• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kadar Air (SNI 01-2891-1992)

Analisis kadar air dilakukan dengan metode oven. Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Setelah itu, cawan didinginkan dalam desikator. Cawan kering yang telah didinginkan ditimbang (W2 g) kemudian sebanyak 1-2 gram sampel

(W g)dimasukkan ke dalam cawan tersebut. Cawan yang berisi sampel dikeringkan kembali di

dalam oven pada suhu 105˚C selama 3 jam. Setelah itu, cawan didinginkan dalam desikator dan

ditimbang (W1 g) hingga diperoleh bobot konstan.

Kadar air (% BB) = x 100 Kadar air (% BK) =

x 100

Analisis Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)

Analisis kadar abu dilakukan dengan metode pengabuan kering. Cawan porselin kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven bersuhu 105˚C selama 15 menit. Setelah itu, cawan didinginkan dalam desikator. Cawan kering yang telah didinginkan ditimbang (W2 g)

kemudian sebanyak 2-3 gram (W g) sampel dimasukkan ke dalam cawan. Sampel diarangkan di atas nyala pembakar kemudian dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan suhu maksimum

550˚C hingga pengabuan sempurna. Setelah itu, cawan sampel didinginkan di dalam desikator

dan ditimbang (W1 g).

Kadar abu (% BB) = x 100 Kadar abu (% BK) =

x 100

Analisis Kadar Protein (AOAC 960.52)

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Pada tahap penghancuran, 100-250 mg sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 1 gram K2SO4, 40

mg HgO, 2 ml H2SO4 dan 2-3 butir batu didih. Larutan dididihkan selama 1 jam sampai cairan

jernih dan didinginkan. Pada tahap destilasi, isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dengan ditambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH dan 5% Na2S2O3. Sebanyak 5 ml larutan H3BO3 dan

2-3 tetes metilen merah-metilen biru dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan diletakkan di bawah kondensor. Destilasi dilakukan hingga diperoleh sekitar 15 ml destilat. Pada tahap titrasi, destilat diencerkan hingga 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0.02N terstandarisasi sampai perubahan warna menjadi abu-abu.

% N =

x 100

Kadar protein (% BB) = % N x faktor konversi Kadar protein (% BK) =

x 100

Analisis Kadar Lemak (SNI 01-2891-1992)

Analisis kadar lemak dilakukan dengan menggunakan metode Soxhlet yang terdiri dari tahap hidrolisis sampel dan tahap analisis kadar lemak. Pada tahap hidrolisis sampel, sampel sebanyak 1-2 gram (W0 g) ditimbang dalam gelas piala kemudian ditambahkan 30 ml

HCl 25% dan 20 ml air. Setelah itu, gelas piala ditutup dan dididihkan selama 15 menit di ruang asam kemudian larutan disaring dalam keadaan panas hingga tidak asam lagi. Kertas

18

lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105˚C selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam

desikator dan ditimbang (W2 g). Kertas saring kering hasil hidrolisis sampel dimasukkan ke

dalam selongsong kertas saring dan disumbat dengan kapas. Setelah itu, selongsong dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan ke labu lemak. Pelarut heksana dimasukkan sebanyak 150 ml. Ekstraksi dilakukan sekitar 6 jam kemudian heksana disuling

dan ekstrak lemak dikeringkan pada suhu 105˚C, didinginkan pada desikator dan ditimbang

(W1 g).

Kadar lemak (% BB) =

x 100

Kadar lemak (% BK) =

x 100

Analisis Kadar Karbohidrat (Nielsen 2010)

Kadar karbohidrat total by difference dapat diperoleh dari hasil pengurangan angka 100 dengan persentase komponen lain (air, abu, lemak, dan protein).

Analisis Kadar Serat Kasar (Nielsen 2010)

Analisis dimulai dengan menimbang 2 gram sampel (W g). Sampel tersebut diekstrak lemaknya menggunakan soxhlet dengan pelarut heksana. Sampel yang sudah bebas lemak dipindahkan secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer 600 ml dan ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendidih ke dalamnya. Erlenmeyer tersebut kemudian diletakkan dalam pendingin balik

untuk dididihkan selama 30 menit. Setelah selesai, suspense disaring dengan kertas saring. Residu yang tertinggal dicuci dengan air mendidih hingga air cucian tidak bersifat asam lagi. Setelah itu, residu dipindahkan secara kuantitatif dari kertas saring ke Erlenmeyer kembali. Sisa residu dicuci di kertas saring dengan 200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. Sampel kembali dididihkan dalam pendingin balik selama 30 menit. Setelah itu, disaring melalui kertas saring yang diketahui beratnya (W1 g) sambil dicuci

dengan K2SO4 10%, air mendidih, dan alcohol 95%. Kertas saring dikeringkan dalam oven

110C sampai berat konstan. Setelah didinginkan dalam desikator, kertas saring ditimbang kembali (W2 g).

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. OPTIMASI FORMULA

1. Penentuan Titik Maksimum

Tahap awal dalam penelitian ini adalah penentuan titik maksimum substitusi tepung jagung dan tepung ubi jalar. Titik maksimum tersebut diperlukan sebagai data masukan pada rancangan campuran untuk optimasi formula. Substitusi yang dilakukan pada tahap penentuan titik maksimum merupakan substitusi dengan satu jenis tepung, di mana hanya menggunakan tepung jagung atau tepung ubi jalar saja. Penentuan tingkat kesukaan panelis terhadap karakteristik sensori muffin berdasarkan skala Labelled Affective Magnitude (LAM) (Kemp et al. 2009) yang ditunjukkan pada Gambar 6. Skala

Muffin disubstitusi dengan tepung jagung dari tingkat substitusi 50% hingga 100% dari berat total penggunaan tepung. Hasil ANOVA untuk atribut keseluruhan (Lampiran 2) menunjukkan formula muffin dengan berbagai tingkat substitusi tidak berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada taraf signifikansi 5%. Karena skor kesukaan untuk atribut keseluruhan tidak berbeda nyata hingga tingkat substitusi 100%, maka tingkat substitusi tertinggi, yaitu 100%, dapat diambil sebagai titik maksimum. Skor kesukaan pada atribut keseluruhan dijadikan pertimbangan utama dalam penentuan titik maksimum karena atribut tersebut mewakili keseluruhan karakteristik muffin. Rataan skor kesukaan panelis untuk atribut keseluruhan pada tingkat substitusi 100% adalah sebesar 6,69, di mana berada pada rentang agak suka dancukup suka pada skala LAM sehingga masih tergolong cukup disukai konsumen. Dengan demikian, tingkat substitusi 100% ditetapkan sebagai titik maksimum substitusi tepung jagung. Karakteristik muffin yang dihasilkan dari 100% tepung jagung adalah muffin berwarna kuning, tekstur muffin sedikit kurang kompak (remah agak hancur ketika muffindibelah), aroma jagung cukup tercium, rongga sedang dan seragam seperti pada muffin 100% terigu, dan volume pengembangan cukup tinggi namun tidak setinggi muffin 100% terigu. Muffin100% tepung jagung ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Muffin100% tepung jagung

Pada percobaan substitusi tepung ubi jalar pada muffin, tingkat substitusi dimulai dari 20% hingga 70%. Menurut Suprapti (2003), dalam pembuatan kue basah, tepung ubi jalar berfungsi sebagai campuran/substitusi tepung terigu sebesar 30%-50%. Hasil ANOVA untuk atribut keseluruhan (Lampiran 2), menunjukkan formulasi muffin dengan berbagai tingkat substitusi tepung ubi jalar berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada taraf signifikansi 5%.

20

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 2), sampel dengan tingkat substitusi 20%, 30%, dan 40% berbeda nyata dengan sampel pada tingkat substitusi 50%, 60%, dan 70%. Jika dibandingkan dengan skala LAM, skor kesukaan panelis terhadap atribut keseluruhan untuk tingkat substitusi 50%-70% berada di bawah skor 5 sehingga tergolong kurang disukai panelis. Sedangkan skor kesukaan untuk tingkat substitusi 20%-40% berada di atas skor 6 sehingga tergolong cukup disukai panelis. Karena titik maksimum adalah tingkat substitusi maksimum yang menghasilkan produk yang masih dapat diterima panelis dari segi sensori, maka tingkat substitusi 40% diambil sebagai titik maksimum untuk substitusi tepung ubi jalar. Skor kesukaan untuk tiap atribut muffin substitusi tepung ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 5. Karakteristik muffin yang dihasilkan dari 40% tepung ubi jalar adalah muffin berwarna coklat gelap, tekstur muffin kompak (agak lengket saat dikunyah), aroma ubi jalar tercium, rongga kecil, dan volume pengembangan cukup rendah. Muffin40% tepung ubi jalar ditunjukkan pada Gambar 10.

Tabel 5. Skor kesukaan tiap atribut muffin substitusi tepung ubi jalar

Tingkat Substitusi 20% 30% 40% 50% 60% 70% Tepung Ubi Jalar Warna 6.49a 5.99ab 5.83ab 5.47ab 5.10b 5.40ab Aroma 6.05a 5.60ab 5.62ab 4.89abc 4.78c 4.36c Rasa 6.02a 6.10a 5.94a 4.93b 4.54b 4.38b Tekstur 6.15a 5.36a 5.34a 4.32b 4.02b 3.71b Keseluruhan 6.38a 6.02a 6.05a 4.90b 4.45b 4.34b *Skor kesukaan yang diwakili huruf yang sama dan berada pada satu baris yang sama menunjukkan skor kesukaan yang tidak berbeda nyata

Gambar 10. Muffinsubstitusi40% tepung ubi jalar

Rendahnya skor kesukaan panelis untuk muffin dengan tingkat substitusi di atas 40% disebabkan oleh aroma tepung ubi yang semakin kuat pada produk dan tekstur produk yang semakin lengket. Tekstur tersebut dipengaruhi oleh viskositas adonan yang tinggi seiring dengan meningkatnya jumlah tepung ubi jalar yang digunakan dalam formula. Viskositas puncak pati ubi jalar lebih tinggi dibanding terigu disebabkan oleh perbedaan jenis patinya (umbi-umbian dan serealia), di samping kadar dan struktur amilosa dan amilopektinnya (Suganuma and Kitahara 1998). Nilai viskositas puncak yang tinggi menggambarkan daya pengental yang tinggi pula (Wincy 2001). Selain itu, kandungan gula yang tinggi pada tepung

21

ubi jalar berpotensi menghambat proses gelatinisasi sehingga tepung ubi jalar tidak dapat digunakan dalam jumlah yang terlalu besar. Hal ini disebabkan gula bersifat higroskopis sehingga dapat menyerap air yang dibutuhkan untuk gelatinisasi pati. Substitusi tidak dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi dari 70% karena skor kesukaan panelis cenderung menurun dari tingkat substitusi 50%.

2. Rancangan Formula dan Nilai Respon

Data yang dimasukkan ke dalam rancangan terdiri dari jumlah komponen dalam formula yang ditetapkan sebagai variabel berubah, total komposisi semua komponen, dan titik minimum dan maksimum dari masing-masing komponen. Variabel berubah dalam tahap optimasi formula terdiri dari tiga komponen yaitu tepung terigu, tepung jagung, dan tepung ubi jalar. Perubahan nilai ketiga komponen bahan baku tersebut diharapkan akan mempengaruhi respon masing-masing formula. Selain variabel berubah, ditetapkan pula variabel tetap dengan nilai yang dijaga konstan untuk setiap formula sehingga tidak berpengaruh terhadap respon. Variabel tetap yang digunakan adalah suhu dan waktu pemanggangan muffin yaitu 150°C selama 50 menit. Total komposisi ketiga jenis tepung diasumsikan sebesar 100%. Data kisaran minimum dan maksimum substitusi dari masing- masing tepung dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kisaran penggunaan tiap jenis tepung Variabel Titik minimum (%) Titik maksimum (%) Tepung terigu Tepung jagung Tepung ubi 0 60 10 20 90 40

Titik maksimum penggunaan tepung terigu adalah 20%. Penentuan nilai 20% berdasarkan target substitusi minimal 80%. Tingkat substitusi yang semakin tinggi akan memberikan efek diversifikasi yang lebih signifikan pula. Berdasarkan percobaan pada tahap penentuan titik maksimum, titik maksimum substitusi tepung jagung mencapai 100%. Akan tetapi, titik maksimum yang dimasukkan ke dalam rancangan adalah 90% untuk mempertahankan penggunaan tepung ubi jalar di dalam formula. Hal ini disesuaikan pula dengan tujuan penelitian yaitu menghasilkan produk muffin yang disubstitusi oleh lebih dari satu jenis tepung.

Rancangan formula dan nilai respon yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai respon yang ditampilkan pada tabel adalah rataan nilai respon dari 70 panelis.

22

Tabel 7. Rancangan formula dan nilai respon

Komposisi formula (%) Nilai respon

Run Terigu T. Jagung T. Ubi Warna Aroma Rasa Tekstur Keselu- ruhan 1 0 75 25 6.2 5.5 5.2 4.7 5.4 2 0 90 10 6.7 5.8 5.8 5.1 6 3 0 75 25 6 5.6 5.5 5.1 5.8 4 11 60 29 4.3 5.2 5.2 5.1 5.3 5 20 60 20 6.7 6 5.4 4.6 5.7 6 4.4 67 28.5 5.7 5.8 5.4 4.5 5.4 7 20 66.7 13.3 6.2 5.4 5.2 4.6 5.5 8 0 90 10 6.7 5.7 5.5 5.4 6 9 5.5 79.6 14.9 6.4 6.2 5.9 5.7 6 10 10.3 69.3 20.4 5.1 5.6 5.6 5.3 5.6 11 15.6 74.4 10 6.9 6 5.6 5.3 6.1 12 20 60 20 6.3 6.1 6 5.4 6.3 13 0 60 40 3.9 5 5.1 4.2 5.1 14 15.6 74.4 10 7 5.6 6 4.9 6 15 5.2 60.6 34.2 4.8 5 5.1 4.1 5 16 0 60 40 3.7 4.9 5.1 4.3 4.7

3. Analisis Respon

Pada tahap analisis respon, respon yang diperoleh untuk setiap parameter sensori akan diwakili oleh sebuah model polinomial. Tabel 8 menunjukkan hasil analisis respon untuk setiap parameter.

Tabel 8. Hasil analisis respon optimasi formula muffin Parameter Model Nilai p R2 disesuai- kan R2 diprediksi Presisi adekuat Persamaan Model Ketidak- sesuaian Warna Kubik yang direduk si <0.0001 (sig) 0,1155 (n sig) 0,9705 0,8740 22,156 (>4,0) Warna = 12,31A + 0,16B – 4,25C – 0,21AB – 0,07AC + 0,07BC – 1,01x10-3AB(A- B) –(5,35x10-4)AC(A-C) – (4,97x10-4)BC(B-C) Aroma Kubik 0,0048 (sig) 0,9461 (n sig) 0,8516 0,7628 10,152 (>4,0) Aroma = 5,91A + 0,1B – 1,96C – 0,11AB – 0,04AC + 0,04BC + 2,3x10-4ABC – 5,48x10-4AB(A-B) – 1,5x10-5AC(A-C) – 2,4x10- 4BC(B-C) Rasa Linear 0,0214 (sig) 0,6125 (n sig) 0,3612 0,1342 5,673 (>4,0) Rasa = 0,06A + 0,06B + 0,04C Tekstur Linear 0,0135 (sig) 0,3517 (n sig) 0,4035 0,2405 5,673 (>4,0) Tekstur = 0,05A + 0,06B + 0,02C Keseluruh- an Linear 0,0002 (sig) 0,6151 (n sig) 0,6848 0,5669 10,259 (>4,0) Keseluruhan = 0,07A + 0,06B + 0,03C

23

Analisis Respon Organoleptik Warna

Warna merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan produk, karena konsumen akan menilai suatu produk pangan baru pertama pada penampakan secara visual. Warna merupakan salah satu bentuk visual yang dipertimbangkan oleh konsumen (Winarno 1997).

Model polinomial yang terpilih sebagai hasil analisis respon warna oleh piranti lunak

Design Expert 7.0® adalah kubik yang direduksi. Model yang disarankan adalah kubik namun model tergolong tidak signifikan sehingga dilakukan reduksi model berupa eliminasi mundur. Eliminasi mundur menghilangkan interaksi komponen tepung terigu, tepung jagung, dan tepung ubi jalar. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi ketiga komponen tersebut tidak berpengaruh nyata pada warna muffin yang dihasilkan.

Model yang signifikan dengan nilai ketidaksesuaian tidak signifikan menunjukkan adanya kesesuaian data respon warna dengan model. Berdasarkan nilai R2 disesuaikan dan R2 diprediksi,data-data aktual dan data-data yang diprediksikan untuk respon warna tercakup ke dalam model sebesar 87,40% dan 97,05%. Presisi adekuatuntuk respon warna adalah 22,156, lebih besar dari 4, sehingga sesuai untuk model yang baik.

Persamaan polinomial untuk respon warna dapat dilihat pada Tabel 8. Konstanta yang bernilai positif pada persamaan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah komponen atau interaksi antar komponen. Berdasarkan persamaan yang diperoleh, tingkat kesukaan panelis terhadap warna muffin akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah tepung terigu, jumlah tepung jagung, dan peningkatan interaksi antara tepung jagung dan tepung ubi jalar. Akan tetapi, tingkat kesukaan panelis terhadap warna muffin akan menurun seiring dengan peningkatan jumlah tepung ubi jalar, peningkatan interaksi antara tepung terigu dan tepung jagung, interaksi antara tepung terigu dan tepung ubi jalar, interaksi antara tepung terigu, tepung jagung, dan selisih keduanya, interaksi antara tepung terigu, tepung ubi jalar, dan selisih keduanya, serta interaksi antara tepung jagung, tepung ubi jalar, dan selisih keduanya. Hal ini ditunjukkan oleh konstanta yang bernilai negatif.

Peningkatan kesukaan panelis terhadap warna muffin sangat dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penggunaan tepung terigu karena memiliki nilai konstanta terbesar (12,31), diikuti dengan peningkatan jumlah penggunaan tepung jagung (0,16), dan peningkatan interaksi antara tepung jagung dan tepung ubi jalar (0,07).

Hasil di atas menunjukkan bahwa konsumen lebih menyukai warna muffin dengan peningkatan penambahan tepung terigu dan tepung jagung karena kedua jenis tepung tersebut memberikan warna kuning cerah pada muffin. Peningkatan jumlah penggunaan tepung ubi jalar menghasilkan muffin yang berwarna coklat gelap sehingga kurang disukai konsumen. Hal ini berkaitan dengan kandungan gula yang tinggi pada tepung ubi jalar merah yaitu sebesar 18,38% (Anwar et al. 1993). Tingginya kandungan gula tersebut menfasilitasi reaksi Maillard untuk berlangsung lebih intensif. Karamelisasi gula dan pencoklatan Maillard dari protein dan gula pereduksi menyebabkan pencoklatan lapisan kulit (Benson 1988).

Grafik plot kontur (Gambar 11) menggambarkan hubungan antara kombinasi jumlah penggunaan tepung terigu, tepung jagung, dan tepung ubi jalar dengan nilai respon warna yang dihasilkan. Bagian grafik yang berwarna merah menunjukkan respon tertinggi sebesar 7,014 sedangkan bagian grafik berwarna biru menunjukkan respon terendah sebesar 3,736. Titik-titik merah yang berada pada satu garis melengkung yang sama akan memberikan nilai

24

respon yang sama walaupun memiliki kombinasi jumlah penggunaan tepung yang berbeda- beda.

Grafik plot kontur juga ditampilkan secara tiga dimensi (Gambar 12). Perbedaan nilai respon digambarkan oleh perbedaan ketinggian permukaan grafik. Area yang tinggi menunjukkan nilai respon yang tinggi sedangkan area yang rendah menunjukkan nilai respon yang rendah.

Gambar 11. Grafik plot kontur pengaruh jumlah penggunaan tepung terigu, tepung jagung, dan tepung ubi terhadap skor kesukaan atribut warna pada optimasi formula muffin Design-Expert® Sof tware

warna Design Points 7.014 3.736 X1 = A: Terigu X2 = B: Tep jagung X3 = C: Tep ubi A: Terigu 30 B: Tep jagung 90 C: Tep ubi 40 10 60 0 warna 4.58523 5.34626 6.10728 6.10728 6.10728 6.8683 6.8683 7.62932 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

25

Gambar 12. Grafik tiga dimensi pengaruh jumlah penggunaan tepung terigu, tepung jagung,

dan tepung ubi terhadap skor kesukaan atribut warna pada optimasi formula muffin

Analisis Respon Organoleptik Aroma

Aroma merupakan salah satu atribut sensori yang penting pada berbagai produk hasil pemanggangan. Aroma yang baik akan meningkatkan tingkat kesukaan konsumen terhadap suatu prosuk pangan.

Model polinomial yang terpilih untuk respon aroma sesuai dengan model yang direkomendasikan, yaitu model kubik. Model yang dihasilkan signifikan dengan ketidaksesuaiantidak signifikan. Nilai R2 disesuaikan dan R2 diprediksi menunjukkan bahwa model dapat merepresentasikan data aktual dan data prediksi hingga 85,16% dan 76,28%. Presisi adekuat untuk respon aroma adalah 10,152, lebih besar dari 4, sehingga secara keseluruhan model untuk respon aroma memenuhi syarat model yang baik.

Persamaan polinomial untuk respon aroma pada Tabel 8 menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma muffin akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah tepung terigu, jumlah tepung jagung, peningkatan interaksi antara tepung jagung dan tepung ubi jalar, dan peningkatan interaksi antara ketiga jenis tepung. Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma muffin akan menurun seiring dengan peningkatan jumlah tepung ubi jalar, interaksi antara tepung terigu dan tepung jagung, interaksi antara tepung terigu dan tepung ubi jalar, interaksi antara tepung terigu, tepung jagung, dan selisih keduanya, interaksi antara tepung terigu, tepung ubi jalar, dan selisih keduanya, serta interaksi antara tepung jagung, tepung ubi jalar, dan selisih keduanya.

Peningkatan kesukaan panelis terhadap aroma muffin sangat dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penggunaan tepung terigu karena memiliki nilai konstanta terbesar (5,91), diikuti dengan peningkatan jumlah penggunaan tepung jagung (0,1), peningkatan interaksi

Design-Expert® Sof tware

warna 7.014 3.736 X1 = A: Terigu X2 = B: Tep jagung X3 = C: Tep ubi A (30) B (90) B (60) C (10) 3.6 4.975 6.35 7.725 9.1 w a rn a A (0) C (40)

26

antara tepung jagung dan tepung ubi jalar (0,04), dan peningkatan interaksi antara ketiga jenis tepung (2,3x10-4).

Berdasarkan hasil uji tersebut, peningkatan jumlah tepung terigu dan tepung jagung dalam formula muffin menghasilkan aroma yang lebih disukai konsumen dibandingkan peningkatan jumlah tepung ubi jalar. Peningkatan jumlah tepung ubi jalar menyebabkan aroma ubi yang cukup kuat pada muffin dan kurang disukai sehingga peningkatan penggunaan tepung ubi menurunkan skor kesukaan. Aroma dari muffin yang dihasilkan dengan peningkatan jumlah tepung jagung menyerupai aroma muffin dari tepung terigu (aroma jagung tidak terlalu kuat) sehingga skor kesukaan masih mengalami peningkatan.

Grafik plot kontur (Gambar 13) menggambarkan hubungan antara kombinasi jumlah penggunaan tepung terigu, tepung jagung, dan tepung ubi jalar dengan nilai respon aroma yang dihasilkan. Bagian grafik yang berwarna merah menunjukkan respon tertinggi sebesar 6,188 sedangkan bagian grafik berwarna biru menunjukkan respon terendah sebesar 4,908. Titik-titik merah yang berada pada satu garis melengkung yang sama akan memberikan nilai respon yang sama walaupun memiliki kombinasi jumlah penggunaan tepung yang berbeda- beda.

Grafik plot kontur juga ditampilkan secara tiga dimensi (Gambar 14). Perbedaan nilai respon digambarkan oleh perbedaan ketinggian pada permukaan grafik. Area yang tinggi menunjukkan nilai respon yang tinggi sedangkan area yang rendah menunjukkan nilai respon yang rendah pula.

Gambar 13. Grafik plot kontur pengaruh jumlah penggunaan tepung terigu, tepung jagung, dan tepung ubi terhadap skor kesukaan atribut aroma pada optimasi formula muffin Design-Expert® Sof tware

aroma Design Points 6.188 4.908 X1 = A: Terigu X2 = B: Tep jagung X3 = C: Tep ubi A: Terigu 30 B: Tep jagung 90 C: Tep ubi 40 10 60 0 aroma 5.28927 5.28927 5.28927 5.63883 5.63883 5.63883 5.9884 6.33796 6.68752 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

27

Gambar 14. Grafik tiga dimensi pengaruh jumlah penggunaan tepung terigu, tepung jagung,

dan tepung ubi terhadap skor kesukaan atribut aroma pada optimasi formula muffin .

Analisis Respon Organoleptik Rasa

Model polinomial yang terpilih untuk respon rasa sesuai dengan model yang direkomendasikan, yaitu linear. Model yang dihasilkan signifikan dengan ketidaksesuaian tidak signifikan. Nilai R2 disesuaikan dan R2 diprediksi menunjukkan bahwa data-data aktual dan data-data yang diprediksikan untuk respon rasa tercakup ke dalam model sebesar 36,12% dan 13,42%. Presisi adekuat untuk respon rasa adalah 5,673, lebih besar dari 4, mengindikasikan model yang memadai untuk mewakili respon. Secara keseluruhan, model dapat merepresentasikan data dengan baik.

Persamaan polinomial untuk respon rasa dapat dilihat pada Tabel 8. Persamaan linear tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah tepung terigu, jumlah tepung jagung, dan jumlah tepung ubi jalar. Peningkatan kesukaan panelis terhadap rasa muffin sangat dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penggunaan tepung terigu dan tepung jagung karena memiliki nilai konstanta terbesar (0,06), diikuti dengan peningkatan jumlah penggunaan tepung ubi jalar (0,04). Dengan demikian, kombinasi penggunaan ketiga jenis tepung menghasilkan rasa muffin yang disukai konsumen, terlihat dari peningkatan tingkat kesukaan seiring dengan peningkatan jumlah ketiga jenis tepung dalam formula muffin.

Grafik plot kontur (Gambar 15) menggambarkan hubungan antara kombinasi jumlah penggunaan tepung terigu, tepung jagung, dan tepung ubi jalar dengan nilai respon rasa yang dihasilkan. Bagian grafik yang berwarna merah menunjukkan respon tertinggi sebesar 6,004 sedangkan bagian grafik berwarna biru menunjukkan respon terendah sebesar 5,113. Titik- titik merah yang berada pada satu garis yang sama akan memberikan nilai respon yang sama walaupun memiliki kombinasi jumlah penggunaan tepung yang berbeda-beda.

Design-Expert® Sof tware

aroma 6.188 4.908 X1 = A: Terigu X2 = B: Tep jagung X3 = C: Tep ubi A (30) B (90) C (10) 4.7 5.375 6.05 6.725 7.4 a ro m a A (0) B (60) C (40)

28

Grafik plot kontur juga ditampilkan secara tiga dimensi (Gambar 16). Perbedaan nilai respon digambarkan oleh perbedaan ketinggian pada permukaan grafik. Area yang tinggi menunjukkan nilai respon yang tinggi sedangkan area yang rendah menunjukkan nilai respon yang rendah pula.

Gambar 15. Grafik plot kontur pengaruh jumlah penggunaan tepung terigu, tepung jagung, dan tepung ubi terhadap skor kesukaan atribut rasa pada optimasi formula muffin

Gambar 16. Grafik tiga dimensi pengaruh jumlah penggunaan tepung terigu, tepung jagung, dan tepung ubi terhadap skor kesukaan atribut rasa pada optimasi formula muffin Design-Expert® Sof tware

rasa Design Points 6.004 5.113 X1 = A: Terigu X2 = B: Tep jagung X3 = C: Tep ubi A: Terigu 30 B: Tep jagung 90 C: Tep ubi 40 10 60 0 rasa 5.20585 5.30911 5.41238 5.51565 5.61892 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

Design-Expert® Sof tware rasa 6.004 5.113 X1 = A: Terigu X2 = B: Tep jagung X3 = C: Tep ubi A (30) B (60) C (10) 5.1 5.3275 5.555 5.7825 6.01 ra s a A (0) B (90) C (40)

29

Analisis Respon Organoleptik Tekstur

Menurut Szczesniak (2002), tekstur adalah manifestasi sensori dan fungsional dari sifat struktural, mekanikal, dan permukaan dari produk pangan yang dapat dideteksi melalui indera penglihatan, pendengaran, perasa, dan kinestetik. Tekstur merupakan salah satu karakteristik produk pangan yang penting dalam mempengaruhi penerimaan konsumen.

Model polinomial yang terpilih untuk respon tekstur sesuai dengan model yang direkomendasikan, yaitu linear. Model yang dihasilkan signifikan dengan ketidaksesuaian tidak signifikan adalah syarat untuk model yang baik. Nilai R2 disesuaikan dan R2 diprediksi

Dokumen terkait