• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KADAR PROTEIN METODE KJELDAHL

Dalam dokumen IV. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 28-36)

Salah satu yang diteliti untuk mengetahui penyebab terdapatnya perbedaan nilai elastisitas dan daya kunyah pada tahu-tahu komersial adalah kadar proteinnya. Analisis kadar protein menggunakan metode Kjeldhal ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara kadar protein total dengan nilai elastisitas dan daya kunyah pada tahu komersial. Metode Kjeldahl mengukur kandungan nitrogen dalam sampel. Kandungan protein dapat dikalkulasi dengan mengasumsi rasio protein untuk pangan spesifik yang dianalisis (Chang, 2003).

Metode Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian: (1) penghancuran/digestion, (2) destilasi, dan (3) titrasi. Pada tahap penghancuran, nitrogen organik diubah menjadi ammonium

dengan kehadiran katalis pada suhu sekitar 370oC. Pada tahap destilasi sampel yang telah dihancurkan

dibuat basa dengan menggunakan NaOH dan nitrogen didestilasi sebagai NH3. Senyawa NH3

kemudian dijerat dalam larutan asam borat. Jumlah dari nitrogen ammonia dalam larutan ini dihitung melalui titrasi dengan larutan HCl standar (Chang 2003). Hasil analisis protein metode Kjeldahl dapat dilihat pada Lampiran 21. Hasil analisis kadar protein kelompok tahu elastisitas dapat dilihat pada Tabel 20.

Dapat dilihat pada Tabel 20 nilai kadar protein untuk tahu kelompok elastisitas berkisar antara 49.03 hingga 56.54 g/100g bahan kering. Sampel berkode 1, 12, 28 dan 31 memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata pada p=0.05. Sampel berkode 6, 13, 24, dan 36 memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata pada p=0.05. Sampel berkode 19, 24, 36 dan 46 memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata pada p=0.05. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa tahu soft memiliki kadar protein berdasarkan berat kering yang paling tinggi, namun tidak untuk tahu hard. Tahu tipe hard kadar protein berdasarkan berat keringnya masih lebih rendah dibandingkan dengan tahu tipe silken berkode 19. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi koagulasi yang berbeda dan jenis koagulan yang berbeda. Tahu tipe hard yang berkode 24 menggunakan koagulan jenis garam, sedangkan tahu

silken berkode 19 menggunakan koagulan GDL, CaSO4, dan MgCl2. Hal ini membuat perbedaan kadar protein yang berhasil dikoagulasikan, sehingga menyebabkan kadar protein untuk tahu tipe hard berdasarkan berat kering menjadi lebih rendah dibandingkan tahu bertipe silken.

Tahu tipe silken tidak hanya dibuat dengan memakai koagulan jenis lakton, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tahu tipe silken juga dapat dibuat dengan menggunakan koagulan tipe nigari dan kalsium sulfat, begitu juga dengan tipe hard yang dapat memakai koagulan tipe lakton serta kalsium sulfat. Jadi untuk kasus tahu silken dan tahu firm yang memakai koagulan yang sama, hal yang membuat terjadinya perbedaan tekstur hanyalah variasi kondisi koagulasi, dan khusus untuk tahu tipe

firm (hard atau soft) adanya aplikasi penekanan.

Berdasarkan berat basah, nilai kadar protein untuk tahu kelompok elastisitas yang dapat dilihat pada Tabel 20 berkisar antara 5.87 hingga 11.08 g/100g bahan basah. Sampel berkode 12, 13, 28 dan 31 memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata pada p=0.05.Dapat dilihat juga pada tabel tersebut bahwa sampel bertipe silken (baik silken, silken egg, maupun silken egg and shrimp) memiliki kadar protein di bawah kadar protein dari tahu bertipe hard dan soft. Kadar protein tahu bertipe hard dan soft merupakan yang tertinggi karena tahu tersebut mengalami penekanan saat pembuatannya oleh produsennya. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan dari metode pelarutan

55

protein. Total protein tertinggi justru terdapat pada tahu tipe silken, sedangkan tahu bertipe hard dan

soft total proteinnya berada di bawahnya. Hal ini disebabkan oleh tidak sepenuhnya protein tahu yang

dianalisis berhasil diekstrak, akibat tertahan oleh matriks tahu. Di atas itu semua, kadar protein bahan basah ini kemungkinan masih terdapat pengaruh kadar air.

Tabel 20. Data kadar protein metode Kjeldahl untuk sampel elastisitas Kode Sampel Kadar Protein (g/100g bahan kering) Kadar Protein (g/100g bahan basah) Total Protein (mg/100mg) Nilai Elastisitas (%)

Tipe Tahu Jenis Koagulan

1 49.52a 5.94a 2.95 0.5964a Silken GDL, Garam

6 52.73b 8.34d 1.92 0.6770bcd silken egg GDL, Garam

12 49.94a 7.11b 3.30 0.7361d Silken GDL. Garam 13 52.88b 7.01b 4.60 0.8161e Silken GDL, CaSO4, MgCl2 19 56.14c 7.75c 4.38 0.8729efgh Silken GDL, CaSO4, MgCl2 24 53.91bc 9.59e 2.73 0.9140hijk Hard Garam

28 49.03a 7.04b 1.53 0.9320hijk Silken egg GDL, CaSO

4

31 49.41a 7.19b 1.00 0.9389ijk Silken egg GDL, CaSO

4

36 54.33bc 5.87a 0.94 0.9479ijk Silken egg

and shrimp Garam

46 56.54c 11.08f 3.15 0.9786k Soft Garam

Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05

Menurut Chang (2006), tekanan dan durasi penekanan akan mempengaruhi kandungan air, hasil dan tekstur dari tahu. Gandhi dan Bourne (1988) menunjukkan bahwa ketika penekanan ditingkatkan dari 4.79 ke 19.1 g/cm2, kandungan air dari tahu menurun dari 82% hingga 60% dan hasil menurun dari 2.0 kg hingga 1.2 kg per kg seluruh kedelai kering. Dengan kata lain tahu yang ditekan dengan tekanan dan durasi tertentu akan membuat proteinnya semakin terkonsentrasi, walaupun produk yang didapat lebih sedikit dibandingkan bila tidak ditekan akibat terbuangnya whey tahu selama penekanan. Dengan demikian ± 240 mg tahu hard dan soft yang diambil untuk pengukuran kadar nitrogennya, akan memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan ± 240 mg tahu silken. Hal ini dikarenakan kadar air yang dimiliki oleh tahu silken, kontribusinya dalam ± 240 mg lebih besar dibandingkan dengan kontribusi kadar air tahu hard atau soft. Sebaliknya kontribusi kadar protein tahu silken dalam ± 240 mg lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi kadar protein tahu hard dan soft. Hal ini khusus untuk kadar protein berdasarkan bahan basah. Data kadar protein berdasarkan bahan basah ini masih dipengaruhi oleh kadar air.

Kadar protein bisa juga dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi koagulan. Seperti yang dijelaskan oleh Blazek (2008), perbedaan penggunaan jenis dan konsentrasi koagulan, pengadukan yang dilakukan selama koagulasi, dan tekanan terhadap curd akan memberikan variasi tahu mulai dari keras hingga lunak dengan kandungan air berkisar antara 70% hingga 90% dan kandungan protein 5% hingga 16% berdasarkan berat basah. Menurut Fahmi (2010), protein yang terkoagulasi menggunakan

56

dibandingkan dengan curd yang terbentuk oleh koagulan CH3COOH. Semakin tinggi konsentrasi

koagulan CaSO4.2H2O yang digunakan untuk membuat curd, akan membuat protein yang terkoagulasi

semakin banyak. Hal ini disebabkan oleh peningkatan konsentrsi ion Ca2+ untuk membentuk jembatan

penghubung protein. Sementara itu, pada curd CH3COOH, peningkatan konsentrasi koagulan akan

membuat protonasi pada gugus COO- semakin banyak sehingga koagulasi protein akan meningkat.

Dapat dilihat pada Tabel 20, tampaknya penambahan bahan lainnya seperti telur dan udang, belum tentu menyebabkan kandungan protein tahu menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh, tahu berkode 1 yang tidak mengandung telur, dengan nilai elastisitas 0.5964 %, memiliki nilai kadar protein 49.52 g/100g bahan kering. Tahu berkode 31 yang mengandung telur, dengan nilai elastisitas 0.9389 % yang berbeda nyata pada p=0.05 dengan nilai elastisitas tahu berkode 1, memiliki nilai kadar protein 49.41 g/100g bahan kering yang tidak berbeda nyata pada p=0.05 dengan kadar protein tahu berkode 1. Hal ini dikarenakan kadar protein jauh lebih dipengaruhi oleh kemampuan dari jenis koagulan beserta besar konsentrasinya dalam mengkoagulasi protein. Koagulan yang ditambahkan ke dalam susu kedelai, baik yang telah ditambahkan dengan telur dan udang ataupun yang tidak ditambahkan dengan telur dan udang, akan mengkoagulasikan protein tertentu sesuai dengan jenis dan banyaknya koagulan. Jadi penambahan telur dan udang bukan berarti akan meningkatkan kadar protein, karena jumlah protein yang dikoagulasikan oleh koagulan akan sama (sesuai dengan jenis koagulan).

Selain itu suhu koagulasi juga mempengaruhi banyaknya protein yang terkoagulasi. Hal ini senada dengan pernyataan Karsono (2010) yang mengatakan suhu awal proses koagulasi yang tinggi

(83oC) menyebabkan partikel protein bergerak lebih cepat dan intensitas untuk berinteraksi

membentuk agregat juga semakin besar, atau dengan kata lain agregasi protein pada suhu awal proses

koagulasi 83oC berlangsung cepat. Sebaliknya suhu awal proses koagulasi 63oC menyebabkan

agregasi berlangsung lambat sehingga dalam waktu yang ditentukan (10 menit) masih banyak koagulat protein yang belum teragregasi membentuk curd. Sehingga dibutuhkan suhu koagulasi yang tepat untuk mendapatkan kadar protein yang optimum.

Total protein yang didapat melalui pelarutan protein sebenarnya tidak dapat dibandingkan dengan total protein yang didapatkan melalui metode Kjeldahl. Hal ini disebabkan total protein yang didapat dari metode pelarutan, tahu yang dipakai sudah dihilangkan kandungan lemaknya. Total protein yang didapatkan dari metode Kjeldahl, tahu yang dipakai kandungan lemaknya tidak dihilangkan. Selain itu total protein metode Kjeldahl berdasarkan bahan kering terlihat jauh lebih besar dibandingkan dengan total protein dari metode pelarutan. Hal ini terjadi karena nilai tersebut berdasarkan berat kering atau dengan kata lain dengan mengecualikan kandungan airnya.

Total protein metode Kjeldahl berdasarkan bahan basah sedikit lebih mendekati total protein metode pelarutan, karena keduanya sama-sama tidak mengecualikan kadar air. Perbedaan yang ada hanya terdapat pada kandungan lemaknya, yaitu total protein metode pelarutan tidak memiliki kandungan lemak karena sudah dihilangkan sebelumnya. Kandungan lemak dari tahu sebenarnya

tidaklah sebesar kadar air yaitu hanya sekitar 4.8 g/100g tahu (Anonima, 2011), sehingga perbedaan

yang dihasilkan penghilangan lemak tidak akan sebesar pengecualian kadar air. Selain itu kadar lemak telur juga tidak terlalu berpengaruh karena penambahan telur ke dalam tahu tidaklah banyak. Sama halnya dengan udang, penambahan udang ke dalam tahu hanyalah sebagai flavor, dan udang yang ditambahkan pun hanya sedikit, bahkan ada yang hanya menambahkan flavor udang. Hal ini dikarenakan harga udang yang cukup tinggi. Atas dasar ini peneliti mencoba sedikit menghubungkan antara total protein metode Kjeldahl berdasarkan bahan basah dengan total protein metode pelarutan.

Total protein yang didapat melalui pelarutan protein terlihat lebih kecil dibandingkan dengan total protein yang didapatkan melalui metode Kjeldahl berdasarkan bahan basah. Total protein terlarut dari tahu kelompok elastisitas berkisar antara 0.94 hingga 4.60 mg/100mg, hasil ini jauh lebih kecil

57

dibandingkan dengan hasil yang didapat dari metode Kjeldahl (5.87 hingga 11.08 g/100g bahan basah atau 5.87 hingga 11.08 mg/100mg). Padahal total protein dari metode pelarutan sudah mengecualikan lemak, seharusnya justru nilainya lebih besar. Hal ini disebabkan oleh tidak semua protein berhasil terekstrak akibat tertahannya protein dalam matriks tahu yang dianalisis saat dilarutkan. Sedangkan total protein yang diukur dengan metode Kjeldahl adalah total nitrogen (N) yang ada di dalam curd, baik N yang berasal dari protein maupun N yang berasal dari komponen non protein (Karsono, 2010). Total nitrogen ini kemudian dikonversi menjadi kadar protein dengan cara mengalikannya dengan faktor konversi. Faktor konversi yang dipakai dalam penelitian ini adalah 6.25. Ini yang menyebabkan hasil total protein metode Kjeldahl terlihat lebih banyak dibandingkan dengan metode pelarutan protein.

*tidak signifikan pada p<0.05

Gambar 16. Grafik korelasi kadar protein Kjeldahl bahan kering dan elastisitas

Guna melihat apakah terdapat hubungan antara nilai total protein metode Kjeldahl berdasarkan bahan kering dengan nilai elastisitas tahu maka dianalisis korelasinya menggunakan korelasi Pearson. Kadar protein yang digunakan adalah yang berdasarkan berat kering. Hal ini dilakukan untuk menghindari ikut terbawanya pengaruh kadar air terhadap nilai elastisitas tahu. Dapat dilihat pada Gambar 16 bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara kadar protein metode Kjeldahl dengan profil tekstur elastisitas. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R yang rendah (0.392) dan tidak signifikan pada p<0.05. Itu berarti meningkatnya kadar protein belum tentu akan meningkatkan keelastisitasan tahu. Hal ini didukung oleh data yang ada pada data Tabel 20. Seperti kode bersampel 1 dan 31 yang telah dijelaskan sebelumnya, sampel berkode 12 dengan nilai kadar protein 49.94 g/100g bahan kering memiliki nilai elastisitas 0.7361% yang berbeda nyata pada p=0.05 dengan nilai elastisitas sampel berkode 31 (0.9389 %) yang memiliki nilai kadar protein 49.41 g/100g bahan kering yang tidak berbeda nyata pada p=0.05 dengan sampel berkode 12.

Untuk melihat seperti apa korelasi antara nilai total protein metode Kjeldahl berdasarkan bahan basah dengan nilai elastisitas tahu, dengan maksud membandingkannya dengan korelasi antara total protein berdasarkan bahan kering dengan nilai elastisitas, maka korelasi tersebut peneliti analisis menggunakan korelasi Pearson. Hasil yang didapat yang dapat dilihat pada Gambar 17 adalah sama, yaitu tidak terdapat korelasi yang signifikan antara kadar protein Kjeldahl berdasarkan bahan basah

R = 0.392* 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 48.00 50.00 52.00 54.00 56.00 58.00 El as ti si ta s (% ) Kadar Protein (g/100g bahan kering)

58

dengan nilai elastisitas tahu yang ditunjukkan dengan nilai R yang rendah (0.372) dan tidak signifikan pada p<0.05. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa kadar air tampaknya tidak mempengaruhi korelasi antara nilai kadar protein bahan basah dengan nilai elastisitas. Hal tersebut juga didukung dengan data kadar air yang telah didapatkan sebelumnya dan dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kadar air tidak mempengaruhi nilai elastisitas yang ditunjukkan nilai R yang rendah dan negatif (-0.306) dan tidak signifikan pada p<0.05.

*tidak signifikan pada p<0.05

Gambar 17. Grafik korelasi kadar protein Kjeldahl bahan basah dan elastisitas Tabel 21. Data kadar protein metode Kjeldahl untuk sampel daya kunyah

Kode Kadar Protein Kadar Protein (g/100g bahan basah) Total Protein (mg/100mg) Nilai Chewiness (kg)

Tipe Tahu Jenis Koagulan Sampel (g/100g bahan

kering)

28 49.03a 7.04c 1.53 0.7259gh Silken egg GDL, CaSO

4

34 52.69bc 6.22b 0.82 0.7554gh Silken egg

and shrimp diketahui Tidak

33 50.26ab 6.99c 1.10 0.8039ghij Silken egg GDL, CaSO

4

36 54.33c 5.87a 0.94 0.8303ghij Silken egg

and shrimp Garam

42 54.29c

7.14c - 0.8779hij

Silken egg Garam

32 51.00ab 7.04c 1.35 0.9176hijk Silken

shrimp GDL, CaSO4

31 49.41a 7.19c 1.00 0.9667hijk Silken egg GDL, CaSO

4

40 49.09a 6.27b - 1.0510jk Silken egg Garam

43 52.46bc 6.36b - 1.1344kl Silken egg Garam

29 52.57bc

12.45d 4.11 1.3413l

Soft Garam

Nilai pada kolom yang sama dengan huruf superscript yang berbeda adalah berbeda signifikan pada p=0.05

R = 0.372* 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 0 2 4 6 8 10 12 El a st is it a s (% ) Kadar Protein (g/100g bahan basah)

59

Tabel 21 menunjukkan nilai kadar protein untuk tahu kelompok chewiness atau daya kunyah berkisar antara 49.03 hingga 54.33 g/100g bahan kering. Sampel berkode 28, 33, 32, 31 dan 40 memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata pada p=0.05. Sampel berkode 34, 33, 32, 43 dan 29 memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata pada p=0.05. Sampel berkode 34, 36, 42, 43 dan 29 memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata pada p=0.05. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa tahu silken egg and shrimp memiliki kadar protein berdasarkan berat kering yang paling tinggi, alih-alih tahu soft. Tahu tipe soft kadar protein berdasarkan berat keringnya masih lebih rendah dibandingkan dengan tahu tipe silken berkode 34 (silken egg and shrimp), 36 (silken egg and shrimp), dan 42 (silken egg). Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi koagulasi yang berbeda, tapi untuk jenis koagulan ternyata tahu tipe soft yang berkode 29 dan tahu bertipe silken berkode 36 dan 42 sama-sama menggunakan koagulan jenis garam, walaupun tidak jelas garam apa yang digunakan. Dengan demikian hal yang membuat perbedaan ini tampaknya adalah kondisi koagulan, penekanan, dan garam koagulan jenis apa yang dipakai.

Tabel 21 juga mendukung pernyataan sebelumnya bahwa penambahan telur belum tentu menyebabkan kadar protein pada tahu menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh, tahu berkode 29 yang tidak mengandung telur maupun udang, dengan nilai daya kunyah 1.3413 kg memiliki nilai kadar protein 52.57 g/100g bahan kering. Tahu berkode 33 yang mengandung telur, dengan nilai daya kunyah 0.8039 kg yang berbeda nyata pada p=0.05 dengan nilai elastisitas tahu berkode 29. Hal ini dikarenakan kadar protein jauh lebih dipengaruhi oleh kemampuan dari jenis koagulan beserta besar konsentrasinya dalam mengkoagulasi protein. Koagulan yang ditambahkan ke dalam susu kedelai, baik yang telah ditambahkan dengan telur dan udang ataupun yang tidak ditambahkan dengan telur dan udang, akan mengkoagulasikan protein tertentu sesuai dengan jenis dan banyaknya koagulan. Jadi penambahan telur dan udang bukan berarti akan meningkatkan kadar protein, karena jumlah protein yang dikoagulasikan oleh koagulan akan sama (sesuai dengan jenis koagulan).

Nilai kadar protein berdasarkan bahan basah untuk tahu kelompok chewiness atau daya kunyah yang dapat dilihat pada Tabel 21 adalah berkisar antara 5.87 hingga 12.45 g/100g bahan basah. Sampel berkode 28, 33, 42, 32, dan 31 memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata pada p=0.05. Sampel berkode 34, 40, dan 43 juga tidak berbeda nyata pada p=0.05. Data pada tabel ini juga menunjukkan bahwa sampel bertipe silken egg dan silken egg and shrimp memiliki kadar protein di bawah kadar protein dari tahu bertipe soft. Kadar protein tahu bertipe soft merupakan yang tertinggi karena pada data ini kadar air masih mempengaruhi. Pada tahu tipe ini terdapat aplikasi penekanannya saat pembuatannya, sehingga kadar air semakin rendah. Semakin rendah kadar air suatu sampel maka kadar protein bahan kering akan lebih rendah dengan kadar protein bahan kering dari sampel yang memiliki kadar air tinggi.

Data tersebut juga mendukung pernyataan mengenai penambahan bahan lain seperti udang yang belum tentu mempengaruhi besarnya kadar protein tahu. Data tersebut juga mendukung pernyataan mengenai penambahan bahan lain seperti udang yang belum tentu mempengaruhi besarnya kadar protein tahu. Dapat dilihat pada Tabel 21, sampel berkode 34 yang mengandung telur

dan udang memiliki kadar protein (52.69 g/100g bahan kering) yang tidak berbeda nyata pada p=0.05

dengan kadar protein sampel berkode 43 (52.46 g/100g bahan kering) yang hanya mengandung telur,

padahal nilai elastisitas sampel berkode 34 dan 43 berbeda nyata pada p=0.05, yaitu secara berturut-turut 0.7554 dan 1.1344 kg. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kadar protein jauh lebih dipengaruhi oleh kemampuan dari jenis koagulan beserta besar konsentrasinya dalam mengkoagulasi protein. Koagulan yang ditambahkan ke dalam susu kedelai, baik yang telah ditambahkan dengan telur dan udang ataupun yang tidak ditambahkan dengan telur dan udang, akan mengkoagulasikan

60

protein tertentu sesuai dengan jenis dan banyaknya koagulan. Jadi penambahan telur dan udang bukan berarti akan meningkatkan kadar protein, karena jumlah protein yang dikoagulasikan oleh koagulan akan sama (sesuai dengan jenis koagulan).

Hasil yang didapatkan dari ekstraksi protein berbeda dengan hasil dari metode Kjeldahl. Hasil ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 21 yang menunjukkan bahwa nilai total protein tahu kelompok daya kunyah (0.82 hingga 4.11 mg/100mg) jauh lebih kecil dibandingkan dengan total protein tahu yang didapat dari metode Kjeldahl yang berkisar antara 5.91 hingga 12.45 g/100g bahan basah (5.91 hingga 12.45 mg/100mg bahan basah). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, protein yang dianalisis dengan metode pelarutan protein belum tentu semuanya berhasil diekstrak oleh larutan buffer yang mengandung mercaptoethanol akibat tertahan oleh matriks tahu. Total protein tertinggi pada tahu kelompok daya kunyah metode pelarutan protein justru terdapat pada tahu tipe soft. Hasil ini sama dengan hasil yang ditunjukkan oleh total protein yang didapatkan dari metode Kjeldhal. Hasil analisis ragam untuk melihat perbedaan nyata di antara kadar protein bahan kering tahu-tahu komersial baik kelompok elastisitas maupun kelompok daya kunyah terdapat pada Lampiran 22.

*tidak signifikan pada p<0.05

Gambar 18. Grafik korelasi kadar protein Kjeldahl bahan kering dan daya kunyah

Berdasarkan Gambar 18, dapat dilihat bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat chewiness atau daya kunyah dengan nilai kadar protein Kjeldahl. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R yang rendah (0.085) dan tidak signifikan pada p<0.05. Itu berarti kadar protein tidak mempengaruhi tingkat daya kunyah. Semakin tinggi kadar protein belum tentu akan membuat tingkat daya kunyah semakin meningkat pula. Hal ini bertentangan dengan pernyataan Karsono (2010) yang menyatakan bahwa kadar protein curd berkorelasi positif terhadap kekerasan dan kohesivitas pada taraf 5 %. Tektur curd yang dihasilkan semakin keras dan kompak seiring dengan meningkatnya kadar protein curd. Kekerasan dengan daya kunyah saling berhubungan, semakin tinggi kekerasan maka semakin dibutuhkan banyak kunyahan untuk mengubah bahan makanan menjadi bentuk kecil-kecil yang siap untuk ditelan. Seperti yang dinyatakan oleh Fahmi (2010), semakin tinggi kekerasan sampel dan semakin kompak struktur sampel tersebut akan membuat daya kunyahnya menjadi semakin tinggi. Daya kunyah dipengaruhi oleh kekerasan serta kekompakan sampel (DeMan, 1985). Dengan kata lain semakin tinggi kekerasan akan menyebabkan daya kunyah semakin tinggi pula.

R = 0.085* 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 48.00 49.00 50.00 51.00 52.00 53.00 54.00 55.00 C h e w in e ss (k g) Kadar Protein (g/100g bahan kering)

61

Perbedaan kondisi koagulasi dan jenis koagulasi tampaknya menyebabkan perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian Karsono. Selain itu varietas kedelai dan aplikasi penekanan juga mempengaruhi. Karsono (2010) menggunakan jenis koagulan whey, dan kondisi koagulasinya antara 63 dan 83oC. Jenis koagulan yang dipakai oleh produsen untuk memproduksi tahu-tahu komersial

kelompok daya kunyah yaitu GDL, Ca2SO4, dan garam, sedangkan kondisi koagulasi tidak diketahui.

Karsono selain itu juga menghitung kadar proteinnya berdasarkan bahan basah, sehingga kadar air juga tampaknya ikut berpengaruh terhadap kadar protein bahan basahnya.

*signifikan pada p<0.05

Gambar 19. Grafik korelasi kadar protein Kjeldahl bahan basah dan daya kunyah

Untuk melihat seperti apa korelasi antara nilai total protein metode Kjeldahl berdasarkan bahan basah dengan nilai daya kunyah tahu, dengan maksud membandingkannya dengan korelasi antara total protein berdasarkan bahan kering dengan nilai daya kunyah, maka korelasi tersebut peneliti analisis menggunakan korelasi Pearson. Hasil yang didapat yang dapat dilihat pada Gambar 19 adalah berbeda, yaitu terdapat korelasi positif yang signifikan antara kadar protein Kjeldahl berdasarkan bahan basah dengan nilai daya kunyah tahu yang ditunjukkan dengan nilai R yang cukup tinggi (0.692) dan signifikan pada p<0.05. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa kadar air tampaknya mempengaruhi korelasi antara nilai kadar protein bahan basah dengan nilai daya kunyah. Hal tersebut juga didukung dengan data kadar air yang telah didapatkan sebelumnya dan dapat dilihat

Dalam dokumen IV. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 28-36)

Dokumen terkait