• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perbedaan Kecemasan dan Depresi antara Kelompok Calon Peserta SNMPTN yang Belum Pernah dan yang Sudah Pernah Mengikuti

HASIL PENELITIAN

B. Analisis Perbedaan Kecemasan dan Depresi antara Kelompok Calon Peserta SNMPTN yang Belum Pernah dan yang Sudah Pernah Mengikuti

Ujian Sebelumnya

1. Perbedaan tingkat kecemasan dan depresi antara kedua kelompok

Hasil distribusi subjek penelitian menurut tingkat kecemasan dan depresi yang tercermin dalam Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan bahwa subjek kelompok I (calon peserta yang sudah pernah mengikuti ujian SNMPTN) mengalami kecemasan dan depresi yang lebih banyak daripada subjek kelompok II (calon peserta yang sudah pernah mengikuti ujian SNMPTN). Hal ini dibuktikan dengan jumlah subjek yang mengalami kecemasan pada kelompok I sebanyak 20 orang sedangkan pada kelompok

commit to user

II sebanyak 13 orang. Hasil tersebut seiring dengan data tingkat depresi, dimana subjek pada kelompok I yang mengalami depresi sebanyak 15 orang sedangkan subjek kelompok II sebanyak 11 orang. Jika dilihat dari keseluruhan persentase, subjek yang mengalami gangguan kecemasan mencapai 55% dari total subjek sedangkan yang mengalami depresi sebanyak 43,34%. Hal ini menunjukkan bahwa subjek pada penelitian ini lebih banyak mengalami kecemasan daripada depresi menjelang ujian SNMPTN.

2. Hasil uji hipotesis perbedaan derajat kecemasan antara kedua kelompok

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan t test dari Tabel 7 untuk

menguji hipotesis dapat diketahui bahwa ada perbedaan derajat kecemasan antara calon peserta SNMPTN yang belum pernah dan yang sudah pernah mengikuti ujian sebelumnya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai t sebesar 2,117

dengan p = 0,039 (p<0,05). Selain itu, mean masing-masing kelompok

adalah 24,57 untuk kelompok calon peserta yang sudah pernah SNMPTN dan 20,17 untuk kelompok calon peserta yang belum pernah SNMPTN. Hal ini menunjukkan bahwa calon peserta yang sudah pernah mengikuti ujian SNMPTN lebih cemas daripada calon peserta yang belum pernah mengikuti ujian sebelumnya sehingga hipotesis terbukti.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestariningsih (dalam Setyandari, 1997) dan Dewi (2007) yang menyatakan bahwa individu dengan taraf kecemasan tinggi biasanya berprestasi lebih rendah daripada individu dengan taraf kecemasan rendah.

commit to user

Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Arief et al. (2003)

yang membuktikan bahwa terdapat hubungan negatif antara kecemasan

menghadapi ujian dengan prestasi yang dicapai, dimana semakin besar

prestasi maka kecemasan yang dihasilkan semakin kecil atau sebaliknya, jika prestasi semakin kecil maka kecemasan yang ditimbulkan akan semakin besar. Hubungan antara kecemasan dengan prestasi ini bermakna secara statistik (p<0,05). Hasil penelitian tersebut diperkuat dengan hasil penelitian ini, dimana calon peserta SNMPTN yang pernah mengalami prestasi kurang karena kegagalan pada tahun sebelumnya memiliki skor kecemasan menghadapi SNMPTN yang lebih tinggi daripada calon peserta yang belum pernah gagal dalam SNMPTN.

Hal tersebut terjadi karena seseorang sering mengasumsikan kemampuannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu. Ketika seseorang memiliki sejarah kegagalan, orang tersebut sering berasumsi bahwa dirinya memang kurang mampu. Menurut Bandura dalam penelitian tesis Wulansari (2001), pengalaman masa lalu berupa kegagalan akan

menurunkan keyakinan diri (self efficacy) yang dimiliki seseorang. Self

efficacy yang rendah ini menyebabkan tingkat stres dan kecemasan yang

tinggi pula (Litasari, 2003). Sebaliknya, jika seseorang terlalu sering

mengalami keadaan yang menekan (stres) dapat menurunkan prestasi dan keyakinan akan kemampuan dirinya (Nawangsari, 2001).

Sedangkan menurut teori dari Nevid et al. (2005) yang meninjau

commit to user

semakin meningkat jika individu terpapar stimuli berupa stresor serupa yang menyebabkan kecemasan (suatu respon emosional terkondisi). Stimuli yang mereaktivasi respon ini mencakup memori atau gambaran mengenai trauma. Menurut teori psikoanalisis, pengalaman masa lalu tersebut tanpa disadari individu telah membuat individu menjadi trauma dan cemas berlebihan. Sedangkan menurut teori kognitif, adanya kejadian traumatik dapat membuat individu memiliki cara berpikir yang terdistorsi dan disfungsional, meliputi : prediksi berlebihan terhadap rasa takut,

keyakinan yang self-defeating atau irasional, sensitivitas berlebihan

terhadap ancaman dan kecemasan. Individu akan belajar dari pengalaman

kegagalan tersebut untuk memenuhi tuntutan lingkungan yang mengancam. Individu yang merasa terancam akan menimbulkan kecemasan. Oleh karena itu, calon peserta SNMPTN yang pernah mengikuti ujian sebelumnya akan cenderung mengalami kecemasan yang tinggi.

Dewi (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa secara umum faktor-faktor yang menimbulkan kecemasan dalam SNMPTN terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor internal berhubungan dengan faktor kepribadian calon peserta, dukungan orang tua, dan faktor religiusitas. Sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan bimbingan belajar, kemampuan penguasaan materi soal, dan persaingan antar peserta di bimbingan belajar.

Kecemasan merupakan sesuatu yang menetap pada individu yang memiliki kepribadian pencemas. Individu dengan kepribadian pencemas

commit to user

hampir setiap menghadapi keadaan yang menunjukkan kesukaran dalam penyesuaian dirinya akan mengalami kecemasan (Dewi, 2007). Faktor religiusitas juga berpengaruh sebagaimana diungkapkan oleh Larinta dan Gusniarti (2006) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa terdapat korelasi negatif antara kecemasan menghadapi ujian dengan religiusitas, dimana semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah kecemasan yang dialami peserta dalam menghadapi ujian, dan semakin rendah religiusitas, semakin tinggi kecemasan yang dialami peserta. Hubungan yang sangat meyakinkan antara religiusitas dan kecemasan menghadapi ujian disebabkan oleh upaya mendekatkan diri dan memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi kecemasan adalah dukungan orang tua. Peran serta orang tua dalam memberi dukungan pada anaknya sangat penting dalam menentukan keadaan mental anak (Dewi, 2007). Sesuai dengan hasil dari uji korelasi yang dilakukan oleh Zuhdi (2008) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara peran keluarga dengan tingkat kecemasan. Hasil ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Freedman dalam penelitian tersebut, dimana dalam menghadapi suatu masalah dibutuhkan peran keluarga dalam mengatasi dan memberi dukungan. Kecemasan menetap yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut tidak dikontrol atau dikendalikan oleh peneliti sehingga mempengaruhi hasil penelitian ini.

commit to user

3. Hasil uji hipotesis perbedaan derajat depresi antara kedua kelompok

Berdasarkan hasil analisis dengan uji Mann-Whitney terhadap derajat depresi yang tercermin pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan derajat depresi yang signifikan antara calon peserta SNMPTN yang belum pernah dan yang sudah pernah mengikuti ujian sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p = 0,684 (p>0,05). Akan tetapi, ditinjau dari rata-rata skor depresi tiap kelompok dapat dilihat bahwa rata-rata paling tinggi ialah dari kelompok calon peserta yang sudah pernah mengikuti ujian SNMPTN sebelumnya dengan rerata sebesar 8,53 sedangkan kelompok yang belum pernah SNMPTN adalah 8,03.

Perbedaan hasil penelitian dengan teori serta tidak signifikannya perbedaan depresi pada dua kelompok di atas dapat disebabkan oleh berbagai macam hal. Penyesuaian diri terhadap stres untuk tiap orang berlainan karena penilaian terhadap stres dan tuntutan terhadap tiap individu itupun berbeda-beda. Hal ini tergantung pada umur, jenis kelamin, kepribadian, intelegensi, emosi, status sosial atau pekerjaan individu itu. Begitu pula daya tahan stres atau nilai ambang frustasi untuk setiap orang juga berbeda-beda. Hal ini tergantung pada keadaan somato-psiko-sosial orang tersebut. Stres yang cukup besar, cukup lama atau cukup spesifik, serta didukung oleh kestabilan emosi dan kepribadian barulah dapat menyebabkan orang tersebut mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2005).

commit to user

Akan tetapi, menurut Kaplan dan Sadock (1997) harapan yang mengkhawatirkan tentang sejumlah aktivitas (seperti pekerjaan dan prestasi sekolah) akan lebih banyak menimbulkan kecemasan daripada

depresi. Selain itu, pada sebuah studi dalam National Institute of Mental

Health (NIMH), para peneliti menyatakan bahwa lebih dari 40% penderita stres pascatrauma dapat mengalami depresi dalam interval waktu satu

sampai empat bulan setelah kejadian traumatik (Devane et al., 2005). Oleh

karena riwayat kegagalan yang dialami calon peserta SNMPTN berlangsung lebih dari empat bulan, maka dapat terjadi intervensi pada individu selama waktu tersebut yang mempengaruhi pola pikir dan keadaan psikologisnya, seperti dukungan keluarga dan orang-orang sekitar, motivasi dalam diri pribadi, serta faktor religiusitas sehingga gangguan depresi tidak muncul atau cenderung berkurang.

Dokumen terkait