• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk menganalisis data yang berupa leksem dengan tujuan menentukan medan leksikalnya maka perlu mengetahui komponen maknanya. Hal ini dapat diketahui melalui analisis komponen makna.

Menurut Nida (1975: 32–67), komponen makna dibedakan menjadi tiga, yaitu komponen bersama, komponen diagnostik, dan komponen pelengkap atau suplemen. Komponen makna bersama adalah komponen makna yang secara bersama dimiliki oleh leksem-leksem yang termasuk dalam medan leksikal atau ranah leksikal tertentu. Komponen makna diagnostik merupakan komponen makna yang berperan atau berfungsi membedakan makna antar leksem yang termasuk dalam medan tersebut. Komponen suplemen, yaitu komponen makna yang keberadaannya disebabkan oleh perluasan makna leksem.

Maksud dari pandangan Nida di atas adalah bahwa komponen makna bersama itu dimiliki oleh setiap leksem yang termasuk ke dalam medan leksikal tertentu, misalnya komponen makna bersama dalam penelitian ini, yaitu +INSAN. Komponen makna diagnostik, yaitu komponen makna yang digunakan untuk membedakan makna antarleksem dalam satu medan leksikal, misalnya untuk membedakan makna leksem mohon dan minta adalah EMOTIF.

Nida (1975: 54–61) menjelaskan prosedur analisis komponen makna. Pertama, pada beberapa analisis meliputi penemuan tentatif pada makna yang muncul untuk hubungan dekat dalam arti bahwa mereka merupakan relativitas terdefinisi ranah semantis dengan keutamaan pada membagi nomor komponen bersama. Tahap kedua, mendaftar semua jenis spesifik pada acuan beberapa makna yang termasuk ranah pertanyaan. Tahap ketiga, terdiri dari menentukan

komponen yang mungkin benar dari makna bentuk yang satu dan yang lainnya, tetapi tidak semua bentuk pada pertanyaan. Tahap keempat, terdiri dari menentukan komponen diagnostik yang diaplikasikan pada beberapa makna, jadi makna father „ayah‟ mungkin ditunjukkan memiliki komponen: male „laki-laki‟. Tahap kelima, terdiri dari menentukan pemeriksaan silang dengan data yang diperoleh pada tahap pertama. Tahap keenam, terdiri dari pendeskripsian sistematik pada fitur diagnostik.

Contoh analisis komponen pada relasi makna leksem whisper „bisik‟,

babble „oceh‟, murmur „komat-kamit‟, sing „nyanyi‟, dan hum „dengung‟. Tahap

pertama, ada yang tidak termasuk, seperti yodel „nyanyi yodel‟ dan whistle „siul‟ karena bentuk itu juga mengidentifikasikan suara yang dihasilkan mulut. Meskipun benar, kedua bentuk itu memiliki masalah tertentu. Tahap kedua, misalnya whisper „bisik‟ itu dapat sangat pelan, bisikan hampir tidak terdengar, dikontraskan denga bisikan sangat keras tetapi semua variasi derajat kekerasan digolongkan penunjukan whisper „bisik‟. Tahap ketiga, penting untuk mengetes lawan tertentu baik dengan bentuk positif-negatif atau bentuk sebab. Contoh: he

was not singing „dia tidak bernyanyi‟; he was humming „dia tidak berdengung‟.

Tahap keempat seperti berikut:

a. whisper : verbal „lisan‟, nonmusical pitch „bernada bukan musik‟, voiceless „tak bersuara‟

b. babble : pseudoverbal „semi lisan‟, nonmusical pitch „bernada bukan musik‟,

voicing alternating with voicelessness „bergantian bersuara dan tidak bersuara

c. murmur : verbal „lisan‟, nonmusical pitch „bernada bukan musik‟, voicing

d. sing : verbal „lisan‟, musical pitch „bernada musik‟, voicing alternating with

voicelessness „bergantian bersuara dan tidak bersuara‟

e. hum : nonverbal „tidak lisan‟, musical pitch „bernada musik‟, and normally

voicing alternating with voicelessness „bergantian normal bersuara dan tidak

bersuara‟

Tahap kelima, contohnya babble „oceh‟, murmur „bisik‟, sing „nyanyi‟, and sum „dengung‟ semua terdengar sebagai suara alternatif terlibat dengan fitur suara tetapi giliran tidak sama dalam semua contoh. Tahap keenam, contohnya sebagai berikut:

Tabel 2

Contoh Analisis Komponen Makna

Whisper Babble Murmur Sing Hum

1. verbal/nonverbal/p seudiverbal v. s.v. v. v. n.v. 2. musical pitch sequence - - - + + 3. voiced-voiceless alternation/voicele ss - + + + + Sumber: Nida, 1975: 61

Wedhawati menyatakan notasi semantik untuk menandai komponen makna di dalam penelitiannya sebagai berikut:

Digunakan lima macam reaksi semantis untuk menentukan nilai semantis komponen temuan dalam hubungannya dengan butir leksikal pembentuk medan leksikal verbal yang berkomponen makna (+SUARA +INSAN). Pertama, reaksi semantis positif (+) untuk

menandai komponen makna yang relevan atau berfungsi membentuk satuan makna butir leksikal. Misalnya, komponen (+MUSIKAL) dalam “senandung”. Kedua, reaksi semantis negatif (-) untuk menandai penegasian komponen di dalam definisi satuan makna butir leksikal, sebagai lawan reaksi semantis (+). Misalnya, komponen (-SUARA) di dalam bungkam. Ketiga, reaksi semantis netral (o) untuk menandai komponen yang tidak relevan atau tidak berfungsi pada tataran sistem, tetapi berfungsi pada tataran ujaran. Misalnya, komponen (o LIRIH) dalam nyanyi (Dia menyannyi dengan lirih). Keempat, reaksi semantis positif/negatif (+/-) untuk menandai kemungkinan kehadiran komponen tertentu atau kemungkinan penegasian kehadiran komponen tertentu. Misalnya, (+/- TUTUR) dalam nyanyi karena definisi satuan makna nyanyi adalah „mengeluarkan suara bernada, berlagu (dengan lirik atau tidak)‟. Kelima, reaksi tak bernilai (*) untuk menandai penolakan kehadiran komponen tertentu baik pada tataran sistem maupun pada tataran ujaran, dalam arti komponen itu tidak berfungsi baik pada tataran sistem maupun tataran ujaran. Misalnya, komponen (*TUTUR) dalam kaitannya dengan tawa (Wedhawati, 2002: 43-44).

Maksud pernyataan di atas adalah untuk menandai komponen makna yang netral atau bisa hadir bisa tidak dengan tanda (o), untuk menandai komponen makna yang hadir dengan tanda (+), sebagai tanda komponen makna yang tidak hadir digunakan tanda (-). Tanda (-) sebagai lawan dari tanda (+) untuk menandai komponen maknanya. Tanda (+/-) sebagai tanda kemungkinan komponen hadir atau dapat juga tidak. Terakhir, tanda (*) digunakan untuk memarkahi komponen yang ditolak kehadirannya baik pada sistem maupun ujaran.

Untuk menganalisis komponen makna diperlukan pengkategorian atau pengelompokkan kata tertentu ke dalam suatu kelompok atau kategori. Kategori semantik relasi adalah kategori yang menghubungkan maujud dengan maujud atau maujud dengan aktivitas atau dengan abstrak. Kategori semantik maujud pada umumnya berpadanan dengan nomina; kategori semantik peristiwa atau kejadian berpadanan dengan verba; kategori semantik abstrak berpadanan dengan adjektiva; dan kategori relasi berpadanan dengan kata tugas (Subroto, 2011: 108).

Untuk penelitian ini menggunakan kategori semantik peristiwa atau kejadian karena penelitian ini berfokus pada verba. Oleh karena itu, penelitian akan menganalisis komponen makna berdasarkan peristiwa atau kejadian yang diwakili oleh suatu verba.

Wedhawati menguraikan bahwa sistem dan struktur medan leksikal dapat ditemukan dengan menganalisis komponen makna butir-butir leksikal pembentuk medan leksikal (2005: 102). Sebelum menentukan komponen makna suatu leksem, diperlukan kalimat diagnostik untuk mempermudah dalam menentukan komponen maknanya. Hal ini didasarkan atas pandangan Lyons (1991: 268) yang menyatakan bahwa medan leksikal terbentuk oleh seperangkat butir leksikal yang berelasi secara paradigmatis dan sintagmatis.

Wedhawati (2000: 262) menyatakan untuk mengecek reaksi semantis (o), (+), dan reaksi (*), digunakan kalimat diagnostik dengan tetapi (but-test, Cruse, 1986: 16-17), sedangkan reaksi semantis (-) dicek dengan kalimat perikutan (entailment, Cruse, 1986: 16–17). Cruse menyatakan sebagai berikut:

An extremely useful model of the meaning of a word, which can be extracted from contextual relations, is which it is viewed as being made up, at least in part, of the meanings of other words. A particular word-meaning which participates in this way in the meaning of another word will be termed a semantic trait of the second word. To render this picture more informative, it is necessary to distinguish degrees and modes of participation. We shall do this initially by defining a number of statuses (degrees of necessity) of semantic traits: criterial, expected, possible, unexpected and excluded (Cruse, 1997:

16).

„Suatu model yang sangat berguna dalam memaknai kata yang dapat ditarik dari relasi kontekstual, yang dipandang sebagai terdiri dari setidaknya sebagian dari makna kata-kata yang lain. Makna kata tertentu yang ikut serta melalui cara ini dalam makna kata yang lain membentuk ciri semantik pada kata kedua. Untuk memberikan gambaran yang lebih informatif, penting untuk membedakan tingkatan dan mode partisipasi. Kita sebaiknya mengerjakan intinya dengan

mendefinisikan tingkat status (tingkat kepentingan) dari ciri semantik: sesuai kriteria, diharapkan, mungkin, tidak diharapkan, dan tidak termasuk.‟

Pandangan di atas berarti untuk menentukan komponen makna suatu kata, digunakan ciri semantik tertentu. Ciri semantik tersebut dapat diketahui melalui hubungan kontekstual atau dimasukkan ke dalam kalimat yang berbeda. Ciri semantik terdiri dari sesuai kriteria, diharapkan, mungkin, tidak diharapkan, dan tidak termasuk.

Cruse (1997: 16–17) menyatakan bahwa “criterial and excluded traits can

be diagnosed by means of entailment relations between sentences: for instances, “animal” is criterial trait of dog because It‟s an animal; “fish” is an excluded trait of dog because It‟s not a fish” „ciri kriteria yang sesuai dan tidak termasuk

dapat didiagnosis dengan makna dari hubungan perikutan antarkalimat: contoh, “binatang” merupakan ciri kriteria yang sesuai pada anjing karena Itu binatang; “ikan” merupakan ciri yang tidak termasuk pada anjing karena Itu bukan ikan‟. Jadi, untuk menentukan kriteria itu tidak termasuk atau bereaksi (-) digunakan kalimat perikutan (entailment).

Untuk menentukan komponen makna suatu satuan lingual digunakan kalimat diagnostik dengan but-test seperti yang diuraikan Cruse sebagai berikut.

For the diagnosis of expected, possible and unexpected traits, the

but-test is extremely useful. This utilises the normality or abnormality of

sentences of the form P, but Q. consider the status of “can bark” as a trait of dog. First of all, It‟s a dog does not entail It can bark (since a dog may have a congenital malformation of the larynx, or some such); hence, “can bark” is not a criterial trait. However, the following two sentences show it to be an expected trait:

a. It‟s a dog, but it can bark. (odd)

b. It‟s a dog, but it can‟t bark. (normal) (Cruse, 1997: 17).

„Untuk mendiagnosis ciri diharapkan, mungkin, dan tidak diharapkan,

keadaan yang biasa atau keadaan yang luar biasa dalam kalimat bentuk P tetapi Q. berdasarkan status dari “bisa menggonggong” sebagai ciri dari anjing. Pertama, Itu anjing tidak diikuti Itu dapat menggonggong (sejak anjing mungkin memiliki kelainan konginetal laring atau yang lainnya); karenanya “bisa menggonggong” bukan ciri kriteria yang sesuai. Akan tetapi, dua contoh berikut menunjukkan itu ciri diharapkan:

“Itu anjing tetapi itu bisa menggonggong.” (aneh)

“Itu anjing tetapi itu tidak bisa menggonggong.” (wajar).‟

Pandangan di atas menunjukkan untuk mengetes reaksi semantis (+), (o), dan (*) digunakan kalimat diagnostik dengan tetapi. Jika kalimat itu aneh maka komponen maknanya tidak bereaksi semantis karena tidak menunjukkan hubungan perlawanan antarklausa, jika kalimat itu wajar maka komponen maknanya bereaksi semantis karena menyatakan hubungan perlawanan antarklausa.

Wedhawati (2000: 265) mencontohkan penentuan komponen makna dengan kalimat diagnostik, seperti berikut. Interaksi antara anggota medan leksikal dan komponen makna TUTUR menimbulkan reaksi semantis (+), seperti yang dapat dibaca pada kalimat diagnostik di bawah ini.

(38)

Yang dilakukan tetapi itu

itu, mencadai, bercanda. bergurau, bersenda gurau, berkelakar berseloroh berolok-olok mencadai, bercanda. bergurau, bersenda gurau, berkelakar, berseloroh berolok-olok a. *bertutur b. tidak bertutur

Kalimat (38a) tidak berterima karena pemakaian tetapi di situ tidak mengungkapkan hubungan perlawanan antara makna klausa pertama dan makna klausa kedua. Kalimat (38b) berterima karena tetapi di situ mengungkapkan hubungan perlawanan antara makna klausa pertama dan makna klausa kedua. Dari pandangan di atas, dapat diketahui untuk menentukan komponen makna, digunakan kalimat diagnostik seperti contoh tersebut. Kalimat tersebut akan menentukan reaksi semantis terhadap komponen makna suatu leksem.

Kempson (1995: 15) menyatakan bahwa menurut pandangan analisis komponensial, makna kata dianalisis tidak sebagai konsep yang utuh melainkan sebagai kumpulan yang dibentuk oleh komponen-komponen makna yang masing-masing merupakan asal semantiknya. Sehubungan dengan pandangan ini, kata

spinster „perawan tua‟ boleh dianalisis sebagai kumpulan semantik yang dibentuk

oleh fitur-fitur (boleh juga disebut komponen-komponen) atau penanda-penanda seperti [FEMALE] „perempuan‟, [NEVER MARRIED] „tidak menikah‟, [ADULT] „dewasa‟, [HUMAN] „manusia/insan‟.

Pandangan di atas berarti kata terbentuk dari kumpulan dari komponen makna. Artinya, kata memiliki makna berdasarkan kumpulan komponen makna tersebut. Misalnya, kata didik memiliki komponen makna +INSAN,

+TERUS-MENERUS, +MENYALURKAN SESUATU, +ILMU, +ORANG LAIN, -BINATANG, +KUASA, +PENDIDIKAN. Jadi, makna kata didik adalah

tindakan yang dilakukan oleh insan secara terus-menerus untuk menyalurkan ilmu kepada orang lain supaya kuasa dan digunakan dalam bidang pendidikan.

Berkaitan dengan analisis komponen makna leksem, Lyons menyatakan bahwa:

It is probably true to say that the majority of structural semantics subscribe nowadays to some version or other of componential analysis. This approach to the description of the meaning of words and phrases rests upon the thesis that the sense of every lexeme can be analysed in terms of a set of more general sense-components (or semantic features), some or all of which will be common to several different lexemes in the vocabulay (Lyons, 1991: 317).

„Mungkin benar untuk mengatakan bahwa sebagian besar semantik struktural saat ini mengacu pada beberapa jenis atau yang lain tentang analisis komponen. Pendekatan ini mengacu pada pendeksripsian makna kata dan frasa berdasar pada tesis bahwa makna setiap leksem dapat dianalisis dalam bentuk seperangkat atau lebih dari komponen makna bersama (atau fitur semantik), beberapa atau semuanya yang menjadi penting untuk membedakan beberapa leksem dalam kamus‟.

Pandangan di atas berarti analisis komponen makna dilakukan dalam bentuk seperangkat leksem yang memiliki komponen makna bersama. Untuk membedakan antarleksem digunakan komponen makna yang lain berdasarkan fitur semantiknya.

Leech (2003: 123) menyatakan bahwa analisis makna seringkali dilihat sebagai suatu proses memilah-milahkan pengertian suatu kata ke dalam ciri-ciri khusus minimalnya, yaitu ke dalam komponen yang kontras dengan komponen lain. Leech memberikan contoh analisis makna dalam kata-kata seperti man,

woman, boy, girl, dan kata-kata yang berkaitan dengan itu di dalam bahasa

Inggris. Kata-kata ini semua termasuk di dalam bidang semantik „ras manusia‟ dan dalam hubungan antara mereka itu dapat dilukiskan dengan „diagram bidang‟ dua dimensi sebagai berikut:

Gambar 3

Dimensi Komponen Makna

„male‟ „female‟

„adult‟ „young‟

Sumber: Leech, 2003: 123

Gambar tersebut menunjukkan makna dalam dua dimensi, yaitu dimensi „jenis kelamin‟ dan „kedewasaan‟; dimensi ketiga merupakan anggapan dengan mengisolasikan bidang tersebut secara keseluruhan, yaitu „manusia‟ dan „nonmanusia‟.

Leech (2003: 123) menggunakan cara lain untuk menganalisis makna, yaitu dengan menuliskan rumus-rumus yang di dalamnya digambarkan dimensi makna itu dengan ciri lambang seperti HUMAN dan ADULT sebagai berikut:

+HUMAN „manusia‟ +ADULT „dewasa‟ +MALE „jantan‟ -HUMAN „manusia‟ -ADULT „dewasa‟ -MALE „betina‟ Makna kata-kata tersebut secara individual adalah:

Man : +HUMAN +ADULT +MALE

Woman : +HUMAN +ADULT -MALE

Boy : +HUMAN -ADULT +MALE

Girl : +HUMAN -ADULT -MALE

Rumus-rumus ini disebut sebagai definisi komponensial, dari kata-kata itu rumus tersebut sebenarnya dapat dianggap sebagai definisi kamus yang diformalkan. Dimensi makna itu sendiri akan diberi istilah oposisi semantik.

„man‟ „woman‟

Dimensi komponensial dalam penelitian ini juga diambil dari definisi di dalam kamus dengan diformalkan. Selain itu, jika definisi di dalam kamus masih belum dapat memenuhi dimensi komponensialnya maka dicari komponen makna berdasarkan penggunaannya oleh penutur bahasa.

Selanjutnya Leech (2003: 125) menyatakan bahwa analisis komponensial seringkali digunakan untuk metode analisis yang diuraikan di sini, yaitu mereduksi makna kata ke dalam unsur-unsur kontrastif yang paling kecil. Sebagai teknik yang menonjol, analisis komponensial pertama-tama muncul di dalam linguistik antropologis sebagai sarana untuk mempelajari hubungan antara istilah atau kata-kata yang berdekatan, tetapi terbukti ada gunanya di dalam banyak lingkungan makna.

Pandangan di atas berarti bahwa setiap komponen makna yang terbesar akan dijadikan sebagai penyatu setiap komponen makna atau disebut komponen makna bersama. Komponen yang lebih kecil sampai yang paling kecil digunakan untuk membedakan makna antara leksem satu dan leksem yang lain yang berdekatan.

Penelitian ini lebih berfokus pada teori yang dikemukakan oleh Nida untuk menganalisis komponen makna verba insani dalam bahasa Indonesia sebagai induk teori. Teori yang dikemukakan oleh ahli lain digunakan untuk melengkapi teori Nida. Akan tetapi, penulisan komponen maknanya menggunakan penulisan menurut Lyons dan Leech, yakni menggunakan huruf kapital. Untuk notasi semantiknya menggunakan lima notasi semantik menurut Wedhawati karena notasi menurutnya paling lengkap untuk memberikan notasi semantik pada

komponen makna. Dengan demikian, setiap komponen makna dapat terwakili oleh notasi semantik tersebut.

Berdasarkan berbagai pandangan mengenai analisis komponen makna di atas, dapat ditentukan bahwa komponen makna merupakan komponen pembentuk makna suatu leksem. Komponen makna dapat diidentifikasikan sebagai berikut. a. komponen makna dapat berupa komponen bersama, komponen diagnostik, dan

komponen suplemen.

b. untuk menentukan komponen makna suatu leksem, digunakan kalimat diagnostik dengan but-test „tetapi‟ dan kalimat perikutan (entailment).

c. digunakan lima notasi semantik untuk menganalisis komponen makna leksem, yaitu (+), (-), (+/-), (o), dan (*).

Dokumen terkait