• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 PEMBAHASAN

6.3 Analisis Pemetaan Kerentanan Masyarakat

Pada Gambar 10 dan 11 terlihat peta singkapan di DAS Ciliwung sebelum dan sesudah terjadi perubahan iklim. Hasil perbandingan Gambar 10 dan 11 menunjukkan terjadinya perubahan kondisi hidrologis di DAS Ciliwung. Kuantitas air atau ketersediaan air di DAS Ciliwung setelah terjadi perubahan iklim mengalami perubahan. Indeks singkapan sebelum terjadi perubahan iklim sebesar 0.44 (kelas agak rendah) menjadi 0.65 (kelas sedang). Peningkatan indeks singkapan menunjukkan bahwa perubahan iklim berpengaruh pada kondisi hidrologis di DAS Ciliwung.

KNLH (1998) dalam memproyeksikan perubahan iklim di DAS Ciliwung tidak memberikan informasi secara mendetil tentang kondisi hidrologis di DAS Ciliwung. Informasi hanya terbatas pada IPA dan perubahan iklim memberikan pengaruh pada IPA di DAS Ciliwung. Besarnya perubahan debit atau limpasan, surplus serta defisit air tidak ditampilkan atau dibahas. Apabila dalam suatu DAS terjadi surplus dan defisit air pada periode yang sama maka dipastikan terjadi peningkatan limpasan atau debit sehingga fluktuasi debit meningkat (Murdiyarso 2003).

Penghitungan nilai IPA yang dihasilkan dalam model KNLH (1998) berbeda dengan IPA di DAS Ciliwung. Berdasarkan Tim IPB (2006) menyatakan bahwa IPA di DAS Ciliwung pada tahun 1996 sebesar 1.20 atau 129%. Hal ini disebabkan dalam proyeksi IPA oleh KNLH (1998) hanya memproyeksikan kebutuhan air pada sektor pertanian dan sektor industri tanpa memperhatikan kebutuhan air bagi penduduk di sekitar DAS Ciliwung. Apabila penghitungan model juga memproyeksikan kebutuhan masyarakat maka dijamin IPA di DAS Ciliwung lebih dari 1 atau dalam kondisi kritis. Disadari bahwa kepadatan penduduk di DAS Ciliwung sangat tinggi. Selain itu, sekitar 70% masyarakat di DAS Ciliwung sudah banyak yang beralih ke penggunaan air tanah karena ketersediaan air di DAS Ciliwung sudah tidak mencukupi. Namun demikian, hal ini tidak menjadi suatu masalah karena tujuan utama dari KNLH (1998) hanya ingin menunjukkan bahwa DAS Ciliwung peka atau lebih rentan dengan adanya perubahan iklim. Hal ini ditunjukkan dengan perubahan nilai IPA atau simpanan

air di DAS Ciliwung yang semakin kritis dibandingkan sebelum ada perubahan iklim.

Penurunan nilai IPA atau simpanan air di DAS Ciliwung disebabkan karena hasil proyeksi model GCMs jenis CCCM menunjukkan terjadinya penurunan curah hujan. Gejala penurunan curah hujan di DAS Ciliwung juga diamati oleh Tobing (2007). Tobing (2007) mengamati curah hujan di DAS Ciliwung dalam jangka waktu 15 tahun dan dibagi menjadi 3 periode (5 tahunan). Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan penurunan curah hujan pada tiap periode. Hal serupa juga diamati di Pulau Jawa oleh Pawitan (1999) dan di Indonesia oleh Kaimuddin (2000). Hasilnya menunjukkan bahwa di Jawa dan di Indonesia terjadi kecenderungan penurunan curah hujan.

Pawitan (1989) menunjukkan bahwa selama 11 tahun (1977-1987) terjadi fluktuasi debit yang cukup besar di DAS Ciliwung. Hubungan antara fluktuasi debit dan curah hujan di DAS Ciliwung tersaji pada Tabel 13 dan Gambar 16.

Gambar 16 Rata-rata jeluk debit bulanan di DAS Ciliwung Tahun 1977 – 1987 (Sumber: Pawitan (1989))

Pada Gambar 16 terlihat bahwa selama 11 tahun (1977-1987) terjadi fluktuasi yang sangat besar. Jeluk debit di Stasiun Katulampa selalu lebih besar daripada Stasiun Ratujaya dan Kebon Baru. Hal ini menunjukkan bahwa DAS Ciliwung Hulu mempunyai kontribusi yang besar terhadap banjir di Jakarta.

R a ta- r ata jelu k d e b it b u lan an (m m)

Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa limpasan permukaan dari DAS Ciliwung Hulu menunjukkan nisbah yang berlebihan dengan variasi antara 10 sampai 60%. Selain itu, pada Tabel 13 juga terlihat bahwa curah hujan yang semakin tinggi cenderung memberikan limpasan dan nisbah banjir yang makin besar.

Tabel 13 Nisbah banjir di DAS Ciliwung Hulu Episode Banjir

Total Aliran

Langsung CH (mm) Nisbah Banjir (%) (m3/s) (mm) 13-24 Agustus 1978 178.0 105.4 206.7 51 21-31 Januari 1979 171.5 101.5 209.0 49 17-30 Januari 1980 108.8 64.4 324.1 20 5-18 April 1980 48.9 28.9 88.1 33 21-31 Januari 1981 184.4 109.1 252.6 43 1-12 Februari 1981 116.4 68.9 161.1 43 10-21 April 1982 51.7 30.6 195.2 16 1-13 November 1983 176.7 104.6 254.5 41 1-13 Februari 1984 62.9 37.2 187.7 20 12-24 Oktober 1985 107.7 63.7 196.4 32 Sumber : Pawitan (1989)

Kejadian banjir di Jakarta bukan hanya karena kiriman limpasan, tetapi juga pengaruh curah hujan. Pengaruh curah hujan pada kejadian banjir terlihat pada kejadian banjir di Jakarta pada Tahun 2002 (Nugroho 2002; Fakhruddin 2003). Pada Gambar 17 terlihat bahwa tinggi muka air di DAS Ciliwung pada tahun 1996 lebih besar daripada tahun 2002, tetapi kejadian banjir di Jakarta pada tahun 2002 lebih besar daripada tahun 1996. Pada Gambar 18 terlihat bahwa pada kejadian banjir di Jakarta pada tahun 2002, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan curah hujan di Jabotabek. Dapat disimpulkan bahwa kejadian banjir di Jakarta pada tahun 2002 disebabkan karena curah hujan yang tinggi di Jakarta dan sekitarnya, sedangkan banjir pada tahun 1996 merupakan banjir limpasan dari hulu.

Gambar 17 Fluktuasi tinggi muka air di Stasiun Ratujaya (Sumber : Fakhruddin (2003))

Gambar 18 Rata-rata curah hujan Daerah Jabotabek 17 Jan - 9 Feb 2002 (Sumber : Nugroho (2002))

Dari informasi di atas, terlihat bahwa perubahan curah hujan menyebabkan intensitas banjir di Jakarta meningkat. Selain itu, perubahan curah hujan juga berpengaruh pada limpasan (fluktuasi debit) dan ketersediaan air di DAS Ciliwung (Pawitan et al. 2000; Singgih 2000; Pawitan 2002; Fakhruddin 2003; BPDAS Ciliwung Citarum 2007). Berdasarkan hasil proyeksi dari KNLH (1998) serta informasi pengaruh curah hujan pada fluktuasi debit di DAS Ciliwung maka

dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim di DAS Ciliwung memicu terjadinya degradasi DAS Ciliwung semakin tinggi.

Perubahan degradasi DAS Ciliwung akibat perubahan iklim berpengaruh pada tingkat kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung. Pada Gambar 14 terlihat bahwa tingkat kerentanan masyarakat berbeda pada semua wilayah. Tingkat kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung Hilir berada pada kelas sedang dengan indeks kerentanan sebesar 0.94. DAS Ciliwung Hulu dan Tengah pada kelas agak rendah dengan indeks kerentanan masing-masing sebesar 0.16 dan 0.11.

Perbedaan tingkat kerentanan disebabkan karena perbedaan tingkat kepekaan dan kemampuan adaptasi masyarakat di DAS Ciliwung. Pada Gambar 15 menunjukkan bahwa tingkat kerentanan di DAS Ciliwung Hilir paling tinggi disebabkan karena tingkat kepekaan di DAS Ciliwung Hilir paling tinggi sedangkan kemampuan adaptasinya paling rendah. Sebaliknya di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah, tingkat kerentanan masyarakat sedang disebabkan karena kepekaannya cenderung agak rendah dan kemampuan adaptasinya cenderung agak tinggi. Dengan kata lain, pada Gambar 15 terlihat suatu pola hubungan antara kepekaan, kemampuan adaptasi dan kerentanan. Dimana tingkat kerentanan merupakan fungsi positif dari kepekaan dan fungsi negatif dari kemampuan adaptasi.

Pada Gambar 12 terlihat bahwa tingkat kepekaan masyarakat di DAS Ciliwung Hilir paling tinggi dibandingkan dengan DAS Ciliwung Hulu dan Tengah. Kondisi ini disebabkan karena kepadatan penduduk di DAS Ciliwung Hilir sangat padat sebesar 17.23 ribu jiwa/km2 atau melebihi rata-rata DAS Ciliwung (7.78 ribu jiwa/km2). Selain itu, berdasarkan hasil AHP, indikator kepadatan penduduk mempunyai nilai bobot yang lebih tinggi dibandingkan indikator kepekaan lainnya. Sedangkan tingkat kepekaan masyarakat di DAS Ciliwung Tengah dan Hulu berada pada posisi yang sama. Tetapi apabila dilihat pada Gambar 15 menunjukkan bahwa indeks kepekaan di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah berbeda, dimana Ciliwung Hulu mempunyai indeks yang lebih tinggi (0.83) atau lebih peka daripada Ciliwung Tengah (0.63). Hal ini disebabkan karena nilai pada aspek ekonomi (kriteria ketergantungan masyarakat akan lahan

tinggi) dan fisik (kriteria infrastruktur yang belum memadai) di DAS Ciliwung Hulu lebih rendah dibandingkan DAS Ciliwung Tengah.

Pada Gambar 13 terlihat bahwa kemampuan adaptasi di DAS Ciliwung Hilir paling rendah dibandingkan hulu dan tengah. Indikator yang paling dominan membedakan tingkat kemampuan adaptasi di DAS Ciliwung adalah aspek alam atau tersedianya lahan resapan yang cukup. Lahan resapan dalam penelitian ini menggunakan asumsi bahwa lahan selain areal terbangun dan lahan terbuka mempunyai kemampuan infiltrasi serta besarnya kemampuan tersebut diasumsikan sama. Berdasarkan data penggunaan lahan tahun 2007 terlihat bahwa DAS Ciliwung Hilir daerah resapannya sebesar 1.7%, diikuti DAS Ciliwung Tengah sebesar 32% dan DAS Ciliwung Hulu sebesar 94%. Sedangkan lahan non resapan di DAS Ciliwung Hilir sebesar 97%, DAS Ciliwung Tengah sebesar 67% dan DAS Ciliwung Hulu sebesar 5.4%. Dapat disimpulkan bahwa alam mempunyai peranan yang penting bagi manusia untuk beradaptasi terhadap perubahan atau ancaman yang ada karena alam menyediakan jasa dan ekosistem yang sangat vital bagi manusia (Alcamo et al. 2003).

Dokumen terkait