• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. METODE PENELITIAN

6. Analisis

a. Nilai pH (Apriyantono et al., 1989)

Contoh sebanyak 25 g diencerkan dengan 225 ml aquades kemudian diaduk hingga homogen. Pengukuran pH dilakukan menggunakan alat pHmeter Beckmann.

b. Kadar Natrium benzoat (Apriyantono et al., 1989)

Natrium benzoat dianalisis secara kuantitatif. Prinsip analisis adalah menghitung ppm natrium benzoat dari hasil titrasi NaOH standar terhadap

5 % air, 6% NaCl (b/b)

Cabe merah giling Cabe merah segar

Natrium benzoat 0, 500, 1000 ppm

residu asam benzoat yang diekstrak dari larutan natrium benzoat yang diasamkan dengan HCl berlebih.

1) Persiapan sampel

25 g sampel ditempatkan ke dalam gelas piala 250 ml dan ditambahkan 4 g NaCl. Gelas piala dibilas dengan larutan NaCl jenuh (26% b/v) dan ditambahkan NaOH 10% hingga pH menjadi alkali (diukur dengan pHmeter menunjukkan nilai pH ±8.0). Kemudian ditempatkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan larutan NaCl jenuh. Kemudian dibiarkan semalaman dalam shaker suhu ruang. Larutan disaring dengan kertas Whatmann No.4.

2) Penetapan sampel

Filtrat contoh dipipet sebanyak 50 ml dan ditempatkan dalam labu pemisah. Kemudian dinetralkan dengan penambahan HCl (diukur dengan pHmeter menunjukkan nilai pH ±7.0), kemudian ditambahkan 2.5 ml HCl. Larutan yang telah dinetralkan diekstrak menggunakan klorofom beberapa kali dengan volume kloroform 30, 30, dan 25 ml. Lapisan klorofom yang terbentuk dipisahkan dari emulsi. Kemudian ekstrak kloroform diuapkan dalam waterbath hingga kloroform menguap dan diperoleh residu asam benzoat. Residu asam benzoat dilarutkan dalam 50 ml alkohol, ditambahkan 15 ml aquades dan 1-2 tetes fenolftalin kemudian dititrasi dengan NaOH 0.05 N.

Kadar natrium benzoat (ppm Na-benzoat anhidrat) dihitung dengan rumus = Vtiter x N NaOH x BM Na-benzoat x V1x 106

V2 x berat sampel (gram) Keterangan:

Vtiter = Volume NaOH titran yang digunakan (liter) N NaOH = Normalitas NaOH yang digunakan (0.05 N) BM Na-benzoat = Bobot Molekul natrium benzoat (144) V1 = Volume larutan persiapan sampel (ml) 106 = Faktor konversi bilangan ppm

c. Kadar Air (Harjadi, 1993)

Cawan dikeringkan pada oven suhu 195 0C selama 30 menit. Kemudian ditimbang setelah sebelumnya didinginkan dalam desikator terlebih dahulu. Sebanyak tiga gram contoh dimasukkan kedalam cawan, kemudian dikeringkan pada oven suhu 105 0C selama tiga jam. Contoh didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Contoh dikeringkan kembali selama 15-30 menit, lalu contoh ditimbang kembali hingga diperoleh berat relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang 0.0003 g). Kadar air dihitung sebagai persentase kehilangan berat contoh.

d. Kadar NaCl (Apriyantono et al., 1989)

Kadar NaCl dianalisis dengan metode Mohr. Metode ini dilakukan dengan mentitrasi sampel kering hasil pengabuan dengan titran perak nitrat (AgNO3).

Cawan dikeringkan pada suhu 550 0C selama 15 menit. Kemudian didinginkan dalam desikator. Sampel ditimbang dan dimasukkan kedalam cawan, kemudian dikeringkan pada suhu 550 0C selama enam jam atau hingga diperoleh abu putih. Contoh didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang hingga diperoleh berat yang tetap.

Abu ditempatkan dalam cawan dan dibilas dengan 10-15 ml aquades. Kemudian larutan abu tersebut dipindahkan kedalam erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan 1 ml larutan K2CrO4 5%. Titrasi dengan larutan AgNO3 0.1 M hingga larutan sampel berwarna oranye merah.

Kadar NaCl (%b/b) dihitung dengan rumus = M AgNO3 x V AgNO3 x BM NaCl x 100%

berat sampel (gram) Keterangan:

M AgNO3 = Molaritas AgNO3 yang digunakan (0.1 M)

BM NaCl = Bobot Molekul NaCl (58.4)

e. Zat pewarna Rhodamin B (Metode Analisis 16/MM/00 PPOMN-BPOM) Prinsip analisis dengan metode ini adalah ekstraksi zat warna Rhodamin B dalam sampel. Ekstrak diidentifikasi dengan membandingkan profil kurva serapan maksimum sampel dengan kurva serapan maksimum larutan standar Rhodamin B.

1) Persiapan larutan standar Rhodamin B

0.01 gram Rhodamin B (BM= 479) dilarutkan dalam 100 ml HCl 0.1 N sehingga diperoleh larutan standar Rhodamin B 2.09 x 104 M (±200 ppm Molaritas). Larutan ini diencerkan hingga 5 ppm agar tidak terlalu pekat sehingga serapan larutan dapat terbaca alat spektrofotometer. 2) Penentuan sampel

20 gram sampel dilarutkan dalam 50 ml larutan NH4OH 2% dalam etanol, didiamkan kemudian disaring. Cairan diuapkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh filtrat. Filtrat dilarutkan dalam aquades 30 ml, ditambahkan NaOH 10%, dan diekstraksi menggunakan eter 30 ml. Ekstrak eter dicuci dengan 20 ml NaOH 5% dan dilakukan pengekstrakan menggunakan eter 30 ml sekali lagi. Kemudian ekstrak dicuci dengan 20 ml HCl 0.1 N hingga lapisan asam berwarna merah.

3) Pengukuran spektrofotometri

Lapisan berwarna merah diukur absorbansinya untuk memperoleh kurva serapan maksimumnya dengan alat spektrofotometer HITACHI UV 2010 pada setiap panjang gelombang (scanning) dengan interval 450-600 nm, sehingga diketahui daerah spektrum yang diserap. Profil serapan maksimum sampel dibandingkan dengan profil serapan maksimum larutan standar Rhodamin B. Sampel positif mengandung Rhodamin B jika profil serapan maksimum sampel sama dengan profil serapan larutan standar Rhodamin B.

Contoh sebanyak 25 g diencerkan dengan 225 pelarut garam fisiologis (NaCl 0.85%) kemudian dilakukan pengenceran menjadi beberapa seri pengenceran. Hasil pengenceran contoh dipipet satu ml dan dipupuk dengan media sebanyak ±10 ml. Untuk uji bakteri pembentuk spora, sampel dari pengenceran 10-1 dipanaskan dalam penangas air pada suhu 80 0C selama 15 menit.

Setelah dibuat seri pengenceran yang sesuai, dilakukan pemupukan dengan media Plate Count Agar (untuk uji total mikroba dan uji bakteri pembentuk spora), media Vogel Johnson Agar (untuk uji Staphylococcus aureus), dan media Acidified Potato Dextrose Agar (untuk uji total kapang dan kamir). Kemudian cawan diputar membentuk angka delapan. Diamkan hingga agar membeku kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 2 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung berdasarkan Standard Plate Count. Untuk analisis koliform dan E. coli analisis terdiri dari uji penduga, penguat dan pelengkap.

1) Uji penduga

Untuk uji penduga, sampel dari pengenceran 10-1 dibuat menjadi pengenceran 10-2, 10-3, dan 10-4 kemudian dipupuk menggunakan media Brilliant Green Lactose Bile Broth dalam tabung reaksi yang berisi tabung durham. Selanjutnya media tersebut diinkubasi pada suhu 37 0C selama 2 hari. Jumlah tabung positif (keruh atau terbentuk gas didalamnya) selanjutnya dicocokkan dengan tabel MPN 3 seri.

2) Uji penguat

Tabung positif pada uji penduga dipilih dan diambil 1-2 ose kemudian digoreskan pada media Eosin Methylene Blue (EMB) dalam cawan petri. Selanjutnya cawan diinkubasikan pada suhu 37 0C selama 2 hari. Koloni koliform fekal (E. coli) berwarna gelap dengan sinar hijau metalik (keemasan) berdiameter 0.5-1.5 mm, sedangkan koloni koliform non-fekal memiliki diameter lebih besar (1.0-3.0 mm) dan berwarna merah muda dan bagian tengahnya gelap (seperti mata ikan).

Uji pelengkap dilakukan dengan uji IMViC untuk mengetahui jenis koliform dalam sampel. Koloni fekal dan non-fekal disuspensikan kedalam 2 ml larutan pengencer. Selanjutnya 0.5 ml suspensi bakteri tersebut diinokulasikan ke dalam tabung masing-masing berisi media Tryptone Broth, media Kosser sitrat, dan medium MR-VP.

Tabel 5. Uji IMViC terhadap koliform

Uji Medium Pereaksi Reaksi Positif

Indol Trypthone Broth Kovacs Merah

Merah metil MR-VP Merah metil Merah

Voges Proskauer MR-VP 5% alfa naftol dan 40% KOH

Merah tua

Sitrat Koser Sitrat Keruh

Semua tabung diinkubasi pada suhu 37 0C selama 2 hari kecuali satu tabung MR-VP diinkubasi selama 5 hari. Selanjutnya dilakukan uji IMViC dengan menambahkan pereaksi seperti yang tertera pada Tabel 5. Sedangkan untuk uji jenis koliform dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Uji jenis koliform

Jenis koliform Koliform

E. coli (Fekal) E.aerogenes (Nonfekal)

Indol + -

Merah metil + -

Voges Proskauer - +

SMU 50% SD 25% SMP 10% Tidak Tamat SD 15%

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KONDISI UMUM PEDAGANG CABE GILING DI KOTA BOGOR 1. Profil dan Skala Usaha Pedagang Cabe Giling di Kota Bogor

Berdasarkan data hasil survei pada para pedagang cabe giling, pedagang cabe giling di kota Bogor didominasi pria (85%) dan sisanya (15%) berjenis kelamin wanita. Sebagian besar (50%) pedagang cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor memiliki pendidikan terakhir Sekolah Menengah Umum. Persentase tingkat pendidikan pedagang cabe giling dapat dilihat pada Gambar 3. Data hasil kuisoner selengkapnya disajikan pada Lampiran 3.

Gambar 3. Tingkat pendidikan pedagang cabe giling

Pengalaman pedagang cabe giling dalam menjalankan usahanya bervariasi. Sebanyak 40% pedagang baru berjualan cabe giling kurang dari 5 tahun (Gambar 4). Pedagang umumnya berjualan mulai dari pagi atau dinihari hingga sore. Namun adapula yang berjualan mulai dari dinihari hingga malam hari, bahkan ada pedagang cabe giling yang berjualan 24 jam. Pedagang yang berjualan 24 jam berlokasi di Pasar Bogor dan Pasar Anyar karena kedua pasar tergolong pasar yang cukup besar dan banyak pedagang grosir sehingga roda perekonomian berjalan sehari semalam tanpa henti.

> 10 tahun 25% 5-10 tahun 35% < 5 tahun 40%

Gambar 4. Jangka waktu menekuni usaha berjualan cabe giling

Volume cabe giling yang dijual pedagang perhari cukup variatif. Sebanyak 60% pedagang menjual cabe giling lebih dari 10 kg per hari, sedangkan 35% pedagang menjual cabe giling 5-10 kg per hari, dan 5% pedagang menjual cabe giling kurang dari 5 kg per hari. Hal ini menunjukkan konsumsi cabe giling di kota Bogor cukup banyak, bisa mencapai lebih dari 275 kg per hari atau lebih dari 2 kwintal per hari. Hal ini membuktikan cabe giling merupakan salah satu komoditi yang banyak digunakan sebagai bahan berbagai jenis bumbu masakan disamping konsumsi cabe segar.

Harga cabe giling yang dijual di pasar tradisional di kota Bogor berfluktuatif mengikuti harga cabe utuh. Harga cabe giling yang beredar di pasar tradisional di kota Bogor berkisar lebih dari Rp 20.000 per kg (35%), Rp 15.000-Rp 20.000 per kg (60%), dan Rp 15.000 per kg (5%). Perbedaan harga dapat disebabkan karena perbedaan varietas cabe yang mereka gunakan, dan dapat pula menjadi indikator baik tidaknya mutu bahan baku yang mereka pergunakan. Dengan biaya bahan baku yang lebih rendah, dapat menekan harga jual cabe giling. Dengan melihat harga jual cabe giling per kg maka dapat diperkirakan omset penjualan cabe giling di kota Bogor minimal mencapai Rp 4.125.000 per hari. Hal ini menunjukkan cabe giling merupakan salah satu komoditi sehari-hari yang cukup berkontribusi dalam perekonomian masyarakat kota Bogor.

2.Produksi Cabe Giling

Pedagang cabe giling di kota Bogor memproduksi sendiri cabe giling yang mereka jual. Berdasarkan hasil survei, cabe giling yang dijual di pasar tradisional di kota Bogor berbahan baku utama cabe merah yang diolah dengan penambahan air dan garam (Tabel 7).

Tabel 7. Bahan baku yang digunakan pedagang cabe giling

Seluruh pedagang (100%) selain menggunakan cabe merah juga menggunakan bahan baku garam. Garam yang digunakan umumnya garam kasar, karena alasan lebih ekonomis dibanding garam halus (garam meja). Menurut Nasoetion dan Karyadi (1988), garam kasar dibuat tanpa proses pemurnian (refining) yang baik dan umumnya dilakukan secara sederhana sehingga seringkali terdapat kontaminasi fisik seperti pasir, kotoran plastik, dan bebatuan kecil. Hal ini dapat berdampak pada cabe giling yang dibuat karena bahan baku yang baik dapat menghasilkan produk yang baik. Tujuan utama pedagang menambahkan garam untuk memperlambat kerusakan cabe giling yang mereka jual namun tidak memberi rasa yang terlalu asin. Meski demikian para pedagang umumnya tidak mengetahui secara pasti berapa banyak (g/kg) jumlah garam yang mereka tambahkan. Hal ini disebabkan ketidakbakuan satuan pengukuran yang mereka gunakan. Mereka umumnya menambahkan garam dalam takaran sendok makan bahkan tak jarang beberapa dari mereka menambahkan garam dengan tangan. Lain halnya dengan 30% pedagang yang mengetahui penambahan garam yang mereka lakukan karena mereka menggunakan garam dalam kemasan ukuran tertentu sehingga ukuran penambahan garam dapat dinyatakan dalam jumlah yang jelas. Mereka mengaku penambahan berkisar berkisar 5-100 g/kg cabe (0.5-10%).

Garam dapur Air Pengawet Pewarna Lainnya

Bahan baku

selain cabe Respon responden

Sebanyak 60% pedagang menambahkan air pada cabe giling yang mereka jual. Alasan mereka menambahkan air adalah untuk mempermudah proses penggilingan dan memperoleh cabe giling yang tidak terlalu bulky, diperoleh rendemen lebih banyak dan menguntungkan mereka. Dari 60% jumlah pedagang yang menambahkan air tesebut sekitar 33.3% menambahkan air dengan takaran tertentu, yakni berkisar 30-50 ml/kg cabe yang digiling. Sedangkan sisanya (40%) pedagang tidak menambahkan air pada cabe gilingnya karena merasa cabe sudah cukup berair saat penggilingan dan mereka justru beranggapan penambahan air akan menghasilkan cabe giling yang encer.

Berdasarkan wawancara dan pengamatan, air yang digunakan untuk campuran maupun mencuci berasal dari PDAM. Berdasarkan pengamatan hampir seluruh pedagang memiliki mesin penggiling di kios mereka, sehingga penggilingan cabe giling dilakukan di pasar dan menggunakan air yang tersedia dari pengelola pasar, kecuali pedagang di Pasar Sukasari menggiling cabe gilingnya ditempat penggilingan karena tidak memiliki mesin penggilingan sendiri.

Pedagang cabe giling (90%) menjual cabe gilingnya dengan cara dicurah dalam wadah dan baru ditempatkan di kantung plastik saat konsumen membeli. Wadah tempat cabe giling tersebut biasanya terbuat dari plastik seperti stoples atau bak plastik tanpa ditutup. Hal ini dapat memberi peluang besar terjadi kontaminasi baik kontaminasi fisik seperti debu, maupun kontaminasi biologi seperti bakteri, kapang, kamir, serta parasit. Terlebih lagi melihat kondisi lokasi pasar tradisional yang becek dan lembab, penetrasi sinar matahari kurang serta ventilasi udara yang kurang baik dapat memperbesar peluang kontaminasi terjadi. Sedangkan 10% pedagang lainnya menjual cabe giling sudah dalam kemasan kantung plastik berbagai ukuran. Hal ini disebabkan karena mereka sudah memiliki pelanggan tetap dan pembelian berdasarkan pesanan.

Cabe giling di pasar tradisional (75%) seringkali tidak habis terjual dalam satu hari, dan hanya 25% cabe giling yang habis terjual tiap harinya. Pedagang tersebut umumnya (80%) menyimpan sisa cabe giling yang tersisa

di kios mereka hanya dalam wadah tertutup tanpa diberi es (Gambar 5). Umumnya wadah yang digunakan para pedagang untuk menyimpan cabe giling yang tersisa adalah ember plastik atau stoples bertutup. Meski penempatan cabe giling dalam wadah tertutup dapat mengurangi kontaminasi debu, mikroba, serta parasit selama penyimpanan, namun kondisi suhu ruang dan tanpa diberi es tidak dapat menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk selama penyimpanan, sehingga cara ini kurang efektif menghambat kerusakan. Menurut Gaman dan Sherrington (1981), penyimpanan pangan pada suhu rendah dapat mengendalikan pertumbuhan mikroba. Kendala pedagang tidak melakukan penyimpanan suhu rendah dikarenakan para pedagang tidak memiliki lemari es di kios mereka. Alternatif yang dapat diupayakan adalah sebaiknya pedagang menyimpan cabe giling tersebut di dalam kantung plastik dan dimasukkan kedalam wadah yang berisi es, sehingga dapat memperlambat kerusakan cabe giling.

Gambar 5. Cara penyimpanan cabe giling yang tidak habis terjual

Sebanyak 15% pedagang membawa cabe giling sisa ke rumahnya untuk disimpan dalam lemari es. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga mutu cabe giling agar tidak mudah rusak. Tindakan ini sudah tepat dilakukan pedagang karena proses pendinginan dapat memperlambat reaksi-reaksi dalam bahan pangan, begitu pula dengan proses perkembangbiakan mikroba menjadi terhambat. Hampir semua lemari es dioperasikan pada suhu 1-5 0C dan dapat dipakai sebagai tempat penyimpanan jangka pendek (Gaman dan Sherrington, 1981). Sedangkan 5% pedagang membiarkan cabe giling yang

tersisa dalam wadah yang digunakan sebagai tempat menyajikannya tanpa ditutup dan tanpa diberi es (Gambar 5). Penyimpanan di tempat terbuka ini dapat menyebabkan cabe giling mudah terkontaminasi dan menjadi lebih cepat rusak.

Cabe giling yang tersisa biasanya disimpan untuk dijual esok harinya. Tindakan ini dilakukan para pedagang untuk menghindari kerugian dibandingkan jika mereka harus membuang cabe giling setiap kali tidak terjual habis dalam satu hari. Sebanyak 35% pedagang menjual cabe giling sisa tersebut dengan cara mencampurkannya dengan cabe giling yang baru dan segar. Rasio antara campuran cabe giling baru dan cabe giling sisa relatif tidak dapat dipastikan setiap harinya karena tergantung cabe giling yang tersisa dan kapasitas wadah tempat menjual cabe giling tersebut. Rasio pencampuran bisa mencapai 1:1 jika masih banyak cabe giling yang tersisa dan memenuhi setengah bagian wadah dan untuk memenuhi wadah tersebut berarti penambahan cabe giling baru pun setengah dari wadah tersebut. Sedangkan 65% pedagang menjual sisa cabe giling tersebut tanpa dicampur dengan cabe giling yang baru dan segar, mereka baru akan memproduksi kembali cabe giling jika cabe giling sisa sudah habis terjual. Sebaiknya pedagang tidak mencampur antara cabe giling sisa dan cabe giling yang baru untuk dijual kembali karena hal ini dapat menurunkan mutu cabe giling yang baru secara keseluruhan.

Cabe giling yang beredar di pasar tradisional di kota Bogor menurut pedagang dapat bertahan 2 hingga lebih dari 8 hari. Umumnya (70%) cabe giling dapat bertahan hingga 2 hari, dan hanya 15% cabe giling yang dapat bertahan lebih dari 8 hari (Gambar 6). Meski demikian para pedagang ini sangat jarang menyimpan dan menjual cabe giling tersebut hingga lebih dari 3 hari karena mereka khawatir mengalami kerugian. Mereka akan mengurangi produksi jika merasa masih memiliki banyak stok cabe giling. Mereka membuat cabe giling sesuai kondisi pasar. Mereka menyediakan cabe giling secukupnya dan baru akan menambah kuantitas produksi mereka jika persediaan yang di display sudah sedikit atau habis sama sekali.

Gambar 6. Daya tahan cabe giling versi pedagang

Perbedaan daya tahan cabe giling di pasar dapat dipengaruhi beberapa faktor diantaranya cara penanganan bahan baku, proses pengolahan, penyimpanan, dan pemasaran yang dilakukan masing-masing pedagang. Kandungan nutrisi pada cabe serta kondisi pasar tradisional yang kondusif terhadap kontaminasi dapat menjadi faktor penyebab kerusakan cabe giling sehingga cabe giling tidak dapat bertahan lama. Penanganan bahan baku dan proses pengolahan yang dilakukan dengan baik dapat mengurangi jumlah mikroba awal pada cabe giling sehingga dapat memperpanjang daya tahan cabe giling. Penelitian Lubis (2000) menunjukkan cabe giling yang dibuat dengan pemanasan microwave selama dua menit dan autoclave serta penambahan natrium benzoat 0.05, 0.75, dan 0.1% dapat bertahan hingga 35 hari.

3. Upaya Pedagang Untuk Menjamin Keamanan Cabe Giling

Berdasarkan tingkat pendidikan (Gambar 1), sebagian besar pedagang diperkirakan sudah mengerti pentingnya menjaga kebersihan. Hal ini diperkuat dengan pengakuan para pedagang dalam kuisioner mengenai upaya menjaga kebersihan cabe giling yang mereka jual.

Usaha para pedagang dalam menjaga kebersihan cabe giling antara lain dengan menggunakan bahan baku yang segar dan bersih, mencuci tangan, membersihkan kios/tempat mereka berjualan, membersihkan alat seperti mesin penggiling cabe, sendok, wadah penampung dan bahan utama

2 hari 70% 8 hari 5% > 8 hari 15% 4 hari 10%

Sebelum berjualan 85% Bila terlihat kotor 10% Sesudah berjualan 5%

yaitu cabe yang akan digiling. Meski demikian, upaya-upaya pembersihan yang mereka lakukan masih kurang tepat karena belum memenuhi cara sanitasi yang benar.

Menurut Winarno (1993), semua peralatan yang mempunyai peluang bersentuhan dengan bahan pangan harus selalu dijaga dalam keadaan bersih. Peralatan-peralatan seperti bejana, pisau, penggilingan, pengaduk, talenan, panci dan piring perlu digosok, dicuci dengan detergen dan air hangat kemudian dibilas dengan air bersih, sedangkan para pedagang hanya menggunakan air tanpa sabun untuk membersihkan alat karena mereka beranggapan residu sabun akan meninggalkan aroma sabun pada cabe giling mereka, selain itu dapat membuat alat cepat berkarat. Begitu pula saat

mereka mencuci tangan, mereka melakukannya tanpa sabun. Gambar 7 menunjukkan sebagian besar (85%) pedagang sudah

membersihkan alat dan bahan sebelum berjualan.

Gambar 7. Waktu pedagang membersihkan alat dan bahan

Umumnya (80%) pedagang membersihkan alat seperti sendok, pengaduk, wadah bak plastik dan bahan dengan air tergenang yang ditempatkan dalam wadah seperti bak plastik atau ember, kecuali mesin penggiling dibersihkan dengan cara menyiramnya dengan air yang dialirkan dari kran melalui selang-selang yang tersedia, sisanya (20%) membersihkan alat dan bahan dengan langsung mengalirkan air dari selang tersebut atau menyiramkan air dengan gayung ke alat dan bahan yang akan dicuci. Tindakan pedagang yang mencuci dengan air tergenang dapat dikatakan kurang tepat, karena air yang tergenang ini dapat menjadi sumber

kontaminasi bagi peralatan. Penanganan air pencuci yang baik sangat diperlukan karena itu sebaiknya pedagang menggunakan air yang dialirkan langsung dari kran atau dialirkan (disiram) menggunakan gayung dan menggunakan sabun untuk mencuci peralatan, atau jika tetap menggunakan air tergenang maka sebaiknya air pencuci sering diganti untuk mengurangi peluang terjadinya kontaminasi. Frekuensi penggunaan air tersebut harus dibatasi hanya untuk sekali penggunaan saja dan jumlah air harus menggenangi seluruh bagian bahan atau alat yang dicuci.

4.Upaya Pengelola Pasar Dalam Memantau Keadaan Pasar

Selama ini pihak pengelola pasar dianggap kurang memberi perhatian berupa pemantauan keadaan atau kondisi pasar dan para pedagang. Sebanyak 45% pedagang merasa tidak ada perhatian pengelola pasar untuk memantau keadaan pasar, sebaliknya 40% pedagang merasa pihak pengelola pasar sudah rutin memantau dan memperhatikan keadaan pasar. Respon pedagang terhadap perhatian pihak pengelola pasar dapat dilihat pada Gambar 8. Perhatian pihak pengelola pasar hanya sebatas ajakan dan himbauan menjaga kebersihan pasar. Namun tidak mengontrol pelaksanaan kebersihan pasar.

Rendahnya perhatian pengelola pasar terhadap kondisi sarana dan prasarana di pasar tercermin dari kondisi pasar yang becek, gelap dan lembab. Kondisi pasar yang kurang mendapat perhatian pengelola pasar juga tercermin dari konstruksi kios yang buruk seperti lantai yang kotor dan tak bersemen, kurangnya ventilasi udara dan penetrasi sinar matahari, dan lubang-lubang pada atap dan meja pada bangunan kios-kios di pasar, pembuangan sampah sembarangan, dan selokan yang tersumbat. Hal ini seharusnya membuat pihak pengelola lebih peduli dan membenahi

Dalam dokumen Studi Keamanan Cabe Giling di kota Bogor (Halaman 28-115)

Dokumen terkait