• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Pemeliharaan Ikan Lele

4.4.3 Analisis Data

Data yang diperoleh diolah menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan, apabila hasil menunjukkan bahwa perlakuan penambahan asam amino esensial lisin dalam pakan komersial menunjukkan hasil signifikan maka perhitungan dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test). Diagram alir penelitian ini dapat di lihat pada gambar 4.2.

Diagram alir penelitian dapat dilihat pada gambar 4.2 Ransum

pakan dengan 0% T. Azolla

Analisis Proksimat Bahan Pakan dan Pembuatan Formulasi pakan

Ikan Lele (Clarias

sp.) Ransum pakan dengan 5 % T. Azolla Ransum pakan dengan 10% T. Azolla Ransum pakan dengan 15% T. Azolla Ransum pakan dengan 20% T. Azolla Perlakuan penelitian (30 hari )

Berat Badan Akhir Ikan Lele

Parameter utama : - Kecernaan Serat Kasar

- Kecernaan BETN

Parameter penunjang

Pengamatan kualitas air yaitu suhu, oksigen, pH

Analisa Data Simpulan

Mencampur Tepung Azolla dengan Bahan Pakan Lainnya dan Pembuatan Pellet

Pengukuran Berat Tubuh Awal Ikan Lele

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

Parameter pada penelitian ini adalah pengukuran kecernaan serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen. Pada penelitian ini ikan uji yang digunakan adalah ikan lele (Clarias sp.). Hasil penelitian dapat dilihat pada keterangan di bawah ini. 5.1.1 Kecernaan Serat Kasar

Dari hasil penelitian didapatkan nilai kecernaan serat kasar ikan lele menunjukkan 93,232% – 94,542%. Data kecernaan serat kasar selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Data rata-rata kecernaan serat kasar terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata Nilai Kecernaan Serat Kasar Ikan Lele Perlakuan Nilai Kecernaan Serat Kasar

(%) ± SD Transformasi (√) ± SD P0 (0% azolla) P1 (5% azolla) P2 (10% azolla) P3 (15% azolla) P4 (20% azolla) 93,362 ± 0,374 94,542 ± 1,827 94,082 ± 1,006 93,547 ± 1,610 93,232 ± 1,554 9,662 ± 0,019 9,840 ± 0,093 9,858 ± 0,052 9,893 ± 0,083 9,853 ± 0,063 Keterangan: P0 (penambahan tepung Azolla 0%), P1 (penambahan tepung Azolla 5%), P2 (penambahan tepung Azolla 10%), P3 (penambahan tepung Azolla 15%), P4 penambahan tepung Azolla 20%). SD = Standar Deviasi

Hasil perhitungan Analysis of Varian (ANOVA) nilai kecernaan serat kasar pada Lampiran 7 menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (p>0,05) terhadap nilai kecernaan serat kasar ikan lele.

5.1.2 Kecernaan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

Dari hasil penelitian didapatkan nilai kecernaan bahan ekstrak tanpa nitrogen ikan lele menunjukkan 93,367% – 98,315%. Data kecernaan bahan

ekstrak tanpa nitrogen selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Data rata-rata kecernaan serat kasar terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Nilai Kecernaan BETN Ikan Lele

Perlakuan Nilai Kecernaan BETN (%) ± SD Transformasi (√) ± SD

P0 (0% azolla) P1 (5% azolla) P2 (10% azolla) P3 (15% azolla) P4 (20% azolla) 98,315a ± 1,091 93,367c ± 2,718 96,955ab ± 1,988 95,525abc ± 2,063 94,930bc ± 0,709 9,915 ± 0,055 9,661 ± 0,14 9,846 ± 0,101 9,773 ± 0,105 9,744 ± 0,036 Keterangan: P0 (penambahan tepung Azolla 0%), P1 (penambahan tepung Azolla 5%), P2 (penambahan tepung Azolla 10%), P3 (penambahan tepung Azolla 15%), P4 penambahan tepung Azolla 20%). SD = Standar Deviasi; Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (p>0,05).

Hasil perhitungan Analysis of Varian (ANOVA) nilai kecernaan bahan ekstrak tanpa nitrogen pada Lampiran 10 menunjukkan nilai yang berbeda nyata antar perlakuan (P<0,05) terhadap nilai kecernaan bahan ekstrak tanpa nitrogen ikan lele. Hasil dari uji jarak berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test ), diketahui bahwa perhitungan analisis duncan (Lampiran 12) perlakuan P0 tidak berbeda nyata dengan P2 dan P3, sedangkan P0 berbeda nyata dengan P4 dan P1. 5.1.3 Kualitas Air

Data nilai kisaran parameter kualitas air pada pemeliharaan ikan lele selama 28 hari dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Kisaran Parameter Kualitas Air pada Pemeliharaan Ikan Lele

No. Parameter Satuan Kisaran

1. 2. 3.

Suhu

Oksigen terlarut (DO) pH o C mg/l - 28 – 30 4 7,5 – 8,0

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

27

5.2 Pembahasan

5.2.1 Kecernaan Serat Kasar

Kecernaan adalah bagian pakan yang dikonsumsi dan tidak dikeluarkan menjadi feses (Affandi, et al., 1992). Menurut Silva (1989), kecernaan merupakan suatu evaluasi kuantitatif dari pemanfaatan pakan maupun komponen nutrisi. Serat kasar merupakan bahan organik, bagian dari zat gizi karbohidrat yang tidak mudah larut dalam air (Agustono, 2014). Serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin yang sebagian besar tidak dapat dicerna dan bersifat pengganjal (Wahyu, 2004). Daya cerna serat kasar dipengaruhi oleh bebrapa faktor antara lain kadar serat dalam pakan, komposisi penyusun serat kasar dan aktifitas mikroorganisme (maynard et al., 2005).

Berdasarkan nilai kecernaan serat kasar pada Tabel 3, semua perlakuan memiliki rata-rata nilai kecernaan serat kasar di atas 90%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil kecernaan serat kasar tergolong tinggi. Menurut Anggorodi (1995)

dalam Yuniarti dkk. (2015) nilai kecernaan pada kisaran 50 – 60% adalah kualitas rendah, 60 – 70% kualitas sedang dan di atas 70% kualitas tinggi.

Pada perhitungan Analysis of Varian (ANOVA) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kelima pakan tersebut memiliki nilai serat kasar yang relatif berbeda, namun memberikan nilai kecernaan yang sama.

Tingkat kecernaan terhadap suatu jenis pakan bergantung kepada kualitas pakan, bahan pakan, kandungan gizi pakan, jenis serta aktivitas enzim- enzim pencernaan pada sistem pecernaan ikan, ukuran dan umur ikan serta sifat fisik

dan kimia perairan (NAS, 1983). Faktor ikan yang mencakup ukuran, jenis dan umur dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap nilai kecernaan serat kasar karena penelitian ini menggunakan ikan dari ukuran, jenis, umur dan keadaan kesehatan yang tidak berbeda. Nilai kecernaan serat kasar yang tidak menunjukkan adanya perbedaan dapat dikarenakan asal bahan dan penyusun yang sama dan memiliki kualitas bahan yang sama.

5.2.2 Kecernaan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) merupakan bagian dari karbohidrat setelah dikurangi serat kasart. Komponen BETN terbesar adalah karbohidrat nonstruktural, seperti pati, monosakarida atau gula-gula (Budiman dkk., 2006).

Berdasarkan hasil analisis ragam kecernaan bahan ekstrak tanpa nitrogen menunjukkan bahwa pemberian pakan perlakuan memberikan perbedaan yang nyata terhadap kecernaan BETN (Lampiran 10) yang dapat dilihat Pada perhitungan Analysis of Varian (ANOVA) (P< 0,05). Kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test ), diketahui bahwa kelima perlakuan pakan terdapat perbedaan pada nilai kecernaan. Berdasarkan perhitungan analisis duncan (Lampiran 10) perlakuan P0 tidak berbeda nyata pada P2 dan P3 diduga karena kandungan bahan pakan dalam kedua pakan tersebut tidak jauh berbeda, sedangkan P0 berbeda nyata dengan P4 dan P1 diduga karena tingkat konsumsi dari kedua perlakuan ini rendah, tingkat daya cerna suatu pakan ditentukan oleh jumlah pakan yang dikonsumsi dan kandungan nutrient dari pakan yang dikonsumsi.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

29

Daya cerna bahan ekstrak tanpa nitrogen tiap perlakuan secara statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan, artinya pakan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya cerna bahan ekstrak tanpa nitrogen. Daya cerna bahan ekstrak tanpa nitrogen yang paling tinggi diperolah pada perlakuan P0 tanpa azolla dan yang terendah adalah perlakuan P1 dengan penambahan azolla 5%. Untuk pakan yang ditambah azolla diketahui bahwa P2 memiliki daya cerna yang tinggi setelah P0. Tingginya daya cerna bahan ekstrak tanpa nitrogen pada perlakuan P0 kemungkinan disebabkan tingginya konsumsi pelet pakan.

Kecernaan suatu pakan menggambarkan berapa persen nutrien yang dapat diserap oleh saluran pencernaan tubuh ikan, semakin besar nilai kecernaan suatu pakan maka semakin banyak nutrien pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ikan tersebut (Pramitasari,2013). Nilai nutrien yang dapat diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh berbagai hal seperti kualitas pakan dan jumlah pakan yang dikonsumsi, bila kualitas suatu pakan baik dan dikonsumsi dalam jumlah banyak maka semakin banyak nutrien yang dapat diserap oleh saluran pencernaan ikan. 5.2.3 Kualitas Air

Kualitas air pada penelitian ini merupakan data pendukung yang sangat penting karena air sebagai media untuk hidup yang dapat berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Suhu air pemeliharaan ikan gurami berkisar antara 28 – 30o

C dan keasaman pH berkisar antara 7,5-8,0. Kualitas air yang ideal untuk hidup lele yaitu bersuhu (28o – 32oC) dan pada keasaman ph 7–8 (Nasrudin, 2010). Suhu air sangat mempengaruhi pertumbuhan,

laju metabolisme, dan nafsu makan pada ikan serta oksigen terlarut (Handoyo, 2008).

Kadar oksigen terlarut (DO) pada media pemeliharaan ikan lele adalah 4 mg/l. Sesuai dengan Soetomo, (1987) oksigen terlarut untuk budidaya ikan lele ideal > 4 mg/l. Kandungan oksigen terlarut mempengaruhi nafsu makan ikan (Djarijah 1995). Semakin rendah kandungan oksigen terlarut dalam air, maka nafsu makan ikan berkurang. Kurangnya nafsu makan ikan akan mengurangi jumlah kandungan pakan yang dikonsumsi sehingga nilai kecernaan juga lebih rendah. Berdasarkan data di atas, kualitas air tidak berpengaruh terhadap kecernaan serat kasar dan kecernaan bahan ekstrak tanpa nitrogen ikan lele karena telah sesuai dengan standar kualitas air dalam budidaya ikan.

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

31

Dokumen terkait