• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Konsep Kâfa’ah Menurut Para Ulama dan dalam Pasal 61 Kompilasi Hukum Islam

ANALISIS KONSEP KÂFA’AH DALAM PASAL 61 KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Analisis Konsep Kâfa’ah Menurut Para Ulama dan dalam Pasal 61 Kompilasi Hukum Islam

Pada prinsipnya seorang laki-laki hanya boleh menikah dengan perempuan yang sama kedudukanya, maka terdapat berbagai pendapat tentang kâfa’ah dalam perkawinan, baik pendapat yang mengakui adanya kâfa’ah atau pendapat yang tidak

mengakui adanya kâfa’ah dalam perkawinan.1

Segolongan ulama berpendapat bahwa masalah kufu' yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan sebagainya. Seorang lelaki yang saleh walaupun berasal dari keturunan rendah berhak menikah dengan perempuan yang berderajat tinggi. Laki-laki yang memiliki kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan

1Syafrudin Yudowibowo, “Tinjauan Hukum Perkawinan Di Indonesia Terhadap Konsep Kâfa’ah Dalam Hukum Perkawinan Islam”, Jurnal

kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir sekalipun, ia berhak dan boleh menikah dengan perempuan yang kaya raya, asalkan laki-laki itu muslim dan dapat menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorang pun dari pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan. Selain itu, ada kerelaan dari walinya yang mengakadkan serta pihak perempuannya. Akan tetapi jika lelakinya bukan dari golongan yang berbudi luhur dan jujur berarti ia tidak kufu' dengan perempuan yang salehah. Bagi perempuan salehah jika dinikahkan oleh bapaknya dengan lelaki fasiq, kalau perempuannya masih gadis dan dipaksa oleh orang tuanya, maka ia boleh menuntut pembatalan.2

Dalam Bidayatul Mujtahid dikatakan bahwa, mazhab Maliki tidak berbeda pendapat jika seorang gadis dinikahkan oleh bapaknya dengan lelaki pemimpin khamar atau lelaki fasiq, maka

ia berhak untuk menolaknya, dan hakim hendaknya

membatalkannya. Begitu Juga jika ayahnya menikahkan anak gadisnya dengan laki yang berpenghasilan haram atau

2

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 209.

laki yang suka mengancam dengan perceraian, maka perempuan tersebut dapat menuntut pembatalan.3

Alasan yang dikemukakan oleh golongan Maliki adalah firman Allah SWT. yang berbunyi:

يَأ اَي

ًابوُعُش ْمُكاَنْلَعَجَو ىَثنُأَو ٍرَكَذ نِّم مُكاَنْقَلَخ اَّنِإ ُساَّنلا اَه

:تارجلحا( ْمُكاَقْ تَأ ِوَّللا َدنِع ْمُكَمَرْكَأ َّنِإ اوُفَراَعَ تِل َلِئاَبَ قَو

931

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (Q.S.Al-Hujarat:13).

Ayat ini mengakui bahwa nilai kemanusiaan pada setiap orang adalah sama. Tak seorang pun yang lebih mulia dengan yang lain, kecuali karena ketakwaannya kepada Allah dengan menunaikan kewajibannya kepada Allah dan kepada sesama manusia.

3

Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 12.

Dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan kafaah, ulama berbeda pendapat yang secara lengkap diuraikan oleh Abdurrrahmân al-Jaziriy sebagai berikut:

Menurut ulama Hanafiyah yang menjadi dasar kafaah adalah: a. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.

b. Islam, yaitu dalam silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam.

c. Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan. d. Kemerdekaan dirinya.

e. Diyanah atau tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam. f. Kekayaan.

Menurut ulama Malikiyah yang menjadi kriteria kafaah hanyalah diyanah atau kualitas keberagamaan dan bebas dari cacat fisik. Menurut ulama Syafi'iyah yang menjadi kriteria

kafaah itu adalah:

a. kebangsaan atau nasab; b. kualitas keberagamaan; c. kemerdekaan diri; dan d. usaha atau profesi.

Menurut ulama Hanabilah yang menjadi kriteria kafaah itu adalah:

a. kualitas keberagamaan; b. usaha atau profesi; c. kekayaan;

d. kemerdekaan diri; dan e. kebangsaan.4

Dalam perspektif para ulama kriteria kâfa’ah itu tidak hanya menyangkut “agama”, sedangkan Kompilasi Hukum Islam mengukur kâfa’ah hanya menyangkut “agama. Kâfa’ah yang menjadi perbincangan hampir di semua kitab fiqh sama sekali tidak disinggung oleh UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan disinggung sekilas dalam KHI, yaitu pada Pasal 61 dalam membicarakan pencegahan perkawinan; dan yang diakui sebagai kriteria kâfa’ah itu adalah kualitas keberagamaan sebagaimana bunyi Pasal 61 KHI: “Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien”.

4

Abdurrrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz IV, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972, hlm. 44

Oleh karenanya konsep kâfa’ah yang masih memprioritaskan nasab bertentangan dengan peraturan yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam yang hanya bersandar pada agama yang artinya bahwa, tidak ada pencegahan perkawinan atas dasar tidak sekufu kecuali memiliki perbedaan agama.

Latar belakang keturunan dan harta kekayaan masih saja menjadi pertimbangan dalam memilih calon suami, khususnya dalam sistem perkawinan masyarakat yang sudah mapan, dimana perempuan yang ingin menikah biasanya masih harus minta persetujuan dan atas kesepakatan orang tua ataupun walinya. Meskipun perempuan boleh memilih pasangan hidupnya dalam perkawinan, namun selalu saja diupayakan agar ia tidak kawin dengan laki-laki yang derajatnya berada di bawahnya atau di bawah keluarganya.

Jika masalah kâfa’ah ini dilihat dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, maka dapat dinyatakan bahwa Undang-undang No. 1 tahun 1974 tidak ada membicarakannya, sementara dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 61 dijelaskan bahwa tidak sekufu

tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-din.

Perubahan sosial dalam masyarakat muslim dewasa ini telah banyak melibatkan perempuan dalam berbagai sektor publik seperti pendidikan, pekerjaan dan politik praktis. Hal ini membawa dampak dalam tatanan sosial masyarakat, maupun kriteria calon pasangan dalam perkawinan, dan hal ini tentu saja terkait dengan tingkat kesadaran pada nilai-nilai ajaran Islam yang tertanam dan diamalkan dalam suatu masyarakat.

Pada masyarakat yang tingkat pengetahuan, kesadaran dan pengamalan terhadap nilai-nilai agamanya tinggi, maka

kâfa’ah dari segi keturunan, kedudukan harta kekayaan maupun

profesi tidak lagi menjadi penghalang dalam perkawinan, namun pada masyarakat yang ajaran Islamnya belum begitu meresap dalam kehidupan mereka, maka sampai saat inipun konsep

kâfa’ah dalam perkawinan masih perlu diperhatikan, bahkan

bukan saja calon suami tapi juga calon istri.

Dalam masyarakat dengan kondisi yang ajaran Islamnya belum begitu meresap dalam kehidupan mereka, pengabaian

ketidakharmonisan dalam hubungan suami-istri, terlebih-lebih hubungan antara keluarga kedua belah pihak, dan yang paling menderita nantinya adalah anak-anak mereka. Dengan demikian, relevansi kâfa’ah dewasa ini masih terasa. Benar juga apa yang dikatakan Soerjono Soekanto, bahwa selama dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai, maka sesuatu itu akan menjadi bibit yang akan menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis atau stratifikasi sosial dalam masyarakat tersebut, walau kriteria yang dipakai sangat bervariasi.5

Kalau penulis menelaah dari isi peraturan perundangan yang berlaku maka konsep kâfa’ah tidak termanifestasikan dengan jelas dan rinci dalam aturan perundangan yang berlaku. Hal tersebut dapat terlihat dari Peraturan perundangan yang berlaku yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Inpres Presiden Nomor 1 Tahun 1991 di mana Isi pasal demi pasal di dalam aturan tersebut tidak ada aturan yang mensyaratkan adanya konsep kâfa’ah dalam hal terjadinya

perkawinan khususnya dalam proses peminangan dan

5

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014, hlm. 256.

pencegahan perkawinan. Namun tidak semua konsep kâfa’ah ditolak keseluruhannya oleh masyarakat dalam hal tersebut kalau dilihat dari pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dalam penjelasan ayat menyebutkan tidak ada

perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang undang ini. Kalau melihat dari penjelasan dan pasal ini maka syarat untuk melakukan perkawinan harus sesuai dengan hukum agama yang dianut oleh mempelai berdua atau dapat ditafsirkan bahwa perkawinan dapat dilangsungkan apabila calon mempelai mempunyai persamaan agama atau dengan kata lain bahwa perkawinan tidak bisa dilakukan dengan hukum agama yang berbeda.

Dari pemahaman Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 kalau ditinjau dari konsep Kâfa’ah maka prinsip kesejajaran dalam masalah agama yang dianut oleh masing-masing mempelai harus sama meskipun tidak secara tegas Negara melarang terjadinya perkawinan antar agama yang berbeda.

Selain Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum Materiil khusus bagi pemeluk agama Islam di Indonesia juga ada aturan yang lebih khusus mengatur tentang perkawinan yang terdapat dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam di Indonesia khususnya yang terdapat di dalam Bab 1 tentang perkawinan. Kalau melihat isi pasal demi pasal dari aturan tersebut bahwa syarat sekufu dalam pengertian kâfa’ah tidak diharuskan dalam proses terjadinya perkawinan atau lebih teknisnya dalam proses peminangan dan dalam hal aturan pencegahan perkawinan atau lebih jelasnya di dalam pasal 61 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.” Dari pasal ini dapat disimpulkan meskipun dalam hal-hal tertentu

dapat dilakukan pencegahan perkawinan oleh wali nikah khususnya terdapat di dalam pasal 60 ayat 2 KHI yaitu dalam hal bila calon suami atau istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan aturan perundang undangan, namun syarat sekufu tidak bisa dijadikan alasan pencegahan perkawinan oleh wali nikah kecuali disebabkan karena ketidaksamaan dalam hal agama yang dianut masing-masing calon.

Kembali pada persoalan kâfa’ah dalam Pasal 61 KHI, bahwa dalam perspektif KHI, kriteria tidak kâfa’ah itu jika calon mempelai pria dan wanita berbeda agama, adapun dalam perbedaan keturunan, keahlian, pendidikan dan sebagainya bukanlah ukuran kâfa’ah. Dari sini penulis berpendapat bahwa KHI lebih maju dibandingkan dengan pemikiran ulama fiqh klasik, dan tampaknya para perumus KHI, khususnya tim yang merumuskan Pasal 61 KHI menyadari betul terhadap dinamika perubahan zaman. Di era informasi dan globalisasi, faktor keturunan, keahlian dan pendidikan sudah tidak tepat dijadikan kriteria kâfa’ah.

Menurut penulis, tidak sedikit orang yang berasal dari keturunan orang biasa namun ternyata sukses dalam membangun rumah tangga sakinah. Sebaliknya banyak orang yang berangkat dari keturunan orang terhormat namun rumah tangganya belum mampu mencapai sakinah. Dengan demikian menurut penulis, KHI sudah tepat meletakkan kriteria tidak kâfa’ah dari sudut adanya perbedaan dalam hal agama.

B. Analisis Konsep Kâfa’ah dalam Pasal 61 Kompilasi Hukum