• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN FINANSIAL KOPERASI BAYTUL IKHTIAR

6.1. Analisis Rasio Keuangan Koperas

Analisis rasio keuangan KBI dilakukan untuk mengetahui perkembangan kinerja keuangan lembaga. Analisis ini merupakan salah satu cara untuk memberikan penilaian terhadap lembaga, keberhasilan maupun penurunan hasil operasional dari usaha lembaga. Selain itu, hasil dari penilaian ini dapat menjadi tolak ukur kinerja keuangan KBI terhadap kinerja keuangan lembaga lain yang sejenis, sehingga KBI dapat mengetahui keadaan dan posisi keuangannya diantara lembaga keuangan mikro lainnya.

Analisis yang digunakan meliputi analisis likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan aktivitas usaha. Pada analisis ini dilakukan penilaian pada laporan keuangan laba rugi dan neraca keuangan KBI tiga tahun terakhir, yaitu tahun 2009, 2010, dan 2011. Komponen keuangan pada kedua laporan tersebut akan dibandingkan dengan standar umum yang digunakan.

6.1.1. Likuiditas

Rasio likuiditas menunjukkan kemampuan koperasi untuk membayar kewajiban keuangan yang harus segera dipenuhi. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan harta yang mudah diuangkan apabila koperasi mengalami kebangkrutan. Rasio likuiditas yang diukur pada KBI antara lain rasio lancar

(current ratio), rasio kas (cash ratio) , dan rasio total aset terhadap modal kerja

(working capital to total asset). Hasil perhitungan analisis likuiditas KBI tahun

2009-2011 dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Likuiditas KBI Tahun 2009-2011

Rasio (%) Tahun Rata-Rata

(%) Pertumbuhan (%/thn) 2009 2010 2011 Rasio Lancar 2101,31 266,95 210,34 859,5 -945,48 Rasio Kas 821,69 75,87 54,02 317,19 -383,84 Rasio Modal Kerja dengan Total Aset 90,40 48,34 42,33 60,36 -24,03

Secara umum, trend likuiditas koperasi bernilai negatif. Hal tersebut dilihat dari nilai pertumbuhan yang cenderung menurun pada rasio lancar, rasio kas, dan rasio WCTA. Rasio lancar merupakan perbandingan antara aktiva lancar dengan hutang lancar. Komponen yang termasuk dalam aktiva lancar adalah kas, piutang, biaya dibayar dimuka, dan persediaan koperasi, sedangkan hutang lancar terdiri dari modal pinjaman yang diterima dari lembaga keuangan milik Yayasan Peramu lainnya. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 5, nilai rata-rata rasio lancar KBI adalah 859,5 persen yang artinya koperasi mempunyai Rp 8,59 aktiva lancar untuk memenuhi setiap Rp 1,00 hutang lancar. Keadaan ini jauh diatas standar yang baik, yaitu 200 persen. Nilai rata-rata yang tinggi tersebut disebabkan adanya ketimpangan besar modal pinjaman yang diperoleh KBI pada tahun 2009 dan 2010. KBI baru melakukan pengajuan pinjaman kepada lembaga yang bersangkutan pada tahun 2009 dan pencairan pinjaman baru dapat diterima KBI pada tahun 2010. Kondisi tersebut yang menyebabkan nilai rasio ini cenderung menurun sebesar -945,4 persen per tahun. Walaupun demikian, rasio lancar KBI tiap tahunnya berada di atas standar yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa KBI mampu menutupi hutang lancar dengan aktiva lancar yang dimilikinya.

Rasio kas (cash ratio) merupakan perbandingan antara jumlah kas dengan hutang lancar yang dimiliki KBI. Nilai rata-rata rasio kas adalah 317,19 persen yang artinya koperasi mempunyai Rp 3,17 kas untuk memenuhi setiap Rp 1,00 hutang lancar. Dalam perhitungan rasio kas tidak terdapat standar yang ideal untuk menentukan kondisi baik atau buruk suatu lembaga karena tergantung dari jenis unit usaha yang dijalankan oleh koperasi. Nilai rasio kas mengalami tren pertumbuhan yang bernilai negatif, yaitu -383,8 persen per tahun. Penurunan tersebut disebabkan semakin besarnya hutang jangka pendek yang dilakukan oleh KBI pada tahun 2010.

Working Capital to Total Asset (WCTA) menunjukkan rasio antara modal

kerja terhadap total aktiva. Modal kerja diperoleh dari pengurangan nilai aktiva lancar dengan hutang lancar. Nilai rata-rata WCTA KBI adalah sebesar 60,36 persen, yang artinya berada pada kondisi di atas standar yang baik, yaitu 50 persen. Namun, laju pertumbuhan WCTA juga memiliki kecenderungan yang menurun sebesar -24,03 persen. Penurunan tersebut disebabkan adanya

peningkatan hutang lancar sehingga nilai dari modal kerja menurun. Namun, penurunan modal kerja tersebut tidak berpengaruh terhadap kegiatan operasional.

6.1.2. Solvabilitas

Analisis solvabilitas Koperasi Baytul Ikhtiar menunjukkan kemampuan koperasi dalam memenuhi seluruh kewajiban keuangannya. Solvabilitas terdiri berbagai rasio yang digunakan antara lain rasio modal sendiri dengan total aktiva

(equity to total asset ratio), rasio modal sendiri dengan total aktiva tetap (equity to

fixed asset ratio), rasio aktiva tetap dengan hutang jangka panjang (fixed asset to

long term debt ratio), rasio total hutang dengan total aktiva (debt ratio), dan rasio

total hutang dengan total modal sendiri (debt equity ratio). Hasil perhitungan analisis solvabilitas KBI dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Solvabilitas KBI Tahun 2009-2011

Rasio Tahun Rata-

Rata (%)

Pertum- buhan (%/thn) 2009 2010 2011

Rasio Modal Sendiri

dengan Total Aktiva 27,76 17,64 18,36 21,26 -4,70 Rasio Modal Sendiri

dengan Aktiva Tetap 545,9 77,6 95,14 239,6 -225,42 Rasio Aktiva Tetap dengan

Hutang Jangka Panjang 38,29 223,6 290,4 184,1 126,06 Rasio Total Hutang dengan

Total Aktiva 46,95 64,72 72,46 61,3 12,76

Rasio Total Hutang dengan

Total Modal Sendiri 169,1 366,8 394,5 310,1 112,73

Sumber : Laporan Keuangan KBI (2012)

Rasio modal sendiri dengan total aktiva menunjukkan seberapa penting modal pinjaman bagi koperasi dan tingkat keamanan keuangan yang dimiliki koperasi sebagai kreditor. Selain itu, rasio ini menunjukkan bahwa modal KBI didominasi oleh modal luar koperasi dengan penurunan nilai rasio sebesar -4,70 persen tiap tahunnya . Nilai rata-rata rasio ini dari tahun 2009-2011 adalah sebesar 21,26 persen, yang artinya persentase modal sendiri baru mencapai 21,26 persen dari total modal yang dibutuhkan. Rasio ini menunjukkan kondisi koperasi yang tidak sehat karena sebagian besar modal koperasi masih berasal dari modal luar. Penurunan rasio modal sendiri pada tahun 2010 dan 2011 diakibatkan karena

adanya peningkatan total aktiva tanpa diiringi oleh peningkatan modal sendiri yang berupa simpanan wajib, simpanan pokok, dana LWK, dana cadangan, hibah, 50 persen modal penyertaan, dan 30 persen dari sisa hasil usaha koperasi

Rasio modal sendiri dengan aktiva tetap menunjukkan proporsi aktiva tetap yang dibiayai oleh modal sendiri dari koperasi. Nilai rata-rata rasio ini adalah 239,6 persen yang masih berada di atas standar 150 persen. Namun, bila dilihat dari data rasio per tahun, rasio pada tahun 2010 dan 2011 yang berturut- turut bernilai 77,6 persen dan 95,14 persen tidak memenuhi standar yang baik. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan aktiva tetap yang sangat tinggi khususnya pada nilai kepemilikan tanah dan gedung yang dimiliki koperasi pada tahun tersebut. Peningkatan tersebut tidak diiringi oleh peningkatan modal sendiri yang mengakibatkan nilai rasio ini semakin menurun.

Rasio aktiva tetap dengan hutang jangka panjang dapat menunjukkan kemampuan koperasi untuk memperoleh pinjaman baru dengan jaminan aktiva tetap. Rasio rata-ratanya adalah sebesar 184,1 persen yang artinya berada di atas standar 150 persen. Nilai rasio ini pun terus meningkat sebesar 126,06 persen tiap tahunnya karena aktiva tetap koperasi terus meningkat dengan kepemilikan tanah dan gedung baru. Dengan keadaan nilai rasio yang baik, koperasi dapat lebih mudah mengajukan dan memperoleh pinjaman baru dengan menggunakan aset tetap sebagai jaminan hutang jangka panjang.

Selain itu, rasio total hutang dengan total aktiva menunjukkan seberapa besar bagian harta yang dibiayai dari hutang koperasi. Nilai rata-rata rasio ini adalah sebesar 61,3 persen berada pada keadaan yang tidak baik karena lebih dari 50 persen. Nilai rasio ini mengalami peningkatan sebesar 12,76 persen per tahun yang menunjukkan bahwa risiko yang ditanggung koperasi semakin besar.

Proporsi hutang yang dijamin oleh modal sendiri KBI dapat ditunjukkan dengan nilai rasio total hutang dengan total modal sendiri. Nilai rasio ini adalah 310,01 persen yang artinya setiap Rp 1,00 modal sendiri digunakan untuk menjamin Rp 3,10 hutang yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan besarnya nilai hutang yang harus dijamin dalam setiap rupiah modal yang dimiliki. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kemampuan koperasi yang dalam menjamin hutangnya dengan modal sendiri yang dimiliki tergolong tidak sehat. Selain itu,

rasio ini terus mengalami peningkatan sebesar 112,73 persen tiap tahunnya yang menunjukkan kondisi rasio yang semakin memburuk karena adanya peningkatan hutang yang dimiliki koperasi.

Secara umum, kondisi solvabilitas KBI pada tahun 2009-2011 cenderung mengalami penurunan kesehatan kinerja. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan rasio modal sendiri terhadap total aktiva dan aktiva tetap mengalami laju pertumbuhan yang negatif, sedangkan perhitungan rasio hutang jangka panjang terhadap aktiva dan total modal memiliki kecenderungan yang positif.

6.1.3. Rentabilitas

Rasio rentabilitas Koperasi Baytul Ihktiar menunjukkan kemampuan koperasi dalam menghasilkan laba dalam periode tertentu. Pengukuran rentabilitas pada KBI dilakukan dengan menggunakan rasio laba bersih (net profit margin), rasio tingkat pengembalian modal sendiri (return on net worth ratio), rasio operasional (operating margin ratio), dan rasio tingkat pengembalian investasi

(return on investment). Hasil perhitungan rasio rentabilitas KBI pada tahun 2009-

2011 dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rentabilitas KBI Tahun 2009-2011

Rasio (%) Tahun Rata- Rata (%) Pertum- buhan (%/thn) 2009 2010 2011

Rasio Laba Bersih 2,37 2,03 0,72 1,71 -0,82

Rasio Operasional 7,92 15,38 4,62 9,31 -1,65

Rasio Tingkat Pengembalian

Modal Sendiri 8,56 12,07 4,27 8,30 -2,14

Rasio Tingkat Pengembalian

Investasi 2,38 2,13 0,78 1,76 -0,80

Sumber : Laporan Keuangan KBI (2012)

Pada umumnya, rasio laba bersih merupakan perbandingan dari besarnya laba dibagi dengan total penjualan. Akan tetapi, mengingat KBI hanya bergerak di bidang pelayanan (jasa), maka nilai rasio laba bersih ini diperoleh dari perbandingan jumlah laba dibagi dengan total pembiayaan (dropping) yang diberikan kepada anggota. Nilai rata-rata rasio ini adalah 1,71 persen berada di bawah standar yang baik. Nilai tersebut berarti bahwa laba bersih yang dihasilkan

dari Rp 1,00 pembiayaan hanya mencapai Rp 0,01. Rasio ini pun memiliki laju pertumbuhan yang menurun sebesar -0,82 tiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan semakin tingginya biaya operasional koperasi sehingga laba yang diterima rendah. Biaya operasional yang tinggi meliputi gaji pegawai, akomodasi, transportasi, administrasi, dan perencanaan. Biaya-biaya tersebut memang merupakan pengeluaran dasar dari lembaga yang menggunakan konsep grameen bank, mengingat setiap tenaga pendamping lapang (TPL) akan menghampiri setiap majelis yang tersebar di berbagai wilayah. Selain itu, biaya perencanaan memang sangat diperlukan untuk memperoleh wilayah baru dalam melakukan strategi penumbuhan majelis grameen bank.

Rasio operasional menunjukkan tingkat efisiensi koperasi dalam menjalankan usahanya, yaitu dengan menggunakan perbandingan antara laba operasi dengan besarnya modal sendiri. Nilai rata-rata rasio ini adalah 9,31 persen yang berada di atas standar yang baik, yaitu 2 persen. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap Rp 1,00 modal sendiri dapat menghasilkan Rp 0,09 laba operasi. Tingginya nilai rasio ini bisa jadi disebabkan karena koperasi sepenuhnya bergerak di bidang pelayanan jasa pembiayaan, sehingga laba operasi koperasi tidak dipengaruhi oleh stok akhir persediaan barang yang tidak terjual. Namun di sisi lain, tingginya nilai rasio ini juga dapat disebabkan karena modal sendiri koperasi yang jumlahnya masih lebih rendah dari modal luar koperasi. Nilai rasio laba operasional dari tahun 2009 hingga tahun 2011 mengalami fluktuasi dengan laju pertumbuhan yang bernilai negatif, yaitu -1,65 persen. Peningkatan nilai rasio pada tahun 2010 disebabkan oleh adanya peningkatan pembiayaan yang diterima dari lembaga lain yang masih di bawah naungan Yayasan Peramu, sedangkan penurunan rasio pada tahun 2011 disebabkan oleh peningkatan jumlah pegawai koperasi yang berpengaruh terhadap semakin besarnya biaya gaji pegawai, biaya asuransi kesehatan, dan biaya tunjangan pendidikan. Selain itu, biaya operasional yang mengalami peningkatan meliputi biaya penyusutan inventaris, penyusutan gedung, biaya akomodasi, transportasi, administrasi, dan perencanaan.

Tingkat produktivitas modal koperasi dapat diukur dengan menggunakan rasio tingkat pengembalian modal sendiri. Rasio ini merupakan perbandingan antara laba bersih dibagi dengan total modal sendiri koperasi, sehingga dapat

diperoleh besarnya penghasilan koperasi atas modal sendiri yang diinvestasikan. Nilai rata-rata rasio ini adalah 8,30 persen yang masih berada di bawah standar yang baik, yaitu 15 persen. Hal ini menggambarkan bahwa modal sendiri koperasi belum dapat menghasilkan sisa hasil usaha (SHU) yang optimal. Bila dilihat dari data rasio per tahun, koperasi hampir memperoleh SHU yang optimal pada tahun 2010 dengan nilai rasio sekitar 12 persen. Hal ini disebabkan adanya peningkatan pendapatan dari margin pembiayaan dan biaya operasional yang lebih rendah dari tahun 2011. Biaya operasional yang semakin tinggi pada tahun 2011 menyebabkan nilai rasio ini mengalami penurunan. Adapun laju pertumbuhan rasio ini bernilai negatif, yaitu sebesar -2,14 persen.

Rasio return on investment (ROI) merupakan kemampuan koperasi dalam menghasilkan pendapatan atas aset yang tersedia. Nilai rata-rata rasio ROI koperasi KBI baru mencapai 1,76 persen. Angka tersebut berada jauh di bawah standar yang baik, yaitu sebesar 8 persen. Berdasarkan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan koperasi dalam menghasilkan laba (SHU) atas total aktiva belum optimal. Selain itu, nilai rasio ini terus mengalami penurunan sebesar -0,80 persen tiap tahunnya. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah aset yang tidak diiringi dengan peningkatan laba koperasi.

6.1.4. Aktivitas Usaha

Rasio aktivitas usaha menggambarkan sejauh mana koperasi menggunakan aset secara efisien untuk memperoleh penjualan. Pada umumnya, pengukuran aktivitas usaha pada koperasi dilakukan dengan menggunakan rasio perputaran total aktiva (total assets turn-over ratio), rasio perputaran aktiva tetap (fixed

assets turn-over ratio), rasio perputaran piutang (account receivable turn-over

ratio) dan rasio perputaran persediaan (inventory turn-over ratio). Namun, karena

Koperasi Baytul Ikhtiar hanya bergerak di bidang pelayanan jasa, maka rasio yang dapat digunakan untuk mengukur aktivitas usaha adalah rasio perputaran total aktiva dan rasio perputaraan piutang yang tidak menggunakan unsur persediaan dan penjualan barang. Hasil perhitungan rasio aktivitas usaha Koperasi Baytul Ikhtiar tahun 2009-2011 dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Aktivitas Usaha KBI Tahun 2009-2011

Rasio Tahun Rata-Rata Pertumbuhan

(%) 2009 2010 2011 Perputaran Total Aktiva 1,004 1,05 1,087 1,047 0,042 Rasio Perputaran Piutang 1,364 2,128 1,382 1,625 0,009

Sumber : Laporan Keuangan KBI (2012)

Rasio perputaran total aktiva menunjukkan tingkat efisiensi dari operasi KBI dalam hal pembiayaan (dropping). Nilai rata-rata rasio ini adalah 1,047 kali yang artinya total harta koperasi baru berputar rata-rata sebanyak 1,047 kali per tahun. Nilai tersebut masih di bawah standar perputaran yang baik, yaitu sebanyak 5 kali per tahun. Hal ini memperlihatkan kemampuan koperasi masih tergolong rendah dalam melakukan perputaran harta yang dimiliki dalam memberikan pembiayaan kepada anggota layanan. Walaupun demikian, nilai rasio ini mengalami peningkatan sebesar 0,042 persen tiap tahunnya. Peningkatan ini disebabkan oleh semakin besarnya jumlah pembiayaan (dropping) yang diberikan koperasi kepada anggota layanan tiap tahunnya. Selain itu, nilai rasio perputaran piutang pun memiliki laju pertumbuhan positif sebesar 0,011 persen. Dengan nilai rata-rata 1,6 kali perputaran, maka rasio ini masih di bawah standar yang baik, yaitu masih di bawah 6 kali perputaran per tahun.

6.2. Viabilitas Finansial

Viabilitas finansial adalah kondisi skim kredit yang dapat menutupi seluruh biaya operasional dari pendapatan yang diperoleh, yaitu margin pembiayaan atas pembiayaan yang diberikan. Koperasi Baytul Ikhtiar dapat dikategorikan dalam kondisi viable apabila margin pembiayaan lebih besar daripada biaya operasional koperasi. Biaya operasional tersebut meliputi besarnya financial loss yaitu cadangan penghapusan piutang atas adanya tunggakan pembayaran (L), biaya untuk mendapatkan pokok pinjaman (i), serta biaya administasi dan supervisi (α).

Viabilitas finansial pembiayaan KBI selama periode 2009-2011 dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan hasil perhitungan, dapat diketahui bahwa koperasi hanya mencapai kondisi viable pada tahum 2010, sedangkan pada tahun 2009 dan

Tabel 10. Viabilitas Finansial KBI Tahun 2009-2011 Tahun L α i Hasil Bagi

(i+α+L)/(1-L) Margin Pembiayaan (r) Selisih (margin- hasil bagi) Ket 2009 0,006 0,090 0,122 0,219 0,185 -0,033 Tidak Viable 2010 0,007 0,108 0,036 0,153 0,197 0,044 Viable 2011 0,002 0,096 0,110 0,209 0,196 -0,012 Tidak Viable Rata- rata 0,005 0,098 0,089 0,193 0,1933 -0,0005 Sumber : Laporan Keuangan dan Laba Rugi KBI (2012)

Keterangan : L = Finansial loss

α = Biaya administrasi dan supervisi i = Biaya pokok pinjaman

Kondisi viabilitas KBI di atas menunjukkan bahwa terdapat komponen biaya operasional yang cukup besar dan berfluktuatif setiap tahunnya, yaitu beban bagi hasil (i). Nilai beban bagi hasil terendah dimiliki koperasi pada tahun 2010 karena pada tahun tersebut koperasi memperoleh modal luar yang bersifat bantuan dari Yayasan Peramu sehingga tidak membebankan bagi hasil, sedangkan pada tahun 2011 KBI memperoleh pembiayaan sindikasi dari lembaga BMT dan BPRS dibawah naungan Yayasan Peramu serta Bank Syariah Mandiri (BSM) yang menetapkan sistem bagi hasil. Adapun beban bagi hasil yang ditetapkan oleh pembiayaan sindikasi dan BSM secara berturut-turut adalah sekitar 15 persen dan 14 persen. Besarnya biaya pokok pinjaman ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan biaya operasional KBI pada tahun 2009 dan 2011 meningkat, sehingga KBI tidak mencapai kondisi yang viable.

Biaya administrasi dan supervisi yang dibutuhkan koperasi tergolong stabil dengan rata-rata 0,09 persen dan tidak mengalami peningkatan yang besar tiap tahunnya. Artinya, koperasi membutuhkan biaya administrasi dan supervisi sebesar Rp 0,09,- untuk setiap unit pinjaman. Nilai biaya tersebut terdiri dari biaya transaksi yang dibutuhkan untuk setiap rupiah yang disalurkan, yaitu gaji petugas, biaya transportasi dan akomodasi, dan biaya rupa-rupa persediaan.

Komponen pembentuk viabilitas yang tergolong baik adalah finansial loss. Hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah tunggakan pembayaran anggota yang hanya bernilai rata-rata 0,51 persen. Nilai tersebut dapat menggambarkan bahwa

tingkat pengembalian anggota terhadap pembiayaan koperasi sangat baik dan lancar. Prestasi ini merupakan salah satu keberhasilan koperasi dalam melakukan pendekatan terhadap anggota melalui majelis-majelis KBI, yaitu dalam hal pendampingan yang dilakukan oleh tenaga pendamping lapang (TPL) tiap minggunya. Selain itu, pola grameen bank dari KBI dinilai dapat memudahkan anggota dalam melakukan pengembalian pembiayaan karena angsuran dilakukan setiap minggu dan berlokasi di salah satu rumah anggota di sekitar kumpulan anggota majelis sehingga anggota tidak perlu mengunjungi kantor koperasi untuk melakukan pembayaran.

Nilai margin pembiayaan yang diberikan KBI merupakan hasil kesepakatan antara petugas TPL koperasi dengan anggota yang bersangkutan dalam suatu akad. Selain itu, besarnya margin pembiayaan yang ditanggung anggota pun mempertimbangkan kemampuan dan kesanggupan anggota. Didasari dari prinsip bahwa adil tidak harus berarti sama nilai, maka KBI memberikan margin pembiayaan yang beragam kepada anggotanya, yaitu berkisar antara 17 persen hingga 33 persen per tahun dengan rata-rata 19,3 persen per tahunnya. Nilai rata-rata tersebut masih berada dibawah bunga yang diberikan oleh lembaga pembiayaan Mitra Bisnis Keluarga (MBK) yang memiliki sasaran yang sama dengan KBI, yakni dengan bunga flat sebesar 20 persen.

Kondisi keuangan KBI tergolong tidak viable pada tahun 2009 dan 2011. Kondisi tersebut diakibatkan karena biaya pokok pinjaman pada kedua tahun tersebut sangat besar. Namun, selisih perhitungan antara margin pembiayaan dan besarnya biaya operasional masih tergolong rendah, yakni hanya sekitar -0.0005 persen. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan yang besar bagi KBI untuk mencapai tingkat viabilitas finansial pada periode berikutnya. Beberapa langkah yang dapat ditempuh KBI adalah sebagai berikut :

a. Meningkatkan efisiensi Tenaga Pendamping Lapang (TPL) dalam meningkatkan jumlah anggota koperasi. Dengan meningkatnya jumlah anggota, maka penyaluran pembiayaan oleh tiap petugas menjadi lebih besar. Kondisi tersebut dalam jangka panjang dapat menurunkan biaya operasional setiap rupiah yang disalurkan.

b. Meningkatkan besar plafon pembiayaan kepada anggota, terutama bagi anggota yang berkualitas. Peningkatan besar plafon tersebut tidak hanya mengurangi biaya operasional TPL, tetapi juga dapat meningkatnya margin pembiayaan yang diterima koperasi. Oleh karena itu, kondisi ini dapat meningkatkan efisiensi biaya untuk setiap rupiah yang disalurkan dengan jumlah anggota yang tetap. c. Memperoleh pinjaman dana dari lembaga yang menetapkan bagi hasil yang lebih

rendah, salah satunya adalah Yayasan Peramu. Oleh karena itu, KBI harus dapat meningkatkan prestasinya sehingga lembaga penyalur dana memiliki tingkat kepercayaan yang besar dalam hal penyaluran pembiayaan.

Berdasarkan analisis rasio KBI, terdapat beberapa hal yang dapat dikaji berkenaan dengan keberlanjutan finansial. Tabel 11 menunjukkan keseluruhan hasil analisis rasio keuangan KBI tahun 2009-2012.

Tabel 11. Hasil Rekapan Analisis Rasio Keuangan KBI Tahun 2009-2012

Rasio Pertumbuhan (%/tahun)

Likuiditas

Rasio Lancar -9,455

Rasio Kas -3,838

Rasio Modal Kerja dengan Total Aset -0,240

Solvabilitas

Rasio Modal Sendiri dengan Total Aktiva -0,047 Rasio Modal Sendiri dengan Aktiva Tetap -2,254 Rasio Aktiva Tetap dengan Hutang Jangka Panjang 1,261 Rasio Total Hutang dengan Total Aktiva 0,128 Rasio Total Hutang dengan Total Modal Sendiri 1,127

Rentabilitas

Rasio Laba Bersih -0,008

Rasio Operasional -0,017

Rasio Tingkat Pengembalian Modal Sendiri -0,021 Rasio Tingkat Pengembalian Investasi -0,008

Aktivitas Usaha

Rasio Perputaran Total Aktiva 0,042

Rasio Perputaran Piutang 0,009

Analisis rasio keuangan dari segi likuiditas menunjukkan laju pertumbuhan negatif yang memiliki arti bahwa kemampuan koperasi dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya semakin menurun dan telah terjadi peningkatan hutang jangka pendek koperasi (hutang lancar). Namun, peningkatan hutang tersebut sama sekali tidak memberikan dampak yang positif terhadap perolehan laba KBI, bahkan nilai rasio rentabilitas KBI tahun 2009-2011 memiliki

pertumbuhan yang negatif. Hal tersebut cenderung bertolak belakang dengan kondisi pada umumnya, yaitu hutang lancar yang diperoleh umumnya digunakan sebagai modal kerja koperasi yang dapat meningkatkan laba koperasi. Hal tersebut disebabkan oleh ketentuan KBI yang memanfaatkan hutang lancarnya untuk kebutuhan investasi dalam bentuk tanah dan bangunan pada tahun 2010. Adapun

payback period pengadaan tanah dan bangunan tersebut mencapai lebih dari lima

tahun, sehingga dampak positif bagi koperasi baru akan dirasakan pada tahun 2017 mendatang. Oleh karena itu, nilai rentabilitas koperasi hingga tahun ini masih tergolong negatif.

Adapun kaitan antara kondisi likuiditas dan solvabilitas dengan keberlanjutan finansial terletak pada besarnya hutang KBI dengan biaya pokok pinjaman yang semakin meningkat. Sama halnya dengan kondisi likuiditas, solvabilitas koperasi pun cenderung mengalami penurunan kesehatan kinerja. Penurunan tersebut dapat dilihat dari proporsi modal sendiri yang semakin

Dokumen terkait