• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.4.1. Analisis Data Echogram

Data yang diperoleh dari instrumen Simrad EY 60 split beam echosounder

systems dalam bentuk raw data (echogram) selanjutnya diolah menggunakan software Echoview 4.0, dan dianalisis menggunakan Ms. Excel. Sedangkan untuk

visualisasi echogram menggunakan software Matlab dan Statistica. Proses

integrasi dasar perairan dilakukan pada kedua pantulan akustik dari dasar perairan, yaitu nilai E1 (energy of the 1st bottom echo), dan nilai E2 (energy of the 2nd

bottom echo) pada second bottom. Respon akustik dari dasar perairan dilihat

dengan mengintegrasikan dasar laut dengan ketebalan integrasi 10 cm.

Elementary Distance Sampling Unit (EDSU) yang digunakan pada proses

integrasi adalah berdasarkan dengan ping number sebesar 10 ping.

Nilai E1 threshold yang digunakan untuk energy of the 1st bottom echo (E1)

minimum sebesar -50 dB dan maksimum 0 dB, sedangkan threshold minimum untuk energy of the 2nd bottom echo (E2) sebesar -70 dB dan maksimum pada 0

Gambar 13. Diagram Pengolahan Data pada Echoview 4.0

Langkah awal dalam pengolahan data echogram pada software Echoview 4.0 adalah pengkalibrasian data terlebih dahulu. Kalibrasi dilakukan secara manual pada variable properties dengan memasukkan nilai parameter insitu seperti suhu dan salinitas, selanjutnya akan diperoleh nilai koefisien absorpsi dan nilai

kecepatan suara. Pengolahan data echogram untuk dasar perairan dibagi menjadi dua langkah, yaitu pengolahan untuk E1 (first bottom) dan pengolahan data untuk E2 (second bottom). Pengolahan E1 dimulai dengan mengatur tampilan echogram dengan nilai minimum -50 dan range yang digunakan adalah 50. Setelah itu dibuat dua buah garis untuk membatasi wilayah integrasi dasar perairan. Garis pertama (line 1) dibuat tepat pada dasar perairan dengan kedalaman 0 m,

sedangkan garis kedua (line 2) dibuat dengan kedalaman 0.1 meter. Kemudian untuk analisa lebih lanjut dibuat dua buah garis untuk kedalaman yang berbeda yaitu 0.2 m dari permukaan dasar.

Analisis dilakukan terhadap nilai scattering volume (SV) dasar perairan. Pengambilan data dilakukan per 10 ping. Setelah garis pertama dan garis kedua terbentuk, pada echogram variable properties (F8) pilih analysis, pada exclude

above line masukkan nilai line 1 dan exclude below line masukkan nilai line 2.

Pengekstrakan data dilakukan dengan menggunakan dongle yang kemudian akan diperoleh nilai integrasi masing-masing ping dalam bentuk Ms. Excel.

Pengolahan selanjutnya adalah untuk E2 (second bottom). Analisis second

bottom hampir sama dengan pengolahan sebelumnya, pembuatan line 1 dilakukan

secara manual mengikuti kontur dasar perairan second bottom, sedangkan garis kedua secara otomatis akan mengikuti bentuk garis pertama dengan jarak 0,10 m. Setelah itu data diekstrak dengan menggunakan dongle yang kemudian

ditampilkan dalam bentuk Ms. Excel. Pengolahan data pada echogram pada

Echoview dapat dilihat pada Gambar 13.

Visualisasi data echogram (dalam bentuk raw data) menggunakan perangkat lunak Matlab R2008b. Program listing yang digunakan adalah program Rick

Towler (Purnawan, 2009). Echogram merupakan hasil rekaman jejak-jejak dari

target yang terdeteksi yang dapat dihasilkan dari sistem akustik dimana sumbu x merupakan jumlah ping dan sumbu y merupakan range/kedalaman (m). Skala

Gray menunjukkan bahwa nilai raw data dari echogram SV antara -12 sampai

-70 dB. Pengembalian yang tinggi secara akustik menunjukkan pemantulan dari sebuah objek atau tipe dasar perairan yang kasar, sementara pengembalian yang

lemah menunjukkan pembelokan sinyal akustik yang kembali dan dihubungkan untuk tipe dasar yang halus. Echogram digunakan sebagai fungsi quality control dan analisa data. Intensitas dari tiap variabel dinotasikan sebagai warna pada tiap

pixel. Visualisasi contoh echogram dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Tampilan Contoh Echogram

Nilai acoustic backscattering volume (SV) diperoleh dengan menggunakan

software Echoview. Selanjutnya dengan menggunakan persamaan yang

menghubungkan bottom volume backscattering coefficient (Sv) dan surface

backscattering coefficient (Ss) (Manik et al. 2006) diperoleh nilai SS. Setelah

diperoleh nilai tersebut, pengolahan data pada echogram pada Matlab untuk visualisasi echogram (SV, dan SS), serta intensitas echo dasar perairan (EL) dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Diagram Pengolahan Data pada Matlab

3.4.2. Analisis Komponen Utama Sedimen (Principal Component Analysis) Matriks korelasi menjelaskan hubungan antar parameter yang ada. Suatu korelasi dinyatakan berhubungan positif atau berbanding lurus jika nilainya 0,50 – 1,00. Parameter yang dinyatakan berhubungan negatif atau berbanding terbalik jika nilainya berada pada kisaran -0,50 sampai dengan -1,00 dan jika nilainya berada diantara -0,50 hingga 0,50 dianggap tidak mempunyai pengaruh yang nyata baik positif ataupun negatif (Legendre, 1998).

Hubungan antara parameter fisika sedimen dengan nilai akustik dianalisis dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA), untuk melihat seberapa besar keterkaitan antara satu parameter dengan parameter yang lain, yaitu parameter fisik sedimen yang digunakan dalam analisis ini meliputi (komposisi sedimen), dan parameter akustik.

Adapun secara skematik bagan alir pencapaian tujuan dalam penelitian dideskripsikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Skematik Bagan Alir Penelitian

Survei akustik dan observasi bawah air dalam pengkarakteristikan dasar perairan dalam penelitian ini, terdiri dari perekaman data akustik yang mengaitkan

perekaman data yang menggunakan scientific echosounder system Simrad EY 60 dengan sampling sedimen dasar perairannya.

Sampling sedimen dasar perairan diolah di Balai Penelitian Tanah Laboratorium Fisika Tanah IPB Bogor untuk mendapatkan analisis sedimen

(grain size). Pengolahan hasil data (raw data) menggunakan Echoview dan Ms. Excel, visualisasi menggunakan Matlab yang menampilkan nilai SV, SS, dan

intensitas energi backscattering strength atau echo envelope. Hasil analisis sedimen dan pengolahan data kemudian dihubungkan dan dianalisis parameter komponennya untuk mendapatkan beberapa kesimpulan mengenai karakteristikan dasar perairan di perairan Kepulauan Seribu. Analisis parameter komponen utama menggunakan PCA, yaitu parameter fisika sedimen dengan nilai akustik.

3.4.3. Analisis Sampel Sedimen

Analisis sampel sedimen dilakukan di Balai Penelitian Tanah Laboratorium Fisika Tanah IPB Bogor. Analisis sampel sedimen dilakukan untuk menentukan ukuran tekstur dari masing-masing butiran partikel sedimen. Klasifikasi metode analisis besar butir dilakukan dengan menggunakan metode ayakan bertingkat dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Contoh substrat dari lapangan kemudian timbang dengan timbangan analitik untuk mendapatkan berat

2. Substrat tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 1000C sampai benar-benar kering

3. Contoh diayak dengan Shieve shaker berukuran 2 mm

4. Selanjutnya ditambahkan H2O2 30% sebanyak 100 ml dan didiamkan selama semalam. Kemudian dipanaskan di atas pemanas kemudian diaduk

sampai semua bahan organik habis dengan tidak ada buih lagi. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan bahan organik pada sampel substrat

5. Pisahkan fraksi pasir dari debu dan liat dengan menggunakan ayakan 50 µm. Fraksi debu dan liat kemudian ditampung dalam gelas ukur.

6. Pindahkan fraksi pasir kedalam cawan porselin kemudian keringkan di atas pemanas. Timbang berat pasir, kemudian diayak dengan menggunakan 5 ukuran saringan berbeda yaitu 50-100 µm, 100-200 µm, 200-500 µm, 500-1000 µm, 500-1000-2000 µm. Sehingga menghasilkan 5 ukuran besar butir sedimen yang nantinya akan digolongkan ke dalam substrat pasir 7. Fraksi lanau dan liat yang dipisahkan kemudian ditambahkan larutan

Na2P2O7.10H2O (Na-hexametafosfat) untuk selanjutnya dianalisis untuk dengan cara pemipetan dengan ukuran pipet 20 cc

8. Untuk menentukan fraksi lanau, larutan didiamkan selama 1-15 menit. Selanjutnya untuk fraksi liat dimana ukurannya sangat kecil, maka larutan tersebut didiamkan selama ± 24 jam untuk selanjutnya ditentukan

30 4.1. Sedimen Dasar Perairan

Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: substrat pasir berlumpur dan pasir. Sampling sedimen tersebut berdasarkan analisis tekstur dapat dipisahkan menjadi 3 tipe sedimen yaitu: pasir, lanau dan liat. Pengambilan sampel sedimen yang terdapat pada 9 stasiun, yaitu : P.

Pramuka terdiri dari 1 stasiun (Stasiun 1), P. Karya terdiri dari 2 stasiun (Stasiun 2, dan 3), P. Panggang terdiri dari 3 stasiun (Stasiun 4, 7, dan 9), dan P. Semak Daun terdiri dari 3 stasiun (Stasiun 5, 6, dan 8). Pada lokasi pengambilan

sedimen, stasiun 1 sampai 6 adalah stasiun pasir berlumpur, sedangkan stasiun 1 sampai 9 adalah stasiun pasir. Lokasi pengambilan sedimen dapat dilihat pada Gambar 17.

Berdasarkan hasil analisis tekstur sedimen, sedimen permukaan dasar laut di lokasi penelitian dapat dipisahkan menjadi 3 tipe sedimen yaitu: pasir, lanau, dan liat. Fraksi pasir terdapat 5 ukuran mata ayakan 1.000 – 2.000 μm, 500 – 1.000 μm, 200 – 500 μm, 100 – 200 μm, dan 50 – 100 μm), lanau (3 fraksi, ukuran 20 – 50 μm, 10 – 20 μm, dan 2 – 10 μm) dan liat (1 fraksi, ukuran 0 – 2 μm). Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 9 stasiun lokasi pengamatan secara keseluruhan didominasi oleh fraksi pasir yang memiliki persentase rata-rata sebesar 80,85%. Fraksi lanau dan liat secara berturut-turut memiliki nilai persentase rata-rata sebesar 18,32% dan 0,83% (Gambar 18).

Rendahnya tingkat persentase lanau dan liat di lokasi penelitian ini salah satunya disebabkan karena tidak adanya daratan utama yang menjadi sumber masukan fraksi lanau dan liat yang dapat disebabkan oleh proses sedimentasi yang terjadi di daratan yang terbawa oleh aliran sungai yang bermuara di lautan.

Gambar 18. Persentase Sedimen di Lokasi Penelitian

Fraksi pasir (sand) yang memiliki kenampakan makroskopis akan lebih cepat mengendap dibandingkan dengan fraksi lanau atau lumpur (silt) dan liat (clay) pada daerah yang mengalami proses turbulensi yang tinggi karena fraksi lanau

dan liat berukuran sangat kecil (mikroskopis) sehingga masih dapat dibawa oleh arus ke tempat lain. Sedimen fraksi lanau umumnya mudah terbawa oleh arus dan mudah teraduk bila terjadi proses turbulensi atau upwelling.

Pengendapan fraksi lanau sangat lambat, sehingga posisi lumpur selalu di atas dari lapisan permukaan dasar laut. Sedimen fraksi liat merupakan sedimen yang ukurannya paling kecil sehingga butuh waktu yang lebih lama dari pada lanau untuk mengalami proses pengendapan di dasar perairan. Istilah lumpur (silt) biasanya dalam konteks laut diganti dengan istilah yang lebih umum, yakni lanau agar tidak membingungkan dengan pengertian mud. Menurut Wibisono (2005) jenis-jenis partikel tersebut sangat menentukan jenis hewan benthos yang mendiami sedimen tersebut sebagai habitatnya, seperti untuk jenis sedimen

pebbles dan granules setidaknya akan ditemui hewan-hewan Gastropoda,

sedangkan untuk jenis sedimen pasir mungkin kita akan mendapati hewan kerang-kerangan (Bivalva) dan untuk jenis sedimen lanau biasanya dapat ditemukan hewan cacing.

Persentase komposisi fraksi pasir terbesar terdapat pada Stasiun 8 sebesar 90,26% yang berada pada posisi 5°43,833’ LS dan 106°34,363’ BT pada kedalaman 5,01 meter dan terendah pada Stasiun 2 sebesar 72,37% pada posisi 5°44,275’ LS dan 106°36,538 BT yang berada pada kedalaman 4,07 meter. Persentase komposisi fraksi lanau terbesar terdapat pada Stasiun 2 sebesar 26,81% dan terendah pada Stasiun 8 sebesar 9,01%, sedangkan untuk fraksi liat tertinggi terdapat pada Stasiun 6 dengan persentase sebesar 1,28%, dimana stasiun ini terletak pada posisi 5°43,703’ LS dan 106°34,379’ BT dengan kedalaman 5,60 meter dan terendah pada Stasiun 7 sebesar 0,24% (Tabel 4).

Tabel 4. Komposisi Fraksi Sedimen pada setiap Stasiun

St. Posisi koordinat Persentasi fraksi (%) Tipe substrat Lintang Bujur Pasir Lanau Liat

1. 5°44,521’ 106°36,819’ 77,18 21,92 0,90 Pasir berlumpur 2. 5°44,275’ 106°36,538’ 72,37 26,81 0,82 Pasir berlumpur 3. 5°44,163’ 106°36,587’ 82,36 16,49 1,15 Pasir berlumpur 4. 5°44,166’ 106°36,052’ 78,36 20,75 0,89 Pasir berlumpur 5. 5°43,802’ 106°34,337’ 82,40 16,52 1,08 Pasir berlumpur 6. 5°43,703’ 106°34,379’ 72,86 25,86 1,28 Pasir berlumpur 7. 5°44,389’ 106°35,953’ 86,98 12,78 0,24 Pasir 8. 5°43,833’ 106°34,363’ 90,26 9,01 0,73 Pasir 9. 5°44,642’ 106°36,185’ 84,89 14,73 0,38 Pasir

Dokumen terkait