• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 1 Kruskall Wallis tekstur

Tekstur

Chi-Square 169,686

df 12

Asymp, Sig, ,000

Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskall Wallis, interaksi antara aplikasi (tanpa

coating dan coating) dengan lama penyimpanan mempengaruhi

nilai teksturyang diamati

Tabel 2 Uji lanjut multiple comparison

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

A B C D E F

Coating hari ke-21 30 5,4000

Kontrol hari ke-12 30 6,0000 6,0000

Coating hari ke-15 30 6,4000

Coating hari ke-18 30 6,4667

Coating hari ke-12 30 7,2000

Kontrol hari ke-9 30 7,5333 7,5333

Kontrol hari ke-6 30 7,6667 7,6667 7,6667

Coating hari ke-9 30 7,8000 7,8000 7,8000

Kontrol hari ke-3 30 8,1333 8,1333 8,1333

Coating hari ke-6 30 8,2667 8,2667

Coating hari ke-3 30 8,6000

Kontrol hari ke-0 30 8,6667

Coating hari ke-0 30 8,8000

Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata,

NURLAILA ERVINA HERLIANY. Application of Kappa Carragenan from

Kappaphycus alvarezii Seaweed as Edible Film on Peeled Boiled Shrimp. Supervised by JOKO SANTOSO and ELLA SALAMAH.

One of the most popular seaweed in Indonesia is Kappaphycus alvarezii that

produce carrageenan. Carrageenan is a linear polysaccharide polymer, has a lot of function in industrial used such as viscosifier and gelling agent. Using carrageenan as edible film can improve its economic value. The research was carried out to study: (1) the optimum of KOH concentration (0.5; 1 and 1.5% w/v) and extraction time (1; 2 and 3 hours) to produce carrageenan, (2) the effect of carrageenan concentration (0.5; 1; 1.5 and 2% w/v) on the characteristic of edible film and (3) the effect of application carrageenan on coating of boiling shrimp quality during chill storage. This research consist of three steps as follows, carrageenan extraction, making of edible film and application carrageenan solution on boiling shrimp coating. The research shows that yield and viscosity of carrageenan were influenced by interaction of KOH concentration and extraction time. The best treatment was extraction with 0.5% KOH solution for 1 hour. Using 1.5% carrageenan on making edible film exhibited better properties in compared to others. Carrageenan concentration demonstrated significant effect on tensile strength and elongation percentage, however exhibited insignificant effect on thickness and water vapor transmission rate. SEM analysis shows that addition of carrageenan could improve the internal structure of edible film. Application of carrageenan solution on boiling shrimp coating indicate that coating application could extend its shelf life until 9 days based on value of total microbes for frozen boiling shrimp (SNI 01-3458-2006), while uncoated product could extend only 3 days.

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karaginan merupakan polisakarida linier yang tersusun atas molekul galaktan dengan unit-unit utamanya adalah galaktosa. Karaginan dapat diekstraksi dari rumput laut merah (Rhodophyceae) dengan menggunakan air atau larutan

alkali. Karaginan terdiri atas garam ester kalium, natrium, magnesium dan kalsium sulfat, dengan galaktosa dan 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer. Karaginan dibagi atas 3 kelompok utama berdasarkan gugus sulfatnya yaitu kappa, iota dan

lamda karaginan (Winarno 1990).

Sumber karaginan untuk daerah tropis, khususnya Indonesia adalah

Kappaphycus alvarezii sebagai penghasil kappa karaginan. Permintaan karaginan

di dunia mengalami peningkatan secara eksponensial setiap tahunnya. Hal ini mengakibatkan tingginya permintaan karaginan maupun bahan baku rumput laut penghasil karaginan di dunia. Dampaknya adalah mulai dikembangkan budidaya rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii secara massal termasuk di Indonesia.

Perkembangan budidaya rumput laut di Indonesia juga didorong oleh target Kementerian Kelautan Perikanan yaitu ingin mewujudkan Indonesia sebagai produsen rumput laut terbesar di dunia pada tahun 2015, dengan salah satu targetnya adalah mampu memproduksi rumput laut sebesar 14 juta ton pada tahun 2014 (Irsyadi 2010).

Budidaya rumput laut secara besar-besaran belum diimbangi dengan teknologi pengolahan yang memadai. Akibatnya Indonesia hanya mampu mengekspor rumput lautnya dalam bentuk kering sehingga nilai jualnya rendah dalam perdagangan dunia. Pengolahan rumput laut menjadi karaginan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai jual rumput laut Indonesia. Selain itu, pengolahan rumput laut menjadi karaginan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan karaginan untuk industri pangan dan nonpangan di dalam negeri.

Irianto et al. (2005) menyatakan bahwa karaginan dalam industri pangan

dan nonpangan berfungsi sebagai bahan penstabil (stabilisator), pengental

(thickener), pembentuk gel dan pengemulsi. Campo et al. (2009) menambahkan

dari keju cottage, untuk mengontrol viskositas dan tekstur pudding serta makanan pencuci mulut berbahan dasar susu, sebagai bahan pengikat dan penstabil pada industri pengolahan daging untuk pembuatan sosis dan hamburger rendah lemak.

Salah satu upaya pemanfaatan karaginan yang saat ini sedang dikembangkan adalah sebagai edible film pada produk pangan. Edible film adalah

suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi makanan yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (seperti kelembaban, oksigen, cahaya, lipida, zat terlarut), sebagai pembawa aditif, serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan. Terdapat tiga kelompok penyusun edible film, yakni : hidrokoloid, lipida, dan campurannya (komposit)

(Donhowe dan Fennema 1994).

Edible film merupakan bahan pengemas yang telah dibentuk terlebih

dahulu berupa lapisan tipis (film) sebelum diaplikasikan pada bahan dan produk

pangan. Edible coating merupakan bahan pengemas yang dibentuk langsung pada

bahan dan produk pangan, biasanya dengan cara pencelupan; sedangkan enkapsulasi adalah suatu aplikasi yang ditujukan untuk membawa komponen

flavor sehingga diperoleh bentuk flavor yang memiliki sifat seperti tepung

(Arpah 1997).

Karaginan berpotensi untuk dikembangkan sebagai edible film karena

sifatnya yang elastis, dapat dimakan dan dapat diperbarui. Hal ini juga tidak terlepas dari tingginya produksi rumput laut dalam negeri yang dapat diolah menjadi karaginan. Pemanfaatan karaginan menjadi edible film diharapkan

mampu mendorong berkembangnya sektor pengolahan karaginan di dalam negeri. Pengembangan metode ekstraksi karaginan terus dilakukan untuk mendapatkan optimasi dalam proses ekstraksinya. Penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi larutan KOH dalam proses ekstraksi kappa karaginan telah dilakukan oleh Basmal et al. (2005). Suryaningrum et al. (2003) juga telah

melakukan penelitian mengenai pengaruh volume larutan pengekstrak terhadap mutu karaginan kertas dari Kappaphycus alvarezii.

Penelitian mengenai optimasi proses ekstraksi karaginan belum diarahkan sesuai dengan tujuan penggunaan karaginan tersebut. Setiap aplikasi karaginan memiliki tujuan yang berbeda sehingga diperlukan karakteristik karaginan yang

3

berbeda pula. Variasi karakteristik ini dapat diperoleh jika digunakan metode ekstraksi yang berbeda sehingga diperlukan pemilihan metode ekstraksi untuk tiap tujuan penggunaan karaginan. Hal ini mendorong dilakukannya penelitian ini yang salah satu tahapan penelitiannya adalah menentukan metode ekstraksi karaginan untuk tujuan pembuatan edible film.

Faktor lainnya yang mempengaruhi karakteristik edible film yang

dihasilkan adalah konsentrasi karaginan yang digunakan. Suryaningrum et al. (2005) telah melakukan penelitian untuk menghasilkan edible

film dari kappa karaginan dengan perbandingan antara tepung kappa karaginan

dan plasticizer (tepung tapioka) adalah 2:1. Penelitian mengenai pengaruh

konsentrasi tepung karaginan terhadap karakteristik edible film yang

menggunakan gliserol belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui karakteristik edible film dari berbagai konsentrasi

tepung kappa karaginan serta mempelajari pengaruh penggunaan edible film

tersebut dalam mempertahankan mutu udang kupas rebus. 1.2 Rumusan Masalah

Edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat

dimakan, diletakkan di antara komponen makanan yang berfungsi sebagai barrier

atau penghalang terhadap transfer massa (misal kelembaban, oksigen, lipida dan zat terlarut) serta sebagai carrier atau zat pembawa bahan makanan dan aditif

untuk meningkatkan penanganan makanan (Donhowe dan Fennema 1994). Permintaan konsumen akan teknik pengemasan yang ramah lingkungan, produk yang lebih alami dan tanpa menggunakan bahan pengawet mengakibatkan permintaan akan edible film terus meningkat khususnya untuk industri pangan.

Dampak dari semua itu adalah diperlukannya bahan baku pembuatan edible film

dalam jumlah yang melimpah.

Karaginan yang diekstrak dari rumput laut merah (Rhodophyta)

merupakan salah satu bahan baku yang potensial bagi pembuatan edible film. Sifat

karaginan yang dapat membentuk gel dan elastis, dapat dimakan serta dapat diperbarui merupakan alasan yang mendukung penggunaannya sebagai bahan baku edible film. Karaginan juga mengandung serat makanan yang baik untuk

pencernaan sehingga penggunaannya sebagai edible film dapat memberikan nilai

tambah bagi edible film yang dihasilkan. Edible film yang terbuat dari hidrokoloid

mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida dan lipida, dan memiliki sifat mekanis yang diinginkan, serta dapat meningkatkan kesatuan struktural produk (Arpah 1997). Suryaningrum et al. (2005) telah melakukan penelitian untuk

menghasilkan edible film dari kappa karaginan dengan perbandingan antara

tepung kappa karaginan dan plasticizer (tepung tapioka) adalah 2:1.

Cha et al. (2002) meneliti pengaruh penambahan bahan antimikroba pada edible film kappa karaginan untuk menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen.

Konsentrasi tepung kappa karaginan yang digunakan dalam penelitiannya adalah 1% dengan penambahan gliserol dan polietilen glikol sebagai plasticizer.

Pengembangan metode esktraksi karaginan terus dilakukan untuk meningkatkan karakteristik karaginan yang dihasilkan. Selain untuk meningkatkan karakteristik karaginan, pengembangan metode ekstraksi juga harus disesuaikan dengan tujuan pengaplikasian karaginan. Hingga saat ini, berbagai penelitian mengenai metode ekstraksi karaginan belum dikaitkan dengan tujuan aplikasinya. Penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi larutan KOH dalam proses ekstraksi kappakaraginan telah dilakukan oleh Basmal et al. (2005).

Suryaningrum et al. (2003) juga telah melakukan penelitian mengenai pengaruh

volume larutan pengekstrak terhadap mutu karaginan kertas dari Kappaphycus alvarezii.

Pemanfaatan karaginan sebagai edible film dipengaruhi oleh karakteristik

dan konsentrasi karaginan yang digunakan, tetapi penelitian mengenai masalah tersebut belum ditemukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik karaginan dan edible film yang dihasilkan serta untuk

mengetahui pengaruh aplikasi edible film tersebut dalam mempertahankan mutu

udang kupas rebus.

1.3 Kerangka Pemikiran

Plastik merupakan bahan pengemas yang populer saat ini. Permintaannya terus meningkat, baik sebagai bahan pengemas dalam bidang pangan maupun

5

nonpangan. Edible film merupakan salah satu bahan pengemas yang cocok

diaplikasikan pada bahan pangan karena sifatnya yang aman dan dapat dimakan. Indonesia memiliki sumber bahan baku edible film yang melimpah, salah satunya

adalah karaginan. Penggunaan karaginan sebagai edible film didasarkan pada

beberapa pertimbangan seperti keamanan pangan, mudah didapat, merupakan sumberdaya yang dapat diperbarui dan biodegradable. Selain itu, karaginan kaya

akan serat sehingga penggunaannya sebagai edible film diharapkan dapat

memberikan nilai tambah kesehatan bagi yang mengkonsumsinya.

Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan edible film

karaginan adalah karakteristik serta konsentrasi karaginan yang digunakan. Kedua hal tersebut akan menentukan karakteristik edible film yang dihasilkan. Faktor-

faktor yang menentukan karakteristik karaginan antara lain adalah konsentrasi larutan pengekstrak (KOH) dan lama ekstraksi sehingga keduanya perlu diteliti untuk mengetahui karakteristik karaginan yang dihasilkan.

Bahan pengemas seperti edible film dan coating berfungsi untuk

melindungi produk dari kerusakan, baik kerusakan fisik, kimia maupun mikrobiologi. Aplikasi edible coating karaginan pada udang kupas rebus perlu

diteliti untuk mengetahui perubahan parameter-parameter fisik, kimia dan mikrobiologi selama penyimpanan yang menunjukkan kemampuan edible coating

tersebut dalam mempertahankan mutu udang kupas rebus. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari :

(1) konsentrasi KOH dan lama ekstraksi yang optimum dalam menghasilkan tepung kappakaraginan,

(2) konsentrasi tepung kappa karaginan dalam menghasilkan edible film

dengan karakteristik yang optimal,

(3) pengaruh penggunaan edible coating dalam mempertahankan mutu udang

1.5 Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

(1) konsentrasi KOH dan lama ekstraksi yang berbeda akan menghasilkan karaginan dengan karakteristik yang berbeda,

(2) perbedaan konsentrasi tepung karaginan akan menghasilkan karakteristik

edible film yang bervariasi,

(3) edible coating dari karaginan dapat digunakan untuk mempertahankan

7

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. Terbuat dari bahan kimia sintetis

Isu kesehatan

Kebutuhan akan alternatif bahan pengemas

Karaginan sebagai bahan baku

Aman, sumberdaya yang dapat diperbarui,

biodegradable ,

dan kaya serat Optimasi ekstraksi

karaginan

Karakteristik karaginan

Aplikasi pada udang kupas rebus

Dapat mempertahankan mutu udang kupas rebus Optimasi konsentrasi karaginan

Bahan pengemas plastik

Edible film

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kappaphycus alvarezii

Kappaphycus alvarezii merupakan rumput laut kelas Rhodophyceae

penghasil kappa karaginan. Dalam dunia perdagangan, rumput laut jenis ini lebih dikenal dengan nama Eucheuma cottonii atau cottonii saja. Klasifikasi Kappaphycus alvarezii menurut Atmadja et al. (1996) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieraceae Genus : Kappaphycus

Spesies : Kappaphycus alvarezii

Ciri fisik Kappaphycus alvarezii yaitu mempunyai thallus silindris,

permukaan licin, kartilogineous, warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik, yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan kualitas pencahayaan. Penampakan thallus bervariasi mulai bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996). Rumput laut Kappaphycus alvarezii dapat dilihat

9

Gambar 2 Kappaphycus alvarezii (Sumber : koleksi pribadi).

Kandungan utama rumput laut segar adalah air yang mencapai 80-90%, sedangkan kadar protein dan lemaknya sangat kecil. Walaupun kadar lemaknya sangat rendah, tetapi susunan asam lemaknya sangat penting bagi kesehatan. Lemak rumput laut mengandung asam lemak omega 3 dan 6 dalam jumlah yang cukup tinggi (Winarno 1990). Komposisi kimia Kappaphycus alvarezii dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia Kappaphycus alvarezii

Komponen Persentase (% db) Karbohidrat 57,52 Protein 3,46 Lemak 0,93 Air 16,05 Serat kasar 7,08 Sumber : Yunizal (2004) 2.2 Karaginan

Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester kalium, natrium, magnesium dan kalium sulfat dengan galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer. Karaginan adalah suatu bentuk polisakarida linier dengan berat molekul di atas 100 kDa. Karaginan berfungsi sebagai stabilisator, bahan pengental, pembentuk gel atau pengemulsi dalam bidang industri (Winarno 1990). Spesifikasi standar mutu karaginan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Spesifikasi standar mutu karaginan

Kriteria Konsentrasi

Abu total ≤ 35%

Abu tak larut asam ≤ 1%

Sulfat 18-40% (db)

Viskostas (1,5% pada 75oC ) ≥ 5 cPs

Susut pengeringan Max. 12%

Timah Max. 10 ppm (0,001%)

As Max. 3 ppm (0,0003%)

Timbal Max. 40 ppm (0,004%)

Sumber : FCC (1981), diacu dalamGlicksman (1983)

Kappa karaginan terutama dihasilkan dari rumput laut

Kappaphycus alvarezii. Kappa karaginan tersusun atas (1,3)-D-galaktosa-4-sulfat

dan (1,4)-3,6-anhidro-D-galaktosa. Kappa karaginan juga mengandung D-galaktosa-6-sulfat ester dan 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat ester. Adanya

gugusan 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karaginan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugusan 6-sulfat menghasilkan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1990). Struktur kimia kappa, iota, dan lamdakaraginan dapat dilihat pada Gambar 3.

11

Gambar 3 Struktur kimia kappa,iota dan lamdakaraginan (Viana et al. 2004).

Iota karaginan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D-glukosa dan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Gugusan 2-sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian alkali seperti kappa karaginan. Iota karaginan sering mengandung beberapa gugusan 6-sulfat ester yang menyebabkan kurangnya keseragaman molekul yang dapat dihilangkan dengan pemberian alkali (Winarno 1990).

Lamda karaginan tersusun atas ikatan 1,3-D-galaktosa-2-sulfat dan 1,4-D-galaktosa-2,6-disulfat. Lamda karaginan berbeda dengan kappa dan iota karaginan karena memiliki sebuah residu disulfat α-(1,4)-D galaktosa. Lamda

karaginan yang terekstraksi oleh alkali kuat akan menjadi teta karaginan

(θ-karaginan) dengan melepas 6-sulfat dari ikatan 1,4-D-galaktosa-2,6-disulfat untuk membentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa (Glicksman 1983).

2.2.1 Kelarutan

Karakteristik kelarutan karaginan dalam air dipengaruhi oleh sejumlah faktor penting antara lain tipe karaginan, temperatur, pH, kehadiran ion tandingan dan zat-zat terlarut lain. Gugus hidroksil dan sulfat pada karaginan bersifat hidrofilik sedangkan gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa lebih hidrofobik. Karaginan

Kappa karaginan Iotakaraginan

jenis iota bersifat lebih hidrofilik karena adanya gugus 2-sulfat yang dapat menetralkan 3-6 anhidro-D-galaktosa yang kurang hidrofilik. Karaginan jenis

kappa kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3-6 anhidro-D-galaktosa (Towle 1973).

Karakteristik daya larut karaginan juga dipengaruhi oleh bentuk garam dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karaginan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium lebih mudah larut. Lamda karaginan larut dalam air dan tidak tergantung jenis garamnya (Winarno 1990). Perbedaan kelarutan kappa, iota dan lamdakaraginan

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Daya kelarutan kappa, iota dan lamdakaraginan

Medium Kappa Iota Lamda

Air panas Larut di atas suhu

60 oC*

Larut di atas suhu 70 oC

Larut di atas suhu 60 oC*

Larut di atas suhu 70 oC

Larut

Air dingin Garam natrium larut

Garam K, Ca, dan NH4

tidak larut (mengembang)

Garam natrium larut Garam Ca memberi dispersi thixotropic

Semua garam larut

Susu panas Larut Larut Larut*

Susu dingin Tidak larut Tidak larut Larut*

Larutan gula pekat Larut panas Sukar larut Larut panas

Larutan garam pekat

Tidak larut Larut panas Larut panas

Sumber : Glicksman (1983) *Winarno (1990)

13

2.2.2 Viskositas

Wicaksono (1999) menyatakan bahwa viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Suspensi koloid dalam larutan dapat meningkat dengan cara mengentalkan cairan sehingga terjadi absorbsi dan pengembangan koloid. Pada dasarnya pengukuran viskositas adalah mengukur ketahanan gesekan antar dua lapisan molekul yang berdekatan. Viskositas yanng tinggi dari suatu bahan disebabkan karena gesekan internal yang besar sehingga cairannya mengalir.

Pendinginan kappa dan iota karaginan akan meningkatkan viskositas, khususnya jika mendekati suhu pembentukan gel dan adanya kation K+ dan Ca2+ karena mulai terjadi interaksi antar rantai-rantai polimer. (Guiseley et al. 1980).

2.2.3 Pembentukan gel

Pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Jala ini kemudian menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis (Fardiaz (1989).

Kappa karaginan dan iota karaginan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel dalam air dan bersifat reversible yaitu meleleh jika dipanaskan

dan membentuk gel kembali jika didinginkan. Jika diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air. Proses terakhir ini disebut sineresis (Fardiaz 1989). Mekanisme pembentukan gel karaginan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Mekanisme pembentukan gel karaginan (Glicksman 1983). Ion monovalen yaitu K+, NH

4+, Rb+, dan Cs+ membantu pembentukan gel karaginan. Kappa karaginan akan membentuk gel yang paling kuat dengan sifat gel yang keras dan elastis. Iota karaginan membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion Ca2+ (Glicksman 1983).

2.2.4 Stabilitas pH

Karaginan akan stabil pada pH 7 atau lebih, tetapi pada pH yang rendah stabilitasnya akan menurun bila terjadi peningkatan suhu. Penurunan pH akan menyebabkan hidrolisis polimer karaginan mengakibatkan turunnya viskositas dan kemampuan pembentukan gel (Glicksman 1983). Stabilitas jenis karaginan yang disebabkan oleh perubahan pH disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Stabilitas jenis karaginan pada pH alkali dan asam

Stabilitas Kappa Iota Lamda

Pada pH netral dan alkali

Stabil Stabil Stabil

Pada pH asam (3,5) Terhidrolisis dalam larutan ketika dipanaskan. Stabil dalam bentuk gel

Terhidrolisis dalam larutan. Stabil dalam bentuk gel

Terhidrolisis

Sumber : Glicksman (1983)

Pendinginan Pemanasan

Pendinginan Pemanasan

15

2.2.5 Pembuatan karaginan

Proses pembuatan karaginan pada dasarnya terdiri atas proses penyiapan bahan baku, ekstraksi karaginan dengan menggunakan bahan pengekstrak, pemurnian, pengeringan dan penepungan.

1. Penyiapan bahan baku

Rumput laut hasil panen dicuci dengan menggunakan air bersih untuk menghilangkan lumpur, karang, pasir, kerang, serta benda asing lainnya. Rumput laut yang telah bersih kemudian direndam agar proses ekstraksi mudah dilakukan karena perendaman dapat membengkakkan sel-sel dinding rumput laut. 2. Ekstraksi

Ekstraksi karaginan dilakukan pada suhu didih air, yaitu 90-95 oC selama 1-5 jam. Volume air yang digunakan untuk ekstraksi berkisar antara 20-40 kali berat rumput laut. Larutan alkali yang digunakan dapat menghasilkan rumput laut yang bersih dengan kadar air yang rendah sehingga dapat mencegah terjadinya degradasi kimia dan biologi serta dapat meningkatkan rendemen karaginan yang dihasilkan (Asmorowati 2001).

3. Penyaringan

Penyaringan adalah salah satu unit proses dimana komponen solid tidak terlarut dalam suspensi solid-likuid, dipisahkan dari komponen likuidnya dengan melewatkan suspensi tersebut melalui suatu membran yang dapat menahan solid di permukaannya (Rozi 2007).

4. Pemurnian

Proses pemurnian dilakukan dengan cara pengendapan (presipitasi). Pada proses ini karaginan akan mengendap dan memisah dari komponen lainnya. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan cara menambahkan KCl, alkohol atau pembekuan. Penambahan alkohol pada filtrat dapat menyebabkan terbentuknya serat-serat koagulan yang selanjutnya dipisahkan dengan menggunakan sentrifus atau penyaring halus (McHugh 2003).

5. Pengeringan dan penepungan

Pengeringan adalah proses pemindahan panas dan uap air secara simultan

Dokumen terkait