih atau kontribusi masing-masing anggota. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa setiap sumur dimiliki oleh beberapa nama yang didaftarkan dalam sumur tersebut. Dan setiap nama yang akan didaftarkan harus memberikan kontribusi-sebagai modal- yang akan diperhitungkan nilai dari pengorbanannya. Tidak jarang sumur yang dikelola, dikerjakan dalam

111

jumlah besar anggota. Hal ini bertujuan selain agar tidak terasa berat untuk membiayai sebuah sumur.

Menurut penulis, apa yang dilakukan warga Wonocolo adalah seperti Syirkah yang diajarkan dalam ekonomi islam. Seperti kita ketahui, dalam ekonomi islam diajarkan konsep tentang penyertaan modal, baik sama-sama berupa harta, atau salah satu berupa harta dan pihak lain berupa tenaga. Dalam prakteknya, secara tidak langsung di Wonocolo banyak menerapkan berbagai macam syirkah yang ada dalam konsep ekonomi islam. Misalnya, ketika mereka bersama-sama membiayai sebuah sumur, kemudian mengerjakannya pula bersama-sama, maka secara tidak langsung mereka menerapkan syirkah Inan. Kemudian ketika mereka bersama-sama mengerjakan sebuah sumur dengan modal dari pihak luar, maka secara tidak langsung diantara mereka terjadi syirkah wujuh, dan antara mereka dengan pihak luar terjadi syirkah mudharabah.

Menurut penilaian penulis, dari sistem yang dijalankan oleh warga Wonocolo terlepas dari status legalitas usaha mereka, tidak bertentang dengan syariat islam, justru konsep syirkah dan bagi hasil inilah yang menjadi urat nadi sistem ekonomi islam. Dengan diterapkannya konsep seperti ini, maka solidaritas dan rasa kebersamaan antar warga akan semakin kuat. Dan ini menjadi nilai positif bagi mereka.

Kasus di Wonocolo sebenarnya mirip dengan apa yang pernah terjadi pada masyarakat Bangka, ketika diberikan izin oleh Pemda setempat untuk dapat

menambang timah di lokasi-lokasi diluar area penambangan PT Timah. Alasan yang diutarakan pemda setempat adalah keadaan masyarakat yang sangat miskin dan memprihatinkan. Padahal banyak sekali tempat mereka memberikan pemasukan bagi negara. Sekiranya akan sangat membantu jika mereka diberi hak untuk mendapatkan bagian, atau jika pada akhirnya akan merelokasi atau menutup usaha mereka maka, memberi kesempatan mereka untuk mengumpulkan uang terlebih dahulu menurut penulis bukan hal yang tercela. Atau melaui program-program CSR (corporate social responsibility) kearah yang lebih mengembangkan keahlian warga setempat, melalui bimbingan-bimbingan dan pelatihan-pelatihan tertentu.

Jika kita membandingkan kehidupan warga pesisir pantai utara dengan warga seperti Wonocolo, terkadang kita akan merasakan sebuah ketidakadilan. Di wilayah pesisir -yang kaya dengan sumber daya ikan- siapa saja boleh melayar mencari ikan. Sehingga kebanyakan kehidupan masyarakat pesisir lebih kuat ekonominya. Namun di daerah seperti di Wonocolo, Bangka, Timika, dan daerah-daerah lain semisalnya, kekayaan alam di dekat mereka telah dikuasai (diklaim) oleh negara. Sehingga seandainya mereka menjadi orang yang benar-benar taat hukum, mereka hanya bisa melihat ketika hutan disamping rumah mereka dipanen oleh negara. Mereka hanya bisa menonton ketika timah di belakang rumah mereka dikeruk negara. Mereka hanya bisa menyaksikan pompa-pompa minyak yang menganguk-angguk 24 jam setiap hari menyedot minyak mentah di samping rumah

mereka. Paling maksimal, dengan modal pendidikan yang rendah, mereka hanya bisa menjadi kuli panggul, itupun seandainya dibutuhkan.

Dalam beberapa peraturan telah dijelaskan mengenai pertambangan rakyat, telah diberikan suatu kriteria bahwa yang dimaksud dengan pertambangan rakyat adalah:

1. Dilaksanakan oleh rakyat setempat, yaitu berdasarkan hukum adat/adat setempat. Atau penduduk yang sudah diterima menjadi penduduk setempat, atau warga desa yang sah dalam wilayah kecamatan tempat terdapatnya galian tersebut.

2. Diusahakan secara sederhana atau kecil-kecilan yang dikerjakan dengan alat-alat sederhana, dengan cara sendiri tanpa penelitian atau perencanaan, serta perhitungan ekonomi terlebih dahulu.

3. Untuk suatu pencaharian mereka sendiri, yaitu tidak ada perjanjian kerja layaknya majikan/karyawan.

4. Dapat memakai permesinan sejumlah kekuatan maksimal 25 PK. 5. Tidak memakai alat-alat berat dan bahan peledak.

6. Dilaksanakan dalam wilayah pertambangan rakyat, setelah mendapatkan izin pertambangan rakyat.

Dari batasan utama yang diberikan oleh Undang-Undang ini terdapat beberapa hal yang menjadi permasalahan yang terjadi di wilayah Pertambangan Rakyat Wonocolo, yaitu:

1. Pelaksanaan kegiatan “Pertambangan Rakyat” di desa Wonocolo hanya berlandaskan pada izin lisan yang diberikan pemerintah daerah, dari Kepala Desa sampai pada tingkat Bupati.

2. Terdapatnya pendatang dari luar daerah yang turut melakukan penambangan dengan menggunakan peralatan yang lebih canggih, bahkan yang awalnya hanya memanfaatkan sumur peninggalan belanda, belakangan para penambang dari luar sampai membuat mengebor sumur baru dengan modal yang sangan besar, dapat dikatakan Pertambangan Rakyat Wonocolo hanya dipakai untuk kedok, sehingga hal ini bisa dianggap masuk dalam kategori “menggunakan perhitungan ekonomi” dan hal ini dilarang dalam pertambangan rakyat.

3. Biasanya, dengan semakin meningkatnya kegiatan pertambangan pertambangan rakyat, maka akan menggangu kegiatan pertambangan yang sah, serta akan menimbulkan kerusakan lingkungan, terutama jika tidak dilaksanakan dengan benar, dan sesuai peraturan yang berlaku. Sebagai akibat dari adanya penambangan yang dilakukan dengan tidak benar, dapat menimbulkan kerusakan lingkungan antara lain:

a. Pembukaan lahan tanpa ada yang bertanggung jawab untuk mereklamasinya. b. Pencemaran air oleh limbah di sekitar area pertambangan. Jika kita perhatikan,

maka sisa-sisa sulingan yang masih mengandung zat kimia, atau material berat, dialirkan begitu saja ke parit parit, dan hal ini akan berbaha bagi keberlangsungan ekosistem dalam jangka panjang.

4. Sosial ekonomi, permasalahan sosial ekonomi, dalam kegiatan Pertambangan Rakyat yang dilakukan oleh rakyat, meskipun dilakukan di wilayah Kuasa Pertambangan (WKP), selain menimbulkan gangguan terhadap kegiatan eksplorasi, yang sedang dilakukan oleh pemegang KP atau KK, juga menimbulkan dampak negatif terhadap pemerintah, antara lain:

a. Di bidang pendapatan negara

Kerugian keuangan bagi negara akibat tidak dipungutnya iuran tetap dan iuran eksploitasi. Hal ini sangat jelas ketika rakyat Wonocolo tidak membayarkan iuran pertambangan atas usaha yang tidak ia daftarkan.

b. Kerawanan Sosial dan Kamtibnas.

Adanya pendatang yang lebih siap dan matang secara modal dan menejemen sehingga akan mengundang rasa kedengkian warga, dan tidak jarang ulah para pendatang ini yang menyebabkan kegiatan penambangan ditutup. Hal tersebut seperti penggunaan alat-alat berat, penambangan dalam kapasitas besar (untuk mencari keuntungan). Untuk kasus di Wonocolo, sebuah perusahaan pendatang pernah menyebabkan kerusakan sumur yang sempat menyebabkan kemarahan warga, yaitu terjadinya flowing pada 2006. Sebuah sumur yang dibor oleh sebuah PT dari luar Wonocolo menyemburkan minyak bercampur lumpur setinggi kira-kira 20 meter. Akhirnya sumur tersebut ditutup karena minyak yang keluar tidak dapat disuling dan hanya mencemari lingkungan

Sebenarnya yang harus dilakukan oleh pemda adalah membuat peraturan atau menerapkan konsep pertambangan rakyat yang telah ada dalam Undang-Undang Pertambangan rakyat. Hal ini untuk menjaga agar antara warga dan Pemda dapat sama-sama mendapatkan penghasilan. warga dapat bekerja dan pemda dapat pemasukan. Disamping itu ketika diterapkan UUD ini maka proses pertambangan akan semakin tertata dan tertib. Insallah…

Dokumen terkait