• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upacara subat merupakan sebuah upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Amarasi sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang sudah meninggal. Dengan kata lain upacara ini dapat dikategorikan sebagai upacara kematian. Hertz, mendefiniskan upacara kematian sebagai upacara yang dilaksanakan manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial dari masyarakat yang berwujud gagasan kolektif.55 Dengan demikan upacara subat dapat dikatakan sebagai sebuah masalah sosial yang muncul dalam kerangka kebudayaan.

Sebagai sebuah masalah sosial subat bukan hanya melibatkan keluarga melainkan masyarakat sekitar. Dalam hal ini pemerintah, masyarakat adat, dan gereja sebagai pranata sosial dalam masyarakat. Berdasarkan sumber data yang ditemukan di atas bahwa ketiga elemen sosial di atas memiliki peranan penting dalam keberlangsungan upacara subat. Berdasarkan pemahaman bahwa mates ii

22

prenat (kematian itu perintah) maka secara tidak langsung pemerintah sebagai

pemimpin tertinggi dalam masyarakat memiliki peranan sentral dalam keberlangsungan upacara subat. Selain pemerintah masyarakat adat juga tidak terlepas dari keberlangsungan upacara subat itu sendiri. Secara umum masyarakat memiliki peranan penting dalam proses persiapan sampai keberlangsungan upacara

subat, dengan sikap gotong royong dan berbela rasa yang ditunjukan oleh

masyarakat melalui segala sumbangsi baik itu tenaga, materi, dan dukungan moril bagi keluarga yang disebut sebagai roitan neu noup paran. Fungsi lainnya juga diperankan secara baik oleh Gereja sebagai sebuah pranatra sosial dimana gereja memberikan pendampingan serta penguatan secara spritual bagi keluarga yang mengalami kedukaan. Menurut pandangan Hertz peranan yang dimainkan oleh ketiga elemen ini dalam upacara subat merujuk pada sebuah upacara yang bernilai kemanusiaan, gotong royong, serta religius yang dirangkum dalam sebuah model kebudayaan asli milik masyarakat adat Amarasi.

Kebudayaan merupakan pandangan hidup bagi suatu masyarakat, kebudayaan mencakup pola perilaku, nilai-nilai serta simbol yang diyakini suatu golongan masyarakat serta diwariskan melalui proses komunikasi dari generasi kegenerasi berikutnya. Bagi masyarakat adat Amarasi, kebudayaan adalah suatu perilaku yang dilakukan secara turun-temurun dari nenek moyang mereka yang harus dipertahankan serta menjadi acuan dalam melaksanakan kehidupan. Salah satu bentuk kebudayaan yang masih dipertahankan adalah upacara subat. Masyarakat adat Amarasi percaya bahwa bentuk penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal harus dilaksanakan dengan sebuah upacara yang dinamakan sebagai upacara subat.

Beberapa teori yang mendukung untuk menganalisis lebih jelas tentang nilai sosial budaya upacara subat dalam masyarakat adat Amarasi agar hasil penelitian ini mampu memberikan pemahaman baru terhadap penulisan tugas akhir ini, antara lain :

Koentjaraningrat, yang memaparkan bahwa “kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan ‘hal-hal yang bersangkutan dengan

23

akal”.56 Jadi kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Kebudayaan adalah segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran, kemauan, dan perasaan manusia, dalam rangka kepribadiannya. Dapat dikatakan bahwa manusia yang melahirkan kebudayaan dan kebudayaan dilahirkan oleh manusia untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya agar kehidupannya dapat terarah.57

Alo Liliweri juga menegaskan bahwa “kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai dan simbo-simbol yang mereka terima tanpa sadar serta diwariskan melalui proses komunikasi dari satu generasi ke generasi berikutnya”.58 Lanjutnya, “Kebudayaan juga dipandang sebagai keseluruhan dalam pandangan hidup, termasuk perilaku yang diharapkan, keyakinan, nilai-nilai, behasa dan praktek hidup bersama oleh angota masyarakat”.59

Sebagai pandangan hidup masyarakat adat Amarasi kebudayaan tidak terlepas dari nilai-nilai yang dikandungnya. Nilai dalam kebudayaan dengan jelas diungkapkan oleh beberapa ahli berikut: Rokeach mendefinisikan “nilai sebagai salah satu unsur pembentukan orientasi budaya, nilai melibatkan konsep budaya yang menganggap sesuatu itu sebagai baik atau buruk, benar atau salah, adil atau tidak adil, cantik atau jelek, bersih atau kotor, berharga atau tidak berharga, cocok atau tidak, dan baik atau kejam”.60 Secara tidak langsung nilai-nilai yang terkandung dalam upacara subat memegang peranan penting untuk meninjau kembali penting atau tidaknya subat dipertahankan oleh masyarakat adat Amarasi. Jika dihubungkan dengan kebudayaan yang adalah kesepakatan bersama dalam suatu masyarakat maka nilai-nilai yang terkandung dalam upacara subat merupakan nilai sosial budaya. Elizabeth K. Nothingham mendefinisikan “nilai sosial sebagai nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Nilai sosial merupakan

rangkaian nilai-nilai yang diwariskan secara turun temurun dengan

mempertimbangkan situasi yang terjadi dalam masyarakat”.61 Definisi ini diperkuat oleh pandangan Hendropuspito yang “mendeskripsikan nilai sosial sebagai

56 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 181.

57 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 201.

58 Liliweri, Makna Budaya, 8.

59 Liliweri, Pengantar Studi, 11.

60 Liliweri, Pengantar Studi, 55.

24

penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang terbukti mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan hidup bersama”.62 Selain kedua tokoh tersebut Liliweri juga menekankan bahwa “nilai sosial budaya merupakan nilai yang berlaku dalam masyarakat pada umumnya, nilai ini dapat berubah seiring berjalanya waktu, sehingga seringkali nilai-nilai ini bisa sesuai atau tidak, bahkan saling bertentangan dengan nilai pribadi atau nilai yang sudah diajarkan keluarga secara turun temurun”.63 Berdasarkan pandangan-pandangan ini

nilai sosial budaya dapat dimaknai sebagai komunikasi antar personal dalam sebuah masyarakat. Upacara subat sendiri yang merupakan sebuah kesepakatan bersama dalam masyarakat juga tidak luput dari dayaguna fungsional dalam masyarakat serta perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Sebagai sebuah nilai yang dilahirkan oleh dayaguna fungsional upacara subat dipandang penting apabila upacara ini memiliki manfaat manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Berdasarkan pemaparan bagian 3 dalam tulisan ini. Subat memegang perananan penting dalam hal melahirkan sikap gotong royong, toleransi, dan penghormatan antara sesama masyarakat adat Amarasi. Sikap ini dimunculkan melalui berbagai prosesi serta tahapan yang dilaksanakan dalam upacara ini. Beberapa di antaranya adalah roitan neu noup paran, sofi, be’et, serta beberapa hal lainnya. Pada roitan neu noup paran masyarakat Amarasi menunjukan sikap gotong royong yang sangat tinggi dalam hal berpartisipasi mempersiapkan kelangsungan upacara subat. Sikap gotong royong ini dimunculkan melalui sikap seluruh warga yang berpartisipasi secara aktif di bawah koordinasi pemerintah setempat untuk mempersiapkan lokasi, konsumsi, serta kuburan untuk keberlangsungan upacara

subat. Sikap toleransi ini juga dimunculkan pada saat masyarakat melaksanakan be’et atau ba’at, saat setiap upacara subat berlangsung maka akan selalu disertai

dengan kegiatan ini. Kegiatan ba’at menjadi penting ketika seluruh masyarakat akan berkumpul bersama dalam tenda duka untuk menghibur keluarga yang berduka pada saat upacara ini berlangsung, meskipun tidak jarang kegiatan ini diisi dengan kegiatan perjudian, meski demikian kegiatan perjudian dalam kegiatan

ba’at/be’et ini bertujuan untuk menghibur para pelayat yang datang serta sebagai

62 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, 203.

25

salah satu sarana untuk meringankan keluarga duka dalam hal biaya-biaya yang harus dikeluarkan selama upacara ini berlangsung.

Selain nilai sosial budaya upacara subat ini berasal dari faktor ekstrinsik yaitu dayaguna fungsional upacara ini juga tidak terlepas dari faktor intrinsik itu sendiri. Hendropuspito menjelaskan bahwa “faktor intrinsik dalam nilai sosial budaya

adalah harkat dan martabat manusia itu sendiri”.64 Manusia sebagai makhluk yang

memiliki harkat dan martabat yang tinggi sudah sepatutnya dihargai dan dihormati oleh sesama manusia lainnya. Dalam hal ini praktek pelaksanaan upacara subat sebagai salah satu cara memperlakukan orang mati dengan baik adalah perwujudan dari penghormatan terhadap manusia itu sendiri. Selain dalam praktek memperlakukan orang mati, dalam subat sendiri terdapat beberapa bentuk penghargaan terhadap jenazah yang sudah meninggal sebagai seorang manusia yang berharkat dan bermartabat, seperti dalam hal penamaan jenazah dalam upacara ini, pemberian tanda cinta seperti sofi dan manekat, serta meratapi jenazah yang sudah meninggal dengan ratapan-ratapan yang menceritakan perjalanan hidup sang jenazah semasa ia masih hidup.

Penyebutan jenazah sebagai uismina tidak terlepas dari pemaknaan bahwa jenazah dianggap sebagai usif mina yang dalam bahasa Indonesia di artikan sebagai “tuan minyak”. Uismina dipakai karena bagi masyarakat Amarasi jenazah harus dijaga, diratapi, dan ditangisi sepanjang jenazah disemayamkan. Perlakuan ini tidak terlepas dari bentuk penghargaan kepada jenazah yang dipandang sebagai makhluk yang memiliki harkat dan martabat yang setara dalam masyarakat tanpa memandang status sosial yang dimiliki jenazah selama ia hidup.

Nilai-nilai yang terdapat dalam upacara subat ini merujuk pada betapa pentingnya upacara Subat bagi masyarakat Amarasi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan orang Amarasi sendri mengenai mates ii prenat (kematian itu perintah). Kematian dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam masyarakat karena bukan hanya berhubungan dengan perilaku sosial melainkan kepercayaan yang dianut oleh leluhur orang Amarasi. Sikap gotong royong dan penghargaan menjadi sesuatu yang penting ketika konsep kematian dikaitkan dengan kehidupan yang akan terjadi setelah kematian itu sendiri. Kepercayaan akan adanya dunia lain dengan status

26

sosial yang baru menjadi acuan utama akan cara memperlakukan jenazah dalam upacara subat.

KESIMPULAN

Sebagai sebuah kebudayaan yang merupakan pandangan hidup bersama suatu masyarakat, upacara kematian tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Salah satu nilai tercermin dalam upacara kematian adalah nilai sosial budaya. Nilai sosial budaya ini memiliki peranan penting dalam masyarakat karena selain memiliki daya guna fungsional nilai ini juga hadir karena adanya harkat dan martabat manusia itu sendiri. Seperti halnya yang terjadi dalam upacara subat, upacara kematian memainkan peranan penting dalam hal membangun nilai gotong royong serta penghargaan akan manusia sebagai makluk sosial yang memiliki harkat dan martabat. Upacara subat juga menuntun orang Amarasi pada kesetaraan akan status sosial yang ada dalam masyarakat yang dibingkai dalam sebuah tenda kedukaan.

Sebagai saran dalam tulisan ini penulis melihat bahwa masih banyak nilai-nilai yang dapat digali lebih jauh dari upacara-upacara kematian yang ada dalam berbagai suku bangsa di Indonesia. Subat menjadi salah satu contoh betapa berharganya sebuah upacara kematian dalam masyarakat adat khususnya yang ada di Indonesia. Dengan tulisan ini penulis menaruh harapan penuh agar kelestarian dari upacara subat dan upacara-upacara sejenis lainnya terus dipertahankan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Gereja sebagai pranata sosial dalam masyarakat tentunya harus mengambil peranan penting. Kontekstualisasi yang dilakukan gereja menjadi cara terbaik menurut penulis untuk menjaga kelestarian budaya ini. Usaha kontekstual ini dapat dilakukan dengan melihat nilai penghargaan serta nilai gotong royong yang terkandung dalam subat. Nilai penghargaan ini tidak terlepas dari pandangan Kekristenan yang tersirat dalam berbagai kisah Alkitab antara lain: ketika Yusuf Arimatea dan Nikodemus memperlakukan jenazah Yesus, sebagai bentuk penghargaan mereka kepada Yesus (Yohanes 19:38-42). Perlakuan ini merujuk pada penghargaan yang tetap diberikan kepada Yesus sebagai manusia walaupun Dia menjadi jenazah. Kekristenan tidak terlepas dari upaya memanusiakan manusia, sehingga titik temu antara kekristenan dengan subat terletak pada aktivasi

27

nilai kemanuisan. Subat menegaskan bagaimana manusia tetap dihargai sampai pada akhir hayatnya sebagai jenazah, demikian halnya dengan kekristenan. Nilai lain juga yang terkandung dalam upacara kematian adalah nilai gotong royong. Nilai gotong royong ini tidak terlepas dari usaha manusia untuk membangun kebersamaan dalam fungsi sosialnya demi mencapai sebuah tujuan bersama. Kekristenan juga tidak terlepas dari nilai-nilai gotong royong. Salah satu kisah Alkitab yang mencerminkan nilai gotong royong ialah kisah hidup jemaat mula-mula (Kisah Para Rasul 2:41-47). Nilai gotong royong dimunculkan dalam kehidupan bersama jemaat mula-mula sebagai wujud nyata rasa persaudaraan dan kekeluargaan dalam ikatan iman mereka sebagai orang percaya. Gotong royong dalam upacara subat yang didasarkan pada rasa kekeluargaan dan persaudaraan dalam satu ikatan masyarakat tentunya bermakna sama dengan pola hidup jemaat mula-mula. Dengan demikian, ketika kekristenan berbicara perihal pentingnya kesatuan, kebersamaan, dan kekeluargaan dalam kehidupan yang terdiri dari ragam peran manusia, maka esensi yang serupa juga terkandung dalam pelaksanaan subat. Beberapa saran kontekstualisasi di atas selain bermanfaat bagi pengembangan teologi dalam jemaat, juga menjadi sarana strategis untuk menjaga dan melindungi budaya dari pergeseran makna yang menuju pada kehilangan kemurniannya.

Selain gereja, pemerintah juga merupakan pionir penting dalam menjaga budaya ini. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah harusnya juga tidak luput dalam memperhatikan keberlangsungan budaya-budaya lokal seperti subat. Oleh karena itu pemerintah desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah, harus merancang PERDES mengenai subat untuk mengatur keberlangsungan upacara

subat. Keberlangsungan yang dimaksudkan yaitu upaya pelestarian subat dengan

menjadikannya sebagai salah satu kegiatan khas dari kecamatan Amarasi. Hal ini tidak terlepas dari fungsi dan peranan pemerintah dalam upacara subat. PERDES sendiri selain untuk mengatur keberlangsungan upacara juga merupakan sarana untuk menjaga ketertiban peserta selama upacara berlangsung.

28

Dokumen terkait