• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim dan Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan (Studi Kasus: DAS Ciliwung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemetaan Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim dan Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan (Studi Kasus: DAS Ciliwung)"

Copied!
218
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP

PERUBAHAN IKLIM DAN ADAPTASI BERBASIS

EKOSISTEM HUTAN

(STUDI KASUS : DAS CILIWUNG)

TRI HASTUTI SWANDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Pemetaan Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim Berbasis Ekosistem Hutan (Studi Kasus : DAS Ciliwung)” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

(3)

ABSTRACT

TRI HASTUTI SWANDAYANI. Mapping the Vulnerability of Societies to Climate Change and Adaptation Base on Forest Ecosystem (Case Study: Ciliwung Watershed). Under direction of HERRY PURNOMO and BUDI KUNCAHYO

Climate change is hot issue now. It impacts global ecosystem change. Ciliwung Watershed is one of degradation watershed in Indonesia. Ciliwung Watershed is vulnerable to climate change, especially precipitation and temperature. It affects the social vulnerability at Ciliwung Watershed. There are three characteristic of vulnerability. They are exposure, sensitivity and adaptive capacity. The aim of this research was to evaluate vulnerability of societies to climate change at Ciliwung Watershed. To achieve this goal used Analytical Hierarchy Process (AHP) and Geography Information System (GIS). The research produced that vulnerability of societies at Ciliwung Watershed different spatially. The vulnerability of societies at Lower Ciliwung Watershed classified in class intermediate with index was 0.94. Upper and Middle Ciliwung Watershed classified in class low with index were 0.16 and 0.11. In addition, adaptation to climate change was gaining important because climate change could not be totally avoided. Forest ecosystem deliver ecosystem services that vital for people and contribute to reducing the vulnerability of societies to climate change. Therefore, forest ecosystem can be one of strategic adaptation to climate change. Adaptation base on forest ecosystem give multiple benefit and cheap cost. The strategic adaptation base on forest ecosystem can be managed with sustainable forest management.

The implications of these result show that we have to conserve and rehabilitate our forest ecosystem.

(4)

RINGKASAN

TRI HASTUTI SWANDAYANI. Pemetaan Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim dan Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan (Studi Kasus DAS Ciliwung). Dibimbing oleh HERRY PURNOMO dan BUDI KUNCAHYO

Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, yang sebagian besar disebabkan karena kegiatan manusia, telah menyebabkan terjadinya pemanasan global. Total kenaikan suhu dari tahun 1850-1899 ke 2001-2005 adalah 0.76 ± 0.19 0C. Perubahan iklim memberikan dampak pada semua sektor kehidupan, antara lain: sektor sumber daya air, sektor kehutanan, sektor pertanian dan sektor kehidupan lainnya. Perubahan iklim juga berpengaruh pada karakteristik hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS).

Berdasarkan hasil proyeksi model iklim oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (1998) bahwa DAS Ciliwung merupakan salah satu DAS yang rentan terhadap perubahan iklim. Kondisi ini akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat di sekitar DAS Ciliwung karena DAS Ciliwung tidak akan optimal menyediakan jasa dan fungsi ekosistem yang sangat diperlukan oleh masyarakat di sekitar DAS Ciliwung.

Penelitian ini bertujuan untuk menilai kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung. Sedangkan sub tujuan dari penelitian ini adalah: a) mengidentifikasikan kriteria dan indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim; b) menganalisis tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim secara spasial; c) menganalisis adaptasi terhadap perubahan iklim berbasis ekosistem hutan.

Penilaian kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung menggunakan tiga elemen kerentanan, yaitu: singkapan, kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat. Kriteria dan indikator dari singkapan menggunakan hasil referensi KNLH (1998). Sedangkan kriteria dan indikator kepekaan dan kemampuan adaptasi diperoleh dari studi literatur dan wawancara dengan pakar, yang kemudian disesuaikan dengan kondisi lokasi penelitian dengan menggunakan metode observasi, wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD). Dari hasil penelitian terlihat bahwa kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh seluruh aspek kehidupan (fisik, sumber daya manusia, ekonomi, sosial dan alam).

Pemetaan kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Geography Information System (GIS). AHP digunakan untuk menentukan nilai prioritas atau bobot dari tiap-tiap indikator kerentanan. Dalam malaksanakan AHP, responden dipilih secara purposive dan menggunakan kuisioner. Hasilnya menunjukkan bahwa unsur kepekaan mempunyai bobot paling tinggi sebesar 41.1% atau 0.411. Diikuti oleh kemmapuan adaptasi dan singkapan sebesar 37.1% dan 21.8%.

(5)

Ciliwung Hulu dan Tengah digolongkan dalam kelas agak rendah dengan indeks kerentanan masing-masing sebesar 0.16 dan 0.11.

Tingkat kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung tergantung besarnya singkapan, kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung. Singkapan di DAS Ciliwung tergolong dalam kelas sedang dengan indeks sebesar 0.65. Kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung berbeda secara spasial. Kepekaan masyarakat Di DAS Ciliwung Hilir digolongkan dalam kelas sedang dengan indeks kepekaan sebesar 1.25. Kepekaan masyarakat di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah digolongkan ke dalam kelas agak rendah dengan indeks masing-masing 0.83 dan 0.63. Kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung Hilir dan Tengah dikelompokkan dalam kelas sedang dengan indeks kemampuan adaptasi masing-masing sebesar 0.96 dan 1.17. Sedangkan kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung Hulu digolongkan dalam kelas agak tinggi dengan indeks kemampuan adaptasi sebesar 1.32.

Perubahan iklim tidak dapat dikurangi secara tuntas dan memberikan dampaknya secara perlahan dan pasti. Oleh karena itu, diperlukan suatu perencanaan adaptasi terhadap perubahan iklim. Alam, terutama ekosistem hutan menyediakan jasa dan fungsi ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama sebagai pengatur tata air dan suhu. Selain itu, ekosistem hutan dapat mengurangi tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, ekosistem hutan dapat digunakan sebagai salah satu adaptasi terhadap perubahan iklim.

Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan memberikan manfaat ganda serta biaya murah. Namun demikian, ekosistem hutan di DAS Ciliwung dalam kondisi yang memprihatinkan karena banyak terjadi degradasi lahan dan konversi lahan hutan menjadi ke penggunaan lain. Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan dapat dilakukan dengan pengelolaan ekosistem hutan yang lestari.

Implikasi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kita harus mengkonservasi dan merehabilitasi hutan kita.

(6)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan dari suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

(7)

PEMETAAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP

PERUBAHAN IKLIM DAN ADAPTASI BERBASIS

EKOSISTEM HUTAN

(STUDI KASUS : DAS CILIWUNG)

TRI HASTUTI SWANDAYANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Pemetaan Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim dan Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan (Studi Kasus : DAS Ciliwung)

Nama : Tri Hastuti Swandayani

NRP : E151070191

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul

″Pemetaan Kerentanan Masyarakat terhadap Perubahan Iklim dan Adaptasi berbasis Ekosistem Hutan (Studi Kasus : DAS Ciliwung)“.

Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini izinkan penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Com dan Dr. Ir. Budi Kuncahyo, M.S selaku dosen pembimbing serta Dr. Ir. Tania June, M.S selaku dosen penguji.

2. Orang tua serta seluruh keluargaku atas segala doa, kesabaran dan dukungannya selama ini.

3. Departemen Kehutanan sebagai sponsor dan Kepala Balai BPHPS Riau yang memberikan kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2.

4. Teman-temanku semua (BPHPS Riau, Manggala, TNGHS, BP DAS Ciliwung-Citarum, Wisma Karona, Fakultas Kehutanan IPB terutama IPH angkatan 2007, Ciliwung peduli, Jakarta, Bogor, Depok) atas bantuan, spirit serta kritikannya.

5. BPS (Jakarta, Bogor dan Depok), BAPPEDA dan Pemda ( Bogor, Depok, Jakarta), Pak Badri dan masyarakat-masyarakat di DAS Ciliwung, serta seluruh pihak yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data dan penyelesaian karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Insya Allah.

Bogor, Februari 2010

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 27 Agustus 1977 dari pasangan Gito Mulyono dan Puji Ati. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2007, Penulis diterima di Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan pada Program Pasca sarjana IPB.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 4

1.4 Manfaat ... 4

1.5 Ruang Lingkup ... 4

1.6 Kerangka Pemikiran ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 7

2.2 Indek Penggunaan Air ... 8

2.3 Perubahan Iklim dan Siklus Hidrologi ... 9

2.4 Kerentanan(vulnerability) ... 10

2.5 Ekosistem Hutan dan Kesejahteraan Manusia ... 12

2.6 Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan ... 13

2.7 Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 14

2.8 Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 15

3 METODE PENELITIAN ... 16

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

3.2 Alat dan Bahan ... 18

3.3 Metode Penelitian ... 18

3.3.1 Pengumpulan Data ... 18

3.3.2 Pengolahan dan Analisis Data ... 18

4 KONDISI UMUM LOKASI ... 27

4.1 Letak dan Luas ... 27

4.2 Kondisi Fisik ... 28

4.3 Kondisi Penggunaan Lahan ... 29

4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 29

5 HASIL PENELITIAN ... 32

5.1 Kriteria dan Indikator Kerentanan ... 32

5.2 Analisis AHP ... 36

5.3 Pemetaan Kerentanan Masyarakat ... 37

5.3.1 Pemetaan Singkapan ... 37

5.3.2 Pemetaan Kepekaan Masyarakat ... 39

5.3.3 Pemetaan Kemampuan Adaptasi ... 40

(13)

6 PEMBAHASAN ... 44

6.1 Analisis Kriteria dan Indikator Kerentanan Masyarakat ... 44

6.2 Analisis AHP ... 49

6.3 Analisis Pemetaan Kerentanan Masyarakat ... 51

6.4 Analisis Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan ... 56

7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

7.1 Kesimpulan ... 66

7.2 Saran ... 67

8 DAFTAR PUSTAKA ... 69

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perubahan IPA pada DAS di Jawa dengan skenario iklim ... 9

2 Peralatan dan bahan yang dibutuhkan ... 18

3 Indikator dan kriteria kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat .. 19

4 Skala Penilaian ... 21

5 Contoh matrik perbandingan ... 21

6 Contoh form pengisian pakar ... 21

7 Klasifikasi indek kerentanan ... 23

8 Tahapan kegiatan penelitian ... 25

9 Luas, jumlah dan kepadatan penduduk di DAS Ciliwung ... 30

10 Perkembangan penduduk Jakarta-Bogor-Depok 1961 – 2000 (x 1000) . 31 11 Kriteria dan indikator kerentanan masyarakat ... 35

12 Fluktuasi debit di DAS Ciliwung ... 45

13 Nisabah banjir di DAS Ciliwung Hulu ... 53

14 Pola perubahan tata guna lahan di DAS Ciliwung ... 58

15 Penyimpangan RTRW di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah ... 58

16 Penyebaran lahan kritis di DAS Ciliwung ... 59

17 Simulasi perubahan penggunaan lahan ... 61

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pikir penelitian ... 6

2 Konsep penilaian kerentanan (sumber : Kasperson et al. 2005) ... 11

3 Lokasi penelitian (DAS Ciliwung) ... 17

4 Tahapan penyusunan peta kerentanan masyarakat ... 24

5 Diagram alir tahap penelitian ... 26

6 Batas wilayah DAS Ciliwung ... 27

7 Persepsi masyarakat tentang adanya gejala perubahan iklim ... 33

8 Persepsi masyarakat tentang ketersediaan air ... 34

9 Hirarki hasil analisis AHP ... 36

10 Peta singkapan sebelum terjadi perubahan iklim ... 38

11 Peta singkapan setelah terjadi perubahan iklim ... 39

12 Peta kepekaan masyarakat di DAS Ciliwung ... 40

13 Peta kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung ... 41

14 Peta kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung ... 42

15 Grafik indeks kerentanan ... 43

16 Rata-rata jeluk debit bulanan di DAS Ciliwung Tahun 1977-1987 (sumber: Pawitan (1989)) ... 52

17 Fluktuasi tinggi muka air di Stasiun Ratujaya (Sumber: Fakhruddin (2003)) ... 54

18 Rata-rata curah hujan Daerah Jabotabek 17 Jan – 9 Feb 2002 (sumber: Nugroho (2002)) ... 54

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Daftar istilah ... 75

2 Peta topografi di DAS Ciliwung ... 77

3 Peta jenis tanah di DAS Ciliwung ... 78

4 Peta curah hujan di DAS Ciliwung ... 79

5 Peta penggunaan lahan di DAS Ciliwung tahun 1996 ... 80

6 Peta penggunaan lahan di DAS Ciliwung tahun 2007 ... 81

7 Peta lahan kritis di DAS Ciliwung ... 82

8 Peta kepadatan penduduk di DAS Ciliwung ... 83

9 Kriteria dan indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung ... 84

10 Daftar pertanyaan AHP ... 86

11 Daftar responden AHP ... 90

12 AHP hasil olahan expert choice ... 91

(17)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi iklim di bumi tidak pernah statis, tapi berbeda-beda dan berfluktuasi dalam jangka waktu yang lama. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, yang sebagian besar disebabkan karena kegiatan manusia, telah menyebabkan terjadinya pemanasan global (IPCC 2007). Total kenaikan suhu dari tahun 1850-1899 ke 2001-2005 adalah 0.76 ± 0.19 0C (IPCC 2007). Jika konsentrasi GRK terus meningkat, pemanasan global akan berdampak luas pada ekosistem dan manusia. Dampak perubahan iklim berbeda secara temporal dan spasial (IPCC 2001).

Untuk menilai dampak perubahan iklim diperlukan perkiraan bagaimana iklim itu berubah pada tingkat lokal dan regional, serta bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi ekosistem dan kehidupan manusia. Salah satunya menggunakan model sirkulasi umum atau Global Circulation Models (GCMs). Berdasarkan hasil GCMs, terlihat bahwa perubahan iklim memberikan dampak pada semua sektor kehidupan, antara lain: sektor sumber daya air (Rozari et al. 1991; Susetyo et al. 1994; Kaimuddin 2000), sektor kehutanan (Lourdes & Irma 1997; Lee et al. 2009; Lasco et al. 2009), sektor pertanian (O’Brien et al. 2004) dan sektor kehidupan lainnya.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung merupakan salah satu DAS kritis di Indonesia. Degradasi DAS Ciliwung terlihat dari kuantitas dan kualitas air di DAS Ciliwung yang semakin buruk. Kuantitas air di DAS Ciliwung terlihat pada fluktuasi debit yang tinggi antara musim hujan dan kemarau, serta erosi dan sedimentasi di sepanjang sungai yang makin tinggi (BPDAS Ciliwung-Citarum 2007). Kondisi ini menyebabkan terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Kualitas air di DAS Ciliwung semakin menurun dari tahun ke tahun. Selain itu, semakin ke hilir semakin rendah kualitas airnya. Kondisi air di DAS Ciliwung yang mengalir ke hilir atau DKI Jakarta sudah sangat tercemar dan tidak dapat dimanfaatkan untuk keperluan air minum dan perikanan (BPDAS Ciliwung-Citarum 2007).

(18)

perubahan iklim (KNLH 2007). Rusaknya daerah tangkapan air disebabkan karena kegiatan perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan, terutama di DAS Ciliwung Hulu sebagai daerah konservasi, sangat berpengaruh pada kuantitas air di DAS Ciliwung (Singgih 2000; Fakhruddin 2003; Pawitan 2006; Lisnawati 2006).

Waggoner et al. (1990) menyatakan bahwa perubahan iklim berpengaruh pada karakteristik hidrologi, terutama kuantitas air dalam suatu DAS. Data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata bulanan di daerah sekitar DAS Ciliwung mengalami peningkatan dari 310 mm/bulan pada tahun 1990 menjadi 360 mm/bulan pada tahun 2000. Peningkatan curah hujan ini berpengaruh pada peningkatan debit di DAS Ciliwung (Pawitan et al. 2000; Singgih 2000; Pawitan 2002; Fakhruddin 2003; BPDAS Ciliwung-Citarum 2007).

Pawitan (1999) menyatakan bahwa di Pulau Jawa terjadi gejala penurunan curah hujan yang terlihat dari rataan curah hujan tahunan periode 1931-1960 dan 1968-1998 di banyak stasiun yang meliputi sepanjang Jawa bagian selatan yang mencapai selisih 1000 mm antara dua periode pangamatan tersebut. Tobing (2007) mengamati perubahan curah hujan selama 15 tahun dan dibagi menjadi 3 periode atau 5 tahunan. Hasilnya menunjukkan bahwa Di DAS Ciliwung terjadi gejala penurunan curah hujan dan sangat berpengaruh pada indeks kekeringan walaupun masih tergolong agak basah.

KNLH (1998) mencoba memproyeksikan perubahan iklim pada DAS Ciliwung dengan menggunakan model GCMs jenis CCCM (Canadian Climate Centre Model). Hasil keluaran CCCM menunjukkan bahwa di DAS Ciliwung terjadi kenaikan suhu dan penurunan curah hujan. Selain itu, hasilnya juga menunjukkan bahwa DAS Ciliwung sangat peka dengan adanya perubahan iklim, sehingga memicu terjadinya degradasi DAS Ciliwung yang semakin tinggi.

(19)

dengan perubahan ekosistem yang disebabkan oleh suatu ancaman tertentu (Olmos 2001; Fussel 2007). Kerentanan merupakan fungsi dari tiga komponen, yaitu exposure (singkapan), sensitivity (kepekaan), dan adaptive capacity (kemampuan adaptasi) (IPCC 2001; Forner 2006).

Banyak penelitian di DAS Ciliwung yang hanya fokus pada sistem alam atau degradasi DAS Ciliwung. Masih jarang penelitian yang melibatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di DAS Ciliwung. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk menilai tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung.

1.2 Perumusan Masalah

Kegiatan manusia telah menyebabkan terjadinya peningkatan emisi GRK yang menimbulkan terjadinya fenomena pemanasan global dan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim terjadi secara perlahan-lahan namun pasti. Selain itu, perubahan iklim memberikan dampak pada semua sektor kehidupan.

Perubahan iklim, terutama unsur suhu dan curah hujan sangat berpengaruh pada kondisi hidrologis. Nilai curah hujan sangat berpengaruh pada respon hidrologi atau debit di DAS Ciliwung (Pawitan et al. 2000; Singgih 2000; Pawitan 2002; Fakhruddin 2003; BPDAS Ciliwung-Citarum 2007). Intensitas hujan yang sangat tinggi di musim hujan dan tidak adanya hujan pada musim kemarau menyebabkan fluktuasi debit di DAS Ciliwung sangat tinggi. Kondisi ini akan berpengaruh pada ketersediaan air di DAS Ciliwung (KNLH 1998) dan meningkatkan degradasi DAS Ciliwung.

Degradasi DAS Ciliwung yang semakin kritis menyebabkan DAS Ciliwung tidak optimal menyediakan fungsi dan jasanya bagi masyarakat. Masyarakat yang peka akan makin rentan, sedangkan masyarakat yang bisa beradaptasi akan bertahan.

(20)

hutan di DAS Ciliwung dijaga dengan baik, maka akan mengurangi masalah ketersediaan air di DAS Ciliwung karena ekosistem hutan mampu menjaga tata air di DAS Ciliwung.

Berdasarkan informasi di atas, maka dalam penelitian ini berusaha untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1 Kriteria dan indikator apakah yang berpengaruh pada tingkat kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung?

2 Bagaimana tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung secara spasial?

3 Bagaimana peranan ekosistem hutan dalam meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung?

1.3 Tujuan

Tujuan utama dalam penelitian ini adalah menilai kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung dengan menerapkan fungsi dari singkapan, kepekaan,dan kemampuan adaptasi. Sedangkan sub tujuannya adalah :

a Mengidentifikasikan kriteria dan indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung.

b Menganalisis tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung secara spasial.

c Menganalisis adaptasi terhadap perubahan iklim berbasis ekosistem hutan.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung dan menjadi masukan dalam perencanaan adaptasi terhadap perubahan iklim.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(21)

1.6 Kerangka Pemikiran

Pertambahan penduduk dan kegiatan ekonomi pembangunan di DAS Ciliwung yang sangat pesat menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil yang sangat tinggi. Kedua kegiatan tersebut merupakan sumber emisi GRK terbesar di DAS Ciliwung. Peningkatan emisi GRK yang terus menerus menyebabkan terjadinya pemanasan global yang berimplikasi terjadinya perubahan iklim di DAS Ciliwung.

Perubahan iklim, terutama suhu dan curah hujan, akan meng-exposure atau menyingkap terjadinya perubahan fluktuasi debit di DAS Ciliwung. Berdasarkan hasil proyeksi perubahan iklim dan dampaknya pada DAS Ciliwung, menunjukkan bahwa DAS Ciliwung sangat peka dengan perubahan iklim (KNLH 1998). Fluktuasi debit di DAS Ciliwung berbanding lurus dengan nilai curah hujan (Pawitan et al. 2000; Pawitan 2002; BPDAS Ciliwung-Citarum 2007). Semakin tinggi curah hujan maka debit juga makin tinggi, dan apabila curah hujannya makin rendah maka debit juga makin rendah. Perubahan fluktuasi debit di DAS Ciliwung yang makin tinggi menyebabkan terjadinya banjir pada musim hujan dan juga kemarau pada musim kemarau.

Perubahan fluktuasi debit di DAS Ciliwung yang semakin tinggi sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat di DAS Ciliwung. Masyarakat yang peka akan merespon kondisi ini dan menyebabkan terjadinya peningkatan kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung. Namun demikian, masyarakat yang mempunyai kemampuan adaptasi akan bertahan dengan perubahan atau kondisi hidrologis di DAS Ciliwung ini. Kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat dapat dinilai dari lima aspek kehidupan, yaitu: fisik/teknologi, sosial/kelembagaan, ekonomi, sumber daya manusia (SDM) dan juga alam.

(22)

Perubahan iklim akan terjadi secara perlahan dan terus menerus. Oleh karena itu, adaptasi terhadap perubahan iklim sangat penting. Salah satunya adalah menggunakan alam, terutama ekosistem hutan sebagai salah satu strategi adaptasi terhadap perubahan iklim. Ekosistem hutan disini adalah suatu lahan yang yang didominasi oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan, yang tidak dibatasi akan luasnya lahan tersebut. Ekosistem hutan ini dapat berupa hutan kota, hutan alam maupun hutan produksi. Ekosistem hutan memberikan jasa yang sangat penting, terutama pengatur tata air sehingga fluktuasi debit dapat dikurangi. Secara lengkap kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.

(23)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

DAS merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas topografi yang secara alami sedemikian rupa sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam DAS tersebut akan mengalir melalui titik tertentu dalam DAS tersebut (Asdak 2007). Dalam pendefinisian DAS, pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat penting, terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi, kemudian mengalir ke sungai sebagai debit aliran.

Tipologi ekosistem DAS, umumnya diklasifikasikan menjadi hulu, tengah dan hilir. DAS hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, sedangkan DAS hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di hulu akan menimbulkan dampak negatif di hilir. Dampak tersebut antara lain erosi, longsor dan banjir, maupun kekeringan.

Dampak yang ditimbulkan merupakan bentuk respon negatif dari komponen-komponen DAS terhadap kondisi hujan. Kuat atau lemahnya respon sangat dipengaruhi oleh karakteristik DAS baik secara fisik, maupun sosial ekonomi masyarakat. Karakteristik fisik merupakan variabel dasar yang menentukan proses hidrologi DAS, sedangkan karakteristik sosial ekonomi masyarakat merupakan variabel yang mempengaruhi percepatan perubahan kondisi hidrologi DAS.

(24)

2.2 Indek Penggunaan Air

Indek penggunaan air (IPA) merupakan rasio antara kebutuhan dan ketersediaan air. DAS diklasifikasikan ke dalam kondisi kritis apabila IPA lebih dari 0.8 (KNLH 1998; Paimin et al. 2006). Namun demikian, Sobirin (2008) mengklasifikasikan DAS dalam kondisi kritis, apabila IPA lebih dari 0.5.

Ketersediaan air adalah air yang dapat dimanfaatkan untuk hidup dan kehidupan manusia dalam suatu wilayah dan waktu tertentu. Ketersediaan air dapat berupa air hujan, air permukaan (air sungai) dan air tanah (Dir. Pengairan dan Irigasi 2006). Ketersediaan air dapat dihitung dengan menggunakan model keseimbangan air atau neraca air, yang dirumuskan sebagai berikut:

P = Ea + Q + ΔS...(1.1) Ket : P = presipitasi/curah hujan

Ea = Evapotranspirasi/penguapan Q = Debit/aliran

ΔS = Cadangan permukaan dan bawah permukaan

Secara makro ketersediaan air di Indonesia sangat berlimpah, tetapi keberlimpahan tersebut tidak terdistribusi merata secara ruang dan waktu. Pulau Jawa mempunyai ketersediaan air yang paling kecil yaitu hanya 1600 m3/kapita/tahun. Sebaliknya Papua mempunyai ketersediaan air paling banyak yaitu 25300 m3/kapita/tahun. Para pakar dunia mengklasifikasikan Indek Ketersediaan Air (IKA) adalah sebagai berikut: a) kurang dari 1000 m3/kapita/tahun, kelas sangat kurang; b) 1000 – 5000 m3/kapita/tahun, kelas kurang; c) 5000 – 10000 m3/kapita/tahun, kelas menengah; d) lebih dari 10000, kelas tinggi.

(25)

2.3 Perubahan Iklim dan Siklus Hidrologi

IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik dalam jangka waktu yang panjang, minimal 30 tahun. Lebih lanjut dikatakan bahwa selama 100 tahun terakhir (1906-2005) suhu permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0.74 0C, dengan pemanasan yang lebih besar pada daratan dibandingkan lautan.

Proses perubahan iklim juga terjadi di Indonesia, yang ditandai dengan adanya peningkatan suhu (Rozari et al. 1992) serta pergeseran musim atau musim semakin kering atau musim kemarau lebih panjang (Kaimuddin 2000; Tobing 2007). Lamb (1978) dalam Rozari et al. (1992), membahas perubahan iklim harus memperhatikan dua hal, yaitu: a) pergeseran musim, musim dingin terjadi pada periode panas dan begitu sebaliknya; b) perubahan tidak terjadi seketika dan serentak disemua tempat atau wilayah.

Perubahan iklim berpengaruh pada siklus hidrologi (Rozari et al. 1991; Susetyo et al. 1994; KNLH 1998; Kaimuddin 2000). Peningkatan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan evapotranspirasi yang akan berpengaruh pada run off (aliran permukaan/limpasan) sehingga keseimbangan hidrologi akan terganggu (Waggoner et al. 1990). Dampak perubahan iklim dapat diuji dengan menggunakan model proyeksi iklim GCMs (Global Circulation Models). KNLH (1998) mencoba memproyeksikan dampak perubahan iklim terhadap IPA di beberapa DAS di Jawa. Hasilnya terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perubahan IPA pada DAS di Jawa dengan skenario iklim

No. DAS IPA

1 x CO2 (Sebelum Emisi) 2 X C02 (Sesudah Emisi)

1 Ciliman-Ciujung 0.30 0.32

2 Cisadane-Ciliwung 0.47 0.53

3 Citarum 0.97 0.99

4 Citanduy 0.33 0.32

5 Serayu 0.39 0.38

6 Progo-Opak 0.68 0.68

7 Bengawan Solo 0.89 0.94

8 Jratun- Seluna 0.80 0.83

9 Brantas 1.12 0.92

10 Pakelan-Sampeyan 0.66 0.70

(26)

Dari Tabel 1 terlihat bahwa perubahan iklim menyebabkan siklus hidrologi di beberapa DAS terganggu atau DAS cenderung lebih rentan. Selain itu, terlihat bahwa dampak perubahan iklim berbeda secara spasial. Pada beberapa daerah mengalami penurunan curah hujan sehingga ketersediaan air makin turun (ex. DAS Citarum). Sedangkan di tempat lain mengalami kenaikan curah hujan sehingga ketersediaan air makin bertambah (ex. DAS Brantas). Namun demikian, ada juga DAS yang tidak berubah siklus hidrologinya atau tidak rentan terhadap perubahan iklim (ex. DAS Progo Opak).

2.4 Kerentanan (Vulnerability)

Kerentanan merupakan suatu terminologi yang komplek dan tidak pasti sehingga masih banyak terdapat pengertian tentang kerentanan tergantung pada lingkup penelitian (Olmos 2001; Fussel 2007). Secara garis besar kerentanan merupakan kondisi dimana sistem tidak dapat menyesuaikan dengan dampak dari suatu perubahan (Olmos 2001; Fussel 2007). Kerentanan berbeda secara temporal dan spasial (Olmos 2001; IPCC 2001). Konsep penilaian kerentanan ini dapat dilihat pada Gambar 2.

(27)

Regional Lokal Global Variabel dari manusia Variabel alam Gangguan sosial dan lingkungan Singkapan Pengukuran awal Kondisi biosfer

Perubahan lingkungan global Politik ekonomi makro Struktur sosial dinamik Gglobalisasi Pemberdayaan sosial ekonomi Besarnya kemampuan menyesuaikan Politik ekonomi Pemberdayaan ekologi Besarnya ketahanan Kondisi referensi Sistem manusia-lingkungan beserta atribut dari kerentanan

Resiko Adaptasi Penyesuaian Kepekaan Kondisi lingkungan/ekologi Kondisi Sosial ekonomi Penyesuaian Respon Ukuran sistem Akibat Tekanan, Ancaman dan Gangguan

Gambar 2 Konsep penilaian kerentanan (sumber: Kasperson et al. 2005)

IPCC (2001) menyatakan bahwa kerentanan dikarakterisasikan atas tiga komponen, yaitu singkapan, kepekaan dan kemampuan adaptasi. Dirumuskan sebagai berikut :

V = ƒ(E, S, AC) ... (1.2) or

V = ƒ(PI, AC) …...………. (1.3) (Metzger et al. 2006 dalam Forner 2006) Dimana: V = vulnerability/kerentanan

E = exposure/singkapan S = sensitivity/kepekaan sistem

AC = adaptive capacity/kemampuan adaptasi

PI = Potential Impact/dampak potensial

(28)

model GCMs. Yusuf dan Fransisco (2009) menilai singkapan dari intensitas terjadinya bencana iklim yang telah terjadi.

Kepekaan (S) merupakan tingkat dimana sebuah sistem akan dipengaruhi oleh perubahan iklim atau ekosistem. Nilai 1 menunjukkan sistem peka dan nilai 0 apabila tidak peka. Kemampuan adaptasi (AC) merupakan kemampuan sistem untuk merespon dampak dari perubahan iklim. Kepekaan dan kemampuan adaptasi dikarakterisasikan atas lima aspek kehidupan, yaitu alam, fisik/teknologi, SDM, sosial dan ekonomi (Thow & Mark 2008; Yusuf & Fransisco 2009).

2.5 Ekosistem Hutan dan Kesejahteraan Manusia

Ekosistem merupakan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Dwidjoseputro 1991; Marten 2001; Alcamo et al. 2003; Indriyanto 2005). Hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannnya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999). Ekosistem hutan menyediakan jasa yang sangat penting bagi kehidupan manusia antara lain jasa penyediaan, jasa pengaturan, jasa pendukung, jasa kultural, serta jasa non material lainnya (Alcamo et al. 2003). Permintaan terhadap jasa ekosistem semakin meningkat dengan bertambahnya populasi manusia. Dalam mengelola hutan tidak jarang manusia menyebabkan kerusakan ekosistem hutan melalui berbagai kegiatan yang mengubah struktur, komposisi, serta keutuhan dan integritas hutan. Akibatnya, manfaat hutan menjadi berkurang sehingga kesejahteraan masyarakat akan menurun.

(29)

2.6 Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan

Dampak perubahan iklim terhadap kondisi hidrologis dalam suatu DAS berpengaruh penting dalam sektor kehidupan, tidak terkecuali sektor kehutanan. Berkurangnya ketersediaan air akan berpengaruh pada ekosistem hutan dan kegiatan yang berdasarkan hutan. Begitu juga sebaliknya, deforestasi dan degradasi hutan berpengaruh pada tata air. Oleh karena itu, dalam menghadapi perubahan iklim diperlukan usaha mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Mitigasi merupakan campur tangan manusia untuk mengurangi sumber (sources) atau mendukung pengurangan (sinks) gas-gas rumah kaca. Sedangkan adaptasi mempunyai arti tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial sebagai respon terhadap dampak perubahan iklim dan variabilitasnya (IPCC 2001). Kegiatan adaptasi diharapkan dapat mengurangi kerentanan dan juga dampak perubahan iklim terhadap sistem ekologis dan manusia.

Usaha yang paling efektif dan efisien untuk adaptasi adalah meningkatkan ketangguhan sistem alami melalui konservasi dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Memelihara dan melindungi kesehatan alam, terutama hutan akan membantu mengurangi dampak negatif terhadap manusia dan mendukung upaya-upaya pembangunan berkelanjutan. Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan memberikan manfaat ganda bagi manusia dan alam, termasuk diantaranya melindungi dari bencana alam yang ekstrim, mengurangi korban jiwa dan menurunkan kerugian ekonomi akibat perubahan iklim.

(30)

2.7 Analytical Hierarchy Process (AHP)

AHP dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty, pada tahun 1970-an untuk mengorganisasikan informasi dan pertimbangan dalam memilih alternatif yang paling disukai. Dengan teknik AHP suatu persoalan dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut (Saaty 1993). Ada tiga prinsip dasar AHP yaitu penyusunan hirarki masalah, penetapan prioritas serta konsistensi logis.

Saaty (1993) menyatakan bahwa pembobotan dalam pembuatan keputusan multi kriteria dapat efektif dengan struktur hirarki dan pairwise comparison. Struktur hirarki memberikan beberapa keuntungan, antara lain: a) mewakili suatu sistem yang dapat menerangkan bagaimana prioritas pada level yang lebih tinggi dapat mempengaruhi prioritas pada level di bawahnya; b) memberikan informasi rinci mengenai struktur dan fungsi dari sistem pada level yang lebih rendah dan memberikan gambaran pada level yang lebih tinggi; c) sistem akan menjadi lebih efisien jika disusun dalam bentuk hirarki dibandingkan dalam bentuk lain; d) bersifat stabil dan fleksibel dalam arti penambahan elemen pada struktur yang telah tersusun baik tidak akan mengganggu penampilannya.

Pairwise comparison merupakan metode perbandingan berpasangan yang melibatkan perbandingan satu-satu dari setiap indikator (Mendoza et al. 1999). Metode ini memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari multi kriteria secara intuisif. Metode ini merupakan metode yang lebih baik dibandingkan metode rating dan rangking, karena: a) metode ini mengukur ordinal dan kardinal pada kepentingan indikator yang berbeda; b) respon dari pakar lebih spesifik karena disadari pentingnya indikator dalam hubungannya dengan semua indikator; c) dapat dianalis untuk kekonsistensinya sehingga membuat analisis lebih nyata dan akurat.

Secara umum tahapan AHP adalah sebagai berikut: a) perumusan masalah;

b) penyusunan hirarki masalah; c) pembangunan matrik perbandingan; d) penghitungan bobot prioritas; e) penghitungan tingkat konsistensi. Identifikasi

(31)

digunakan untuk menjelaskan dan mencapai tujuan; 3) allternatif-alternatif solusi terhadap permasalahan yang dihadapi.

2.8 Sistem Informasi Geografi

Sistem Informasi Geografi (SIG) mulai dikenal pada awal tahun 1980-an. SIG merupakan suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk mengumpulkan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis (Puntodewo et al. 2003). SIG sangat berguna untuk berbagai kalangan dalam menjelaskan kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang akan terjadi.

(32)

3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian mengambil studi kasus masyarakat di sekitar DAS Ciliwung. Alasan mengambil lokasi di DAS Ciliwung adalah: a) perubahan iklim sangat berpengaruh pada kondisi hidrologis, terutama debit atau limpasan air di DAS Ciliwung; b) berdasarkan beberapa literatur, daerah di DAS Ciliwung dan sekitranya telah terjadi tanda-tanda perubahan iklim; c) DAS Ciliwung dalam kondisi kritis, yang disebabkan oleh beberapa faktor, terutama penggunaan lahan dan perubahan iklim. Dalam penelitian ini mencoba untuk mengetahui besarnya degradasi DAS Ciliwung yang disebabkan karena perubahan iklim; d) belum ada informasi tentang kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung. Selama ini penelitian hanya fokus pada kondisi ekologis di DAS Ciliwung.

Pengambilan lokasi ditentukan dengan metode purposive sampling. Pertama lokasi dipilih secara strata atau tipologi DAS (hulu, tengah dan hilir). Kemudian setiap strata dipilih minimal dua lokasi yang dianggap mewakili kondisi ekologis pada setiap strata. Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah: a) DAS Ciliwung Hilir (Bukit Duri, Kec. Tebet, Jakarta Selatan; Cawang, Kec. Kramat Jati, Jakarta Timur); b) DAS Ciliwung Tengah ( Tugu, Kec. Cimanggis, Depok; Babakan Pasar, Kec. Bogor Tengah, Bogor; Katulampa, Kec. Bogor Timur, Bogor); dan c) DAS Ciliwung Hulu (Tugu Utara, Kec. Cisarua, Bogor; Tugu Selatan, Kec. Cisarua, Bogor). Lokasi penelitian tersaji pada Gambar 3.

(33)
[image:33.612.95.516.77.631.2]
(34)

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan dan bahan yang diperlukan dalam penelitian tersaji pada Tabel di bawah ini.

Tabel 2 Peralatan dan bahan yang dibutuhkan

Peralatan Fungsi

A. Hardware

Alat perekam, pena, komputer, printer, kamera Observasi, wawancara

B. Software

ESRI ArcView GIS 3.3 Full Extention Pengolahan data spasial

Expert Choice Penentuan Bobot

Bahan Sumber

A. PETA

Peta RBI Bakosurtanal

Peta Tutupan Lahan/Tata Guna lahan Peta DAS, administrasi, lahan kritis

Dephut

BPDAS Ciliwung-Citarum

B. NON-PETA

Data Susenas, potensi desa, kec/kab dalam angka BPS/BAPPEDA Data debit air/Historis bencana DPU/Kimpraswil

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data sekunder dikumpulkan melalui kegiatan desk study dan tersaji pada Tabel 2 (bagian bahan). Data primer berupa persepsi masyarakat. Responden dipilih dengan cara purposive dengan syarat: a) penduduk yang sudah lama tinggal di daerah tersebut,

minimal 30 tahun; b) dewasa; c) sehat akal. 3.3.2 Pengolahan dan Analisis Data

A. Analisis Kriteria dan Indikator Kerentanan Masyarakat

(35)

Analisis kriteria dan indikator kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim cenderung menggunakan penelitian kualitatif dan dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu:

[image:35.612.122.505.264.608.2]

a Tahap I, kegiatan untuk mengumpulkan kriteria dan indikator yang berpengaruh pada kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim atau perubahan ketersediaan air di DAS Ciliwung berdasarkan informasi dari pakar dan studi literatur. Hasilnya terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Indikator kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat

Elemen Kriteria Indikator

Kepekaan SDM Kepadatan penduduk (KP)

Masyarakat Fisik Kualitas infrastruktur (Fasilitas PAM) Ekonomi Ketergantungan pada lahan atau pekerjaan

dalam sektor pertanian (KTL)

Kemampuan SDM Tingkat pendidikan (TP) Adaptasi Melek huruf (MH) Masyarakat Struktur umur (SU)

Jenis kelamin (JK) Kemiskinan

Angka harapan hidup (AHH)

Tingkat kesehatan (persentase penduduk sakit, jumlah bayi yang meninggal,balita kurang gizi)

Ekonomi Tingkat pendapatan daerah kapita (IPDRB), Pola konsumsi

Kegiatan dasar wilayah

Sosial Masyarakat Æperilaku konservasi, nilai tradisi, niali budaya, hukum adat, Konflik. Pemerintahan Æ kualitas aturan, pengawasan konflik, diskriminasi, kestabilan politik, Fisik Teknologi Konservasi (TK)

Kualitas Infrastruktur (DAM/waduk) Alam Persentase hutan (LH)

Sumber : Studi literatur dan pakar

(36)

penelitian. Metode yang digunakan adalah observasi dan wawancara semi terstruktur dan FGD (focus Group Discussion). Observasi merupakan cara melihat kondisi wilayah DAS Ciliwung, baik menyangkut fisik maupun non fisik. Wawancara semi terstruktur bertujuan untuk mencari informasi yang lebih lengkap dan detil tentang kondisi yang ada dalam masyarakat. Sedangkan FGD bertujuan untuk menarik informasi secara mendalam dari sejumlah responden dalam satu waktu tertentu, sehingga informasi yang ada dapat saling melengkapi antarsesama responden tersebut. FGD ini dilakukan pada saat warga berkumpul pada waktu luang di sekitar tempat tinggal mereka.

B Analisis AHP

Metode AHP dalam penelitian ini digunakan untuk memberikan pembobotan terhadap indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung. Tahapan AHP dapat dijelaskan sebagaimana di bawah ini.

B.1 Penyusunan Hirarki Masalah

Hirarki dibangun berdasarkan tujuan, sasaran dan sub kriteria yang digunakan untuk membuat rekomendasi. Hirarki merupakan sebuah struktur pohon yang digunakan untuk menyusun sebuah masalah keputusan. Hirarki ini mempunyai aliran top down, bergerak dari kategori umum (sasaran) menuju ke spesifik (sub sasaran).

B.2 Pembangunan Matrik Perbandingan

Pengambil keputusan harus melakukan penilaian tingkat kepentingan relatif antara elemen yang satu dibanding elemen lainnya pada suatu level hirarki tertentu dalam kaitannya dengan pencapaian elemen pada level hirarki di atasnya. AHP menggunakan cara perbandingan berpasangan baik dengan menggunakan data hasil pengukuran maupun skala penilaian dari Saaty (1993).

(37)

para pakar mengisi suatu form dengan berdasarkan pada skala penilaian. Penilaian pakar dilakukan sebanyak {n/n-1)}/2, dimana n merupakan ukuran matrik. Pengisian matrik dilakukan dengan aksioma resiprokal. Elemen-elemen pada diagonal utama bernilai satu karena membandingkan dua hal yang sama.

Tabel 4 Skala penilaian

Skala Definisi Keterangan

1 Sama penting Dua aktivitas memberikan kontribusi yang seimbang pada tujuan

3 Agak lebih penting Pengalaman dan penilaian sedikit lebih memilih aktivitas yang satu dibandingkan dengan aktivitas yang lain

5 Lebih penting Pengalaman dan penilaian lebih memilih aktivitas yang satu dibandingkan aktivitas yang lainnya

7 Sangat penting Suatu aktivitas sangat lebih dipilih dan dominasinya dapat dilihat secara nyata 9 Mutlak lebih penting Suatu aktivitas terbukti lebih dipilih dalam

tingkat penegasan tertinggi 2,4,6,8 Nilai perbandingan diantara

dua nilai yang berurutan

Apabila diperlukan suatu kompromi

Tabel 5 Contoh matrik perbandingan Kepekaan

Masyarakat KP PAM KTL

KP 1

PAM 1

KTL 1

Tabel 6 Contoh form pengisian pakar

KP 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 PAM

KP 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 KTL

PAM 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 KTL

B.3 Penghitungan Bobot Prioritas

(38)

total nilainya); c) melakukan proses tersebut secara iterasi hingga diperoleh selisih antara dua interasi yang kecil (tidak berbeda sampai empat desimal).

B.4 Penghitungan Tingkat Konsistensi

Konsistensi menerangkan tentang koherensi penilaian atau kelogisan penilaian dalam membandingkan kriteria-kriteria atau alternatif yang berpasangan. Adanya konsistensi penilaian dapat menjamin kesahihan bobot/prioritas yang dihasilkan dari perbandingan tersebut. Namun demikian, kadangkala ketidakkonsistenan mungkin terjadi disebabkan, karena: a) kesalahan dalam pemasukan data; b) kurangnya informasi; c) kurangnya konsentrasi; dan d) fakta sebenarnya mungkin tidak konsisten. Oleh karena itu, metode AHP mentolerir adanya ketidakkonsistenan yang diukur oleh indeks konsistensi (consistency index, CI) dan rasio konsistensi (consistency ratio, CR) sebagai berikut:

... (1.4)

... ...(1.5) Ket : CR = Concictency Ratio (Rasio/tingkat konsistensi)

CI = Concictency Indeks (Indeks Konsistensi)

n = Banyaknya elemen yang dibandingkan /ukuran matrik

λmax = Akar ciri maksimum

Apabila CR ≤ 0,1 maka penilaian sudah memuaskan. Apabila nilai CR ≥ 0,1 maka harus segera diadakan penyesuaian karena inkonsistensi yang tinggi menunjukkan adanya kesalahan dan kekurangpahaman dalam pengisian matrik.

C Pengolahan spasial

C.1 Penentuan Indeks Kerentanan

Untuk menghitung indeks dari unsur kerentanan (singkapan, kepekaan dan kemampuan adaptasi) dilakukan dengan rumus sebagai berikut :

... (1.6)

Ket: K = Indeks

(39)

Sedangkan untuk penentuan indeks kerentanan dilakukan dengan mengurangi hasil jumlah indeks singkapan dan kepekaan dengan indeks kemampuan adaptasi. Dapat ditulis atau dirumuskan sebagai berikut :

.. ... (1.7)

Ket: K = Indeks kerentanan

Wie = Bobot indikator ke-i pada singkapan Xie = skor indikator ke-i pada singkapan Wis = Bobot indikator ke-i pada kepekaan Xis = skor indikator ke-i pada kepekaan

Wiac = Bobot indikator ke-i pada kemampuan adaptasi Xiac = skor indikator ke-i pada kemampuan adaptasi

Penentuan klasifikasi tiap indeks dihitung dengan rumus (1.8) dan hasil klasifikasi tiap-tiap indeks tersaji pada Tabel 7.

...(1.8)

Ket: i = Lebar interval

[image:39.612.84.503.450.683.2]

R = selisih skor maksimum dan skor minimum N = Jumlah kelas

Tabel 7 Klasifikasi indeks kerentanan

Unsur Nilai Kategori

A Singkapan 0 Tidak Rentan

> 0.9 Rentan B Kepekaan dan kemampuan adaptasi < 0.5 Rendah

0.5 – 0.9 Agak rendah 0.9 – 1.3 Sedang 1.3 –1.9 Agak tinggi > 1.9 Tinggi

C Kerentanan < (-0.8) Rendah

(-0.8) – 0.2 Agak rendah 0.2 – 1.2 Sedang

1.2 – 2.2 Agak tinggi > 2.2 Tinggi Sumber : Hasil analisis

)) ( ( )) ( ) ( ( 1 1

1

w

x

w

x

w

x

iac n iac iac is n is is ie n ie

iex x x

k

(40)

C. 2. Penyusunan Peta Kerentanan

[image:40.612.103.505.285.631.2]

Hasil analisis kerentanan masyarakat ditampilkan dalam bentuk peta-peta dengan bantuan software ArcView GIS 3.3. Peta yang dihasilkan adalah peta singkapan, kepekaan, kemampuan adaptasi, dan kerentanan. Peta singkapan, kepekaan dan kemampuan adaptasi diperoleh dengan operasi join table atau add field pada tiap indikator pada peta batas DAS yang telah dioverlay dengan peta administrasi. Peta kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim diperoleh dengan operasi overlay atau tumpang tindih antara peta singkapan, peta kepekaan masyarakat dan peta kemampuan adaptasi. Tahapan penyusunan peta kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Tahapan penyusunan peta kerentanan masyarakat

D. Analisis Adaptasi Berbasis ekosistem Hutan

(41)

kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung. Analisis deskriptif dilakukan secara logika dengan memasukkan analisa peta kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung, persepsi masyarakat serta pakar.

[image:41.612.85.518.200.627.2]

Secara umum, tahapan kegiatan penelitian ini disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 5 di bawah ini.

Tabel 8 Tahapan kegiatan penelitian

No Input Proses Output

1 Literatur, pakar, responden/ masyarakat

Desk study, observasi, wawancara semi terstruktur, FGD

Kriteria dan indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim

2 Hasil proyeksi KNLH (1998), Peta batas DAS Ciliwung

Operasi SIG (Add table atau Join table)

Peta singkapan

3 Data BPS, persepsi masyarakat, peta batas DAS Ciliwung

Operasi SIG (scoring, join table) dan AHP

Peta kepekaan masyarakat terhadap perubahan iklim 4 Data BPS, persepsi

masyarakat, peta penggunaan lahan, peta batas DAS Ciliwung

Operasi SIG (scoring, join table) dan AHP

Peta kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim

5 Peta singkapan, peta kepekaan dan peta kemampuan adaptasi masyarakat Operasi SIG (overlay, scoring, klasifikasi kelas kerentanan) Peta kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim

6 peta kerentanan

masyarakat terhadap perubahan iklim, studi literatur, persepsi masyarakat, pakar

(42)

Start Studi literatur/ diskusi Pengumpulan data Data BPS dan Instansi lainnya Responden /pakar/ informan kunci Peta kerentaan masyarakat terhadap perubahan iklim Analisis adaptasi berbasis ekosistem hutan stop Peta batas DAS

Ciliwung

Faktor dan data kemampuan

adaptasi masyarakat Faktor dan data

kepekaan masyarakat Proyeksi

perubahan iklim terhadap IPA

[image:42.612.76.506.78.629.2]

Peta singkapan Peta kepekaan masyarakat Peta kemampuan adaptasi masyarakat Overlay& klasifikasi Join table/add field scoring, AHP, Peta penggunaan lahan Join table/add field scoring, AHP, Join table/add field scoring, AHP, Literatur, pakar, masyarakat

(43)

4

KONDISI UMUM LOKASI

4.1 Letak dan Luas

[image:43.612.103.489.254.694.2]

DAS Ciliwung secara geografis terletak pada 106047’08.65” sampai dengan 107000’05.43” Bujur Timur (BT) dan 6005’50.76” sampai dengan 6045’48.89” Lintang Selatan (LS). Wilayah DAS Ciliwung di sebelah barat dibatasi oleh DAS Cisadane dan di sebelah timur dibatasi DAS Citarum, dengan hulunya di sebelah selatan di Gunung Gede Pangrango (Desa Telaga) dan bermuara di Teluk Jakarta. DAS Ciliwung meliputi areal seluas 49944.90 Ha.

(44)

4.2 Kondisi Fisik

4.2.1 Topografi

DAS Ciliwung Hulu dibentuk oleh beberapa pegunungan, antara lain: Gunung Gede Pangrango, Gunung Mandalawangi, dan Gunung Kencong. Ketinggiannya mulai dari 400 - 2640 m dpl. DAS Ciliwung Tengah didominasi oleh kelerengan yang landai (8-15%) dan ketinggian tempat 50 - 400 m dpl. DAS Ciliwung Hilir berada pada ketinggian tempat 0 - 50 m dpl dengan bentuk lereng yang umumnya datar (0-8%). Topografi DAS Ciliwung tersaji pada Lampiran 2.

4.2.2 Tanah

DAS Ciliwung memiliki jenis tanah yang merupakan hasil dari rombakan dari bahan batuan induk berupa tufa vulkanik. Jenis tanah DAS Ciliwung Hulu adalah jenis tanah asosiasi andosol coklat dan regosol coklat, latosol coklat, kompleks latosol merah kekuningan, podsolik merah kekuningan dan litosol, serta didominasi oleh jenis asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat. Tanah di DAS Ciliwung Tengah tersusun atas jenis kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat, podsolik merah kekuningan, dan litosol serta umumnya adalah jenis asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air tanah. DAS Ciliwung Hilir mempunyai jenis tanah asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air tanah, aluvial kelabu tua, serta aluvial hidromorf. Tanah di DAS Ciliwung tersaji pada Lampiran 3.

4.2.3 Iklim

(45)

4.3 Kondisi Penggunaan Lahan

4.3.1 Pola Penggunaan Lahan

Penguasaan lahan di DAS Ciliwung dikelompokkan menjadi lahan negara, hak milik dan hak guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan, situ dan badan sungai dikelola oleh pemda dan pemerintah. Lahan hak milik, umumnya digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan dan teknis, tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha digunakan sebagai kebun (PT Gunung Mas dan PT Ciliwung). Tiap tahun penggunaan lahan di DAS Ciliwung berubah, dimana lahan hutan berkurang dan lahan pemukiman meningkat. Pola penggunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 1996 dan 2007 terlihat pada Lampiran 5 dan 6.

4.3.2 Lahan Kritis

Perubahan penggunaan ruang yang tidak mempertimbangkan daya dukung dan fungsi lahan di wilayah Bopunjur telah menyebabkan kerusakan DAS Ciliwung berupa hutan rusak dan lahan kritis. Kondisi tersebut telah memberikan pengaruh negatif terhadap kelestarian dan produktivitas sumber daya lahan, baik sebagai areal pertanian maupun yang berkaitan dengan fungsi hidrologis karena merupakan bagian hulu dari DAS Ciliwung sebagai daerah tangkapan air.

Dalam 5-10 tahun terakhir ini, jumlah lahan kritis di DAS Ciliwung semakin meningkat dan mengkhawatirkan sehingga aliran Sungai Ciliwung sudah seringkali memberikan ketidaknyamanan. Selain itu, kebutuhan air akan minum, mandi dan mencuci tidak mencukupi pada musim kemarau tetapi di musim hujan menggenangi dan membanjiri banyak lokasi, bahkan menghilangkan harta benda dan nyawa beberapa warga Jakarta yang bertempat tinggal di sepanjang bantaran DAS Ciliwung. Peta lahan kritis di DAS Ciliwung tersaji pada Lampiran 7.

4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

4.4.1 Kepadatan Penduduk

(46)
[image:46.612.93.506.154.694.2]

luas. Banyaknya permukaan kedap air akan menghasilkan aliran permukaan yang besar, bahkan hampir 100% curah hujan akan menjadi aliran permukaan.

Tabel 9 Luas, jumlah dan kepadatan penduduk di DAS Ciliwung

Daerah Kab/ Kota Kecamatan Luas

(Km2)

Penduduk Jumlah

(Jiwa)

Kepadatan (Jiwa/Km2)

Hulu Bogor Ciawi 7.63 39 686 5 202.15

Cisarua 68.89 119 203 1 730.30

Megamendung 55.03 119 416 2 169.95

Total Hulu 131.55 286 517 2 177.98

Tengah Bogor Sukaraja 22.95 91 175 3 972.03

Cibinong 33.07 191 457 5 789.72

Bojonggede 10.84 92 134 8 497.28

Kota Bogor Bogor selatan 1.98 15 686 7 908.43

Bogor Timur 10.91 142 256 13 040.80

Bogor Utara 17.85 167 403 9 377.82

Bogor Tengah 4.10 72 550 17 707.70

Tanah Sereal 3.33 43 136 12 966.40

Depok Pancoran Mas 9.19 82 278 8 949.51

Sukma Jaya 32.78 22 987 701.34

Cimanggis 9.52 90 814 9 543.10

Beji 14.00 113 861 8 134.76

Total Tengah 170.51 481 479 2 823.70

Hilir Jakarta Selatan Pasar Minggu 8.51 117 667 13 826.86

Mampang Prapatan 1.34 23 099 17 202.85

Pancoran 7.72 111 443 14 428.49

Tebet 9.12 242 633 26 602.63

Setiabudi 7.50 115 528 15 394.66

Jagakarsa 14.58 130 099 8 923.18

Jakarta Timur Pasar Rebo 9.51 121 126 12 740.87

Ciracas 2.03 10 552 5 208.69

Kramat Jati 10.22 174 331 17 063.20

Jatinegara 3.16 96 605 30 610.33

Pulo Gadung 5.33 94 937 17 797.15

Matraman 4.92 195 963 39 846.19

Jakarta Pusat Tanah Abang 2.53 32 525 12 852.12

Menteng 6.46 70 909 10 969.55

Senen 4.36 96 082 22 054.27

Johar Baru 2.37 100 999 42 697.05

Cempaka Putih 4.66 64 349 13 819.36

Kemayoran 7.18 185 891 25 899.45

Sawah Besar 5.36 89 354 16 674.84

Gambir 6.87 75 464 10 983.00

Jakarta Barat Tambora 8.72 327 280 37 525.26

Taman sari 4.51 121 943 27 013.52

Jakarta Utara Penjaringan 8.37 47 072 5 623.14

Pademangan 12.97 158 617 12 230.13

Tanjung Priuk 22.29 283 005 12 696.51

Koja 3.57 65 520 18 340.80

Total Hilir 167.55 2 887 008 17 230.45

Total (Hulu + Tengah + Hilir) 469.62 3 655 004 22 232.12

(47)

Masalah sosial yang paling menonjol di DAS Ciliwung adalah pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa laju perkembangan penduduk Jakarta, Bogor serta Depok tahun 1961 s/d 2000, mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 1961, jumlah penduduk Jakarta, Bogor dan Depok mencapai 4.16 juta jiwa. Namun demikian, pada tahun 2000 telah mencapai 15.14 juta jiwa

Tabel 10 Perkembangan penduduk Jabode Tahun 1961–2000 (x 1000 jiwa)

Wilayah SP 1961 SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000

Jakarta Pusat 1 002.10 1 260.30 1 236.90 1 074.80 948.20 Jakarta Utara 469.80 612.40 976.40 1 362.90 1 697.00 Jakarta Barat 469.50 820.80 1 231.20 1 815.30 2 389.90 Jakarta Selatan 466.40 1 050.90 1 579.80 1 905.00 2 090.30 Jakarta Timur 498.70 802.10 1 456.70 2 064.50 2 595.00 DKI Jakarta 2 906.50 4 546.50 6 481.00 8 222.50 9 720.40 Bogor + Depok 1 257.80 1 597.20 2 493.90 3 736.20 5 423.30 Jabode 4 164.30 6 143.70 8 974.90 11 958.70 15 143.70 Sumber : Modifikasi Data BPS dalam BPDAS Ciliwung-Citarum (2007)

4.4.2 Kegiatan Ekonomi Masyarakat

Kegiatan ekonomi masyarakat di wilayah DAS Ciliwung sangat beragam dan terus mengalami pergeseran sejalan dengan perkembangan Wilayah Jakarta, Depok, dan Bogor. Pergeseran kegiatan ekonomi masyarakat dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan dan jasa telah terjadi secara nyata hampir di seluruh wilayah DAS Ciliwung. Sebagaimana diketahui sejak tiga dekade terakhir, khususnya kawasan puncak yang merupakan bagian dari wilayah hulu DAS Ciliwung telah terjadi proses komersialisasi lahan yang agresif. Hal ini akan menyumbangkan pengurangan penutupan vegetasi pada permukaan lahan yang penting untuk pemeliharaan fungsi wilayah hulu DAS Ciliwung sebagai daerah tangkapan hujan (water catchment area).

(48)

a. Lahan yang kepenguasaannya langsung di tangan warga masyarakat setempat, lahan ini dikelola sendiri oleh warga dengan usaha tani yang umumnya berupa tanaman hortikultur.

b. Lahan yang kepenguasaannya berada di tangan orang luar desa, diusahakan oleh warga setempat dengan status sebagai penggarap. Hasil panen sepenuhnya menjadi milik penggarap dan bahkan pihak yang disebut terakhir masih mendapatkan upah bulanan sebagai imbalan karena telah berjasa menjaga dan memelihara lahan/tanah tersebut.

c. Lahan yang dimiliki orang luar desa diusahakan warga setempat dengan hasil panen menjadi milik petani. Bedanya mereka ini tidak menerima imbalan gaji.

(49)

5 s t H C m C a i C m G a d 2 m m

5.1 Analis

Pada s sedikit oran telah dirasak

Gama

Pada G Hulu merasa Ciliwung T menyatakan Ciliwung hil ada perubah iklim atau ti

Berdas Ciliwung b masyarakat t Gambar 8 t adanya peru di DAS Cili 26.67% me menyatakan menyatakan

sis Kriteria

saat ini, per g yang mer kan oleh seb

abr 7 Perseps

Gambar 7 d akan adanya Tengah, 86.6 tidak ada lir, 70% me han iklim da

dak. sarkan perse berpengaruh tentang kete erlihat bahw ubahan keter iwung Teng enyatakan t tidak tahu adanya peru 10 0 20 40 60 80 100 120 Per sent a se

5

HAS

dan Indika rubahan ikli agukan adan agian besar m

si masyaraka

di atas, terlih a perubahan 67% menya gejala peru nyatakan ad an 10% men

epsi masyar pada kete ersediaan air wa 100% re

rsediaan air gah, 70% me

tidak adany u. Sedangka ubahan keter 00 86 Hulu T Wi

SIL PENE

ator Kerenta m merupaka nya perubah masyarakat

at tentang ad

hat bahwa 1 n iklim di da atakan adany ubahan iklim danya peruba nyatakan tid

rakat, perub ersediaan a di DAS Cili sponden di di DAS Cili enyatakan ad ya perubaha an responde rsediaan air 6.67 7 13.33 Tengah 

layah DAS

LITIAN

anan

an isu yang han iklim. G

DAS Ciliwu danya gejala 00% respon aerah merek ya perubaha m. Sedangka ahan iklim, 2 dak tahu apa

bahan iklim air di DAS iwung tersaj

DAS Ciliw iwung dan s danya perub an ketersed n di DAS dan 20% me

70

20 10

Hilir

g sangat han Gejala perub

ung (Gambar

perubahan i

nden di DAS ka. Responde an iklim da an responde

20% menyat akah terjadi

yang terjad S Ciliwung

i pada Gamb ung Hulu m sekitarnya. M bahan keters diaan air d Ciliwung H enyatakan tid

Ya Tidak Tidak tahu 

ngat. Tidak ahan iklim r 7).

iklim

S Ciliwung en di DAS an 13.33% en di DAS takan tidak

perubahan

di di DAS g. Persepsi

(50)

s p m p b b d b k s b m m t s k B o Gam Dampa sebagian bes para petani a masyarakat perubahan k berkurangny bangunan/ge Namun di DAS Cili bisa beradap ke pengguna saluran dari beradaptasi masyarakat membeli air tidak mampu sungai yang ketersediaan Bahkan, ada oleh pemerin Per senta se

mbar 8 Perse

ak perubaha sar masyarak atau masyar yang telah ketersediaan ya ketersedi edung. n demikian, iwung belum ptasi dengan aan air sumu i mata air y dengan mem di DAS Ci r bersih, pen

u atau masy g sudah ter n air di ala a beberapa m ntah, LSM, p

100 0 20 40 60 80 100 120 H epsi masyara an ketersedia kat yang ter rakat yang b menggunak air. Selain iaan air dis

masyarakat m menjadi m n perubahan ur atau beke yang lebih j mbuat sumur

iliwung Hili nggunaan a yarakat miski

rcemar bera am tidak ad masyarakat y perusahaan a 0 7 Hulu Wi

akat tentang p

aan air di DA rgantung pad elum mengg kan fasilitas itu, berdasa sebabkan ka t menyataka masalah besa tersebut. M erjasama den

jauh. Masy r lebih dalam

ir beradapta ir tanah. Na in, mereka t at. Tetapi k da, maka m

ang menggu atau masyara 70 26.67 3.33 Tengah

layah DAS

perubahan k

AS Ciliwung da ketersedia gunakan fasi

s PAM, tid arkan persep arena pening

an bahwa ma ar bagi mere Masyarakat d

ngan aparat arakat di D m atau berali asi dengan c

amun demik tetap menggu kalau pada mereka men unakan fasili akat peroran 80 20 Hilir ketersediaan

g sangat dira aan air di ala ilitas PAM. dak merasak psi masyara gkatan pend asalah keter eka. Masyar di DAS Ciliw

pemerintah DAS Ciliwun

ih ke PAM. cara beralih kian, masya unakan air y

musim kem numpang ke

tas air yang ngan.

Berubah Tidak Tidak Tah

air asakan oleh am, seperti Sedangkan kan adanya akat bahwa duduk dan sediaan air rakat masih wung Hulu membuat ng Tengah Sedangkan h ke PAM,

rakat yang yang ada di marau atau e tetangga. disediakan

(51)
[image:51.612.84.515.169.709.2]

Berdasarkan informasi tersebut, maka kriteria dan indikator kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung tersaji pada Tabel 11. Sedangkan cara perolehan nilai dari tiap-tiap indikator tersaji pada Lampiran 9.

Tabel 11 Kriteria dan indikator kerentanan masyarakat

Prinsip Kriteria Indikator Ket

Singkapan Perubahan Kondisi hidrologis di DAS Ciliwung (Alam_E)

Indeks penggunaan air (IPA) hasil proyeksi KNLH (1998)

Kepekaan 1 Permintaan air semakin tinggi (SDM_S)

Kepadatan penduduk/KP

2 Infrastruktur/sarana penyediaan air yang belum memadai. (Fisik_S)

Jumlah masyarakat yang tidak/belum menggunakan fasilitas PAM/ledeng (Kualitas infrastruktur/KI)

Asumsi : 1) kondisi ketersediaan air di seluruh wilayah sama; 2) kualitas air PAM bagus

3 Ketergantungan masyarakat akan lahan sangat tinggi (Ekon_S)

Persentase masyarakat yang bekerja pada sektor pertanian (Ketergantungan lahan /KL)

Asumsi: sektor pertanian sangat tergantung pada ketersediaan air. kemampuan adaptasi

1 Kualitas masyarakat yang tinggi

(SDM_AC)

1 Tingkat pendidikan (TP) 2 Bisa baca tulis (MH) 3 Tingkat kesejahteraan

(TK)

4 Perilaku konservasi (PK)

2 Harmonisnya hubungan antar masyarakat dan pemerintahan (Sosial_AC)

1. Tingkat konflik (KO) 2. Dukungan pemerintah

kepada masyarakat (DP)

3 Terjaminnya pendapatan daerah perkapita (Ekon_AC)

Indeks pendapatan daerah perkapita IPDRB)

4 Adanya daerah resapan air yang berkualitas baik (Alam_AC)

Persentase luas lahan selain areal terbangun dan lahan terbuka (LH)

(52)

Pada Tabel 11 terlihat bahwa seluruh aspek kehidupan (SDM, fisik/teknologi, ekonomi, sosial dan alam) berpengaruh pada penilaian kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung. Singkapan hanya dibatasi pada perubahan kondisi hidrologis (aspek alam) saja. Kepekaan masyarakat dipengaruhi oleh aspek ekonomi, SDM dan fisik. Sedangkan kemampuan adaptasi dipengaruhi oleh aspek SDM, ekonomi, sosial dan alam.

5.2 Analisis AHP

Analisis AHP digunakan untuk melakukan analisis pembobotan atau prioritas berdasarkan kepentingan relatif antar level. Alat yang digunakan untuk pengumpulan data nilai berupa daftar pertanyaan/kuisioner yang tersaji pada Lampiran 10. Data penilaian berdasarkan pertimbangan kebijakan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Data penilai atau responden AHP tersaji pada Lampiran 11.

Hasil penilaian dari semua responden diolah menggunakan software expert choice. Hasilnya tersaji pada Lampiran 12. Hasil akhir analisis AHP menunjukkan bahwa nilai rasio inkonsistensi (inconcictency ratio/IR) sebesar 0.0 atau di bawah nilai inkonsistensi rasio yang diperbolehkan, yaitu sebesar 0.1. Dapat dikatakan bahwa bobot nilai yang diberikan oleh para responden penilai telah memenuhi syarat kekonsistenan. Nilai bobot dari tiap-tiap indikator hasil analisis AHP tersaji pada Gambar 9.

Kerentanan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim

100%

Adaptive capacity/ Kemampuan Adaptasi Masyarakat 37.1% Exposure/ singkapan 21.8% Sensitivity/Kepekaan Masyarakat 41.1% SDM_S 20.9% Alam_E 21.8% Fisik_S 7.4% + -Tujuan : Prinsip : Kriteria : Indikator : Alternatif : Ekon_S 12.8% SDM_AC 6.9% Sosial_AC 12.5% Ekon_AC 5.8% TP 1.4% IPDRB 5.8% PK 2.2% MH 1.6% TK 1.8% KL 12.8% KI 7.4% KP 20.9% IPA 21.8% ...

Klasifikasi Kerentanan Masyarakat (Tinggi, Agak Tinggi, Sedang, Agak Rendah, Rendah)

DP 7.7% KO 4.8% LH 11.9% Alam_AC 11.9%

(53)

Pada Gambar 9 di atas terlihat bahwa total nilai bobot adalah 100% atau 1. Pada tingkat prinsip atau level 1, terlihat bahwa bobot nilai untuk kepekaan paling tinggi, sebesar 41.1%. Berikutnya adalah kemampuan adaptasi sebesar 37.1%, dan singkapan sebesar 21.8%. Pada level 2, pada unsur kepekaan, indikator kepadatan penduduk (kriteria permintaan air semakin tinggi/aspek SDM) mempunyai bobot nilai yang lebih tinggi sebesar 20.9%, diikuti aspek ekonomi (kriteria ketergantungan pada lahan tinggi) sebesar 12.8% dan aspek fisik (kriteria infrastruktur/sarana penyediaan air yang belum memadai) sebesar 7.4%. Pada unsur kemampuan adaptasi terlihat bahwa aspek sosial (kriteria hubungan yang harmonis diantara masyarakat) mempunyai nilai bobot paling tinggi, sebesar 12.5%. Diikuti oleh aspek alam (kriteria tersedianya lahan resapan yang cukup) sebesar 11.9%, SDM (kriteria kualitas masyarakat yang tinggi) sebesar 6.9%, dan ekonomi (terjaminnya pendapatan daerah perkapita) sebesar 5.8%.

Pada aspek SDM (kriteria kualitas masyarakat yang tinggi), indikator perilaku konservasi (PK) mempunyai bobot nilai yang lebih tinggi sebesar 2.2%, diikuti tingkat kesejahteraan (TK) sebesar 1.8%, melek huruf (MH) sebesar 1.6% dan tingkat pendidikan (TP) sebesar 1.4%. Sedangkan pada kriteria harmonisnya hubungan antara masyarakat (aspek sosial), dukungan pemerintah (DP) mempunyai nilai bobot lebih tinggi sebesar 7.7% dan konflik (KO) sebesar 4.8%.

5.3 Pemetaan Kerentanan Masyarakat

5.3.1 Pemetaan Singkapan

(54)
[image:54.612.87.502.96.636.2]
(55)
[image:55.612.89.512.72.584.2]

Gambar 11 Peta singkapan setelah terjadi perubahan iklim

5.3.2 Pemetaan Kepekaan Masyarakat

(56)
[image:56.612.102.508.129.601.2]

dan Tengah dikategorikan dalam kelas agak rendah dengan indeks kepekaan masing-masing sebesar 0.83 dan 0.63.

Gambar 12 Peta kepekaan masyarakat di DAS Ciliwung

5.3.3 Pemetaan Kemampuan Adaptasi

(57)
[image:57.612.97.508.149.613.2]

Ciliwung Hulu mempunyai indeks kemampuan adaptasi sebesar 1.32 (kelas agak tinggi). DAS Ciliwung Tengah dan Hilir dalam kategori sedang dengan indeks kemampuan adaptasi masing-masing sebesar 1.17 dan 0.96.

Gambar 13 Peta kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung

5.3.4 Pemetaan Kerentanan

(58)
[image:58.612.83.510.212.675.2]

terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung berbeda secara spasial. Tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung Hilir tergolong dalam kelas sedang dengan indeks kerentanan sebesar 0.94. Tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah termasuk kategori kelas

Gambar

Gambar 3 Lokasi penelitian (DAS Ciliwung).
Tabel 3 Indikator kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat
Tabel 7 Klasifikasi indeks kerentanan
Gambar 4 Tahapan penyusunan peta kerentanan masyarakat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kami Menyembelih kambing aqiqah, mendokumentasikanya dan mengirim ketempat Anda berupa potongan kambing ( Daging, tulang dan jerohanya lengkap ) beserta bumbu khas solo.. Untuk

[r]

Pada alur awal film ini, interaksi komunikasi antaretnik yang berbeda dapat dilihat pada scene 00:20, dimana pada scen tersebut memperlihatkan Ratu Victoria, seorang

Terima Kasih Yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Prof.. Fauzie Sahil, SpOG(K) dan

Dengan menggunakan teks puisi, siswa dapat membaca indah puisi anak tentang lingkungan (dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat) dengan baik.. Dengan mendengarkan

Perancangan Dan Pembuatan Desain Software Aerobic Capacity Dengan Menggunakan Bleep Test Berbasis

Setelah petani selesai ndaut, maka bibit padi yang sudah terkumpul akan dibawa ke setiap petak-petak sawah dan diletakkan di pematang sawah, kemudian petani akan menyuruh orang

HUBUNGAN NYERI DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN ACTIVITY OF DAILY LIVING (ADL) PADA LANSIA YANG MENGALAMI REUMATOID ATRITISDI DESA LEREP KECAMATA UNGARAN BARAT 1.. HUBUNGAN NYERI