• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kedudukan Jual Beli Terhadap Benda Yang Telah

Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya.

Secara etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.

Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’. Hukum jual beli pada dasarnya dibolehkan oleh ajaran islam. Kebolehan ini didasarkan kepada firman Allah yang terjemahannya sebagai berikut :

“ Janganlah kamu memakan harta diantara kamu dengan jalan batal melainkan dengan jalan jual beli, suka sama suka….” (Q.S.

An-Nisa’ : 29).

Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan -ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’

(hukum islam).

Rukun Jual Beli:

Dua pihak membuat akad penjual dan pembeli. Syarat Subyek :Berakal,kehendaknya sendiri (tidak dipaksa), keduanya tidak

Mubazir, Baliqh atau dewasa.

Objek akad (barang dan harga). Syarat Obyek :Bersih barangnya, dapat dimanfaatkan, milik orang yang melakukan Akad, Mampu menyerahkan ialah penjual,melihat sendiri keadaan atau kualitas barangdan Barang yang diakadkan ditangan.

Ijab qabul (perjanjian/persetujuan). Menyatakan dengan tegas perjanjian jual-beli, Adanya persetujuan Ijab dan Qabul, Adanya Akad Jual-beli yang menunjukkan perizinan pembeli dan penjual, lafaz atau perbuatan yang meunjukkan Ijab Qabul harus jelas, Ijab harus bersambung dengan Qabul

Barang- barang yang terlarang diperjual belikan adalah : barang yang haram dimakan, khamar, buah-buahan yang belum dapat dimakan,air, barang-barang yang samar dan barang- barang yang dapat dijadikan sarana ma’shiyat.

Islam melarang bentuk jual beli yan mengandung tindak bahaya bagi yang lain.Begitu pula segala bentuk penipuan dan pengelabuan dalam jual beli menjadikannya terlarang. Saat ini kita akan melihat bahasan sebagai tindak lanjut dari tulisan sebelumnya mengenai bentuk jual beli yang terlarang.

Jual Beli Yang Mengandung Unsur Penipuan (Gharar) Menurut bahasa makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan) dan al khida’(penipuan). Secara istilah adalah jual beli yang hukumnya

terbatasi.Jadi bai’ gharar adalah jual beli yang mengandung spekulasi yang terjadi antara kedua orang yang berakad, menyebabkan hartanya hilang, atau jual beli sesuatu yang masih hambar, tidak jelas wujud atau batasanya, disepakati pelarangannya.Sebagai agama yang lengkap telah memberikan petunjuk lengkap tentang perdagangan, termasuk didalamnya barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan. Sebagai pengusaha muslimsudah sepantasnya kita mempelajari masalah ini agar terhindar dari perniagaan yang haram dan tidak di ridhoi Allah.

Islam adalah agama yang syamil, yang mencangkup segala permasalahan manusia, tak terkecuali dengan jual beli.Jual beli telah disyaritkan dalam Islam dan hukumnya mubah atau boleh, berdasarkan Al Quran, sunnah, ijma’ dan dalil aqli.Allah SWT membolehkan jual-beli agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya selama hidup di dunia ini.56

Namun dalam melakukan jual-beli, tentunya ada ketentuan-ketentuan ataupun syarat-syarat yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Seperti jual beli yang dilarang yang akan kita bahas ini, karena telah menyelahi aturan dan ketentuan dalam jual beli, dan tentunya merugikan salah satu pihak, maka jual beli tersebut dilarang. Begitu juga jual beli yang melanggar syar’I yaitu dengan cara menipu. Menipu barang yang sebenarnya cacat dan tidak layak untuk dijual, tetapi sang penjual menjualnya dengan memanipulasi seakan-akan barang tersebut sangat berharga dan berkualitas. Ini adalah haram dan dilarang dalam agama,

56 Hukum Jual Beli Dalam Islam, http://WWW.Blogspot.Com/. Diakses 20 September 2018 Pukul 11:11 WIB

bagaimanapun bentuknya.Diantara jual-beli yang dilarang dalam Islam adalah memperjual belikan obyek Tanah yang sebelumnya telah dihibahkanatau diberikan kepada orang lain. Dalam hukum Hukum Islam diharamkan mengambil kembali suatu pemberian yang telah diberikan kecuali pemberian Orang tua kepada Anaknya.

Berkaitan dengan syarat terhadap obyek yang diperjual-belikan, yakni milik penjual.Dalam hal ini jual-beli Tanah, seharusnya pembeli melihat dulu kondisi Tanah itu baik dari kondisi maupun Status Tanah tersebut Agar kelak tidak menimbulkan Perselisihan bahwa Barang tersebut Milik Orang lain yang telah diperjual belikan, yang dimaksudkan terjadinya Peralihan Berganda yang sebelumnya Adanya Akta Hibah Dan Menyusulnya Akta Jual-Beli pada saat Terjadinya Jual-beli tersebut.57 Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli:Jual-beliyang mengandung Riba dan Jual-beli yang mengandung kecurangan.

Ada juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal di atas seperti adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti orang yang menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, menjual senjata saat terjadinya konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya.

Juga larangan karena adanya pelanggaran syariat seperti berjualan pada saat dikumandangkan adzan shalat Jum’at.58

Berikutjual beli menurut islam yang perlu diperhatikan umat islam,

57 Rukun Jual Beli Dan yang Boleh diperjual Belikan Dalam Syariah, http ://

WWW.Eramuslim.Com/ Diakses 20 September 2018 Pukul 13:30

58Jual Beli dalam Islam, http :// WWW.Sarjanaku.Com/ Diakses 21 September 2018 pukul 09:15

agar jual beli terlaksana dengan adil dan seimbang.

1. Transaksi di Lakukan dengan Ridha dan Sukarela

“ Janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian.” (QS. An-Nisaa : 29)

Ayat ini diperjelas bahwa kedua belah pihak harus berkompeten untuk melakukan transaksi jual beli.Mereka adalah orang orang yang paham mengenai jual beli, mampu menghitung atau mengatur uang, dan dilakukan dengan kesadaran.Anak kecil yang tidak pandai atau belum mengetahui masalah jual beli maka lebih baik orang tuanya yang mengatur.Orang gila tentu saja tidak boleh dan dipaksa untuk membeli.Transaksi jual beli tidak boleh dilakukan secara terpaksa, namun karena kebutuhan dan sukarela antara dua belah pihak. Jika tidak maka salah satu pihak akan dirugikan.

2. Barang Bukan Milik Orang Lain

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)

Dari hadist di atas dijelaskan bahwa barang yang dijual bukanlah milik orang lain. Untuk itu harus pasti, miliknya adalah milik pribadi, atau harta pemberian tidak masalah asalkan berasal dari sumber yang berkah dan halal, jelas status kepemilikannya.

3. Larangan Jual Beli Hasaath

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR.

Muslim)

Hal ini disampaikan dalam hadist di atas bahwa dilarang jual beli dengan kerikil yang dilempar untuk menentukan barang.Hal ini berarti mereka tidak bisa memilih, memilah barang yang sesuai keinginan dan sesuai kualitas barangnya.

4. Menjelaskan Cacat Barang

Jika terdapat cacat maka penjual harus memberikan informasi mengenai cacat barang-nya, tidak boleh ditutupi. Hal ini tentu akan mengecewakan dan menipu pembeli. Sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah dalam hadist berikut.

“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban) .59

Etika Jual Beli Dalam Hukum Islam

a. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)

Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasad, sedangkan menurut jumhur batal sebab akan mendatangkan pertentangan di antara manusia. 60Didalam bisnis ini tidak memiliki kejelasan, baik tentang barang yang diperjual belikan atau bagaimana sistem dalam transaksi jual beli dalam bisnis tersebut. Dapat juga dikatan bahwa bisnis tidak jelas adalah

59Jual Beli Dalam Islam, http :// WWW.Sarjanaku.Com/ Diakses September 21 2018 pukul 09:15

60 Jual Beli Menurut Ilmu Fiqih :// WWW. Wordpress.Com/ Diakses 21 September puku 12:00

jenis bisnis yang mengandung unsur penipuan, karena dianggap telah memakan harta orang lain. Dan hal yang seperti itu sudah Allah berikan peringatan, seperti yang ada pada Alqur’an dengan ayat sebagai berikut :

َلَّ َو اوُلُكْأَت ْمُكَلا َوْمَأ ْمُكَنْيَب ِل ِطاَبْلاِب اوُلْدُت َو اَهِب ىَلِإ ِماَّكُحْلا اوُلُكْأَتِل اًقي ِرَف ْنِم ِلا َوْمَأ ِساَّنلا ِمْثِ ْلْاِب ْمُتْنَأ َو َنوُمَلْعَت – ا188

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [Q.s. al-Baqarah:

188].

b. Menyalahgunakan Hak

Di dalam ilmu fiqih muamalah jual beli dalam slam menyalahgunakan sebuah hak bisa menimbulkan penyalahgunaan yang dapat menyebabkan kerugian untuk orang lain. Dan penyalahgunaan hak biasanya terjadi pada seorang pemimpin, atasan atau kepemilikan.Penyalahgunaan hak terjadi pada seorang pemimpin yang tidak memperhatikan etika atau aturan yang ada, penyalahgunaan ini juga bisa dalam bentuk tidak mengeluarkan hak fakir miskin. Bahkan tidak banyak orang yang tahu jika sebagian harta dalam islamadalah milik fakir miskin. Sudah seharusnya seorang pemimpin menyadari siapa saja orang yang berhak sebagai penerima zakat. Jika seorang pemimpin berlaku tidak adil, maka mereka termasuk dalam orang-orang yang dzalim

dan akan mendapatkat kemudharatan.61 c. Hukum dan Kaidah Jual Beli Tanah

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hukum jual beli tanah adalah diperbolehkan oleh islam atau halal. Dalam islam tentu saja sesuatu yang diperbolehkan atau halal jelas ada batasan-batasannya dan dapat menjadi haram jika tidak dilaksanakan sesuai aturan dan keadilan satu sama lain.Jual beli tanah dalam islam tentu bukan sesuatu yang dilarang, asalkan memiliki kejelasan hak milik, kewajiban yang dilakukan dipenuhi, serta tidak berefek kepada sosial masyarakat. Misalnya saja dengan pembelian tanah tersebut, rumah warga miskin menjadi tergusur, hak air mereka terkurangi, dsb.

Dalam hal jual beli tanah, maka ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Hal-hal ini biasanya sering kali menjadi masalah ketika kita akan membeli tanah. Untuk itu, sebelum melakukan transaksi jual beli tanah, maka perlu adanya pertimbangan tersendiri untuk kejelasan tanah yang diperjual belikan.

Berikut adalah bebera kaidah penjual belian tanah didasarkan pada prinsip-prinsip kejelasan dan keseimbangan dalam transaksi antara penjual dan pembelinya.

61Etika Bisnis Dalam Islam, Http: // DalamIslam. Com / Diakses 21 September 2018 Pukul 02: 09

1. Jelas Batasnya

Dalam pembelian tanah maka kejelasan batas harus menjadi hal yang utama. Hal ini untuk menjelaskan mana hak tanah yang nantinya akan menjadi milik kita dan bukan setelah pembelian. Jika tanah tidak jelas batasannya di kemudian hari biasanya akan terjadi konflik atau sengketa tanah karena proses klaim antara dua belah pihak lain. Tentu dalam hal ini harus diperjelas dulu antara penjual dan pembeli tanah.Kasus yang terjadi sering kali terdapat penipuan atau pembohongan batas tanah yang akhirnya merugikan salah satu pihak di waktu depan.

2. Tidak Menjual Tanah yang tidak Jelas Kepemilikannya

Hendaknya kita pun tidak menjual atau membeli tanah yang tidak jelas kepemilikannya. Hal ini pun berefek kepada jangka panjang akan menjadi masalah dan konflik pula. Untuk itu sebelum proses jual beli tanah dilakukan hak kepemilikan harus diperjelas terlebih dahulu.

3. Bukan Tanah Sengketa

Dalam proses jual beli tanah hendaknya kita pun memperhatikan apakah tanah tersebut tanah sengketa. Jika tanah sengketa hendaknya tidak diperjual belikan karena tentu merugikan salah satu pihak jelas akan terjadi. Tanah sengketa artinya tanah yang bermasalah, jika diperjual belikan tentu masalahnya akan bertambah banyak. Tanah sengketa ini tidak diperjual belikan

sebelum nantinya selesai status kepemilkannya serta dinaungi oleh hukum yang berlaku.

4. Bukan Tanah Wakaf

Tanah wakaf tidak boleh diperjual belikan, hal ini dikarenakan sudah dititipkan oleh nazir atau pemberi wakaf yang bersangkutan. Dalam hal ini tanah wakaf adalah milik ummat, sehingga tidak ada penjual belian disana.

5. Tanah yang Berasal dari Proses Riba atau Proses Haram

Sebelum melakukan proses jual beli tanah, hendaknya memahami terlebih dahulu apakah tanah tersebut terdapat uang riba atau uang yang haram. Karena riba adalah larangan Allah dan tentu akan dilaknat Allah jika dilakukan oleh manusia. Untuk itu, perlu memeriksa adakah riba disana dan apakah proses tanah tersebut didapatkan dengan jalan yang halal.

6. Kelengkapan Dokumen dan Tata Aturan Hukum dalam Negara Dokumen adalah alat hukum yang sangat penting.Untuk itu dalam proses jual beli tanah hendaknya ada dokumen terkait bagaimana tanah itu dijual, dibeli, statusnya, harga, luas tanahnya, serta kepemilikannya. Untuk itu, ada sertifikat tanah yang berarti sang pemilik sertifikat berhak dan boleh mendayagunakan tanahnya selagi masih dalam ukuran hukum yang berlaku.62

62Hukum Jual Beli Tanah Menurut Islam, Http : // DalamIslam. Com / Diakses 21 September 2018 Pukul 16:16

B. Kedudukan Obyek Hibah Dalam Pandangan Ilmu fiqih

Islam adalah Agama yang diridhoi oleh Allah SWT dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta melalui Nabi Muhammad SAW.Semasa hidup, beliau selalu berbuat baik dengan amalan sholeh seperti zakat, pemberian hadiah, hibah dan lain sebagainya. Zakat adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan karena bagian dari rukun Islam, demikian pula shodaqoh karena islam menganjurkan untuk bershodaqoh dengan tujuan menolong saudara muslim yang sedang kesusahan dan untuk mendapat ridho Allah SWT.63

Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki dan Pemberian tersebut secara Cuma-Cuma tanpa mengharapkan Imbalan”.

Pemberian hibah seseorang atas harta milik biasanya terhadap penyerahan, maksudnya adalah usaha penyerahan sesuatu kepada orang lain dan usaha-usaha dibatasi oleh sifat yang menjelaskan hakekat hibah itu sendiri.Di dalam Al–Qur’an maupun Hadist, dapat ditemui ayat sabda Nabi yang secara langsung memerintahkan untuk berhibah. Namun dari ayat-ayat dari Hadist di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka menolong sesama,

63Hukum Hibah, Http: //Blogspot. Com/ Diakses 25 September 2018 Pukul 11:38

melakukan infaq, sedekah dan pemberianpemberian lain termasuk hibah.Semua barang yang tidak diperjualkan, maka tidak boleh dihibahkan, seperti barang-barang yang haram dan najis juga barang yang belum diketahui asal-usulnya.64

Mencabut HibahPenarikan kembali atas hibah adalah merupakan perbuatan yang diharamkan meskipun hibah itu terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami isteri.Adapun hibah yang boleh ditarik hanyalah hibah yang dilakukan atau diberikan orang tua kepada anak-anaknya.

Dalam Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam (KHI), hibah ini ialah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan pari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. pengertian ini sama dengan definisi yang banyak disebut dalam kitab-kilab fikih tradisional bahwa yang dimaksud dengan hibah adalah sesuatu melalui akad tanpa mengharapkan imbalan yang diketahui dengan jelas ketika si pemberi hibah masih hidup.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kerelaan dalam melakukan perbuatan hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain merupakan unsur yang harus ada dalam pelaksanaan hibah. Jadi asasnya ialah sukarel.

Akan tetapi, hibah atas benda-benda bergerak yang berwujud atau surat piutang yang akan dibayar atas tunduk, tidak

64Hibah Menurut Hukum Islam, Http:// Blogspot. Com/ Diakses 25 September 2018 Pukul 11:58

memerlukan akta notaris dan adalah sah bila pemberian tersebut diserahkan begitu saja kepada penerima hibah atau kepada orang lain yang menerima hibah itu untuk diteruskan kepada penerima hibah seperti yang terdapat dalam Pasal 1687 KUHPerdata. Perlu diketahui bahwa ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hibah menjadi batal, yaitu antara lain:

1. Hibah yang mengenai benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari.

2. Hibah dengan mana si penghibah memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda yang termasuk dalam hibah, dianggap batal.

Yang batal hanya terkait dengan benda tersebut.

3. Hibah yang membuat syarat bahwa penerima hibah akan melunasi utang atau beban-beban lain di samping apa yang dinyatakan dalam akta hibah itu sendiri atau dalam daftar dilampirkan.

4. Hibah atas benda tidak bergerak menjadi batal jika tidak dilakukan dengan akta notaris.

Dalam Perkara ini, si pemberi hibah memberikan hibah kepada penerima hibah yang juga merupakan ahli warisnya di hadapan PPAT pada tanggal 14 Mei 2008 mencakup seluruh harta dan melebihi 1/3 harta peninggalan pemberi hibah yang dihibahkan kepada masing-masing anak I yaitu : Tergugat VI, VII,VIII dan IX

serta alm. Andi Pajung; Hibah merupakan kehendak bebas si pemilik harta untuk menghibahkan kepada siapa saja yang ia kehendaki. Jadi, pemberi hibah bertindak secara aktif menyerahkan kepemilikan hartanya kepada penerima hibah. Namun kebebasan selalu dibatasi dengan hak pihak lain. Di dalam harta pemberi hibah, terdapat hak ahli waris yang lain. Dalam hukum kewarisan Islam, pemberian hibah untuk orang lain juga dibatasi maksimum hanya sebesar 1/3 harta. Jadi, jika memang hibah melanggar hal tersebut, maka dapat menggugat pemberian hibah.Namun jika tidak mempermasalahkan, maka hibah tetap bisa dilaksanakan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 210 menyatakan bahwa; Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendannya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Untuk mencegah terjadinya tuntutan di kemudian hari, dalam praktikselalu disyaratkan adalah surat persetujuan dari anak kandung pemberi hibah.Dengan demikian, pemberian hibah harus memperhatikan persetujuan dari para ahli waris dan jangan melanggar hak mutlak mereka.Hak mutlak adalah bagian warisan yang telah di tetapkan oleh undang-undang untuk masing-masing ahli waris.

Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat pendapatnya, bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahliwaris.

Tetapi Imam Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian mahdzab Hanafi mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan.Mereka menganggap orang yang bebuat demikian itu sebagai orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya. Dalam hal ini dapat di bedakan dalam 2 hal yaitu:1) jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum mayoritas pakar hukum islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi 2) jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan Ahlul Zahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha' amsar menyatakan makruh.

Sehubungan dengan tindakan rasulullah SAW. Terhadap kasus Nu'man Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua terhadap anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadist lain yang redaksinya berbeda menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih banyak dari yang lain.

Dalam kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai hibah yang diberikan pada saat si pemberi hibah dalam keadaa

sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.

Dalam perkara ini, diduga si pemberi hibah memberikan hibah yang melebihi dari 1/3 dari harta yang dimilikinya tanpa izin dari ahli waris lainnya, sehingga ahli waris yang tidak mendapatkan hibah ini menuntut hibah tersebut. Namun para ahli waris ini menuntut hal tersebut setelah si pemberi hibah meninggal dunia dan beberapa objek hibah berupa tanah yang dihibahkan telah diperjualbelikan oleh si penghibah sendiri sebelum meninggal dunia dan sebagian objek hibah berupa tanah yang lain dijual oleh ahli waris yang menerima hibah. Jadi hal tersebut wajar dilakukan oleh ahli waris pemberi hibah karena tidak sesuai dengan pasal 213 KHI.

Selanjutnya, sebelum meninggal dunia si pemberi hibah menarik kembali hibah berupa tanah yang diberikan kepada ahli warisnya, hal tersebut di duga karena si penghibah pada saat itu sedang sakit dan membutuhkan uang. Penarikan hibah ini ditandai dengan adanya peralihan hak dengan cara jual-beli di atas tanah obyek sengketa II dan III artinya selain dengan cara hibah yang dilakukan oleh pemberi hibah kepada ahli warisnya, lalu kemudian si pemberi hibah melakukan lagi peralihan hak dengan cara jual beli kepada para Tergugat X s/d XXXII di atas tanah obyek sengketa II dan sudah memiliki SHM (Sertifikat Hak Milik).

Secara tidak langsung si pemberi Hibah memenuhi pasal 1668 KUHPerdata

KUHPerdata yang menyatakan bahwa: Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda yang termasuk dalam hibah; hibah yang semacam itu, sekadar mengenai benda tersebut, dianggap sebagai batal.

Maka dari itu peristiwa hibah yang dilakukan sebelumnya oleh si pemberi hibah terhadap objek tersebut dinyatakatn batal demi hukum.Batal demi hukum merupakan sanksi perdata terhadap suatu perbuatan hukum yang mengandung cacat yuridis, berupa perbuatan hukumnya tidak mempunyaiakibat hukum semenjak terjadinya perbuatan hukum tersebut atau berdaya surutatau perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku semenjak aktaditandatangani. Sehingga jual beli atas tanah hibah tersebut yang dilakukan oleh si pemberi hibah tidak terikat dengan perbuatan hibah yang sebelumnya dilakukan, lagi pula menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah penarikanhibah dapat dilakukan dengan syarat si penerima hibah menyetujuinya, dan dalam perkara ini penerima hibah atau ahli waris dari pemberi hibah (tergugat) menyatakan tidak keberatan atas penarikan hibah yang dilakukan oleh si pemberi hibah. Jadi jual beli yang dilakukan oleh si pemberi hibah kepada pihak lain sah karena telah terpenuhi

Dokumen terkait