4 METODOLOGI PENELITIAN
4.4 Metode Analisis Data
4.4.1 Analisis Potensi Kawasan Pulau-Pulau Kecil
Sebagai awal dari proses pengkajian model gugus pulau yang berbasiskan pulau-pulau kecil, maka sangatlah perlu mengetahui potensi kawasan pulau-pulau kecil tersebut, khususnya potensi pulau-pulau kecil yang berkaitan dengan aspek fisik - lingkungan, ekonomi, serta sosial, dimana fokus dari setiap aspek tersebut dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut : Aspek Fisik - Lingkungan, bertujuan untuk menginventarisasi karakteristik sumberdaya alam berdasarkan kemampuan dan kesesuaian lahan, sehingga penggunaannya dapat dilakukan secara optimal sesuai dengan keseimbangan ekosistem. Aspek Ekonomi, bertujuan untuk menginventarisasi potensi lokasi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan yang dapat dikembangkan secara lebih efisien. Aspek Sosial, bertujuan untuk menemukenali kondisi sosial budaya masyarakat yang mendukung atau menghambat pengembangan wilayah.
(1) Analisis Aspek Fisik - Lingkungan
Dalam melakukan analisis fisik dan lingkungan, diperlukan sejumlah data keruangan (Tabel 7) dengan spesifikasi tertentu sedemikian rupa sehingga hasil pengolahan terhadap data tersebut dapat menghasilkan informasi yang berguna didalam mengkuantifikasikan potensi kawasan berdasarkan kemampuan serta kesesuaian lahan bagi keperluan bagi
Tabel 7. Sepesifikasi Data yang Dibutuhkan
Jenis data Spesifikasi Keluaran / Keterangan data
Lereng <5%, 5 – 15%, 15 – 30%, 30 -45%, >45%,
Aksesibilitas lokasi
Kemudahan untuk dikembangkan
Kestabilan lahan
Bio capacity untuk terbangun, padang rumput
Fisiografi Datar, berbukit, bergunung
Ketinggian 0-100m, 100-500m, >500m
Geologi Tingkat kekerasan batuan
Mineral, minyak, gas
Kemudahan untuk dikembangkan
Kekuatan lahan menerima beban
Bio capacity untuk energi, terbangun
JenisTanah
Tekstur Tanah
Solum Tanah
Liat, lempung, pasir
Kasar, Sedang, Halus
Dangkal, Sedang, Dalam
Drainase air permukaan
Resapan air tanah
Kesuburan tanah
Kekuatan lahan menerima beban
Bio capacity untuk pertanian, padang rumput
Vegetasi Hutan primer, hutan sekunder, pertanian, tanaman campur, padang rumput dan semak belukar, hutan bakau
Kemudahan untuk diolah
Drainase air permukaan
Bio capacity untuk pertanian, padang rumput, hutan, terbangun dan energi
Iklim Intensitas curah hujan
Oldeman (1980)
Kesuburan tanah
Reasapan air tanah
Kestabilan lahan
Hidrologi Daerah Aliran Sungai
Jaringan Aliran Sungai
Drainase air permukaan
Resapan air tanah
Garis Pantai Buffer 100 m kedarat
Buffer 18 km kelaut
Aksesibilitas dari pantai
Wilayah perairan lokal
Bio capacity perikanan
Bio capacity (peta hasil analisis kesesuaian lahan dari SKL dan data diatas)
Lahan Pertanian (Crop Land)
Lahan untuk menanam buah-buahan, sayur-sayuran, dan biji bijian contoh padi yang dikonsumsi manusia
Lahan Padang Rumput (Pasture)
Lahan produksi daging, dan susu hasil peternakan
Lahan Hutan (Forest) Lahan produksi hasil kayu, kertas, papan, panel kayu
Lahan yang menjaga kestabilan cuaca, siklus hidrologi
Perlindungan bio diversity
Lahan Tangkap (Fishing Ground)
Lahan produksi ikan dan makanan hasil laut lainnya
Lahan terbangun (Built Up Land)
Lahan tempat tinggal, jalan, lokasi industri, instalasi pembangkit listrik tenaga air dan infrastruktur lainnya
Lahan Energi (Energy Land)
Lahan penyimpan energi fosil (minyak, gas) dan biomas (b.bakar kayu, arang)
Lahan hutan yg menyerap CO2 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007) dan Wackernagel (2005), diolah (2011)
berdasarkan kemampuan serta kesesuaian lahan bagi keperluan pengembangan model gugus pulau. Sedangkan proses kuantifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan dari wilayah pulau-pulau kecil ini di dukung oleh beberapa sub analisis satuan kemampuan lahan (SKL) seperti : SKL Morfologi (A), SKL Kemudahan Dikerjakan (B), SKL Kestabilan Lereng (C), SKL Kestabilan Pondasi (D), SKL Ketersediaan Air (E), SKL untuk Drainase (F), Analisis Kemampuan Lahan (ML), Analisis Kesesuaian Lahan (SL), dan Analisis Bio capacity (BC).
Kemampuan lahan dari morfologi tinggi berarti kondisi morfologis suatu wilayah kompleks. Morfologi kompleks berarti bentang alamnya berupa gunung, pegunungan dan bergelombang. Akibatnya, kemampuan pengembangannya sangat rendah sehingga sulit dan tidak layak untuk dikembangkan. Lahan seperti ini sebaiknya direkomendasikan sebagai wilayah lindung, atau budidaya yang tidak berkaitan dengan manusia, contohnya untuk wisata alam. Morfologi tinggi tidak bisa dimanfaatkan untuk aktivitas ladang dan sawah. Sebaliknya lahan dengan morfologi rendah berarti kondisi morfologis tidak kompleks. Ini berarti tanahnya datar dan mudah dikembangkan sebagai tempat permukiman dan budidaya. Hal ini dijelaskan melalui analisis satuan kemampuan lahan Morfologi pada Tabel 8 (Departemen Pekerjaan Umum, 2007).
Tabel 8. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Morfologi
Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Keluaran
Memilah bentuk bentang alam atau morfologi pada wilayah yang mampu untuk dikembangkan sesuai dengan fungsinya
Peta fisiografi
Peta Kemiringan Lahan
Peta SKL Morfologi (A)
Lereng Fisiografi Tinggi Geologi Guna Lahan
SKL Morfologi Nilai SKL
> 45% Bergunung > 500m Beku H.Primer KL Morfologi Tinggi 1
30 - 45% Bergunung >500m Beku H.Sekunder KL Morfologi Cukup 2
30 - 45% Berbukit 100-500m Metamorpik T.Pertanian KL Morfologi Sedang 3
15-30% Berbukit 100-500m Metamorpik T.Campur KL Morfologi Kurang 4
0-15% Datar 0-100m Sedimen T.Kelapa KL Morfologi Rendah 5
Pengertian Satuan Kemampuan Lahan berdasarkan Kemudahan Dikerjakan sangat berkaitan dengan efisiensi dan efektifitas dari suatu lokasi untuk dapat dikembangkan karena sifat sifat lokasinya yang lebih mudah dicapai dan mudah dibentuk atau diolah. Kemudahan lahan untuk dibentuk dan diolah, sangat dipengaruhi oleh kekerasan batuan, tanah dan jenis penggunaan lahan yang ada. Sedangkan kemudahan untuk dicapai, ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik lereng, fisiografi, ketinggian, termasuk juga jenis penggunaan lahan, contohnya hutan bakau dan hutan primer memiliki kesulitan yang tinggi terutama untuk aksesibilitasnya.
Dengan demikian, semakin tinggi nilai SKL Kemudahan Dikerjakan, maka semakin efisien dan efektif suatu lokasi untuk dapat dikembangkan bagi kepentingan hidup manusia atau dijadikan wilayah budidaya. Sebaliknya nilai SKL yang rendah sebaiknya direkomendasikan sebagai wilayah non budidaya. Hal ini dijelaskan melalui analisis satuan kemampuan lahan Kemudahan Dikerjakan pada Tabel 9 (Departemen Pekerjaan Umum, 2007).
Tabel 9. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Kemudahan Dikerjakan
Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Keluaran
Mengetahui tingkat
kemudahan lahan di wilayah untuk digali dimatangkan bagi keperluan
pengembangan
Peta Ketinggian
Peta Fisiografi
Peta Kemiringan Lahan
Peta Geologi
Peta GunaLahan
Peta SKL Kemudahan untuk Dikerjakan (B)
Lereng Fisiografi Tinggi Geologi Guna Lahan
SKL Kemudahan Dikerjakan
Nilai SKL
> 45% Bergunung > 500m Beku H.Primer Kemudahan rendah 1
30 - 45% Bergunung >500m Beku H.Sekunder Kemudahan Kurang 2
30 - 45% Berbukit 100-500m Metamorpik T.Pertanian Kemudahan Sedang 3
15-30% Berbukit 100-500m Metamorpik T.Campur Kemudahan Cukup 4
0-15% Datar 0-100m Sedimen T.Kelapa Kemudahan Tinggi 5
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007), diolah (2011)
Kestabilan lereng artinya wilayah tersebut dapat dikatakan stabil atau tidak kondisi lahannya dengan melihat kemiringan lereng di lahan tersebut. Bila suatu kawasan disebut kestabilan lerengnya rendah, maka kondisi
wilayahnya tidak stabil. Tidak stabil artinya mudah longsor, mudah bergerak, yang artinya tidak aman dikembangkan untuk bangunan atau pemukiman dan budidaya. Kawasan ini bisa digunakan untuk hutan, perkebunan dan resapan air. Sebenarnya, satu SKL saja tidak bisa menentukan peruntukan lahan, apakah itu untuk pertanian, pemukiman dan lain lain. Peruntukan didapatkan setelah dilakukan proses penampalan (overlay) terhadap semua hasil SKL yang sudah didapat sesuai dengan mempergunakan sarana bantu Sistem Informasi Geografis (SIG). Hal ini dijelaskan melalui analisis satuan kemampuan lahan Kestabilan Lereng pada Tabel 10 (Departemen Pekerjaan Umum, 2007).
Tabel 10. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Kestabilan Lereng
Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Keluaran
Untuk mengetahui tingkat kemantapan lereng wilayah didalam menerima beban
Peta Ketinggian
Peta Fisiografi
Peta Kemiringan Lahan
Peta Geologi
Peta GunaLahan
Data Bencana Alam
SKL Kestabilan Lereng (C)
Daerah Lereng yang aman untuk dikembangkan sesuai dengan fungsi kawasan
Batasan pengembangan pada setiap tingkat kestabilan lereng
Lereng Fisiografi Tinggi Geologi Guna Lahan
SKL Kestabilan Lereng
Nilai SKL
> 45% Bergunung > 500m Sedimen T.Kelapa Kestabilan Lereng Rendah 1
30 - 45% Bergunung >500m Metamorpik T.Campur Kestabilan Lereng Kurang 2
30 - 45% Berbukit 100-500m Metamorpik T.Pertanian Kestabilan Lereng Sedang 3
15-30% Berbukit 100-500m Beku H.Sekunder
Kestabilan Lereng Tinggi 4
0-15% Datar 0-100m Beku H.Primer 5
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007), diolah (2011)
Kestabilan pondasi artinya kondisi lahan / wilayah yang mendukung stabil atau tidaknya suatu bangunan atau kawasan terbangun. Kestabilan pondasi tinggi artinya wilayah tersebut akan stabil untuk pondasi bangunan apa saja atau untuk segala jenis pondasi. Kestabilan pondasi rendah berarti wilayah tersebut kurang stabil untuk berbagai bangunan. Hal ini dijelaskan melalui analisis satuan kemampuan lahan Kestabilan Pondasi pada Tabel 11 (Departemen Pekerjaan Umum, 2007).
Tabel 11. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Kestabilan Pondasi
Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Keluaran
Mengetahui tingkat kemampuan lahan untuk mendukung bangunan berat dalam pengembangan perkotaan.
Peta Kestabilan Lereng
Peta Geologi
Peta GunaLahan
Peta SKL Kestabilan Pondasi (D)
Gambayaran Daya Dukung Tanah
Deskripsi tingkat kestabilan pondasi
SKL Kestabilan Lereng
Tanah Geologi Guna Lahan SKL Kestabilan Pondasi Nilai SKL Kestabilan Lereng Rendah Tekstur Kasar
Sedimen T.Kelapa Daya dukung dan Kestabilan
Pondasi Rendah 1 Kestabilan Lereng Kurang Tekstur Kasar Metamorpik T.Campur
Daya dukung dan Kestabilan Pondasi Kurang 2 Kestabilan Lereng Sedang Tekstur Sedang Metamorpik T.Pertanian 3 Kestabilan Lereng Tinggi Tekstur Halus
Beku H.sekunder Daya dukung dan Kestabilan
Pondasi Tinggi
4
H.Primer 5
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007), diolah (2011)
Ketersediaan air sangat tinggi artinya ketersediaan air tanah, dalam dan dangkal cukup banyak. Sementara ketersediaan air sedang, artinya air tanah dangkal tak cukup banyak, tapi air tanah dalamnya banyak. Hal ini dijelaskan melalui analisis satuan kemampuan lahan Ketersediaan Air pada Tabel 12 (Departemen Pekerjaan Umum, 2007).
Tabel 12. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Ketersediaan Air
Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Keluaran
Mengetahui tingkat ketersediaan air dan kemampuan penyediaan air pada masing-masing tingkatan, guna
pengembangan kawasan
Peta Fisiografi
Peta Kemiringan Lahan
Peta Geologi
Peta GunaLahan
Curah Hujan
Peta SKL Ketersediaan Air (E) dan deskripsi tiap tingkatannya
Perkiraan kapasitas air permukaan dan air tanah
Lereng Fisiografi Geologi Hidrologi Guna Lahan
Iklim SKL
Tersdia Air
Nilai SKL
> 45% Bergunung Beku Drain baik T.Kelapa CH < 500 Sngt rendah 1
30 - 45% Bergunung Beku Drain baik T.Campur CH < 1000 Rendah 2
30 - 45% Berbukit Metamorpik Drain sdang T.Pertanian CH < 2000 Sedang 3
15-30% Berbukit Metamorpik Drain buruk H.Sekunder CH < 3000 Air tersedia
Tinggi
4
0-15% Datar Sedimen Drain buruk H.Primer CH > 3000 5
Drainase berkaitan dengan aliran air, serta mudah tidaknya air mengalir. Drainase tinggi artinya aliran air mudah mengalir atau mengalir dengan lancar. Drainase rendah berarti, aliran air sulit dan mudah tergenang. Hal ini dijelaskan melalui analisis satuan kemampuan lahan Drainase pada Tabel 13 (Departemen Pekerjaan Umum, 2007).
Tabel 13. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Drainase
Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Keluaran
Mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam ,mematuskan air hujan secara alami, sehingga kemungkinan genangan baik bersifat lokal ataupun meluas dapat dihindari
Peta Ketinggian
Peta Fisiografi
Peta Kemiringan Lahan
Peta Geologi
Peta GunaLahan
Curah Hujan
Peta SKL Drainase (D) dan deskripsi tiap tingkatannya
Tingkat kemampuan lahan dalam proses pematusan
Daerah daerah yang cenderung tergenang di musim hujan
Lereng Fisiografi Tinggi Geologi Guna Lahan
Iklim SKL
Drainase
Nilai SKL
> 45% Bergunung > 500m Beku T.Kelapa CH > 3000 Drainase
Tinggi
5
30 - 45% Bergunung >500m Beku T.Campur CH < 3000 4
30 - 45% Berbukit 100-500m Metamorpik T.Pertanian CH < 2000 Drainase
Cukup
3
15-30% Berbukit 100-500m Metamorpik H.Sekunder CH < 1000 Drainase
Rendah
2
0-15% Datar 0-100m Sedimen H.Primer CH < 500 1
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007), diolah (2011)
Peta Klasifikasi Kemampuan Lahan didapat dengan melakukan
superimpose semua satuan kemampuan lahan, yaitu dengan cara
menjumlahkan hasil perkalian nilai kali bobot dari seluruh satuan kemampuan lahan dalam satu peta, sehingga diperoleh kisaran nilai yang menunjukkan nilai kemampuan lahan wilayah. Hal ini dijelaskan melalui analisis satuan Kemampuan Lahan pada Tabel 14 (Departemen Pekerjaan Umum, 2007).
Tabel 14. Analisis Kemampuan Lahan
Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Keluaran
Untuk memperoleh gambaran tingkat kemampuan lahan untuk dikembangkan sebagai perkotaan, dan sebagai acuan kesesuaian lahan pada tahap analisis berikutnya.
Peta peta hasil analisis SKL
Peta Tinggi
Peta Fisiografi
Peta Kemiringan Lahan
Peta Geologi
Peta GunaLahan
Peta Iklim
Peta Klasifikasi kemampuan Lahan untuk pengembangan kawasan
Kelas kemampuan lahan untuk dikembangkan sesuai fungsi kawasan
SKL (A) SKL (B) SKL (C) SKL (D) SKL (E) SKL (F) Kmampuan Lahan Bobot : 5 Bobot : 1 Bobot : 5 Bobot : 3 Bobot : 5 Bobot : 5 Total Nilai
Bo b o t x Ni la i 5 1 5 3 5 25 10 2 10 6 10 20 15 3 15 9 15 15 20 4 20 12 20 10 25 5 25 15 25 5
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007), diolah (2011)
Berdasarkan nilai kali bobot diatas, diketahui bahwa nilai total maksimum adalah 120 dan nilai total minimum adalah 24. Jika pembagian kelas menjadi 5 kelas, maka klasifikasi pengembangan kawasan sesuai dengan kelas kemampuan lahan wilayah penelitian dijelaskan pada Tabel 15 sebagai berikut :
Tabel 15. Klasifikasi Pengembangan Lahan
Total Nilai Kelas Kemampuan
Lahan
Klasifikasi Pengembangan
24 – 42 Kelas a Kemampuan pengembangan sangat rendah 43 – 61 Kelas b Kemampuan pengembangan rendah 62 – 81 Kelas c Kemampuan pengembangan sedang 82 – 100 Kelas d Kemampuan pengembangan agak tinggi 101 – 120 Kelas e Kemampuan pengembangan sangat tinggi Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007), diolah (2011)
Mengacu kepada buku Pedoman Bidang Penataan Ruang dan Modul Terapan, yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang,
Departemen Pekerjaan Umum, Tahun 2007, tentang Analisis Kemampuan dan Kesesuaian Lahan, maka berdasarkan hasil analisis Kelas Kemampuan Lahan, dapat diketahui beberapa Arahan Kesesuaian Lahan seperti arahan kesesuaian lahan untuk Pertanian, Rasio Penutupan Lahan, Ketinggian Bangunan, dan Pemanfaatan Air Baku. Untuk setiap kelas kemampuan lahan yang dihasilkan, arahan kesesuaian lahan dimaksud dijelaskan pada Tabel 16 sebagai berikut :
Tabel 16. Arahan Kesesuaian Lahan
Kelas Kemampuan Lahan Arahan Pertanian Arahan Rasio Penutupan Arahan Ketinggian Bangunan Arahan Pemanfaatan Air Baku
Kelas a Kawasan Lindung Non bangunan Non bangunan Sangat rendah
Kelas b Kawasan Penyangga
Maks 10% Non bangunan Rendah
Kelas c Tanaman > 1 thn Maks 30% < 4 Lantai Cukup
Kelas d Tanaman < 1 thn Maks 30% < 4 Lantai Baik
Kelas e Tanaman < 1 thn Maks 50% >4 Lantai Sangat baik Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007), diolah (2011)
Secara umum klasifikasi kesesuaian lahan dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu kesesuaian lahan untuk budidaya dan non budidaya. Untuk kesesuaian lahan budidaya, kategori kelas kemampuan lahan yang memenuhi adalah kelas c, d, dan e, sedangkan kelas a dan b, lebih sesuai untuk lahan non budidaya. Penggunaan kelas budidaya dan non budidaya ini adalah untuk membantu mendeliniasi klasifikasi kesesuaian lahan yang mendukung proses kuantifikasi dari bio capacity.
Analisis Bio capacity (BC) yang ditunjukkan Tabel 17, pada dasarnya merupakan proses pengkuantifikasian besarnya kapasitas dari setiap jenis lahan yang mampu dihasilkan oleh suatu ekosistem. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan ekosistem adalah keragaan lahan existing pulau yang diperlihatkan melalui berbagai data hasil analisis kemampuan lahan beserta peta-peta tematik seperti : peta geologi, tanah, guna lahan, daerah resapan air, dan peta garis pantai (buffer 18 km ke arah laut dan 100 m ke arah darat).
Tabel 17. Analisis Bio Capacity
Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Keluaran
Untuk memperoleh peta kesesuaian lahan sesuai dengan klasifikasi jenis lahan yang dibutuhkan dalam mekanisme Ecologi footprint
dan Bio capacity.
Mengkuantifikasikan besarnya Bio capacity yang bisa dihasilkan oleh suatu ekosistem pulau kecil sesuai dengan karakteristik lahan yang mebentuknya.
Peta peta hasil analisis SKL
Peta Kemampuan Lahan
Peta Geologi
Peta Tanah
Peta GunaLahan
Peta Resapan Air
Peta Buffer Garis Pantai (6km)
Peta Klasifikasi jenis lahan yang diperlukan untuk keperluan analisis ecologi footprint dan bio capacity
Peta bio capacity wilayah
Besarnya bio capacity wilayah Nilai KL Kelas KL Guna Lahan
Tanah Geologi Resapan Air
Nilai
BC
Kelas
BC
1 Lindung Hutan Primer Kestabilan Sangat Rendah Tinggi 5 Hut. Energi
2 Penyangga Hutan
Sekunder Kestabilan Rendah
Sedang –
Tinggi 4 Hut. Prod
3 Pertanian Pertanian Kestabilan sedang Sedang 3 Pertanian
4 Terbangun Tanaman Kestabilan agak tinggi Sedang-Rendah 2 Peternakan
5 Terbangun Semak
Belukar Kestabilan Tinggi Rendah 1 Terbangun
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007), diolah (2011)
Proses pengkuantifikasian ini sendiri dilakukan dengan melakukan konversi dari sistem klasifikasi kemampuan lahan yang ada kedalam sistem klasifikasi kemampuan lahan yang sesuai dengan mekanisme perhitungan analisis ecologi footprint dan bio capacity (Wackernagel, 2008). Rumus umum yang dipergunakan untuk mengkonversi data peta tematik tersebut dalam setiap kapasitas jenis lahan yang dibutuhkan, adalah :
n j i i i ij pulau A YF EQF BC 1 6 1 ………..………...… (50) Dimana,BCpulau = Total Bio Capacity Pulau Pulau Kecil ( g.m2 )
Aij = Luas Kelas Lahan - i, pada setiap pulau – j ( m2 )
i = jenis kelas lahan EF- i ; i = ( 1....6 )
YFi = Yield Factor dari setiap kelas lahan i ; i = ( 1...6 )
(1) Pertanian = 0.98, (2) Padang Rumput = 1.81, (3) Hutan = 0.50, (4) Tangkap Ikan = 3.38, (5) Terbangun = 0.98, dan (6) Energi =0.81. Wackernagel (2005); Kitzes (2007).
EQFi = Equivalen Faktor dari setiap kelas lahan i ( g.m2 / m2 )
(1) Pertanian = 2.10, (2) Padang Rumput = 0.48, (3) Hutan = 1.37, (4) Tangkap Ikan = 0.38, (5) Terbangun = 2.19, dan (6) Energi =1.37. Wackernagel (2005); Kitzes (2007).
(2) Analisis Aspek Sosial
Dalam penelitian ini analisis aspek sosial yang dikembangkan oleh Departemen Pekerjaan Umum (2007), mencakup enam hal yaitu : (1) analisis kependudukan dijelaskan melalui Tabel 18; (2) analisis pendidikan dijelaskan melalui Tabel 19; (3) analisis ketenagakerjaan dijelaskan melalui Tabel 20; (4) analisis kesehatan dijelaskan melalui Tabel 21; (5) ecological footprint
dijelaskan melalui Tabel 22, 23 dan 24. Tujuan dari analisis aspek sosial ini secara umum adalah untuk mengkaji kondisi sosial masyarakat yang mendukung atau menghambat upaya pengembangan wilayah.
Tabel 18. Analisis Kependudukan
Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Keluaran
Memperoleh gambaran potensi penduduk
Memperoleh gambaran penyebaran penduduk
Jumlah penduduk Komposisi penduduk menurut umur saat ini dan yang akan datang.
Proyeksi jumlah penduduk yang digunakan untuk merencanakan penyediaan fasilitas dan lahan bagi masyarakat
Jumlah penduduk usia produktif dan tidak produktif
Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk
Luas daerah dan kepadatan penduduk
Estimasi proporsi penduduk menurut kelompok umur produktif dan tidak produktif Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007), diolah (2011)
Formulasi umum yang dipergunakan dalam melakukan analisis ini, terutama yang berkaitan dengan proyeksi jumlah penduduk, serta
perkembangan antara kelahiran dan kematian, terutama berkaitan dengan migrasi (perpindahan) adalah :
E I D B P Pm 0 ………...……… (51) n P P m n P Pm ( ) ( n 0) 0 ………...……… (52) Dimana :
Pm = Jumlah penduduk tahun yang dicari
P0 = Jumlah penduduk tahun awal
Pn = Jumlah penduduk tahun akhir
m = Tahun yang dicari dikurangi tahun akhir n = Tahun akhir dikurangi tahun awal B = Jumlah Kelahiran
D = Jumlah Kematian
I = Jumlah Imigrasi (migrasi masuk) E = Jumlah Emigrasi (migrasi keluar)
Tabel 19. Analisis Pendidikan
Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Keluaran
Memperoleh gambaran tentang ketersediaan dan kebutuhan sarana prasarana pendidikan.
Partisipasi pendidikan penduduk
Rasio kebutuhan jumlah guru dan sekolah per 10,000 penduduk
Kebutuhan Lahan untuk Fasilitas Pendidikan Banyaknya murid Banyaknya guru Rasio murid-guru Rasio murid-kelas Banyaknya Sekolah Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007), diolah
Tabel 20. Analisis Ketenagakerjaan
Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Keluaran
Memperoleh gambaran ketenaga kerjaan
Memperoleh gambaran distribusi dan
penyebaran tenaga kerja
Tabel penduduk yang bekerja dan yang mencari pekerjaan
Tabel penduduk bukan angkatan kerja
Identifikasi data ketenaga kerjaan untukmendukung kegiatan ekonomi
Identifikasi lokasi yang kelebihan atau kekurangan tenaga kerja
Tabel tingkat partisipasi angkatan kerja
Tabel angka beban tanggungan angkatan kerja Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007), diolah (2011)
Tabel 21. Analisis Kesehatan
Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Keluaran
Memperoleh gambaran tentang ketersediaan dan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan masyarakat
Data banyaknya rumah sakit, tempat tidur, puskesmas.
Rasio jumlah tenaga kesehatan, sarana dan prasarana kesehatan per 10,000 penduduk
Kebutuhan Lahan untuk Fasilitas Kesehatan
Data banyaknya jenis tenaga kesehatan
Data sarana dan prasarana kesehatan
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007), diolah (2011)
Analisis Ecological footprint (EF) dalam penelitian ini pada dasarnya merupakan proses konversi dari setiap kategori konsumsi atau jenis kebutuhan manusia kedalam setiap jenis kategori lahan yang tersedia sebagaimana dijelaskan pada Tabel 23, yang dikemukakan oleh Wackernagel (2005).
Tabel 22. Analisis Ecological Footprint
Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Keluaran
Menghitung banyaknya lahan atau ruang yang dibutuhkanoleh setiap satuan manusia dalam rangka melangsungkan aktivitas kehidupannya
Data kebutuhan manusia untuk o makanan
o perumahan o transportasi o barang barang o jasa
o tempat limbah yang dihasilkan
Besarnya jenis lahan yang diperlukan (gHa) o pertanian o padang rumput o hutan o penagnkapan ikan o terbangun o energi sumber : Wackernagel (2005), diolah (2011)
Besarnya masukan (input) konsumsi dari setiap kategori tersebut diatas dilakukan dengan survey atau kuesioner terhadap penduduk di lokasi penelitian (detail struktur data yang diperlukan terlampir). Sedangkan rumus umum yang dipergunakan untuk mengkonversi konsumsi manusia tersebut adalah
n j i i i k Y T pddk YF EQF EF ijk 1 6 1 6 1 ………..… (53) Dimana,EFpddk = Total Ecological footprint Penduduk Pulau Pulau Kecil ( g.m2 )
Tijk = Jenis Kebutuhan Penduduk – k, untuk setiap Kelas Lahan – i,
pada Pulau - j ( kg ); k = ( 1....6 )
(1) Makanan, (2) Perumahan, (3) Transportasi (4) Barang, (5) Jasa dan (6) Penampungan Limbah. Wackernagel (2005); Kitzes (2007).
Y = Yield, koefisien kebutuhan manusia terhadap lahan(Tabel 23)
i = jenis kelas lahan EF- i ; i = ( 1....6 )
j = pulau – j ; j = ( 1...n ); n = total jumlah pulau YFi = Yield Factor dari setiap kelas lahan i ; i = ( 1...6 )
(1) Pertanian = 0.98, (2) Padang Rumput = 1.81, (3) Hutan = 0.50, (4) Tangkap Ikan = 3.38, (5) Terbangun = 0.98, dan (6) Energi =0.81. Wackernagel (2005); Kitzes (2007).
EQFi = Equivalen Faktor dari setiap kelas lahan i ( g.m2 / m2 )
(1) Pertanian = 2.10, (2) Padang Rumput = 0.48, (3) Hutan = 1.37, (4) Tangkap Ikan = 0.38, (5) Terbangun = 2.19, dan (6) Energi =1.37. Wackernagel (2005); Kitzes (2007).
Tabel 23. Koefisien Kebutuhan Manusia Terhadap Beberapa Jenis Lahan
Pertanian Peternakan [global m2/kg] [global m2/kg]
Sayuran, kentang & buah 1.58
Roti dan produk roti 8.32
Tepung, beras, mie, sereal 8.32
jagung 4.96
Kacang-kacangan 23.97
Susu, krim, yoghurt krim, asam 2.32 1.24
Es krim, susu beku lainnya 11.58 6.22
Keju, mentega 23.17 12.44 telur 20.77 daging babi 27.91 Ayam, kalkun 18.99 daging sapi 54.68 32.28
Daging kambing, kambing 46.95 31.12
ikan 121.91
gula 3.43
minyak sayur 61.75
margarin 61.75
Kopi & teh 40.14
Jus anggur & 3.77
bir 1.97
kapas 39.27
wol
Rokok, tembakau lainnya 13.57
Hutan [global m2/m3]
kayu 6,468.91
Intensitas Footprint
Intensitas Footprint
sumber : Wackernagel (2005), diolah (2011)
Dengan memasukan besarnya nilai-nilai Yield Factor dan Equivalence
Factor untuk setiap kategori kelas lahan sebagaimana dikemukakan oleh
Wackernagel (2005), maka dengan mempergunakan persamaan (50) dan (53) diatas, besarnya kapasitas lahan yang tersedia (Bio capacity) dan besarnya kapasitas lahan yang dibutuhkan (Ecological footprint) untuk setiap kategori jenis lahan seperti : Pertanian, Padang Rumput, Hutan, Tangkap Ikan, Terbangun, dan Energi dalam satuan unit (gm2 atau gHa) dapat dihitung (Tabel 24). Dalam standar ini, 10.000 g.m2 atau 1 g.ha didefinisikan sebagai 1 ha lahan (darat dan air) di wilayah penelitian pada tahun tertentu yang setara dengan produktifitas rata-rata dunia seluas 11.2 milyar ha.
Tabel 24. Tabel Analisis Kebutuhan Lahan Ekologi Penduduk
Jumlah
pertahun Energi Pertanian P.Rumput Hutan T.Bangun T.Ikan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Makanan
Sayuran, Kentang & Buah [kg] x x
Roti [kg] x x
Beras, Sereal, Mie, dll. [kg] x x
Kacang, Kacangan [kg] x x Susu [l] x x Mentega [kg] x x Telor [jml] x x Daging Babi [kg] x x Ayam [kg] x x Sapi [kg] x x x Ikan [kg] x x Gula [kg] x x
Minyak Nabati & Lemak [l] x x
Teh & Kopi [kg] x x
2 Perumahan
Rumah Batu [m2] x
Rumah kayu [m2] x x
Luas Pekarangan + Bangunan [m2] x
Konsumsi Listrik [kWh]
listrik tenaga panas 90% x
listrik tenaga surya 9%
listrik tenaga angin 1%
Bahan Bakar Fosil Gas [kg] x
Bahan Bakar Fosil Cair (Oli) [l] x
Air [m3] x