• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Uji Lanjut Duncan Media

4. Biomassa Kering

1.4 Ruang Lingkup

3.4.1 Analisis komposisi media dan isolasi bakteri .1 Analisis bahan baku

Analisis bahan baku media kultivasi ampas tahu dan limbah cair tahu yang meliputi kadar karbon total, kadar nitrogen, kadar air, kadar abu, kadar protein,

kadar lemak, kadar serat kasar dan fermentable sugars serta kandungan makro dan mikro elemen. Masing-masing langkah analisis bahan baku dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.4.1.2 Isolasi B. thuringiensis

Metode isolasi yang digunakan adalah metode cawan tuang. Campuran spora kristal dari cultur collection dan cairan usus ulat sutra digoreskan ke dalam agar miring secara aseptis. Kemudian kultur diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30-32 oC. Masing-masing kultur diambil satu lup ke dalam larutan 9 ml garam fisiologis dan dilakukan renjatan panas pada suhu 80 oC selama 10-15 menit. Larutan selanjutnya diencerkan berseri sampai pada pengenceran 10-7 dan sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran disebarkan dalam medium agar (pH 7,4). Biakan dalam cawan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30-32 oC. Koloni-koloni yang terpisah dan bentuk yang berbeda selanjutnya dibiakkan dalam agar miring. Masing-masing kultur dalam agar miring ini selanjutnya dilakukan pengamatan mikroskopik menggunakan mikroskop dan Scanning Electron Microscopy (SEM).

Sebanyak satu lup isolat kemudian diinokulasikan ke dalam Nutrient Broth dan dikocok dalam rotary shaker selama 24 jam dengan kecepatan 180 rpm. Untuk mempelajari pengaruh jenis media pada isolat bakteri yang dihasilkan maka disiapkan media kultivasi yang berbeda terdiri dari dua macam media yaitu: 1. Media M1 : Nutrient Broth (NB).

2. Media M2 : Limbah cair tahu

Ke dalam masing-masing media M1 dan M2 yang telah disterilisasi secara aseptis diinokulasikan kultur dari NB sebanyak 10% dan dikocok dalam rotary shaker selama 48 jam dengan kecepatan 180 rpm. Selanjutnya dilakukan penentuan jumlah sel hidup, jumlah spora dan daya toksisitasnya terhadap C. binotalis. Prosedur penentuan jumlah sel hidup, jumlah spora dan daya toksisitas bioinsektisida dapat dilihat pada Lampiran 2.

Untuk mengetahui perbedaan pengaruh perlakuan, data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu faktor jenis media (M) dan isolat bakteri (B) dengan dua kali ulangan . Faktor jenis

media terdiri dari media NB (M1) dan media LCT (M2). Faktor isolat bakteri meliputi isolat dari Balitvet yang koloni tak bertitik (B1), isolat dari Balitvet yang koloninya bertitik (B2) serta isolat dari ulat (B3). Model matematis yang digunakan untuk percobaan ini sebagai berikut (Hanafiah 2005):

Yijk= µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan :

Yijk = nilai variabel respon unit percobaan yang dikenai taraf ke-i faktor jenis media dan isolat bakteri ke-j.

µ = nilai rata-rata pengamatan yang sesungguhnya. αi = pengaruh aditif dari jenis media ke-i.

βj = pengaruh aditif dari isolat bakteri ke-j.

(αβ)ij = pengaruh interaksi antara jenis media ke-i faktor dan isolat bakteri ke-j.

Σk(ij) = pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan.

Parameter yang diamati meliputi total sel hidup dan jumlah spora. Apabila hasilnya menunjukkan perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Duncan menggunakan program SPSS.

3.4.2 Penentuan rasio karbon/nitrogen media 3.4.2.1 Persiapan inokulum

Hasil seleksi galur B. thuringiensis yang memberikan daya toksisitas terbaik pada tahap pertama kemudian akan digunakan pada proses penentuan rasio C/N pada media. Persiapan inokulum medium fermentasi dilakukan dengan mengikuti metode Vandekar dan Dulmage (1982). Satu lup biakan B. thuringiensis diinokulasi dalam 50 ml media NB (labu pembibitan I) dan diinkubasi dalam rotary shaking incubator, dengan kecepatan 181 rpm, pada suhu 28-32 oC, selama 12 jam. Kultur selanjutnya digunakan untuk menginokulasi labu pembibitan II berisi limbah cair tahu dengan komposisi kultur 5% dari volume media pembibitan II. Labu pembibitan II diinokulasi pada kondisi yang sama selama 12 jam.

3.4.2.2 Penentuan komposisi rasio karbon/nitrogen terbaik

Penentuan komposisi C/N terbaik dilakukan dengan terlebih dahulu menyiapkan media kultivasi dimana sumber karbon berasal dari ampas tahu (AT) dan limbah cair tahu (LCT) dengan perbandingan AT : LCT = 1 : 9 dan sumber N dari urea.

Percobaan dilakukan pada labu erlenmeyer 500 ml yang masing-masing berisi 50 ml media kultivasi dengan komposisi berbandingan karbon/nitrogen yang digunakan seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi rasio C/N pada media kultivasi

Kode C3N C5N C7N C9N C11N

Rasio C/N 3:1 5:1 7:1 9:1 11:1

Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbandingan dari sumber karbon dan sumber nitrogen pada media terhadap produksi bioinsektisida. Jenis dan konsentrasi mineral yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang digunakan oleh Dulmage dan Rhodes (1971), yaitu 0,3 g/L MgSO4.7H2O, 0,02 g/L MnSO4. H2O, 0,02 g/L ZnSO4.7 H2O, 0,02 g/L FeSO4.7 H2O, dan 1,0 g/L CaCO3. Hasil perhitungan pembuatan media kultivasi secara terperinci dapat dilihat pada Lampiran 3.

Sterilisasi ampas tahu, CaCO3, dan limbah cair tahu dilakukan secara terpisah dari urea, trace elementdan, larutan buffer. Semua bahan didinginkan sampai ± 30 0C, dicampurkan dan pH diatur hingga 7,2. Masing-masing labu diinokulasi dengan kultur inokulum dari labu pembibitan II sebanyak 2 % dari media kultivasi secara aseptis. Kemudian diinkubasi dalam rotary shaking incubator pada kondisi suhu 28-32 oC, pH 6,8 – 7,2, agitasi 181 rpm dan waktu pengamatan dilakukan pada jam ke 0, 3, 6, 9, 12, 18, 24, 36, 48 dan 72 jam (Mummigati dan Raghunatan 1990).

Cairan fermentasi tersebut kemudian dianalisis. Metode analisis dapat dilihat pada Lampiran 2 meliputi:

 pH cairan fermentasi

 Pengukuran pembentukan spora dengan menentukan jumlah spora hidup (viable spore count /VSC)

 Pengukuran pembentukan koloni total (Total Plate Count/TPC)  Pengukuran total gula sisa dengan menggunakan Metode Fenol

 Pengukuran biomassa kering dengan metode yang sama seperti penentuan kadar air.

 Penentukan parameter kinetika fermentasi. Parameter kinetika fermentasi yang ditentukan meliputi laju pertumbuhan spesifik maksimum (µx-maks.), efisiensi penggunaan substrat menjadi sel (YN/S), konversi substrat menjadi biomassa (YX/S) dan konversi substrat menjadi produk (YP/S).

 Penentuan daya toksisitas bioinsektisida yang dihasilkan dari ke lima perbandingan C/N.

Rancangan percobaan yang digunakan untuk menganalisa pengaruh rasio karbon/nitrogen media terhadap pH, bobot kering biomassa, jumlah sel dan jumlah spora hidup adalah rancangan acak kelompok, dengan dua kali ulangan, mengikuti persamaan berikut ((Hanafiah 2005):

Yij= µ + Ai + Bj + εij Dengan i = 1,2,3,4,5 ; j = 1,2,3,4,5,6,7,8,9 Keterangan :

Yij = nilai variabel respon unit percobaan yang dikenai taraf ke-i faktor rasio C/N pada jam pengamatan ke-j.

µ = nilai rata-rata pengamatan yang sesungguhnya.

Ai = keragaman akibat taraf kelompok ke-i faktor rasio C/N βj = keragaman akibat perlakuan taraf ke-j jam pengamatan

εij = pengaruh galat dari satuan percobaan ke-ij yang memperoleh kombinasi perlakuan.

Data yang diperoleh dari pengukuran parameter, masing-masing dianalisis menggunakan analisis ragam uji F. Apabila hasilnya menunjukkan perbedaan yang nyata, analisis dilanjutkan dengan uji Duncan menggunakan program SPSS.

3.4.3 Penerapan kondisi terbaik pada bioreaktor 3 L dan 40 L

Penggandaan skala kultivasi dilakukan pada bioreaktor tangki berpengaduk dengan volume kerja 3 liter. Kondisi kultivasi yang harus dipenuhi antara lain pH awal 6,8 - 7,2 dan suhu 30-32 oC , aerasi 1 v/v/m agitasi 200 rpm. (Vandekar &

Dulmage 1982; Dulmage et al.1990 ; Yulianti 2001 ; Syamsu et al. 2003; Aprifianto 2006). Biakan selanjutnya diamati pada jam ke 0, 3, 6, 9, 12, 18, 24, 36, 48 dan 72 jam dengan parameter analisa :

 Pengukuran pH cairan fermentasi

 Pengukuran pembentukan spora dengan menentukan jumlah spora hidup (viable spore count /VSC)

 Pengukuran pembentukan sel total (Total Plate Count/TPC)  Pengukuran total gula sisa dengan menggunakan Metode Fenol

 Pengukuran biomassa kering dengan metode yang sama seperti penentuan kadar air.

 Penentuan daya toksisitas bioinsektisida yang dihasilkan dari ke lima perbandingan C/N.

Perhitungan rancang bangun bioreaktor untuk skala pilot 40 L dilakukan dengan menggunakan metode tenaga per volum tetap (Pg/V). Nilai tenaga per volum pada skala produksi dihitung dengan asumsi bahwa pada efisiensi aerasi yang sama akan diperoleh rendemen produk yang sama baik pada skala kecil maupun skala besar (Banks dalam Wiseman, 1979). Konsumsi tenaga per satuan volum cairan kultivasi di dalam tangki biorekator (P/V) adalah:

P/V = N3D3

Keterangan : P: Konsumsi tenaga V: Volume cairan kultivasi N: Laju sirkulasi cairan kultivasi D: Diameter pengaduk

Penggandaan skala kultivasi dilakukan pada bioreaktor tangki berpengaduk dengan volume kerja 25 liter. Kondisi kultivasi yang harus dipenuhi antara lain pH awal 6,8 - 7,2 dan suhu 30-32 oC , dengan nilai aerasi dan agitasi diperoleh dari perhitungan berbasis Pg/V. Hasil kultivasi selanjutnya diamati pada jam ke 0, 6, 12, 18, 24, 36, dan 48 jam dengan parameter analisa :

 Pengukuran pH cairan fermentasi

 Pengukuran pembentukan sel total (Total Plate Count/TPC)  Pengukuran total gula sisa dengan menggunakan Metode Fenol

 Pengukuran biomassa kering dengan metode yang sama seperti penentuan kadar air.

 Pengukuran pembentukan spora dengan menentukan jumlah spora hidup (viable spore count /VSC).

 Penentuan daya toksisitas bioinsektisida yang dihasilkan

3.4.4 Karakterisasi dan uji daya toksisitas bioinsektisida

Karakterisasi bioinsektisida yang dihasilkan meliputi pengamatan terhadap pola protein dan asam amino penyusunnya. Penentuan pola protein dilakukan menggunakan elektroforesis SDS-PAGE sedangkan kandungan asam amino dianalisis dengan HPLC. Uji daya toksisitas bioinsektisida dilakukan terhadap ulat kubis instar II-III. Bioinsektisida yang digunakan untuk uji toksisitas adalah campuran spora-kristal yang dipanen pada saat jumlah spora maksimum sampai dengan akhir waktu inkubasi (72 jam). Prosedur analisa secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.1 Analisis Komposisi Media Kultivasi

Ampas tahu merupakan limbah padat yang dihasilkan dari tahap pembuatan susu kedelai pada proses pembuatan tahu. Protein dalam susu kedelai kemudian diendapkan menggunakan bahan-bahan penggumpal seperti batu tahu (CaSO4), asam cuka (CH3COOH). Bagian yang tidak terendapkan (whey) merupakan limbah cair tahu yang dapat dimanfaatkan sebagai media kultivasi.

Limbah industri tahu dipilih sebagai media pertumbuhan karena ditinjau dari komposisi kimianya (Tabel 6) mengandung bahan yang diperlukan untuk pertumbuhan sel seperti air, karbon dan nitrogen. Karbon merupakan bahan utama untuk mensistesis sel baru atau produk sel (Dulmage dan Rhodes 1971).

Tabel 6 Hasil analisis komposisi media kultivasi

Dalam penentuan sumber karbon, komposisi karbon dalam media menjadi pertimbangan penting. Menurut Yang dan Wang (1998), penggunaan glukosa

dalam konsentrasi tinggi (> 40 g/L) menyebabkan pH medium turun dan

keasaman yang terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan B. thuringiensis. Sebaliknya, konsumsi glukosa kurang dari 1 g/L penyebabkan pertumbuhan yang lambat dan jumlah spora yang sedikit (Kang et al. 1993). Kadar glukosa secara signifikan berpengaruh pada ukuran kristal protein yang terbentuk. Seperti dilaporkan Scherrer et al. (1972), konsentrasi glukosa 1 g/L menghasilkan rata-rata panjang δ-endotoksin 0,5 µm, sedangkan penambahan glukosa sampai 8 g/L memberikan ukuran maksimum yaitu rata-rata 2 µm.

Komponen

(%) berat basis basah Limbah ampas tahu Limbah cair tahu (LCT) Air 87,42 98,63 Abu 5,2 0,43 Protein 2,63 0,14 Lemak 0,53 0,79 Serat 2,21 0,01 Karbohidrat by different 2,01 -

Berdasarkan penelitian Sarfat (2010), penggunaan substrat oleh B thuringiensis masih dapat tumbuh pada total karbon sebesar 56,3 g/L, oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan perbandingan ampas tahu dan limbah cair tahu sebesar 1: 9 atau sebanding dengan total karbon sebesar 80,7 g/L medium. Dari Tabel 7, total fermentable sugars dari limbah tahu apabila menggunakan perbandingan yang sama diperoleh 7,1 g/L.

Tabel 7 Hasil analisis kadar karbon dan nitrogen pada media kultivasi

Sumber nutrisi lain yang diperlukan mikroba dalam media kultivasi adalah nitrogen. Kandungan nitrogen dalam limbah indutri tahu relatif rendah sehingga diperlukan sumber lain seperti urea. Urea di dalam air akan membentuk ion amonium yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroba. Selain itu ion amonium bersifat buffer sehingga mampu mempertahankan pH. Namun demikian, urea bersifat tidak stabil sehingga penggunaannya harus dibatasi (Stanbury dan Withaker 1984).

Kandungan unsur-unsur mikro dalam ampas tahu dan limbah cair tahu juga menunjang pertumbuhan, sporulasi dan produksi endotoksin oleh B. thuringiensis. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), Ca selain berperan dalam pertumbuhan dan produksi endotoksin juga berfungsi untuk menjaga kestabilan spora terhadap panas, sedangkan Fe, Mn, dan Cu diperlukan untuk produksi toksin.

Hasil analisis kandungan mineral pada ampas tahu dan limbah cair tahu diberikan Tabel 8. Kadar kalsium yang sangat tinggi berasal dari penggunaan garam CaSO4 pada saat penggumpalan protein dalam susu kedelai. Menurut Moo-Young et al. (1985) dalam Rahayuningsih (2002), ion kalsium diperlukan sebagai

Komponen

(%) berat basis basah

Urea (%) Limbah ampas tahu Limbah cair tahu Nitrogen (N) 0,42 0,02 46,67 Karbon (C) 5,64 0,27 20,00 Fermentable Sugars 0,44 0,03 -

kofaktor untuk menstabilkan dan mengaktivasi enzim amilase dan eksoprotease B thuringiensis selama pertumbuhan sel vegetatif dan mempunyai peran penting dalam pembentukan protein dinding sel serta bahan penyusun polimer kapsul bakteri.

Tabel 8 Kandungan mikro elemen pada ampas tahu dan limbah cair tahu

4.2 Seleksi B. thuringiensis

Hasil seleksi dari culture collection memberikan dua koloni yang berbeda yaitu koloni bertitik (B1) dan koloni tak bertitik (B2), sedangkan hasil isolasi dari ulat menunjukan satu jenis koloni (B3). Galur yang di tumbuhkan pada media agar menunjukkan morfologi koloni B. thuringiensis (Gambar 7).

(a) (b)

Gambar 7 Kultur Bt Hasil Seleksi dari culture collection (a) dan ulat sutera (b)

Menurut Bucher (1981), jika B. thuringiensis ditumbuhkan pada media padat, koloninya berbentuk bulat dengan tepian berkerut, memiliki diameter 5-10

Komponen

Hasil Analisa Ampas Tahu

(mg/Kg)

Limbah cair tahu (LCT) (mg/L) Calsium (Ca) 1708,66 249,25 Mangan (Mn) 0,17 < 0,02 Magnesium (Mg) 104,61 33,51 Besi (Fe) 9,33 5,32 Seng (Zn) 8,98 2,42

Koloni tak bertitik

mm dan berwarna putih. Di bawah pengamatan mikroskop sel vegetatifnya berbentuk batang (Gambar 8).

B1 B2

B3

Gambar 8 Sel vegetatif B. thuringiensis koloni tidak bertitik (B1), koloni bertitik (B2), koloni dari ulat (B3) dengan perbesaran 400x

Pada Gambar 9 ditunjukan bahwa B. thuringiensis dapat membentuk spora (S) selama fase stasioner dalam daur hidupnya (Schnepf et al. 1998). Ciri yang membedakan B. thuringiensis dengan spesies bacillus yang lain adalah kemampuan menghasilkan badan inklusi parasporal berupa kristal protein yang dapat diamati dibawah mikroskop fase kontras. Morfologi, ukuran, dan jumlah protein kristal sangat bervariasi pada setiap galur B. thuringiensis (Apaydin 2004; Xavier et al. 2010).

Masing-masing morfologi protein kristal dikode oleh gen Cry gen dan gen Cyt. Ada lima jenis morfologi kristal protein yang masing-masing dikode oleh gen yang berbeda pula: kristal bipiramid berhubungan dengan protein Cry1; kristal kubus berhubungan dengan protein Cry2; kristal bulat dan komposit

berhubungan dengan protein Cry4 dan protein Cyt; kristal persegi berhubungan dengan protein Cry3; Kristal berbentuk batang berhubungan dengan protein Cry4D (Lopez-Meza dan Ibra, 1996; Schnepf et al. 1998).

B1 B2

B3

Gambar 9 Hasil pengamatan koloni tidak bertitik (B1), koloni bertitik (B2), koloni dari ulat (B3) dibawah mikroskop dengan perbesaran 1000x. bakteri (B), spora (S), kristal protein (C)

Pengamatan dibawah Scanning Electron Microscopy (SEM) menunjukkan koloni B1 dan koloni B2 (dari culture collection) serta koloni B3 (dari ulat) mengandung kristal protein berbentuk kubus, bipiramid dan bulat (Gambar 10). Menurut Bideshi et al. (2010), gen Cry1Aa, Cry1Ab, Cry1Ac merupakan penyusun kristal protein berbentuk bipiramida, sedangkan Cry2Aa penyusun kristal protein berbentuk kubus. Masing-masing kristal protein memiliki daya toksisitas terhadap Lepidoptera. Sedangkan menurut Frederici et al. (2010) kristal

C S B C S B C S B

protein berbentuk bulat dikode oleh gen Cyt1Aa dan mempunyai daya toksisitas terhadap Diptera.

B1 B2

B3

Gambar 10 B. thuringiensis diamati di bawah SEM koloni tidak bertitik (B1), koloni bertitik (B2), koloni dari ulat (B3), dimana B: sel vegetatif, S: spora, dan C: kristal protein

4.3 Pengaruh Media Kultivasi

Dokumen terkait