• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yakni dengan cara pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang yang relevan dengan permasalahan. Data tersebut diklasifikasikan lalu disistemasikan sesuai dengan permasalahan yang dibahas untuk mempermudah proses analisa dan untuk menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data.

Analisa data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, men-sintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.132

132

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 248.

BAB II

PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Pada umumnya perbuatan persetubuhan dapat dilakukan dengan pemaksaan yang lebih dikenal dengan pemerkosaan dan dapat dilakukan tanpa pemaksaan. Hukum positif yang berlaku di Indonesia telah mengatur perbuatan persetubuhan secara umum terhadap orang yang dewasa dan anak-anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan secara khusus jika dilakukan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak serta jika dilakukan terhadap orang yang masih termasuk dalam hubungan keluarga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

A. Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pada umumnya jika membicarakan tentang hukum pidana, maka yang dimaksudkan ialah peraturan-peraturan pidana yang terkumpul dalam suatu kitab yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disingkat KUHP (Wetboek van Strafrecht = H.v.S).133 E. Utrech mengatakan, bilamana orang mengatakan hukum pidana maka pada umumnya yang dimaksud adalah hukum pidana materiil.134

133

C.S.T. Kansil, Op.Cit, hlm. 245. 134

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur oleh M. S. Djindang, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1983), hlm. 388.

Hukum pidana materil adalah hukum yang berisi tentang aturan tingkah laku (perbuatan) yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat dipidana dan berbagai macam pidana yang dapat dijatuhkan.135 Satochid Kartanegara menulis, hukum pidana materil berisi peraturan-peraturan tentang perbuatan apa yang dapat dipidana (masalah tindak pidana-pen), siapa-siapa yang dapat dipidana (masalah pertanggungjawaban pidana-pen) dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggar hukum (penjatuhan pidana-pen).136 Singkatnya hukum pidana materil mengatur tentang apa, siapa dan bagaimana orang dapat dihukum.137

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang lebih dikenal dengan KUHP memasukkan perbuatan persetubuhan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau kejahatan terhadap kesopanan.138 Andi Hamzah139

Persetubuhan secara sederhana diartikan sebagai aktifitas/ hubungan seksual yang umum dilakukan untuk memperoleh kenikmatan seksual atau untuk proses memperoleh anak. Persetubuhan dengan demikian bukanlah sebuah bentuk kejahatan tapi merupakan perbuatan manusiawi karena lumrah dilakukan bahkan merupakan

menyatakan bahwa kesusilaan (goede zeden) adalah kesusilaan moral dengan norma kesopanan, khususnya dibidang seksual.

135

E. Y. Kanter & S. R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 20. 136

Satochid Kartanegara, Op.Cit, hlm. 1 137

C.S.T. Cansil, Op.Cit, hlm. 249. 138

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), dan R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP: Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), mempergunakan istilah “kejahatan terhadap kesusilaan” sedangkan R. Soesilo, Op.Cit, mempergunakan istilah “kejahatan terhadap kesopanan”.

139

kebutuhan kodrati. Sifat jahat terhadap aktifitas seksual ini kemudian melekat jika itu dilakukan tidak sesuai dengan hukum sehingga disebutlah perbuatan itu sebagai kejahatan seksual.

Terminologi persetubuhan dan terminologi pencabulan memiliki perbedaan prinsipil secara yuridis. Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.140 Menurut J. M. Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Neng Djubaedah,141

KUHP secara tegas memisahkan pengaturan perihal persetubuhan dengan perbuatan cabul mengindikasikan bahwa kedua perbuatan ini secara hukum memiliki perbedaan. Tindak pidana pencabulan terhadap orang dewasa diatur dalam Pasal

mengemukakan bahwa perbuatan cabul itu termasuk persetubuhan dan homoseksualitas atau perbuatan cabul yang bertentangan dengan alam.

Perbuatan cabul tidak mengharuskan adanya hubungan kelamin asal saja perbuatan itu dinilai sebagai pelanggaran kesusilaan dalam ruang lingkup nasfu berahi, tetapi persebutuhan mengharuskan adanya hubungan kelamin. Perbuatan cabul dengan demikian lebih mengandung pengertian yang lebih luas dari pengertian persetubuhan sehingga dikatakan bahwa persetubuhan termasuk perbuatan cabul tetapi perbuatan cabul tidak selalu dapat dikatakan persetubuhan.

140

R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 212. 141

289142, Pasal 290 ayat (1)143, Pasal 294 ayat (2) KUHP144, sedangkan pencabulan yang dilakukan khusus terhadap orang belum cukup umur 15 tahun diatur dalam Pasal Pasal 290 ayat (2) dan (3) KUHP145, pencabulan terhadap orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 292146, Pasal 293147 dan Pasal 294 ayat (1) KUHP148

142

Pasal 289 KUHP berbunyi: barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusak kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan.

143

Pasal 290 ayat 1 KUHP berbunyi: Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun dihukum: 1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.

144

Pasal 294 ayat (2) KUHP berbunyi: 2. Dengan hukuman yang serupa dihukum: (1) Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga. (2) Pengurus, dokter, guru, pegawai/pejabat, pengawas, atau pembantu suatu lembaga pemasyarakatan, lembaga kerja negara, lembaga pendidikan, rumah yatim piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa, atau lembaga-lembaga kebajikan, yang melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan seseorang yang dimasukkan ke dalamnya.

145

Pasal 290 ayat 2 dan 3 KUHP berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: (2) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin. (3) Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain.

146

Pasal 292 KUHP berbunyi: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa belum dewasa, diancam pidana penjara paling lama lima tahun.

147

Pasal 293 KUHP berbunyi: (1) Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyelahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaaan, atau dengan menyesatkan sengaja menggerakkan seseorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu. (3)Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9 (sembilan) bulan dan 12 (dua belas) bulan.

148

Pasal 294 ayat (1) KUHP berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa , diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

sementara itu ketentuan Pasal 295 KUHP149 adalah mengatur tentang menyebabkan/ memudahkan pencabulan oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya atau anak asuhnya yang belum dewasa dengan pihak ketiga orang lain dan jika mangadakan atau memudahkan perbuatan cabul itu menjadi pencaharian atau kebiasaan diatur dalam Pasal 296 KUHP150

James A. Inciardi sebagaimana dikutip oleh Neng Jubaidah,

. Keseluruhan pasal-pasal terkait tindak pidana pencabulan dalam KUHP dimaksud tidak akan dibahas dalam tulisan ini secara luas, karena fokus pembahasan tulisan ini adalah tentang tindak pidana persetubuhan.

151

1) Forcible rape, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang perempuan dengan menggunakan ancaman pemaksaan dan kekerasan yang menakutkan.

merumuskan beberapa hubungan seksual yang termasuk kejahatan seksual (sexual offences) diantaranya:

2) Statory rape, yaitu hubungan seksual yang telah dilakukan dengan seorang perempuan di bawah usia yang ditentukan (biasanya 16 tahun atau 18 tahun, tetapi kadang-kadang 14 tahun) dengan atau tanpa persetujuan dari perempuan tersebut.

3) Fornication, yaitu hubungan seksual antara orang-orang yang tidak (belum) dalam ikatan perkawinan.

149

Pasal 295 KUHP berbunyi: 1. Diancam: (1.1) Dengan pidana penjara paling lama lima tahun, barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya atau anak yang dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain. (1.2) Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain. 2. Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.

150

Pasal 296 KUHP berbunyi: Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

151

4) Adultery, yaitu hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, sekurang-kurangnya salah satu dari mereka terikat perkawinan dengan orang lain.

5) Incest, yaitu hubungan seksual antara orang tua dengan anaknya, antar saudara kandung, atau antara hubungan darah yang relatif dekat.

6) Sodomy, yaitu perbuatan-perbuatan hubungan seksual yang meliputi: a. Fellatio, yaitu hubungan oral seksual dengan organ seks laki-laki; b. Cunnilingus, yaitu hubungan oral seksual dengan organ seks

perempuan;

c. Buggery, yaitu penetrasi melalui anus;

d. Homosexuality, yaitu hubungan seksual antara orang-orang yang sama jenis kelaminnya;

e. Bestiality, yaitu hubungan seksual dengan binatang;

f. Pederasty, yaitu hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang anak laki-laki secara tidak alamiah;

g. Necrophilia, yaitu hubungan seksual dengan mayat. 1. Definisi Anak Menurut KUHP

KUHP tidak mengenal secara spesifik pengertian tentang anak, tetapi hanya mengenal pengertian ”belum dewasa” atau ”belum cukup umur” (minderjarig). Walau tidak ada pembatasan umur secara tegas tentang anak dalam KUHP, tetapi tidak menjadikan pengertian anak dalam KUHP tidak ada sama sekali. Pengertian anak dalam KUHP selalu terikat dengan ketentuan pasal yang terkait misalnya tentang anak yang berumur di bawah 12 tahun, anak berumur di bawah 15 tahun, anak yang berumur di bawah 16 tahun dan anak yang berumur di bawah 17 tahun sehingga kesemuanya memiliki fungsi dan kepentingan yang berbeda. Anak versi KUHP adalah dipandang dari berbagai sudut kepentingannya yang secara langsung tertuang dalam pasal-pasal terkait. Keseluruhan pengertian anak tersebut termasuk dalam kategori orang yang belum dewasa atau belum cukup umur yang lebih dikenal dengan istilah anak.

Anak yang berumur di bawah 12 tahun misalnya dipergunakan sebagai dasar untuk penuntutan tanpa pengaduan korban. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 287 ayat 2 KUHP yang berbunyi: ”Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan 294.”152

1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahunn atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat kawin.

Anak yang berumur di bawah 15 tahun dipergunakan sebagai syarat khusus yang diharapkan diketahui oleh pelaku misalnya dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP dan Pasal 290 angka 2 dan 3 KUHP. Pasal 290 angka (2) dan (3) berbunyi:

2. Barang siapa membujuk (menggoda) seseorang, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat kawin, akan melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin.

Anak yang berumur di bawah 16 tahun dipergunakan sebagai pedoman bagi hakim dalam penjatuhan hukuman (pemidanaan). Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 45 KUHP yang berbunyi:153

152

Pasal 291 KUHP adalah tentang perbuatan persetubuhan yang berakibat luka berat pada tubuh atau mati sedangkan Pasal 294 KUHP adalah tentang perbuatan cabul terhadap anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa atau anak yang belum dewasa yang pemiliharaanya, pendidikannya atau penjagaannya diserahkan kepadanya.

153

Berdasarkan ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, maka Pasal 45 KUHP ini tidak berlaku lagi. Pasal 67 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak berbunyi: “Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHPidana dinyatakan tidak berlaku lagi”. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 batas umur pelaku yang dapat dipidana (atau sebagai pedoman hakim dalam pemidanaan terhadap anak) adalah harus telah berumur minimal 8 tahun. Pasal

Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan itu merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaaran berdasarkan pasal-pasal 489,..”

Anak yang berumur di bawah 17 tahun dipergunakan sebagai syarat khusus yang diharapkan diketahui oleh pelaku dalam bidang mempertunjukkan tulisan atau gambar yang menyinggung perasaan kesopanan. Ketentuan ini misalnya diatur dalam Pasal 283 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 9000,- dihukum barang siapa menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan di tangan atau mempertunjukkan kepada orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya bahwa orang itu belum cukup umur 17 tahun suatu tulisan, suatu gambar atau suatu barang yang menyinggung perasaan kesopanan, atau suatu cara yang dipergunakan untuk mencegah atau mengganggu kehamilan, jika isi surat itu diketahuinya atau jika gambar, barang dan cara itu diketahuinya.

Secara umum pengertian-pengertian belum cukup umur atau belum dewasa dalam KUHP adalah semakna dengan pengertian anak sebagai lawan kata dari dewasa. Menurut L.N. 1931 No. 54, pengertian ”belum dewasa” bagi orang Indonesia adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin.154

4 ini kemudian telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.1/ PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011 yang menegaskan bahwa batas usia anak yang dapat diminta pertanggungjawaban hukum yaitu minimal berumur 12 (dua belas) tahun. Putusan MK ini sejalan dengan batas usia yang telah direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment

pada 10 Februari 2007. 154

R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 61.

sudah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, tetapi sudah kawin atau pernah kawin.155

2. Persetubuhan Dengan Paksaan Dalam KUHP

Persetubuhan dengan paksaan umumnya lebih dikenal dengan istilah pemerkosaan. Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan pemerkosaan sebagai "penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis, anggota-anggota tubuh lain atau suatu benda-bahkan jika dangkal-dengan cara pemaksaan baik fisik atau non-fisik.”156 Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pemerkosaan sebagai suatu proses atau cara perbuatan memerkosa, sedangkan perkosa atau memerkosa berarti menundukkan dengan kekerasan atau memaksa dengan kekerasan.157

Tindak pidana pemerkosaan (verkrachting) diatur secara spesifik dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin

158

155

Ibid, hlm. 216.

di luar pernikahan dengan dirinya, karena bersalah melakukan perkosaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Jika pemerkosan itu mengakibatkan korbannya mati maka pelaku diancam hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun (Pasal 291 ayat 2 KUHP).

156

157

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 1059. 158

Formulasi Pasal-Pasal KUHP tentang kejahatan kesusilaan dalam tulisan ini umumnya dikutip dari buku P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit. Istilah “hubungan kelamin” disini dalam buku R. Soesilo, Op.Cit dan R. Soenarto Soerodibroto, Op.Cit, menggunakan istilah “bersetubuh”, sehingga dalam tulisan ini kata ini semakna dan saling dapat dipertukarkan.

Merujuk ketentuan Pasal 285 KUHP di atas dapat diambil beberapa syarat penting yang harus terpenuhi agar dapat dikatakan sebagai pemerkosaan yaitu :

a) Adanya hubungan kelamin di luar perkawinan.

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.159 Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholitdhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.160

Van Vemmellen dan Van Hattum berpendapat bahwa untuk adanya suatu perbuatan hubungan kelamin tidak disyaratkan telah terjadinya suatu ejaculatio seminis, melainkan cukup jika orang telah memasukkan penisnya161 kedalam vagina162 seorang wanita.163

159

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 160

Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.

Arrest tanggal 5 Februari 1912 W. 9292 Hoge Raad

161

Penis darphallus, yang

memiliki arti sama adalah ruan

phallus) dipakai dalam konteks

meneganglingam) adalah salah satu penggambaran falus.

zakar. Banyak masyarakat menganggap organ ini

dibicarakan secara terbuka, berbagai eufemisme (penghalusan kata atau makna) dipakai untuk menyatakannya, seperti "burung", "pisang", dick, atau cock (bahasa Inggris). Fungsi penis secara dan sebagai alat bantu organ kelamin luar yang penting untuk kopulasi. Kopulasi adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan wanita bertujuan memindahkan sel sperma ke saluran kelamin wanita. Lihat Yanti, Buku Ajar: Kesehatan Reproduksi, (Yogyakarta: Pustaka Rihama, 2011), hlm. 39.

162

Vagina kat

berbentuk tabung yang menghubungka

monotrem, dan beberapa jenis

vagina bermacam-macam pada wanita, namun ukuran panjangnya berkisar 6 sampai 7,5 cm (2,5 - 3 inchi) meliputi dinding anterior, dan 9 cm (3,5 inchi) untuk panjang yang meliputi dinding posterior.

memutuskan bahwa suatu persinggungan di luar antara alat-alat kelamin pria dan wanita bukan merupakan persatuan antara alat-alat kelamin yang diperlukan dalam suatu perkosaan.164 Kiranya cukup jelas tulis P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang165 bahwa yang tidak dikehendaki oleh ketentuan Pasal 285 KUHP adalah timbulnya akibat berupa dimasukkannya penis pelaku ke dalam vagina korban, sehingga pasal ini dapat dikatakan sebagai delik materil.166

Merujuk pendapat di atas, maka penggunaan sarana/ alat berupa alat-alat seks (sex toys) yang mungkin dimasukkan oleh seorang laki-laki ke dalam vagina wanita walau diluar perkawinan dan dengan paksaan tidak dapat disebut pemerkosaan. Penetrasi

167

Adanya syarat ini menjadikan hubungan kelamin dalam perkawinan tidak akan pernah masuk kategori pemerkosaan meskipun dilakukan dengan paksaan. penis terhadap vagina harus benar-benar terjadi jika masih diluar vagina maka tidak dapat disebut pemerkosaan tetapi termasuk percobaan pemerkosaan. Bagian yang sudah termasuk bagian dalam vagina ialah jika telah menyentuh labia minora (bibir dalam vagina).

Disaat rangsangan seksual, ukuran panjang dan lebar vagina akan meningkat. Keelastisan vagina dapat membantu proses dalam ekskresi uterus (rahim) pada haid, untuk jalan lahir dan untuk kopulasi (persetubuhan). Lihat, Yanti,

Op.Cit, hlm. 34. 163

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 102. 164

Ibid. 165

Ibid. 166

Delik berarti tindak pidana, merupakan perbuatan melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang. Lihat Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 29-30. Delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai jika akibat yang dilarang telah terjadi. Sedangkan delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai jika tindakan yang dilarang dalam rumusan undang-undang telah terpenuhi. Lihat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 237.

167

Istilah dimasukkan ke dalam vagina.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka perkawinan yang dimaksud disini haruslah merujuk ketentuan undang-undang itu khususnya ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menegaskan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu”.

b) Harus dilakukan terhadap wanita.

R. Soesilo menyatakan bahwa pembuat undang-undang ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata kondisi ini dianggap tidak mungkin tetapi karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak berakibat buruk atau merugikan, justeru perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak karena itu.168

Ketentuan ini mensyaratkan bahwa objek pemerkosaan itu haruslah seorang wanita. KUHP menyebutkan adanya berbagai wanita, yaitu wanita yang belum mencapai usia dua belas tahun (pasal 287 ayat (2) KUHP), wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun (Pasal 287 ayat (1) dan Pasal 290 angka 3 KUHP), wanita yang belum dapat dinikahi (Pasal 288 ayat (1) KUHP) dan wanita pada umumnya. Adapun yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP ialah wanita pada umumnya.

169

Adanya syarat ini, menutup kemungkinan laki-laki dapat dianggap sebagai korban pemerkosaan. Hal ini logis mengingat bukankah mustahil akan berhasil

Dokumen terkait