3. METODE PENELITIAN
3.2. Metode Analisis
3.2.2. Analisis Keterkaitan
Analisis keterkaitan antar sektor biasa digunakan untuk mengetahui sektor-sektor kunci dalam perekonomian. Dikenal dua jenis keterkaitan, yakni (1) keterkaitan ke belakang yang merupakan keterkaitan dengan bahan mentah dan dihitung menurut kolom, dan (2) keterkaitan ke depan yang merupakan keterkaitan kepada pengguna barang jadi dan dihitung menurut baris.
a. Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkages)
Backward linkages (BL) menggambarkan hubungan antara suatu sektor dengan input–input sektornya (banyaknya sektor dalam perekonomian adalah n). Semakin besar angka keterkaitan ke belakang suatu sektor berarti semakin besar kemampuan sektor tersebut, jika dikembangkan atau ditingkatkan permintaan akhirnya, menarik sektor-sektor lain untuk ikut berkembang (naik
outputnya). Secara umum terdapat dua jenis keterkaitan ke belakang, yakni keterkaitan ke belakang langsung (BLL) dan keterkaitan ke belakang total (BLT).
Analisis keterkaitan ke belakang total dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) keterkaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (direct and indirect backward linkages) atau keterkaitan total terbuka, (2) keterkaitan langsung, tidak langsung dan terimbas (direct, indirect and induced backward linkages) atau keterkaitan total tertutup, yang masing-masing dapat dibedakan menurut output, pendapatan dan kesempatan kerja ataupun parameter ekonomi lainnya seperti nilai tambah, pajak, keuntungan usaha dan impor.
b. Keterkaitan ke Depan (Forward Linkages )
Forward linkages (FL) merupakan suatu perhitungan untuk melihat keterkaitan antara suatu sektor dengan sektor lainnya yang akan memakainya sebagai input dalam proses produksi. Secara umum terdapat dua jenis keterkaitan ke depan, yakni keterkaitan ke depan langsung (FLL) dan keterkaitan ke depan total (FLT).
Adapun rumusan perhitungan dari forward linkage adalah sebagai berikut :
Seperti halnya analisis keterkaitan ke belakang, analisis keterkaitan ke depan total juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) keterkaitan ke depan langsung dan tidak langsung (direct and indirect forward linkages) atau keterkaitan total terbuka dan (2) keterkaitan langsung, tidak langsung dan terimbas (direct, indirect and induced forward linkages) atau keterkaitan total tertutup, yang masing-masing dapat dibedakan menurut output, pendapatan dan kesempatan kerja.
Analisis indeks keterkaitan mulanya dikembangkan untuk melihat keterkaitan antar sektor, terutama untuk menentukan strategi kebijakan pembangunan (Rasmussen 1956, Hirschman 1958 dan Cella 1984, diacu dalam Daryanto & Hafizrianda 2010). Mengukur indeks keterkaitan saja dianggap tidak cukup karena belum mencerminkan keragaman pengaruh ganda antar sektor, untuk itu indeks penyebaran perlu dihitung guna mengetahui keragaman ketergantungan antar sektor. Indeks penyebaran yang tinggi pada sektor i berarti sektor i hanya tergantung pada satu atau beberapa sektor saja. Sedangkan bila indeks penyebaran sektor i rendah, ini menggambarkan bahwa sektor i tergantung secara merata terhadap seluruh sektor dalam perekonomian. Poot, et.
al. (1992) menyarankan bahwa dalam menentukan sektor andalan, selain tingginya indeks keterkaitan juga harus diikuti dengan rendahnya indeks penyebaran. Indeks penyebaran langsung masing-masing juga dapat dibedakan menurut output, pendapatan dan kesempatan kerja. Sebagai ilustrasi, Indeks penyebaran (spread index) kebelakang langsung output sektor j di rumuskan sebagai :
Berdasarkan matriks kebalikan leontif, baik model terbuka maupun model tertutup dapat ditentukan nilai-nilai dari pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja berdasarkan rumusan yang tercantum dalam Tabel 3.3 yang diacu dari Miller dan Blair (1985). Pada penelitian ini angka pengganda tenaga kerja tidak dihitung karena alasan keterbatasan series data tenaga kerja yang tidak dapat dirinci menurut 66 sektor.
Tabel 3.3. Rumus Perhitungan Angka Pengganda
Tipe Dampak Output Pendapatan
Dampak Awal 1 pi
Dimana, pi adalah koefisien pendapatan rumah tangga; aij adalah koefisien input langsung; bij adalah koefisien matriks kebalikan terbuka; dan b*ij adalah koefisien matriks kebalikan tertutup.
3.2.4. Analisis Ketergantungan Ekspor
Formulasi angka ketergantungan ekspor dan multiplier output untuk ekspor dilakukan dengan mengikuti metodologi yang diperkenalkan oleh Kaneko (1985). Derajat ketergantungan ekspor menunjukkan proporsi produksi suatu sektor yang secara langsung maupun tidak langsung dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Indikator ini menunjukkan keterkaitan suatu sektor dengan aktivitas ekspor. Semakin tinggi derajat ketergantungan ekspor suatu sektor berarti semakin besar ketergantungan ekspor terhadap sektor tersebut.
Derajat ketergantungan ekspor suatu sektor diperoleh dengan mengalikan invers koefisien matriks model Leontief setelah dimodifikasi dengan koefisien impor I-(I-M)A-1 dengan vektor kolom ekspor dan kemudian membaginya dengan total output dari masing-masing sektor. Ketergantungan ekspor suatu sektor (dk) diformulasikan sebagai berikut :
Dampak pengganda ekspor akan berkaitan dengan output yang dihasilkan oleh suatu sektor dan daya penyerapan tenaga kerja sektor tersebut. Hal ini dapat
diakomodasi dengan analisis pengganda ekspor untuk output dan pengganda ekspor untuk penyerapan tenaga kerja. Angka pengganda ekspor terhadap output mengukur dampak aktivitas ekspor dari suatu sektor terhadap peningkatan output bagi perekonomian secara keseluruhan. Analisis pengganda tersebut mengukur kinerja ekspor dan dampaknya terhadap perekonomian domestik.
Indeks pengganda ekspor terhadap output (poi) dinyatakan dalam formula sebagai berikut:
Hasil perhitungan matriks pengganda output (Multiplier Product Matrix) disajikan dalam grafik tiga dimensi untuk memvisualisasikan struktur perekonomian (economic landscape). Multiplier Product Matrix (MPM) adalah suatu matriks yang menunjukkan nilai dari first orderintensity dan field of influence seluruh sel, yang menerangkan tentang reaksi pertama yang akan terjadi pada field of influence dari masing-masing sel bila terjadi perubahan pada suatu sel dari matriks kebalikan Leontief (B) akibat adanya suatu shock eksternal. MPM menyediakan suatu ukuran interaksi sektor-sektor dalam perekonomian yang menyajikan pengaruh suatu sektor terhadap sektor-sektor lainnya yang besaran pengaruhnya dapat diperbandingkan dengan sektor lainnya atau sektor itu sendiri untuk waktu yang berbeda.
Kegiatan produksi suatu sektor memiliki dua efek bagi sektor lain dalam perekonomian yaitu efek meningkatkan permintaan dan penawaran. Keterkaitan ini menggambarkan interaksi sektor j dengan sektor-sektor lain yang menyediakan outputnya sebagai input bagi kegiatan produksi sektor j (backward linkage) dan interaksi sektor j tersebut dengan sektor-sektor lain pengguna output sektor j sebagai inputnya (forward linkage). Oleh karena MPM menyediakan ukuran kuantitatif atas hubungan antar sektor dalam perekonomian maka besaran nilai yang bervariasi tersebut dapat disusun berdasarkan hierarki tertentu. Semakin besar nilai MPM suatu sel akan semakin tinggi grafik batang yang menunjukkan
bahwa sel tersebut memiliki nilai backward linkage dan forward linkage yang makin besar. Nilai MPM juga menggambarkan peranan suatu sektor dalam perekonomian.
MPM masing-masing periode yang disusun secara runtun menurut hirarki tahun 1971 memperlihatkan proses perubahan struktur ekonomi sepanjang periode analisis, sementara runtun MPM yang disusun menurut hirarki tahun 2008 menguraikan kilas balik perubahan struktur ekonomi tersebut. MPM masing-masing periode yang disusun menurut hirarki satu periode sebelumnya menggambarkan perubahan terakhir yang membentuk struktur perekonomian dimaksud.
Halaman ini sengaja dikosongkan
4.1. Pengujian Model Input Output
Koefisien teknis dalam Tabel Input Output menunjukkan kontribusi suatu sektor dalam pembentukan output total secara langsung. Besaran koefisien teknis ini menentukan pengganda dan tingkat keterkaitan suatu sektor. Perubahan koefisien input suatu sektor dapat diamati kecenderungannya apakah meningkat, menurun atau konstan. Aplikasi data input output dalam perencanaan ekonomi (forecasting) biasanya menggunakan asumsi tingkat koefisien teknis yang konstan selama periode perencanaan (biasanya lima tahun). Dari data input output Indonesia yang dikeluarkan BPS sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 2008 akan diamati perubahan tersebut.
4.1.1. Uji Regresi Koefisien Teknis
Hasil uji kebaikan suai (goodness of fit test) terhadap model perubahan teknis memperlihatkan bahwa model yang digunakan sangat baik untuk estimasi (highly significant) kecuali untuk koefisien teknis sektor “karet (7)” tahun 1980, sektor “tanaman lainnya (17)” tahun 1995 dan sektor “tanaman bahan makanan lainnya (6)” tahun 2005 yang tidak signifikan. Model-model regresi tersebut memiliki nilai R-square yang tinggi atau dengan perkataan lain koefisien teknis periode sebelumnya (xij) mampu menjelaskan koefisien teknis periode berikutnya (xij*). Nilai R-square sebagaimana dimaksud disajikan pada Lampiran 1 dan 2.
Tidak terjadi perubahan teknis yang signifikan antara satu periode ke periode berikutnya, terindikasi dari hasil uji regresi koefisien teknis xij*=+xij dengan hipotesis =0 dan =1. Nilai-nilai untuk masing-masing sektor ditampilkan pada Lampiran 3 dan 4, sedangkan untuk nilai-nilai koefisien disajikan pada Lampiran 5 dan 6.
4.1.2. Uji Matriks Leontief
Uji ini dilakukan untuk mendukung analisis, yaitu dengan menguji deviasi nilai output sektoral hasil estimasi dengan data output aktual. Uji dilakukan sebanyak delapan kali dengan menggunakan matriks Leontief tahun 1975, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000, 2005 dan 2008. Deviasi hasil estimasi total output
dengan uji matriks Leontief memiliki kecenderungan over estimate untuk setiap periode. Hal ini disebabkan oleh adanya deviasi yang terlalu tinggi (outlier) pada beberapa sektor, antara lain sektor “tanaman bahan makanan lainnya (6)”, “hasil tanaman serat (15)”, “industri kimia (40)”, “industri dasar besi dan baja (45)”, industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik (48)” dan sektor “lain-lain (66)”.
Keenam sektor sebagaimana tersebut memiliki deviasi yang sangat tinggi hampir disetiap periode. Deviasi total tertinggi terjadi pada tahun 1990 sebesar 19,33 persen (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Deviasi Output Hasil Estimasi terhadap Output Aktual
Sektor Deviasi (%)
1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2008 Total 12,97 10,52 0,41 19,33 7,48 10,87 12,65 14,05 Primer 15,77 (0,52) 3,60 6,07 3,30 10,28 8,77 1,11 Sekunder 14,45 22,41 5,13 22,34 12,97 21,67 12,14 26,68 Tersier 14,92 14,05 0,41 20,86 8,69 8,96 9,38 19,49 Rata-rata 20,85 13,92 4,39 19,74 10,08 19,92 12,98 18,43
Deviasi terbesar pada sektor primer terjadi di sektor “tanaman bahan makanan lainnya (6)” dan “hasil tanaman serat (15)”. Sektor 6 merupakan agregasi dari beberapa sektor yang menghasilkan produk tanaman bahan makanan lainnya sehingga deviasi yang besar sangat mungkin terjadi, sementara deviasi sektor 15 mungkin disebabkan oleh perubahan harga output yang berorientasi ekspor. Deviasi yang cukup besar juga sering terjadi antara lain pada sektor
“tanaman kacang-kacangan (2)”, “tebu (8)”, “kopi (12)”, “teh (13)”, dan
“pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25)”, kesemuanya disebabkan oleh perubahan harga output yang dipengaruhi nilai tukar rupiah. Nilai deviasi sektor-sektor primer ditampilkan pada Lampiran 7.
Pada sektor sekunder sebagaimana terlihat pada Lampiran 8, deviasi yang terbesar terjadi di sektor “industri dasar, besi dan baja (45)”. Jika dilihat antar periode pengamatan deviasi yang terjadi pada sektor-sektor sekunder cenderung semakin kecil, artinya matriks Leontief semakin tepat untuk meramalkan perubahan output sektoral yang terjadi akibat perubahan permintaan akhir.
Sampai dengan tahun 2008 deviasi antara output aktual dengan hasil estimasi menggunakan matriks Leontief pada sektor tersier seperti terlihat pada Lampiran 9 secara umum relatif kecil. Deviasi terbesar terjadi di sektor “angkutan
air (57)” diikuti sektor “jasa penunjang angkutan (59)” dan “usaha persewaan bangunan dan jasa perusahaan (62)”.
Dari kedua hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa koefisien teknis data input output nasional cukup baik untuk digunakan dalam perencanaan ekonomi lima tahun ke depan. Kecenderungan perubahan koefisien teknis yang relatif lebih konstan dan deviasi yang relatif semakin kecil memungkinkan penggunaan matriks Leontief untuk perencanaan ekonomi ke depan.
Perkembangan teknik pengumpulan dan pengolahan data dalam penyusunan Tabel IO diharapkan akan meningkatkan akurasi matriks Leontief untuk perencanaan.
4.2. Perkembangan Peran Sektoral dalam Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia
Peran sektoral dalam proses transformasi struktural perekonomian terlihat dari perkembangan beberapa indikator yang diturunkan dari model IO, antara lain;
perubahan struktur permintaan dan penawaran, struktur nilai tambah, angka pengganda, indeks keterkaitan dan derajat ketergantungan ekspor. Runtun data IO memperlihatkan kecenderungan perubahan berbagai indikator tersebut. Hal ini menggambarkan dinamika peran sektoral dalam proses perubahan struktural perekonomian.
4.2.1. Struktur Permintaan dan Penawaran
Keseimbangan umum dalam suatu sistem perekonomian dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi permintaan agregat (agregat demand) dan penawaran agregat (agregat supply). Permintaan terhadap output suatu sektor terdiri atas permintaan antara (intermediate demand) dan permintaan akhir (final demand). Permintaan antara adalah permintaan yang tercipta oleh suatu sektor yang menggunakan sektor lain sebagai input dalam proses produksinya, sedangkan permintaan akhir merupakan permintaan terhadap output suatu sektor yang langsung menjadi konsumsi akhir. Permintaan akhir terdiri atas permintaan domestik (domestic demand) yang berasal dari konsumsi swasta (consumption), konsumsi pemerintah (goverment expenditure) dan investasi (investment) serta permintaan ekspor (export). Penawaran suatu sektor dalam perekonomian terbuka dapat berasal dari produksi domestik (production) maupun impor (import).
4.2.1.1. Kontribusi Sektoral dalam Permintaan Antara
Data input output menunjukkan komposisi penawaran dan permintaan sektoral. Komposisi penawaran dari data input output meliputi kontribusi masing-masing sektor terhadap permintaan antara (intermediate demand) dan output total.
Pada Lampiran 10-12 terlihat bahwa secara keseluruhan sektor “padi (1)”
merupakan sektor yang mempunyai kontribusi terbesar terhadap total permintaan antara pada periode 1971 sampai dengan tahun 1990. Kontribusi sektor ini terus menurun dari kisaran 16 persen pada tahun 1971 menjadi 3 persen pada tahun 2008. Peranannnya digeser oleh sektor “perdagangan (53)” sejak 1995 sampai tahun 2008. Menurunnya kontribusi sektor ini dimungkinkan oleh meningkatnya transaksi produksi sektor-sektor lainnya seiring dengan perkembangan ekonomi.
Margin perdagangan yang relatif besar mengakibatkan peranan sektor perdagangan mampu mengambil alih peranan, mengingat sektor ini adalah sektor yang menghubungkan konsumen dengan produsen. Sektor “pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25)” merupakan sektor primer dengan kontribusi terbesar kedua setelah “padi (1)” dengan tren yang positif. Meningkatnya kontribusi sektor ini dalam komposisi permintaan antara sejalan dengan peningkatan upaya pengolahan lanjutan produk turunan dari hasil pertambangan minyak, gas dan panas bumi.
Sektor “industri kimia (40)” dan “pengilangan minyak bumi (41)”
merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar diantara sektor-sektor sekunder dengan kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Sebagian besar kontribusi sektor-sektor sekunder agak berfluktuasi bahkan cenderung menurun diakhir periode pengamatan terutama setelah tahun 2000, kecuali sektor “industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik (48)”. Peran sektor sekunder pada fase industrialisasi terindikasi semakin meningkat jika dilihat dari kontribusi beberapa sektor terhadap permintaan antara, namun proses deindustrialisasi yang terjadi sejak tahun 2002 mengakibatkan penurunan peran sektor-sektor tersebut. Sektor manufaktur telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi selama tahap industrialisasi berdasarkan analisis dengan pendekatan Kaldorian. Proses deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2002 cenderung menuju kearah yang negatif (Dewi 2010).
Pada sektor tersier kontribusi terbesar disumbangkan oleh sektor
“perdagangan (53)” yang berfluktuasi pada kisaran 8 hingga 11 persen. Kontribusi sektor-sektor tersier cenderung terlihat lebih merata dan relatif konstan dari waktu ke waktu. Sektor “komunikasi (60)” dan “lembaga keuangan (61)” memiliki kecenderungan meningkat walaupun kontribusinya masih relatif kecil. Keragaan sektor tersier dalam komposisi permintaan antara sangat tergantung pada penguasaan teknologi yang digunakan dalam proses produksi dan aglomerasi industri yang terjadi sebagai akibat industrialisasi. Pertumbuhan sektor manufaktur akan memicu pertumbuhan sektor selain manufaktur.
4.2.1.2. Kontribusi Sektoral dalam Output Total
Pada bagian lain (Lampiran 13-15) dapat diamati pula kontribusi masing-masing sektor terhadap output total, dimana output total merupakan penjumlahan total permintaan antara dan total permintaan akhir (final demand). Secara keseluruhan sektor “bangunan (52)” memberikan kontribusi terbesar dan cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu dalam kisaran 8 hingga 12 persen, diikuti sektor “perdagangan (53)” dengan kontribusi yang relatif konstan pada kisaran 8 hingga 9 persen. Kontribusi sektor “bangunan (52)” yang tinggi dalam pembentukan output total sangat terkait dengan tingginya nilai investasi yang biasa ditanamkan dalam pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari pembentukan modal tetap bruto sektor-sektor produksi.
Sektor “pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25)” merupakan sektor primer yang mempunyai peranan terbesar pada pembentukan output total bahkan dengan kontribusi lebih dari 10 persen pada era tahun 80-an. Kontribusi sektor ini terus menurun seiring menipisnya cadangan minyak, berbeda dengan dua sektor pertambangan lainnya; “pertambangan batubara dan biji logam (24)”
dan “pertambangan dan penggalian lainnya (26)” yang cenderung meningkat seiring eksplorasi temuan sumber-sumber mineral baru. Sektor-sektor primer lain kontribusinya cenderung terus menurun, kecuali sektor “sayur dan buah (5)”,
“kelapa sawit (10)” dan “perikanan (23)”. Peningkatan kontribusi sektor-sektor ini merupakan indikasi semakin pentingnya agroindustri (Firdaus, 1998).
Selain sektor “bangunan (52)”, pada sektor sekunder terlihat beberapa sektor yang memiliki kontribusi relatif besar dan stabil seperti sektor “industri
penggilingan padi (29)”, sektor “industri tekstil, pakaian dan kulit (36)”, sektor
“pengilangan minyak bumi (41)” dan sektor “industri mesin dan alat perlengkapan listrik (48)”. Sedangkan sektor “industri kimia (40)” memiliki kontribusi yang terus meningkat. Sektor-sektor sekunder yang memiliki output relatif besar merupakan sektor yang memanfaatkan output sektor primer sebagai input pada proses produksinya. Sektor-sektor tersebut juga merupakan penghasil barang-barang konsumsi akhir yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi permintaan akhir domestik. Strategi industrialisasi yang bertujuan mengurangi impor barang konsumsi (substitusi impor) menjadi salah satu faktor penyebab tingginya output sektor-sektor sekunder (Kuncoro 2007).
Sektor “perdagangan (53)” masih mendominasi kontribusi sektor-sektor tersier diikuti sektor “hotel dan restoran (54)” yang relatif stabil. Kontribusi sektor-sektor tersier yang lain relatif merata dengan fluktuasi yang sangat kecil antar periode pengamatan. Perubahan peringkat pangsa output sektoral sebagaimana terlihat pada Lampiran 58-60 menunjukkan kecenderungan menurunnya peran sektor primer dan semakin meningkatnya peranan sektor tersier. Sementara peranan sektor sekunder mengalami pasang surut, bahkan cenderung menurun yang mengindikasikan adanya proses deindustrialisasi.
Peranan sektor tersier dalam perekonomian akan semakin meningkat seiring kemajuan perekonomian suatu negara, namun kekuatan sektor primer menjadi landasan memuluskan proses industrialisasi. Fakta empiris menunjukkan bahwa tidak ada satu negarapun dapat mencapai fase ekonomi maju (developed countries) tanpa diawali fase tinggal landas (take-off) sektor pertanian, dan tidak ada satu negarapun dapat mencapai kemakmuran ekonomi jika masih didominasi oleh sektor pertanian.
4.2.1.3. Komposisi Permintaan Agregat
Sektor-sektor yang memiliki permintaan antara (intermediate demand) lebih besar daripada permintaan akhir (final demand) menunjukkan sektor tersebut berperan penting dalam transaksi produksi, artinya keluaran (output) sektor tersebut dominan digunakan oleh sektor lainnya sebagai input dalam proses produksi lanjutan. Sebaliknya sektor yang memiliki permintaan akhir lebih besar
daripada permintaan antara menunjukkan output sektor tersebut lebih dominan dikonsumsi secara langsung.
Tabel pada Lampiran 16 memperlihatkan bahwa sebagian besar sektor primer lebih didominasi oleh permintaan antara daripada permintaan akhir.
Keragaan ini menunjukkan adanya proses produksi lanjutan output sektor primer.
Sektor dengan kecenderungan permintaan antara yang terus meningkat antara lain sektor “jagung (3)”, “sayur dan buah (5)”, “tanaman perkebunan lain (16)” dan
“pemotongan hewan (19)”. Hal ini seiring dengan berkembangnya industri yang mengolah hasil pertanian dan mengindikasikan semakin pentingnya peran agroindustri dalam perekonomian.
Sebagian besar sektor sekunder menunjukkan komponen permintaan akhir yang lebih besar daripada permintaan antara, terutama sektor industri hilir.
Sementara sektor industri hulu lebih didominasi permintaan antara. Hal ini dimungkinkan karena output sektor ini dimanfaatkan oleh sektor lain sebagai masukan (input). Sektor yang menunjukkan kecenderungan komposisi permintaan akhir yang terus meningkat adalah sektor “industri minuman (33)”, “industri rokok (34)” dan “industri tekstil, pakaian dan kulit (36)”. Peningkatan ini disebabkan oleh naiknya kontribusi permintaan ekspor yang menunjukkan semakin pentingnya peran sektor ini dalam perekonomian. Dapat dilihat bahwa tidak terdapat sektor yang menunjukkan peningkatan komposisi permintaan akhir secara terus menerus, karena output sektor ini banyak digunakan sektor lain sebagai input (Lampiran 17).
Sebagian besar output sektor tersier merupakan permintaan akhir dan tidak banyak yang menjadi input bagi sektor lain. Namun demikian pangsa permintaan antara cenderung terus meningkat kecuali sektor “angkutan kereta api (55)” dan
“komunikasi (60)” sebagaimana terlihat pada Lampiran 18. Permintaan antara yang semakin meningkat memperlihatkan peranan sektor tersier dalam pembentukan output sektor lain semakin besar sekaligus mengindikasikan bahwa perekonomian mulai memasuki fase ekonomi maju (developed countries).
Perkembangan teknologi komunikasi dan moda transportasi meningkatkan peranan sektor ini dalam memenuhi permintaan akhir domestik yang meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk.
Selanjutnya dapat diamati komposisi permintaan akhir masing-masing sektor. Komposisi permintaan akhir secara umum lebih banyak didominasi oleh konsumsi domestik daripada permintaan ekspor. Pada sektor primer sebagaimana terlihat pada Lampiran 19 sampai dengan tahun 2008 hanya sektor “kopi (12)”
dan “tanaman perkebunan lain (16)” yang memiliki pangsa permintaan ekspor lebih besar daripada permintaan domestik. Pada awal periode pengamatan terdapat beberapa sektor yang memiliki pangsa ekspor cukup besar namun terus berkurang dari waktu kewaktu. Upaya mengurangi ekspor bahan mentah, terutama produk pertanian tercermin pada menurunnya pangsa ekspor produk sektor primer. Hal ini juga mengindikasikan meningkatnya peran agroindustri dalam perekonomian.
“Industri minyak dan lemak (28)” dan “industri logam dasar bukan besi (46)” merupakan sektor sekunder yang lebih didominasi permintaan ekspor sebagai akibat kelebihan produksi yang tidak terserap oleh permintaan domestik, sedangkan sebagian besar sektor sekunder yang lain lebih banyak memenuhi permintaan domestik. Hal ini terlihat pada Lampiran 20 dengan kecenderungan permintaan ekspor yang terus meningkat kecuali sektor “industri makanan lain (32)” dan “industri barang karet dan plastik (42)”. Permintaan ekspor sektor 32 yang terus menurun lebih disebabkan oleh meningkatnya konsumsi akhir produk tersebut, sedangkan penurunan ekspor sektor 42 lebih disebabkan oleh meningkatnya permintaan terhadap output sektor tersebut yang berasal dari sektor lain yang menjadikannya sebagai input dalam proses produksi lanjutan.
Pada Lampiran 21 terlihat bahwa pangsa ekspor sektor tersier masih relatif kecil, dominasi permintaan domestik masih sangat tinggi. Volume ekspor jasa masih jauh lebih kecil dibandingkan ekspor barang, hal ini lebih disebabkan karena masih rendahnya daya saing sektor jasa di pasar internasional. Tingginya permintaan domestik beberapa sektor tersier bahkan masih harus dipenuhi oleh penyediaan yang berasal dari impor. Pangsa ekspor sektor “angkutan air (57)”
yang mencapai 80 persen pada tahun 1971 terus menurun hingga tinggal 30 persen pada tahun 2008. Penurunan ini mungkin disebabkan perkembangan moda transportasi lain yang berhasil menggeser peranan sektor “angkutan air (57)”.
Penawaran agregat (agregat supply) dalam sistem perekonomian terbuka dapat dibagi menjadi dua sumber yaitu penawaran yang berasal dari produksi domestik dan impor. Sisi penawaran (supply) sektor primer masih dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Sektor “tanaman bahan makanan lain (6)” dan “hasil tanaman serat (15)” merupakan sektor yang masih sangat didominasi impor dengan pangsa diatas 90 persen. “Tanaman kacang-kacangan (2)” dan
Penawaran agregat (agregat supply) dalam sistem perekonomian terbuka dapat dibagi menjadi dua sumber yaitu penawaran yang berasal dari produksi domestik dan impor. Sisi penawaran (supply) sektor primer masih dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Sektor “tanaman bahan makanan lain (6)” dan “hasil tanaman serat (15)” merupakan sektor yang masih sangat didominasi impor dengan pangsa diatas 90 persen. “Tanaman kacang-kacangan (2)” dan