• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 PEMBAHASAN

6.1 Analisis Kriteria dan Indikator Kerentanan Masyarakat

Perubahan iklim telah terjadi di DAS Ciliwung. Pernyataan ini didukung oleh beberapa hasil penelitian (Rozari et al. 1992; Tobing 2007) dan sebagian besar responden (Gambar 7). Responden menyatakan bahwa di DAS Ciliwung terjadi perubahan iklim dengan mengemukakan beberapa alasan, antara lain: a) terjadinya peningkatan suhu; b) berkurangnya kabut di Daerah Ciliwung Hulu; c) berkurangnya atau bahkan tidak ada embun di pagi hari; d) musim kemarau lebih panjang daripada musim hujan; e) perubahan musim yang tidak menentu, dimana hujan terjadi dimusim kemarau atau sebaliknya; f) curah hujan bertambah tinggi tetapi waktunya relatif pendek; g) bertambahnya bencana yang terkait iklim.

Rozari et al. (1992) menguji terjadinya perubahan suhu dari tahun 1975- 1990 di dua belas stasiun klimatologi, salah satunya adalah Stasiun Darmaga yang terletak di DAS Ciliwung. Hasilnya menunjukkan bahwa di Stasiun Darmaga telah terjadi kenaikan suhu yang beda nyata. Tobing (2007) mengamati indeks kekeringan di DAS Ciliwung dari tahun 1990 – 2004 dari seluruh stasiun yang ada di DAS Ciliwung dan dibagi menjadi tiga periode atau lima tahunan. Hasilnya menunjukkan bahwa indeks kekeringan di DAS Ciliwung sangat tergantung pada curah hujan dan tiap periode mempunyai kecenderungan lebih kering. Dapat dikatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian Tobing (2007) bahwa di DAS Ciliwung ada kecenderungan terjadinya penurunan curah hujan. Pada periode yang panjang terjadi gejala penurunan curah hujan di Pulau Jawa (Pawitan 1999) dan juga di Indonesia (Kaimuddin 2000).

Berdasarkan pengamatan iklim tersebut, maka KNLH (1998) menggunakan model GCMs jenis CCCM untuk memprediksi dampak perubahan iklim di seluruh DAS di Jawa. Alasan KNLH menggunakan model GCMs jenis CCCM karena hasil keluaran CCCM menunjukkan terjadinya peningkatan suhu dan mempunyai kecenderungan penurunan curah hujan. Jenis GCMs lainnya menunjukkan bahwa di Indonesia mempunyai kecenderungan kenaikan curah hujan. Hasil keluaran CCCM lebih sesuai dengan kecenderungan iklim di Indonesia (Pawitan 1999; Kaimuddin 2000). Oleh karena itu, dalam penelitian ini,

untuk mengamati dampak perubahan iklim pada kondisi hidrologis di DAS Ciliwung menggunakan hasil proyeksi dari KNLH (1998).

Berdasarkan proyeksi perubahan iklim oleh KNLH (1998) menunjukkan bahwa terjadi perubahan ketersediaan air di DAS Ciliwung. Hal ini didukung sebagian besar responden (Gambar 8), yang mengamati ketersediaan air, terutama debit atau limpasan di DAS Ciliwung pada musim hujan dan kemarau. Pada musim hujan ketersediaan air atau debit di DAS Ciliwung melimpah dan pada musim kemarau terjadi penurunan debit. Lebih lanjut dikatakan oleh sebagian responden bahwa fluktuasi debit yang terjadi pada musim hujan dan kemarau semakin tinggi. Fluktuasi debit di DAS Ciliwung dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Fluktuasi debit di DAS Ciliwung

Tahun

Stasiun Katulampa Stasiun Ratujaya

Qmax (m3/det) Qmin (m3/det) Qrataan (m3/det) Qmin/ Qrataan (m3/det) Qmax (m3/det) Qmin (m3/det) Qrataan (m3/det) Qmin/ Qrataan (m3/det) 1993 44.40 3.70 12.20 0.30 151.60 1.51 14.10 0.11 1995 58.50 3.31 10.40 0.32 95.50 1.38 15.80 0.09 1997 32.40 0.00 3.37 0.00 41.80 0.02 6.78 0.00 1999 1571.65 0.71 7.60 0.09 591.84 0.02 7.93 0.00 2001 394.78 0.37 12.75 0.03 103.04 13.29 31.50 0.42 2003 62.88 7.67 20.01 0.38 281.30 0.05 8.50 0.01 2005 80.49 3.41 8.89 0.38 151.57 1.01 13.95 0.07 2007 205.36 1.16 8.47 0.14 820.89 0.00 11.46 0.00

Sumber : hasil analisis

Dari Tabel 12 di atas, terlihat bahwa kondisi fluktuasi debit di Stasiun Katulampa dan Ratujaya menunjukkan pola yang hampir sama. Nilai Qmax cenderung meningkat, Qmin dan Qrataan cenderung menurun. Kondisi ini menggambarkan bahwa fluktuasi debit di DAS Ciliwung tiap tahun cenderung makin besar.

Perubahan fluktuasi debit yang semakin tinggi menunjukkan bahwa degradasi di DAS Ciliwung semakin meningkat. Peningkatan degradasi DAS Ciliwung menyebabkan ekosistem tidak dapat menyediakan fungsi dan jasa yang optimal bagi kehidupan manusia, sehingga berpengaruh pada tingkat kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung. Selain besarnya singkapan, tingkat kerentanan

masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung juga dipengaruhi oleh kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat.

Masyarakat yang peka terhadap perubahan ketersediaan air di DAS Ciliwung adalah masyarakat di DAS Ciliwung yang masih menggunakan dan tergantung pada ketersediaan air di DAS Ciliwung. Kondisi masyarakat yang peka adalah sebagai berikut :

a Permintaan air di masyarakat semakin tinggi ( aspek SDM).

Permintaan air yang semakin tinggi menuntut alam untuk menyediakan air yang lebih banyak, sedangkan alam mempunyai keterbatasan. Kondisi ini menyebabkan masyarakat kekurangan atau krisis air. Permintaan air yang semakin tinggi dicirikan dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Permintaan air yang tinggi menyebabkan masyarakat mengeksploitasi air di alam. Pada saat ini, 70% masyarakat tergantung pada pasokan air tanah karena kuantitas atau ketersediaan air di DAS Ciliwung tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Apabila penggunaan air tanah melebihi batas, dikhawatirkan terjadi penurunan permukaan air tanah yang menyebabkan sumur kering, amblesnya tanah dan intrusi air laut (Asdak 2007).

b Kualias infrastruktur yang belum memadai (aspek fisik)

Kualitas PAM yang disediakan oleh PDAM kurang memenuhi atau mencukupi, sehingga masih banyak masyarakat yang tidak atau belum menggunakan fasilitas PDAM. Apabila terjadi kekeringan atau kuantitas air di DAS Ciliwung menipis atau defisit, masyarakat golongan ini akan lebih peka. Ada beberapa alasan, masyarakat di DAS Ciliwung tidak menggunakan fasilitas PAM, yaitu :

1) 45% responden menyatakan masalah tidak sanggup membayar, karena harga PAM tidak sesuai dengn keuangan mereka;

2) 20% responden menyatakan kualitas air PAM tidak bagus atau sama dengan kondisi air di daerah mereka;

3) 35% responden menyatakan bahwa di daerah mereka belum tersedia fasilitas PAM.

c Ketergantungan masyarakat akan lahan sangat tinggi (aspek ekonomi)

Masyarakat yang mempunyai ketergantungan pada lahan akan membutuhkan air yang lebih banyak. Masyarakat ini umumnya kerja pada sektor pertanian (pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan). Dengan adanya peningkatan suhu, maka tanaman atau tumbuhan membutuhkan air yang semakin tinggi. Selain itu, ketersediaan air yang beerlimpah pada musim hujan (banjir) menyebabkan para petani mengalami resiko kegagalan panen yang tinggi.

Berdasarkan hasil observasi, kondisi masyarakat di DAS Ciliwung pada saat ini masih bisa beradaptasi dengan perubahan iklim yang terjadi. Ada beberapa kriteria yang berpengaruh pada kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung, yaitu:

a Kualitas masyarakat yang tinggi (aspek SDM). Kualitas masyarakat menggambarkan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim. Makin tinggi kualitas masyarakat maka makin tinggi kemampuan adaptasi masyarakat. Ada beberapa indikator yang mempengaruhi kualitas masyarakat, yaitu :

1) Tingkat pendidikan. Dihitung berdasarkan pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh masyarakat. Asumsi yang digunakan adalah semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin tinggi kualitas manusia/masyarakat di daerah tersebut.

2) Kemampuan membaca dan menulis. Asumsi yang digunakan adalah masyarakat yang bisa membaca dan menulis, mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang tidak bisa membaca dan menulis. Pendidikan informal/kursus dimasukkan dalam kategori ini, dengan asumsi masyarakat yang mengikuti kursus dan pendidikan informal lainnya diajarkan juga membaca dan menulis.

3) Tingkat kesejahteraan. Tingkat kesejahteraan menggambarkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah maka makin tinggi tingkat kemampuan adaptasi daerah tersebut. Tingkat kesejahteraan dalam penelitian ini menggunakan standar BKKBN yang

mengklasifikasikan tingkat kesejahteraan dalam empat kelompok, yaitu pra-ks, ks-1, ks-2 dan ks-3. Kelompok ks-2 dan ks-3 merupakan kelompok rumah tangga yang dinilai telah bisa memenuhi kebutuhan standar hidupnya.

4) Perilaku konservasi. Merupakan perilaku yang menggambarkan kesadaran masyarakat akan lingkungan di sekitarnya. Perilaku konservasi dinilai berdasarkan persepsi masyarakat tentang kesadaran masyarakat di sekitarnya. Perilaku konservasi yang semakin tinggi menunjukkan bahwa lingkungan di sekitar masyarakat semakin bagus, sehingga tingkat kemampuan adaptasi masyarakat semakin tinggi. b Terciptanya hubungan yang harmonis antar masyarakat dan masyarakat

dengan pemerintah (aspek sosial). Semakin tinggi tingkat kerukunan masyarakat maka makin tinggi kemampuan adaptasinya. Ada beberapa indikator yang digunakan dalam menilai hubungan antar masyarakat dan pemerintah, yaitu:

1) Tingkat konflik dalam masyarakat. Konflik yang dinilai adalah konflik yang terjadi dalam masyarakat, terutama masalah sumber daya alam. Semakin tinggi konflik maka kemampuan adaptasi masyarakat makin rendah, begitu juga sebaliknya.

2) Dukungan pemerintah kepada masyarakat. Dukungan pemerintah kepada masyarakat sangat membantu masyarakat untuk beradaptasi terhadap ancaman yang terjadi. Penilaian dukungan masyarakat berdasarkan persepsi masyarakat yang menilai kualitas pemerintah dalam mendukung kebutuhan masyarakat dan dilihat dari kepuasan masyarakat atas pelayanan pemerintah kepada masyarakat.

c Terjaminnya pendapatan daerah perkapita (aspek ekonomi). Pendapatan daerah perkapita yang semakin tinggi menunjukkan bahwa kemampuan atau tingkat pendapatan masyarakat juga makin tinggi dan berpengaruh pada kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan ekosistem. Pendapatan daerah perkapita diperoleh dari PDRB ( Produk Domestik Regional Bruto) perkapita di masing-masing wilayah kabupaten. PDRB perkapita menjadi

ukuran bagi pemerintah lokal untuk mengembangkan pemerintah lokal dan daerahnya termasuk pemdapatan masyarakat (Marwa et al. 2010).

d Adanya lahan resapan air yang cukup (aspek alam). Lahan resapan adalah lahan yang mempunyai kemampuan untuk menginfiltrasikan air. Biasanya ditandai dengan tingginya laju infiltrasi sehingga air yang mengalir ke lahan tersebut masuk ke dalam tanah dan menjadi air tanah (Asdak 2007). Kemampuan tutupan lahan untuk menginfiltrasi dan menyimpan air berbeda- beda. Namun, dalam penghitungan ini diasumsikan bahwa lahan terbuka yang tidak ada tanaman dan areal terbangun tidak mempunyai kemampuan infiltrasi, sedangkan lahan selain lahan terbuka atau areal terbangun diasumsikan mempunyai kemampuan infiltrasi dan besarnya kemampuan infiltrasi diabaikan.

6.2 Analisis AHP

Tujuan penggunaan AHP dalam penelitian ini adalah untuk memberikan bobot atau prioritas pada tiap-tiap indikator berdasarkan kepentingan relatif antar level dalam susunan hirarki permasalahan. Hasil akhir analisis AHP menunjukkan bahwa nilai rasio inkonsistensi (Inconcictency ratio / IR) sebesar 0.0 atau di bawah nilai inkonsistensi rasio yang diperbolehkan atau sebesar 0.1. Dapat disimpulkan bahwa bobot nilai yang diberikan oleh para responden penilai telah memenuhi syarat kekonsistenan.

Pada tingkat prinsip atau level 1, terlihat bahwa bobot nilai untuk kepekaan paling tinggi, sebesar 41.1%. Berikutnya adalah kemampuan adaptasi sebesar 37.1%, dan singkapan sebesar 21.8%. Kondisi ini menggambarkan bahwa mayoritas para penilai lebih mementingkan usaha untuk mengurangi dampak pada kehidupan masyarakat, baru meningkatkan kemampuan adaptasi dan mengatasi dampak pada alam/lingkungan. Selain itu, penilaian AHP ini juga menggambarkan bahwa para penilai lebih mementingkan sistem manusia daripada sistem alam atau mayoritas masyarakat masih berpikiran antroposentrisme, yaitu memandang bahwa alam akan diutamakan daripada sistem manusia apabila memberikan manfaat kepada manusia.

Pada unsur kepekaan, indikator kepadatan penduduk (aspek SDM) mempunyai bobot nilai yang lebih tinggi sebesar 20.9%, diikuti aspek ekonomi (kriteria ketergantungan pada lahan tinggi) sebesar 12.8% dan aspek fisik (kriteria infrastruktur/sarana penyediaan air yang belum memadai) sebesar 7.4%. Dari hasil tersebut, terlihat bahwa para responden atau penilai lebih memfokuskan masalah bersama daripada masalah sebagian orang. Disadari masalah kepadatan penduduk merupakan masalah bersama atau global dan dampaknya mengenai semua masyarakat. Sedangkan aspek ekonomi dan fisik, merupakan masalah sebagian orang saja.

Pada unsur kemampuan adaptasi terlihat bahwa aspek sosial (kriteria hubungan yang harmonis diantara masyarakat) mempunyai bobot yang lebih tinggi atau sebesar 12.5%. Diikuti oleh aspek alam (kriteria lahan resapan yang cukup) sebesar 11.9%, SDM (kriteria kualitas masyarakat yang tinggi) sebesar 6.9%, dan ekonomi (kriteria terjaminnya pendapatan daerap perkapita) sebesar 5.8%. Dari hasil ini terlihat bahwa masyarakat menyadari bahwa kehidupan rukun dan tolong menolong menjadi modal utama bagi mereka untuk menghadapi ancaman yang ada di daerah mereka, dimana pemerintah yang sangat mendukung dan memperhatikan kepentingan masyarakat lebih diutamakan. Selain itu, untuk menjaga kondisi DAS Ciliwung, para penilai berpendapat bahwa faktor alam atau adanya lahan resapan yang cukup sangat mendukung kemampuan adaptasi. Para penilai menyadari bahwa kondisi alam yang dikelola baik akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi mereka, tetapi apabila dikelola dengan tidak baik maka memberikan ancaman bagi kehidupan mereka.

Sedangkan pada aspek SDM, perilaku konservasi mempunyai bobot nilai yang lebih tinggi sebesar 2.2%, diikuti tingkat kesejahteraan sebesar 1.8%, melek huruf sebesar 1.6% dan tingkat pendidikan sebesar 1.4%. Kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas masyarakat yang baik adalah masyarakat yang mempunyai kesadaran terhadap lingkungan atau konservasi tinggi, karena ini disadari secara tidak langsung memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat lainnya. Sedangkan indikator lain pada kualitas manusia dinilai hanya bermanfaat untuk individu itu sendiri.

Dokumen terkait