• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2. Masyarakat Hukum Adat Matteko

Hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya untuk keperluan Inkuiri Nasional yang diselenggarakan oleh Sajogyo Institute dan Komnas HAM, dalam rangka untuk mengimplementasikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012, bahwa hutan adat sesungguhnya bukanlah hutan negara, dan hutan adat semestinya dikembalikan kepada komunitas adat yang bermukim di daerah tersebut.

Hingga kini, keputusan MK tersebut belum dipatuhi oleh sejumlah Pemerintah Daerah di Indonesia.

Para perempuan di Matteko sangat aktif dalam setiap kegiatan komunitas. Tidak ada sekap antara mereka dan kaum laki-laki. Aktivitas para Perempuan Adat Matteko, tentang hasil panen, tentang harapan-harapan mereka ke depan jika hak kelola dikembalikan kepada masyarakat, hingga persoalan bagaimana mereka memenuhi kebutuhan dapur, dan tentang sejarah Matteko.

Para tetua dan tokoh adat Matteko memang sebagian besar telah meninggal. Generasi yang tersisa saat ini pada umumnya masih sangat muda jika dibandingkan dengan usia para leluhur mereka. Meski demikian, mereka masih cukup hafal sejarah perpindahan leluhur mereka ke Matteko. Para perempuan bisa menceritakan semuanya dengan fasih berdasarkan kisah turun-temurun dari para leluhur yang telah meninggal.

Pada mulanya, leluhur masyarakat Matteko bermukim di Balombong, sebuah daerah yang berbatasan dengan Matteko. Namun

61 untuk mencari tanah yang lebih subur, leluhur masyarakat Matteko akhirnya pindah ke Bontolohe. Di Bontolohe, tanah yang mereka kelola sangat subur, namun luasnya sangat terbatas. Di sisi lain, saat itu rumah-rumah penduduk tersebar dalam wilayah kelola dan tidak saling berdekatan. Leluhur mereka pun akhirnya mengajak untuk kembali pindah membentuk pemukiman yang lebih teratur dan mencari lahan yang lebih luas.Tahun 1933, Matteko menjadi pilihan mereka dan di sanalah mereka akhirnya bermukim sampai sekarang.

Para perempuan Matteko mengungkapkan berdasarkan cerita turun-temurun yang diperoleh dari neneknya, ketika baru pindah ke Matteko, kawasan itu baru berupa padang rumput yang sangat luas.

“Dulu, ketika kami baru pindah ke sini dan belum ada hutan pinus, dari rumah ini, kita bisa melihat Balombong dari kejauhan,” katanya.

Ketika baru pindah, masyarakat Matteko hidup sangat berkecukupan. Mereka bisa bebas menanam jagung untuk kebutuhan makan sehari-hari. Tanah adat dikelola secara bersama-sama.Warga hidup rukun. Tidak ada yang saling berebut lahan, sebab lahan yang tersedia masih sangat luas. Mereka bisa bercocok tanam dengan bebas tanpa rasa takut.

Selain bercocok tanam, leluhur masyarakat adat Matteko juga beternak sapi. Ternak sapi berkembang biak dengan baik sebab padang rumput menyediakan pakannya dalam jumlah melimpah. Rumput hijau segar tumbuh dengan lebat dan subur. Sumber air tersedia di mana-mana.

62 Di setiap lembah, mereka bisa menemukan sumber air dengan mudah.

Sungai-sungai tidak pernah kering. “Dulu, leluhur kami banyak yang punya ternak sapi dalam jumlah banyak. Ada yang punya puluhan ekor bahkan ratusan. Itu kekayaan kami yang paling berharga. Karena ternak sapi sangat banyak, kalau dijual juga harganya sangat murah,”.

Warga masyarakat hukum adat Matteko ada 323 orang dengan 77 keluarga, 159 laki-laki dan 164 perempuan, dipimpin seorang penghulu digelar Matoa Balombong, bernama Baco ri Langi. Bahasa kesehariannya Makassar-Konjo, dan warga jarang fasih (berbahasa Indonesia).

Baco Ri Langi mengajak warga bercocok tanam, beternak kuda, sapi, dan kerbau dengan kandang dari bahan alami seperti ”bara batu”

(batu yang disusun secara tradisional). Kehidupan masyarakat hukum adat Matteko salah satunya berkebun dan melestarikan hutan adatnya sejak Tahun 1945, masyarakat yang turun temurun hidup di wilayah masyarakat hukum adat Matteko bergeser membuat perkampungan di sebelah timur Balombong, dengan sungai berliku-liku. Kehidupan warga pun tak hanya berkebun juga membuka persawahan di lembah.

“Pemangku adat saat itu Pappa Daeng Sese, diberi gelar Punggawa dibantu tokoh-tokoh adat lain seperti kapala kampong, sariang, imam kampong, pangngulu sampa dan pangngulu solongan”.

Kapala kampong (kepala kampung) memiliki fungsi sama dengan rukun keluarga, dan sariang setara rukun tetangga, imam

63 kampong (imam kampung) menikahkan warga, menentukan hari baik untuk bercocok tanam, pangngulu sampa adalah tokoh adat yang mengatur batas-batas lahan masyarakat, dan pangngulu solongan mengurus atau mengatur pengairan.

Masyarakat hukum adat Matteko hidup secara turun temurun dikenal sangat peduli akan kelestarian lingkungannya. Ini terlihat berbagai bentuk kearifan menjaga hutan yang ada sejak dahulu. Salah satunya, mereka mempunyai ompo atau hutan adat, hanya bisa diambil untuk kebutuhan bersama seperti pembangunan mesjid, sekolah, jembatan, dan lain-lain. Hutan dilindungi masyarakat karena merupakan ulu ere atau hulu air, hingga tidak bisa diambil kayunya.

Syarat pengakuan keberadaan suatu kesatuan masyarakat hukum adat terkait dengan hak mereka atas hutan adat adalah:

a. Kesatuan masyarakat hukum adat yang eksistensinya telah ada sejak jaman nenek moyang dan berhasil mempertahankan eksistensinya tersebut hingga kini tanpa terputus;

Menurut penulis syarat tersebut diatas telah terpenuhi dikarenakan melihat sejarah masyarakat hukum adat Matteko awal mula tinggal di Kampong (kampung) Balombong, sejak 1933. Saat itu, warga Balombong berjumlah sekitar 90 jiwa dengan 25 keluarga dipimpin seorang penghulu digelar Matoa Balombong, bernama Baco ri Langi.

Tahun 1945, masyarakat yang turun-temurun hidup di Kampung

64 Balombong bergeser membuat perkampungan di sebelah timur Balombong, dengan sungai berliku-liku. Sejak itu diberi nama Matteko. Kehidupan warga pun tak hanya berkebun juga membuka persawahan di lembah.

Masyarakat adat Matteko hidup turun temurun dikenal sangat peduli kelestarian lingkungan. Ini terlihat berbagai bentuk kearifan menjaga hutan yang ada sejak dahulu. Salah satu, mereka mempunyai ompo atau hutan adat, hanya bisa diambil untuk kebutuhan bersama seperti pembangunan mesjid, sekolah, jembatan, dan lain-lain.

b. Warga anggotanya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);

Menurut penulis masyarakat hukum adat Matteko memliki perasaan kelompok karena sifat gotong royong dalam acara pernikahan ataupun membangun rumah salah satu masyarakat hukum adat, ini membuktikan bahwa masyarakat hukum adat Matteko sangat kental akan perasaan sesama kelompok masyarakat hukum adat.

c. Memiliki pranata pemerintahan adat;

Menurut penulis masyarakat hukum adat Matteko telah memeliki pranata pemerintahan adat ini dapat dilihat dari struktur kepemimpinan Masyarakat hukum adat Matteko yaitu adanya pemimpin adat yang diberi gelar Punggawa dan di bantu oleh dibantu tokoh-tokoh adat lain seperti kapala kampong, sariang, imam kampong, pangngulu sampa dan pangngulu solongan.

65 Kapala kampong (kepala kampung) memiliki fungsi sama dengan rukun keluarga, dan sariang setara rukun tetangga, imam kampong (imam kampung) menikahkan warga, menentukan hari baik untuk bercocok tanam, pangngulu sampa adalah tokoh adat yang mengatur batas-batas lahan masyarakat, dan sedangkan pangngulu solongan mengurus atau mengatur pengairan.

d. Khusus untuk kesatuan masyarakat hukum adat berjenis teritorial, memiliki wilayah tertentu;

Menurut penulis bahwa masyarakat hukum adat Matteko telah memiliki wilayah teritorial atau wilayah tertentu dikarenakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan telah melakukan pemetaan terhadap wilayah adat Masyarakat hukum adat Matteko.

B. Pelaksanaan Prosedur Permohonan Hak Penguasaan Hutan Adat di Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Gowa.

Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Tanah Ulayat (hak penguasaan atas tanah di kawasan hutan adat) di Indonesia diakui secara tegas dalam konstitusi Negara. Pasal 18B ayat 2 UUU 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Eksistensi tersebut lebih dipertegas lagi dalam Keputusan Mahkamah

66 Konstitusi Nomor 35/ PUU-X/2012, yang menetapkan bahwa masyarakat hukum adat selain memegang hak atas tanah ulayat sekaligus memegang hak atas hutan adat hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya.

Adapun daya yang berlaku pada hak ulayat ada yang berlaku ke dalam dan ada yang berlaku keluar66. Hak ulayat berlaku ke dalam berarti hak ulayat tersebut berlaku terhadap sesama anggota masyarakat hukum adat, yang diatur sedemikian rupa sehingga setiap orang menerima bagian dari hasil yang diperoleh berdasarkan hak masyarakat hukum adat tersebut. Berlaku keluar berarti pada prinsipnya, orang dari luar tidak diperbolehkan menggarap tanah yang merupakan wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan, kecuali atas izin masyarakat hukum adat melalui ketua adat masyarakat hukum yang bersangkutan. Artinya, meskipun hak ulayat merupakan hak masyarakat hukum adat, tetapi tetap membuka peluang akan adanya pihak luar untuk memanfaatkan hak ulayat tersebut dengan berbagai persyaratan, karena hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum (subjek hukum) dengan objek hak ulayat.67

Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan sumber daya air diujudkan sebagai hak ulayat. Bushar Muhammad dalam bukunya pokok-pokok hukum adat menyatakan bahwa, objek hak ulayat tidak hanya tanah,

66Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaanya. Djambatan. Jakarta. Hlm . 190.

67Maria S.W. Sumardjono. 2001. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi. Buku Kompas. Jakarta. Hlm. 56.

67 namun meliputi juga air, tumbuh-tumbuhan dan binatang liar.68

Berdasarkan Pasal 5 Permendagri 52 tahun 2014 menjelaskan bahwa:

(1) Bupati/Walikota melalui Camat atau sebutan lain melakukan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dengan melibatkan

masyarakat hukum adat atau kelompok masyarakat.

(2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencermati:

1. Sejarah Masyarakat Hukum Adat;

Masyarakat Adat Matteko awal mulanya tinggal di Kampung Balombong sejak tahun 1933. Saat itu jumlah warga Balombong hanya sekitar 90 jiwa atau 25 Kepala Keluarga. Pemimpin mereka adalah seorang Penghulu, yaitu Baco ri Langi yang bergelar Matoa Balombong. Baco ri Langi mengajak warganya untuk bercocok tanam, beternak sapi, kerbau, dan kuda. Hewan peliharaan warga Balombong pada siang hari dilepas begitu saja dan ketika malam tiba, mereka memasukkannya ke dalam ”bara batu”. Selain beternak, mereka juga berkebun dengan cara berpindah-pindah dalam lingkup kampong (kampung) Balombong. Warga Balombong semakin hari semakin bertambah jumlahnya sehingga sejak tahun 1945, mereka secara bertahap membuat perkampungan di sebelah timur Kampung Balombong yang sungainya berbelok-belok mengikuti punggung perbukitan. Oleh karena itu, masyarakat Balombong memberi nama

68Bushar Muhammad. 2006. Pokok-Pokok Hukum Adat. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Hlm 109

68 perkampungan tersebut sebagai Matteko. Secara perlahan, warga yang tinggal di Balombong berpindah ke Matteko dan membuka persawahan di lembah-lembah yang ada di sekitar Kampung Matteko. Pemangku adat saat itu di Kampung Matteko adalah Pappa Daeng Sese yang diberi Gelar Sebagai Matoa.

2. Wilayah Adat;

Masyarakat hukum adat Matteko yang bermukim di desa Erelembang, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan jarak Dusun Matteko dari Makassar sekitar 130 kilometer dengan jarak tempuh sekitar 4 jam. Akses ke dusun ini menggunakan kendaraan roda dua, karena jalan sebagian besar masih pengerasan dari bebatuan dan tanah timbunan. Jalan juga menanjak dan berbelok-belok.

Pada musim hujan, menuju Matteko sulit dilewati, bahkan kendaraan roda dua sekalipun. Secara geografis kawasan Matteko memiliki bentang wilayah berbukit-bukit dengan ketinggian antara 900-1.400 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Luas Wilayah Dusun Matteko 5,05 killometer persegi, Secara administratif, wilayah adat Matteko berbatasan dengan Kabupaten Maros di sebelah utara, dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Gantarang dan Desa Garassi, Kabupaten Gowa. Sementara di sebelah barat, Matteko berbatasan dengan Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros, dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tamaona, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa.

69 3. Hukum Adat;

Hukum Adat Matteko

4. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan

Harta kekayaan masyarakat adat Matteko yaitu beternak dan pemanfaatan hutan adat bagi masyarakat adat Matteko sebagai ulu ere atau hulu air.

5. Kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

Kelembagaan/sistem pemerintahan adat Pada aspek lembaga adat, Masyarakat Adat Matteko dipimpin oleh seorang kepala adat yang disebut dengan Matoa. Dalam memimpin seorang Matoa dibantu oleh beberapa orang pemangku adat, yaitu:

1. Sariang 2. Anroguru 3. Sanro/Pinati 4. Katte

5. Punggaha Mata Ere 6. Punggaha Passampa.

Peran masing-masing pimpinan adat tersebut. Matoa adalah kepala atau pimpinan tertinggi di dalam masyarakat adat Matteko. Ia adalah orang yang menjalankan pemerintahan asli masyarakat adat Matteko. Ia juga berperan sebagai hakim yang memeriksa suatu perkara sekaligus menjatuhkan sanksi ketika ada pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Sariang adalah jabatan yang diemban oleh

70 seseorang yang secara langsung berurusan dengan masyarakat dan melaporkan ke Matoa ketika terjadi persoalan-persoalan di komunitas.

Anro Guru berperan untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan. Sanro/Pinati adalah dukun (memberikan pengobatan kepada orang yang sedang sakit). Katte adalah imam kampung.

Punggaha Mata Ere/Solongan adalah jabatan yang bertugas untuk mengatur pengairan untuk persawahan. Dan yang terakhir adalah Punggaha Passampa yang bertugas mengontrol pagar lahan pertanian dan peternakan.

(3) Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan verifikasi dan validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota.

(4) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diumumkan kepada Masyarakat Hukum Adat setempat dalam waktu 1 (satu) bulan.

Dalam Pasal 247 Peraturan Pemerintah N'omor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Perhutanan Sosial diatur dalam Peraturan Menteri”.

Salah satu yang diatur dalam Peraturan menteri tersebut berkaitan dengan hutan Adat yang mana hutan adat merupakan hutan yang berada di dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya. Hutan Adat sebagaimana diatur Pasal 62 ayat (1) dapat berasal dari hutan negara dan bukan hutan negara yang mempunyai fungsi pokok konservasi, lindung dan/atau produksi.

71 Untuk penetapan status Hutan Adat dilakukan dengan kriteria sebagaimana diatur di dalam Pasal 65 ayat (1) yaitu:

1. berada di dalam Wilayah Adat;

2. merupakan areal berhutan dengan batas yang jelas dan dikelola sesuai Kearifan Lokal MHA yang bersangkutan;

3. berasal dari kawasan hutan negara atau di luar kawasan hutan negara;

dan

4. masih ada kegiatan pemungutan hasil hutan oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA) di wilayah hutan di sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Dalam hal Wilayah Adat berada di dalam kawasan hutan negara dan bukan berupa hutan, dapat dimasukkan dalam peta penetapan Hutan Adat dengan agenda khusus sesuai dengan kondisi penggunaan/pemanfaatan lahannya.

Untuk pengelolaan Hutan Adat baik yang berasal dari hutan negara dan bukan hutan negara dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat yang memenuhi ketentuan

a. ditetapkan dengan peraturan daerah, jika MHA berada dalam kawasan hutan negara; atau

b. ditetapkan dengan peraturan daerah atau keputusan gubernur dan/atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya, jika MHA berada di luar kawasan hutan negara.

72 Sebagai negara yang majemuk dengan beragam suku bangsa dan budaya, pengakuan terhadap MHA dan kawasan hutan adatnya, menjadi salah satu bukti kehadiran Pemerintah untuk melindungi hak masyarakat tradisional sekaligus mensejahterakannya dalam bingkai sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan hasil wawancara staf Dinas Kehutanan bapak Syarifuddin pada tanggal 24 Oktober 2022 bahwa :

“Prosedur permohonan hak pengusaan hutan adat terlebih dahulu harus memenuhi syarat sebagai berikut :

Wilayah Masyarakat Hukum Adat yang dimohon sebagian atau seluruhnya berupa hutan

Terdapat produk hukum pengakuan masyarakat hukum adat dalam bentuk: - Perda untuk hutan adat yang berada di dalam kawasan hutan negara atau - Perda atau SK kepala daerah untuk hutan adat yang berada di luar kawasan hutan negara

Terdapat peta wilayah adat

adanya surat pernyataan yang memuat: - penegasan bahwa areal yang diusulkan merupakan wilayah adat/hutan adat pemohonan; dan - persetujuan ditetapkan sebagai hutan adat dengan fungsi lindung, konservasi, atau produksi.

Setelah syarta terpenuhi selanjutnya dilakukan beberapa mekanisme sebagai berikut :

Menerima permohonan yang memenuhi syarat.

73

Membentuk panitia peneliti, yang keanggotaanya terdiri dari para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan isntansi yang terkait.

Menyelenggarakan rapat/pertemuan.

Melakukan penelitian yang meliputi keberadaan masyarakat adat, adanya wilayah dan hubungan antar masyarakat adat dengan wilayahnya.

Mempublikasikan hasil penelitian dan menampung saran pendapat melalui seminar, lokakarya, dll.

Melaksanakan dengar pendapat umum dalam rangka penyiapan RAPERDA tentang penetapan ranah ulayat.

Menertibkan PERDA tentang penetapan tanah ulayat.

Mengusulkan tanah adat/ulayat kepada menteri LHK.

Setelah syarat dan mekanisme diatas terpenuhi maka Dinas Kehutanan menyarahkan berkas tersebut ke Kementrian Kehutanan untuk diterbitkan SK Penguasaan Hutan Adat. Alur pengakuan masyarakat hukum adat dan hutan adat dapat dilihat pada bagan sebagai berikut :

74 Penetapan

Masyarakat Hukum Adat melalui Produk

Hukum Daerah

Setelah Memenuhi Syarat, Masyarakat Hukum Adat melakukan pengajuan Permohonan Penetapan Hutan adat kepada Mentri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan

Verifikasi dan validasi oleh Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Penetapan Hutan Adat Oleh Direktur Jendral atas nama Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Republik Indonesia

Bagan 1.

Bagan alur Mekanisme pengakuan masyarakat hukum adat

Menurut penulis prosedur permohonan pengusaan Hutan Adat tidaklah mudah dikarenakan harus ada PERDA tentang penetapan tanah ulayat, dan perlu kita ketehui bahwa pnerbitan perda prosesnya tidaklah singkat dan membutuhkan anggaran yang tidak sedikit sehingga proses pengusaan Hutan Adat dapat terhambat dan juga tidak banyak orang yang mau mengurus proses pengakuan Masyarakat Hukum Adat.

Verifikasi & Validasi Masyarakat Hukum Adat oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat Identifikasi Masyarakat

Hukum Adat oleh Bupati/ Walikota melalui Camat Gubernur membentuk

Panitia Masyarakat Hukum Adat

Panitia Masyarakat Hukum Adat melakukan Pengumuman pada

Masyarakat Hukum Adat dan penyampaian rekomendasi kepada

Bupati/Walikota Tidak mengajukan permo-

honan penetapan hutan adat pada Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan

75 C. Pengakuan Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Tombolo Pao oleh

Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa

Pengakuan MHA dilakukan sejak Indonesia berdiri. Pasal 18 UUD merupakan pengakuan gelombang pertama dalam konteks Nasional Indonesia. Pengakuan gelombang kedua dilakukan melalui UU nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Pengakuan ketiga adalah yang dilakukan oleh rezim orde baru. Pengakuan gelombang keempat dilakukan setelah amandemen UUD dengan memunculkan beberapa undang-undang.

Masing-masing pengakuan ini dimaknai bervariasi sesuai dengan selera penguasa yang sedang menjabat di Indonesia.

Pengakuan atas kebaradaan Masyarakat Hukum Adat dalam UUD sebelum amandemen adalah mengakui masyarakat yang sudah ada dengan segala sistem yang berlaku didalamnya. Hal tersebut merujuk pada pemaknaan kata “susunan asli”. Karena keaslian ini maka dianggap sebagai suatu hal yang istimewa. Hak asal-usul adalah hak yang dalam konsep politik hukum dikenal sebagai hak bawaan dan bukan hak berian. Dalam pengertian sebagaimana disebutkan tersebut maka pemaknaan susunan asli tidak pula dimaknai tunggal harus memiliki kriteria-kriteria tertentu.

Pengakuan atas mereka dilakukan sebagaimana adanya,tidak diperkenankan upaya dari negara untuk menyeragamkannya. Pengakuan dan perlindungan atas eksistensi masyarakat adat dan hak ulayat menemukan ruang yang lebih besar dalam UUD NRI tahun 1945. Kontruksi pengakuan Masyarakat

76 Hukum Adat dalam Konstitusi pasca amandemenakan dijelaskan sebagaimana tabel berikut:

Bagan 2.

Kontruksi pengakuan Masyarakat Hukum Adat dalam Konstitusi

No Rule Approach Substance Responsibility 1 Pasal 18 B

ayat (2)

Pemerintah an

1. Kesatuan-kesatuan MHA 2. Hak-hak

tradisional MHA Dengan syarat:

a. Sepanjang masih hidup b. Sesuai dengan perkembangan

masyarakat

c. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia d. Diatur dalam Undang-Undang.

Negara mengakui dan menghormati, selanjutnya diatur dalam Undang- Undang.

2 Pasal 28 I ayat (3)

HAM 1. Identitas budaya

2. Hak masyarakat tradisional Dengan persyaratan selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Negara menghor mati

3 Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2)

Kebudayaa n

1. Hak-hak untuk mengembangkan nilai-nilai budaya

2. Bahasa daerah

Negara menghormati dan

menjamin.

Sumber :Yance Arizona, 2016.

UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan upaya untuk memperkuat eksistensi desa dalam pemerintahan Republik Indonesia. Dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu memperoleh perlindungan dan pemberdayaan dan agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Salah satu isu krusial dalam UU yang berkaitan dengan MHA adalah kedudukan, format dan kewenanngan desa. Hal ini dimaksudkan untuk menempatkan desa sebagaimana layaknya.

77 Dalam pengaturan hukum yang lama kewenangan asal-usul memang sebagai bentuk pengakuan (rekognisi) terhadap Desa, tetapi tidak dijabarkan dan tidak dilembagakan, apalagi kalau sudah sampai di level kabupaten.

Meski UU No. 32/2004 mengandung keragaman sebagai sebuah prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan Desa, tetapi tidak ditemukan makna dan disain kembagaan keragaman. Ini hanya terlihat dari sisi nomenklatur, misalnya Desa atau nama lain, kepala Desa dengan nama lain atau BPD dengan nama lain. UU No 32/2004 tidak mengenal konsep optional village untuk mengakomodasi dan melembagakan keragaman Desa, misalnya opsi tentang Desa adat yang ada di banyak daerah.

Karenanya pengaturan dalam undang- undang ini memiliki tujuan untuk menguatkan masing-masing jenis desa dan terkhusus bagi desa adat sebagaimana dalam poin a, b, c dan d yang dituangkan dalam Pasal 4 UU Desa yang berbunyi antara lain:

1) Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2) Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;

3) Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;

4) Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama.

Dokumen terkait